5decf224d10c6

Chatib Basri Sarankan Pengenaan Pajak Karbon​

JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terus mengupayakan program pembangunan rendah karbon, sebagai langkah percepatan pertumbuhan ekonomi, namun pada saat bersamaan tetap mengedepankan isu lingkungan.

Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, mengatakan salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk mendorong pelaksanaan program tersebut, ialah dengan penerapan pajak karbon atau carbon tax. Dengan adanya pajak tersebut, maka perusahaan dengan kadar emisi karbon yang tinggi akan dikenakan biaya pungutan lebih oleh pemerintah.

Namun, menurutnya pajak karbon bukan hanya mengenai pemberian hukuman bagi para pelaku usaha yang masih memproduksi karbon emisi tinggi saja.

"Tapi bagaimana menggunakan uang itu sebagai insentif ke perusahaan untuk meningkatkan teknologinya," kata Chatib dalam webinar Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Dalam Rangka Pemulihan Covid-10 Dengan Pembangunan Rendah Karbon, Senin (14/12/2020).

Pria yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Mandiri itu, meyakini dengan adanya insentif para pelaku usaha dapat mengembangkan teknologi penekan produksi emisi karbon.

"Saya melihat pola-pola kebijakan fiskal dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya," ujarnya.

Chatib menyadari banyak pihak yang masih belum terlalu memperhatikan isu lingkungan. Pasalnya, masih banyak isu lain yang dinilai masih mendasar perlu dilakukan oleh berbagai pihak.

"Kesulitan dari pembangunan low carbon inisiative di dalam banyak kasus seringkali isu lingkungan adalah isu yang dianggap sebagai barang mewah," katanya.

Padahal, menurutnya, isu lingkungan akan berimplikasi terhadap isu-isu lainnya.

"Jangan lupa, persoalan climate change akan berpengaruh kepada sektor pertanian misalkan," ucapnya.


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Chatib Basri Sarankan Pengenaan Pajak Karbon"

Penulis : Rully R. Ramli
Editor : Bambang P. Jatmiko

victor-he-QBVBWWMRxZA-unsplash (2)

PRK Sebagai Salah Satu Solusi Permasalahan Hutan Indonesia

Tahukah Anda bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan terluas ketiga di dunia? Ya, Indonesia memiliki lahan berhutan sebesar 94,1 juta ha atau 50,1% dari total seluruh daratan (Kementrian LHK, 2020). Luasnya lahan hutan Indonesia menjadi modal utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Karena mampu menyediakan lapangan kerja, sumber pendapatan masyarakat, dan juga merupakan salah satu sumber pemasukan devisa negara,

         Selain itu, hutan tropis di Indonesia menyimpan banyak potensi energi mikrobiologi yang sangat diperlukan dunia. Serta merupakan tempat hidup berbagai habitat hewan dan tumbuhan. Termasuk hewan dan tumbuhan kategori endemik.

         Sayangnya, seiring dengan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan kegiatan lainnya membuat kondisi hutan di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Perubahan tutupan hutan terjadi dari waktu ke waktu karena konversi hutan untuk pembangunan sektor non kehutanan, perambahan, dan kebakaran hutan.

         Seperti kita ketahui bersama, kebakaran hutan di Indonesia kini terjadi hampir di setiap tahun, terutama pada musim kemarau. Isu kebakaran hutan Indonesia pun kerap menjadi topik bahasan dalam forum-forum nasional maupun internasional karena dampaknya yang cukup besar bagi kesejahteraan masyarakat. Selain kerugian materil, asap akibat kebakaran hutan banyak menyebabkan masalah-masalah serius, di antaranya mengganggu sistem pernafasan manusia serta menurunkan jarak pandang yang tentunya akan mengacaukan sistem navigasi pesawat.

         Padahal hutan di Indonesia termasuk jenis hutan tropika basah, yaitu jenis hutan yang selalu basah dengan kelembaban tinggi dan tahan terhadap ancaman kebakaran. Namun kenyataannya, kebakaran tidak saja terjadi pada lahan kering (tanah mineral) tetapi juga terjadi pada lahan basah (rawa gambut).

         Berkaitan dengan PRK, saat ini bidang kehutanan dan lahan gambut masih menjadi kontributor terbesar dalam upaya penurunan emisi GRK pada tahun 2018 – 2019. Berbagai upaya telah dilakukan pada sektor kehutanan dalam kaitannya dengan PRK, di antaranya:

  • Pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut
  • Rehabilitasi hutan dan lahan
  • Moratorium Hutan dan Penundaan Pemberian Izin Baru pada Hutan Primer dan Lahan Gambut
  • Penerapan pengelolaan lahan gambut tanpa bakar
  • Penurunan deforestasi
  • Peningkatan penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan baik di hutan alam (penurunan degradasi hutan) maupun di hutan tanaman.

         Upaya-upaya tersebut nyatanya mampu menekan laju deforestasi hutan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Ditjen PKTL menunjukkan tren deforestasi Indonesia relatif lebih rendah, dan cenderung stabil. Deforestasi netto tahun 2018 -2019, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 462,4 ribu ha. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 465,5 ribu ha dengan dikurangi angka reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 3,1 ribu ha.

         Pembangunan sumber daya hutan memang merupakan bagian dari upaya nasional dalam peningkatan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi antar daerah, penyediaan lapangan kerja, pembangunan daerah miskin dan terpencil, pengembangan peran serta masyarakat, membantu usaha kecil dan menengah, pengentasan kemiskinan, serta pelestarian fungsi lingkungan hidup. Oleh sebab itu, sebagai salah satu penunjang pertumbuhan dan stabilitas ekonomi, pengelolaan sumber daya hutan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan keseimbangan ekosistem melalui PRK menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Sumber data:
Kementerian Perencanaan pembangunan Nasional/Bappenas. (2020). Laporan Implementasi Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon. Jakarta: Kementerian Perencanaan pembangunan Nasional/Bappenas.

Web-preview-A4-01

BAPPENAS Tinjau Kesiapan Geosite Juru Seberang dalam rangka Transformasi Ekonomi Belitung sebagai salah satu Destinasi Pariwisata Prioritas

Belitung, 5 September 2020 – Sekretaris Utama Kementerian PPN/ Bappenas, Himawan Hariyoga Djojokusumo mengapresiasi kerjasama multipihak yang telah terbangun untuk mengembangkan kawasan yang sebelumnya merupakan lahan pembuangan limbah tailing dari aktivitas penambangan timah menjadi kawasan ekowisata mangrove. Hal ini diungkapkannya pada rangkaian kunjungan kerja di Pulau Belitung, Bangka Belitung.

Belitung Mangrove Park (BMP) pada tahun 2017 mendapat inisiasi dukungan awal dari Kementerian PPN/Bappenas sebesar 2 M, bersumber dari dana hibah USAID. Dukungan awal tersebut kemudian mampu memicu pemangku kepentingan lainnya untuk ikut mengucurkan dananya bagi pengembangan Belitung Mangrove Park. Kolaborasi pendanaan dari berbagai instansi dan lembaga tersebut kini mencapai Rp 22,2 M.

Belitung Mangrove Park

“BMP merupakan contoh yang bagus dan dapat menjadi laboratorium untuk mempelajari bagaimana merencanakan kegiatan yang berkelanjutan. Dari aspek teori pembangunan berkelanjutan, BMP telah memenuhi seluruh aspek yang ada didalamnya, mulai dari aspek lingkungan berupa kegiatan konservasi dan rehabilitasi lahan, aspek sosial berupa dukungan dan keterlibatan aktif masyarakat,serta aspek ekonomi yang terwujud dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.”

“Selain itu, Kawasan Belitung Mangrove Park ini juga menjadi contoh sukses kerjasama multipihak dimana awalnya melalui inisiasi Bappenas, dana hibah diserap 2M dan melalui kemitraan multi pihak menjadi 22,2M.” ujar Sekretaris Utama Kementerian PPN/ Bappenas, Himawan Hariyoga Djojokusumo.

Jalan setapak di BMP

BMP menciptakan lapangan kerja hijau yang berasal dari masyarakat lokal yaitu pengelolaan fasilitas pariwisata tersebut dengan mengenakan bea masuk, rumah edukasi mangrove, serta fasilitas rumah makan yang menyajikan makanan khas Belitung dengan sajian rajungan menggunakan racikan bumbu yang menggugah selera.

Kapal tempat menikmati sajian khas Belitung di BMP

Selain itu, manfaat lainnya yang didapatkan dari BMP yaitu sekuestrasi karbon melalui rehabilitasi seluas 50 ha hutan mangrove, dan meningkatnya SHU anggota koperasi dari Rp 3 juta menjadi Rp 20 juta, serta pendapatan tiket masuk hingga 50-65 juta/bulan. Meskipun demikian, pandemi COVID-19 cukup menghantam kondisi industri pariwisata, termasuk kawasan Belitung Mangrove Park. Pengelola berupaya untuk terus berinovasi melalui penerapan protokol kesehatan dan mengembangkan alternatif kegiatan ekonomi lainnya, seperti kegiatan budidaya yang sebelumnya sudah berjalan dengan baik.

Media contact:
Kevin Simon – Communication Officer LCDI
HP: 082258565533
Email: communication@lcdi-indonesia.id

BAPPENAS Tinjau Kesiapan Geosite Juru Seberang dalam rangka Transformasi Ekonomi Belitung sebagai salah satu Destinasi Pariwisata Prioritas

Belitung, 5 September 2020 – Sekretaris Utama Kementerian PPN/ Bappenas, Himawan Hariyoga Djojokusumo mengapresiasi kerjasama multipihak yang telah terbangun untuk mengembangkan kawasan yang sebelumnya merupakan lahan pembuangan limbah tailing dari aktivitas penambangan timah menjadi kawasan ekowisata mangrove. Hal ini diungkapkannya pada rangkaian kunjungan kerja di Pulau Belitung, Bangka Belitung.

Belitung Mangrove Park (BMP) pada tahun 2017 mendapat inisiasi dukungan awal dari Kementerian PPN/Bappenas sebesar 2 M, bersumber dari dana hibah USAID. Dukungan awal tersebut kemudian mampu memicu pemangku kepentingan lainnya untuk ikut mengucurkan dananya bagi pengembangan Belitung Mangrove Park. Kolaborasi pendanaan dari berbagai instansi dan lembaga tersebut kini mencapai Rp 22,2 M.

“BMP merupakan contoh yang bagus dan dapat menjadi laboratorium untuk mempelajari bagaimana merencanakan kegiatan yang berkelanjutan. Dari aspek teori pembangunan berkelanjutan, BMP telah memenuhi seluruh aspek yang ada didalamnya, mulai dari aspek lingkungan berupa kegiatan konservasi dan rehabilitasi lahan, aspek sosial berupa dukungan dan keterlibatan aktif masyarakat,serta aspek ekonomi yang terwujud dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. ”

“Selain itu, Kawasan Belitung Mangrove Park ini juga menjadi contoh sukses kerjasama multipihak dimana awalnya melalui inisiasi Bappenas senilai 2M melalui dana hibah menjadi 22,2M melalui kemitraan multipihak” ujar Sekretaris Utama Kementerian PPN/ Bappenas, Himawan Hariyoga Djojokusumo.

MP menciptakan lapangan kerja hijau yang berasal dari masyarakat lokal, sekuestrasi karbon melalui rehabilitasi seluas 50 ha hutan mangrove, dan meningkatnya SHU anggota koperasi dari Rp 3 juta menjadi Rp 20 juta, serta pendapatan tiket masuk hingga 50-65 juta/bulan. Meskipun demikian, pandemi COVID-19 cukup menghantam kondisi industri pariwisata, termasuk kawasan Belitung Mangrove Park. Pengelola berupaya untuk terus berinovasi melalui penerapan protokol kesehatan dan mengembangkan alternatif kegiatan ekonomi lainnya, seperti kegiatan budidaya yang sebelumnya sudah berjalan dengan baik.

Media contact:
Kevin Simon – Communication Officer LCDI
HP: 082258565533
Email: communication@lcdi-indonesia.id

WhatsApp Image 2020-08-24 at 18.51.54

Bappenas Kawal Pelaksanaan Pembangunan Rendah Karbon di Provinsi Bali

#Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Dr. Ir. Medrilzam, MPE membuka dan menghadiri acara Peluncuran dan Sosialisasi Rencana Pembangunan Rendah Karbon Provinsi Bali

#Acara dihadiri seluruh pemangku kepentingan terkait, sebagian melalui pertemuan terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat dan sebagian melalui komunikasi daring.

Jakarta, 6 Agustus, 2020 – Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas membuka secara resmi Peluncuran dan Sosialisasi Rencana Pembangunan Rendah Karbon (RPRKD) di tingkat Provinsi dan 9 Kabupaten/Kota Provinsi Bali sebagai bagian dari Nota Kesepahaman Bersama (NKB) antara Bappenas dan Provinsi Bali yang telah ditandatangani pada 14 Januari 2020 di Bali.

Kehadiran Bappenas dalam acara ini menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam menjalankan visi-misi dan arahan Presiden yang diterjemahkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024. Khususnya visi Presiden No.4, yaitu “Mencapai Lingkungan Hidup Berkelanjutan” kemudian dijalankan melalui Prioritas Nasional (PN) No.6, yaitu “Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim” dan diturunkan menjadi Prioritas Pembangunan (PP) No.3 yaitu Pembangunan Rendah Karbon yang terdiri dari Kegiatan Prioritas (KP): KP1 Pembangunan Energi Berkelanjutan; KP2 Pemulihan Lahan Berkelanjutan; KP3 Penanganan Limbah; KP4 Pengembangan Industri Hijau; dan KP5 Rendah Karbon Pesisir dan Laut.

“Di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung saat ini, Bappenas terus mengawal pelaksanaan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial melalui kegiatan pembangunan beremisi Gas Rumah Kaca (GRK) rendah dan optimalisasi eksploitasi SDA,” ujar Dr. Ir. Medrilzam, MPE, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Bali yang diwakili oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), I Wayan Wiasthana Ika Putra, S.Sos., M.Si, mengatakan: “Kami berharap dengan penerapan paradigma pembangunan baru, yaitu Pembangunan Rendah Karbon, beberapa persoalan mendasar seperti sektor air, kelautan dan pesisir, serta persampahan dapat diatasi dengan lebih baik.”

Saat ini provinsi Bali menghadapi masalah yang serius di ketiga bidang tersebut. Di sektor air, terdapat potensi bahaya kekeringan pada periode proyeksi 2020-2034 dengan tingkat kekeringan yang sangat tinggi. Potensi bahaya penurunan ketersediaan air pada periode proyeksi 2020 hingga 2045 menunjukkan bahwa Provinsi Bali memiliki tingkat penurunan ketersediaan air yang tinggi.

Di sektor kelautan dan pesisir, secara umum, perairan laut Bali akan mengalami kenaikan tinggi gelombang setinggi > 1m. Terakhir, di sektor persampahan setiap harinya provinsi Bali menghasilkan 4.281 ton timbunan sampah (terdiri dari 51% rumah tangga, 21% non rumah tangga, dan 14% sektor pariwisata).

Sementara itu, Kepala Badan Riset dan Inovasi Daerah Provinsi Bali, Ir. I Made Gunaja, M.Si. menyambut baik rencana pelaksanaan Pembangunan Rendah Karbon di provinsi Bali. Salah satunya adalah karena lembaganya juga sedang menyiapkan sebuah rencana induk (masterplan) pengelolaan sampah yang sesuai dengan Kegiatan Prioritas 3 (KP3) Penanganan Limbah. “Visi-misi kami dalam pengelolaan limbah sangat sejalan dengan semangat Pembangunan Rendah Karbon (PRK), dimana saat ini Provinsi Bali sedang menyusun masterplan pengelolaan limbah yang akan selesai dalam waktu dekat,” tegas Ir. I Made Gunaja, M.Si.

Di bagian lain, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Ir. Medrilzam juga mengingatkan pentingnya semangat untuk menerapkan kebijakan yang komprehensif bersifat jangka menengah dan jangka Panjang, tidak hanya sekedar adopsi Normal Baru (new normal), tetapi membangun dengan lebih baik (Build Back Better/BBB). Build Back Better bertujuan untuk menghindari terjadinya kondisi kerentanan semula (yang lama) dan menjadikan proses pemulihan sebagai transformasi menuju arah yang lebih baik yang mencakup transformasi sosial, ekonomi dan lingkungan.

Terdapat 5 Komponen utama dalam Nota Kesepahaman Bersama/NKB antara Kementerian PPN/Bappenas dan Provinsi Bali dalam PRK, yaitu: 1. Penyiapan integrasi kebijakan PPRK di daerah, 2. Penyusunan dokumen RPRKD, 3. Penguatan sistem pemantauan, evaluasi dan pelaporan melalui AKSARA, 4. Peningkatan kapasitas ASN terkait PPRK di daerah, dan 5. Dukungan terhadap penyiapan kegiatan PPRK untuk mendapat dukungan pembiayaan.

Saat ini 7 (tujuh) provinsi telah menandatangani NKB tentang Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) yaitu: 1. Sulawesi Selatan, 2. Jawa Tengah, 3. Jawa Barat, 4. Papua Barat, 5. Papua, 6. Bali, dan 7. Riau

-selesai-

Narahubung:
Kevin Simon
Sekretariat LCDI
communication@lcdi-indonesia.id
HP: 082258565533

person-holding-clear-plastic-bottle-3480494

Aksi Rendah Karbon: Belajar Mengelola Limbah di Tengah Pandemi

Sejak bulan April, media massa kita dipenuhi dengan berita-berita seputar Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Tidak bisa dimungkiri bahwa kini masyarakat dunia tengah menghadapi ancaman besar dari virus tersebut. Berbagai antisipasi pun dilakukan, dari mulai cuci tangan, penggunaan hand sanitizer, penyemprotan desinfektan, penggunaan masker, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Isu terkait lingkungan pun secara tidak langsung ikut terangkat di tengah pemberitaan di masyarakat. Berdasarkan hasil monitoring, pemberitaan dengan kata kunci Pengelolaan Limbah dan sampah, serta emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mendominasi beberapa pekan terakhir. Apakah hal tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat mulai peduli dengan masalah pengelolaan limbah dan emisi GRK?

Limbah plastik dan medis tenyata adalah dua isu yang paling sering dibahas di dalam pemberitaan media saat ini. Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dr.Ir. Novrizal Tahar pernah menyatakan dalam salah satu pidatonya bahwa kepedulian masyarakat akan pengelolaan limbah plastik masih sangat rendah. Masyarakat peduli sampah, namun minim aksi.

Pembangunan Rendah Karbon (PRK) yang merupakan upaya pemerintah dalam menghadapi dampak ekstrim perubahan iklim, memang tidak bisa terlaksana dengan baik tanpa adanya kerjasama dari berbagai pihak. Pengelolaan limbah yang dimulai dari lingkungan terkecil (rumah tangga) adalah salah satu bentuk dari aksi rendah karbon yang secara tidak langsung turut mendukung upaya pemerintah dalam keberhasilan Pembangunan Rendah Karbon. Bagaimana usaha masyarakat untuk turut andil?

Webinar-speaker-01

LCDI Talk Bahas Masalah Iklim Bersama Generasi Muda

#Program LCDI Talk dari Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon Indonesia atau Low Carbon Development Indonesia (LCDI) membahas peran generasi muda (khususnya mahasiswa) dalam memerangi perubahan iklim.
#Webinar mengetengahkan pentingnya aksi nyata generasi muda di lapangan dalam mempraktikan gaya hidup rendah karbon yang ramah lingkungan dalam menghadapi dampak langsung perubahan iklim.

Jakarta, 22 Juli, 2020 – Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon atau LCDI (Low Carbon Development Indonesia membahas peran aksi generasi muda dalam memerangi perubahan iklim dengan membumikan dan mempopulerkan gaya hidup rendah karbon.

Sebagaimana diketahui, krisis iklim yang telah hadir di depan mata adalah akibat langsung dari pola atau gaya hidup yang tidak berkelanjutan dan cenderung eksploitatif dan tinggi emisi. Khususnya yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan pembukaan dan pengalihan lahan menjadi kawasan industri, pertanian, perkebunan dan hunian. Ditambah kegiatan-kegiatan industri, produksi energi berbahan bakar fosil, limbah dan sampah, transportasi, dan kerusakan ekosistem laut untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang berlebih.

Timbulnya kerentanan dan dampak langsung dari perubahan iklim dapat dikurangi melalui tindakan-tindakan pencegahan (mitigasi) dan adaptasi agar masyarakat ketahanan terhadap perubahan iklim yang terjadi (climate resilience).

“Generasi muda adalah pemilik masa depan, namun demikian perubahan iklim bisa menyebabkan kesulitan dan kerentanan kehidupan, karena faktanya emisi karbon dan perubahan iklim telah berdampak pada terjadinya bencana dan penurunan kualitas lingkungan di Indonesia,” ujar Irfan Darliazi, SE, MEPE, staf perencana Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas dalam keynote speech-nya.

Senada dengan Irfan, Dr. Hendricus Andy Simarmata, Ketua Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAPI) yang juga ahli perencanaan kota, mitigasi dan perubahan iklim, serta staf pengajar di Sekolah Kajian Strategic dan Global (SKSG) mengatakan: “Dampak perubahan iklim harus dilihat sebagai peluang momentum titik balik menata gaya hidup rendah karbon, bukan menganggapnya sebagai tambahan persoalan baru.”

Dr. Andy juga menyoroti untuk menumbuhkan rasa krisis atau sense crisis perubahan iklim bagi semua pihak, baik pemerintah, kelompok masyarakat, atau kalangan dunia usaha. Sehingga dalam aksi di tingkat lapangan dan tatanan berkegiatan sehari-hari akan timbul dorongan untuk mengatasi krisis perubahan iklim secara bersama-sama. Khusus untuk generasi muda, Dr. Andy mendorong generasi muda untuk mengambil bagian dengan memanfaatkan bonus teknologi dan kemudahan berkomunikasi di era ultra modern ini dengan membangun narasi intelektual dan memasyarakatkan gaya hidup rendah karbon. 

Sementara itu, Priyaji Agung Pambudi, S.Pd, M.Si, Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (Himpasiling UI) menekankan pentingnya generasi muda membangun aliansi strategis dalam bentuk kelompok-kelompok kajian dan aksi memerangi perubahan iklim. 

“Generasi muda harus segera bergerak dan lebih banyak mengambil keputusan bersama mengatasi permasalahan yang timbul akibat perubahan iklim – termasuk pemasyarakatan dampak perubahan iklim dan aksi nyata untuk memeranginya di kehidupan sehari-hari.” 

Di bagian akhir, Irfan menambahkan bahwa arah kebijakan pembangunan jangka menengah dan panjang yang dianjurkan pemerintah harus dapat memenuhi tujuan pembangunan ekonomi, sistem kesehatan, ketahanan pangan,  serta penanganan bencana lingkungan yang lebih tangguh di masa depan dimana komponen generasi muda diharapkan dapat berperan lebih proaktif dan aktif.

-selesai-

Narahubung:
Kevin Simon
Sekretariat LCDI
communication@lcdi-indonesia.id
082258565533

LCDI Talk Bahas Masalah Iklim Bersama Generasi Muda

#Program LCDI Talk dari Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon Indonesia atau Low Carbon Development Indonesia (LCDI) membahas peran generasi muda (khususnya mahasiswa) dalam
memerangi perubahan iklim.

#Webinar mengetengahkan pentingnya aksi nyata generasi muda di lapangan dalam mempraktikan gaya hidup rendah karbon yang ramah lingkungan dalam menghadapi dampak langsung perubahan
iklim.

Jakarta, 22 Juli, 2020 – Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon atau LCDI (Low Carbon Development Indonesia membahas peran aksi generasi muda dalam memerangi perubahan iklim dengan membumikan dan mempopulerkan gaya hidup rendah karbon.

Sebagaimana diketahui, krisis iklim yang telah hadir di depan mata adalah akibat langsung dari pola atau gaya hidup yang tidak berkelanjutan dan cenderung eksploitatif dan tinggi emisi. Khususnya yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan pembukaan dan pengalihan lahan menjadi kawasan industri, pertanian, perkebunan dan hunian. Ditambah kegiatan-kegiatan industri, produksi energi berbahan bakar fosil, limbah dan sampah, transportasi, dan kerusakan ekosistem laut untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang berlebih.

Timbulnya kerentanan dan dampak langsung dari perubahan iklim dapat dikurangi melalui tindakantindakan pencegahan (mitigasi) dan adaptasi agar masyarakat ketahanan terhadap perubahan iklim yang
terjadi (climate resilience).

“Generasi muda adalah pemilik masa depan, namun demikian perubahan iklim bisa menyebabkan kesulitan dan kerentanan kehidupan, karena faktanya emisi karbon dan perubahan iklim telah berdampak pada terjadinya bencana dan penurunan kualitas lingkungan di Indonesia,” ujar Irfan Darliazi, SE, MEPE, staf perencana Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas dalam keynote speech-nya.

Senada dengan Irfan, Dr. Hendricus Andy Simarmata, Ketua Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAPI) yang juga ahli perencanaan kota, mitigasi dan perubahan iklim, serta staf pengajar di Sekolah Kajian Strategic dan Global (SKSG) mengatakan: “Dampak perubahan iklim harus dilihat sebagai peluang momentum titik balik menata gaya hidup rendah karbon, bukan menganggapnya sebagai tambahan persoalan baru.”

Dr. Andy juga menyoroti untuk menumbuhkan rasa krisis atau sense crisis perubahan iklim bagi semua pihak, baik pemerintah, kelompok masyarakat, atau kalangan dunia usaha. Sehingga dalam aksi di tingkat lapangan dan tatanan berkegiatan sehari-hari akan timbul dorongan untuk mengatasi krisis

perubahan iklim secara bersama-sama. Khusus untuk generasi muda, Dr. Andy mendorong generasi muda untuk mengambil bagian dengan memanfaatkan bonus teknologi dan kemudahan berkomunikasi di era ultra modern ini dengan membangun narasi intelektual dan memasyarakatkan gaya hidup rendah karbon.

Sementara itu, Priyaji Agung Pambudi, S.Pd, M.Si, Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (Himpasiling UI) menekankan pentingnya generasi muda membangun aliansi strategis dalam bentuk kelompok-kelompok kajian dan aksi memerangi perubahan iklim.

“Generasi muda harus segera bergerak dan lebih banyak mengambil keputusan bersama mengatasi permasalahan yang timbul akibat perubahan iklim – termasuk pemasyarakatan dampak perubahan iklim dan aksi nyata untuk memeranginya di kehidupan sehari-hari.”

Di bagian akhir, Irfan menambahkan bahwa arah kebijakan pembangunan jangka menengah dan panjang yang dianjurkan pemerintah harus dapat memenuhi tujuan pembangunan ekonomi, sistem kesehatan, ketahanan pangan, serta penanganan bencana lingkungan yang lebih tangguh di masa depan dimana komponen generasi muda diharapkan dapat berperan lebih proaktif dan aktif.

-selesai-

Narahubung:
Kevin Simon
Sekretariat LCDI
communication@lcdi-indonesia.id
082258565533

chart-close-up-data-desk-590022

Kajian Dampak COVID-19 terhadap Implementasi Pembangunan Rendah Karbon

Kementerian PPN/ Bappenas tengah menyusun studi/kajian mengenai COVID-19, salah satunya adalah kajian yang dilakukan Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas, yaitu studi dampak COVID-19 terhadap pelaksanaan Green Economy dan Pembangunan Rendah Karbon.

Berdasarkan hasil sementara kajian tersebut, dengan asumsi kondisi ekonomi mulai pulih dan membaik di tahun 2021, maka emisi diperkirakan akan kembali meningkat dan berisiko menimbulkan lonjakan seiring dengan laju aktivitas perekonomian yang meningkat. Pada fase new-normal dan pemulihan, Pemerintah masih memfokuskan pembangunan pada upaya recovery ekonomi, sistem kesehatan, sosial dan bencana, sehingga upaya Pembangunan Rendah Karbon belum menjadi fokus utama. Hal tersebut kemudian berdampak pada kinerja upaya penurunan emisi GRK pada tahun 2021 yang diperkirakan berada pada level 23,5% – 24,05% dibandingkan baseline emisi GRK di tahun 2021 atau kinerja menurun sekitar 1,8% dibandingkan dengan 2020.

Berkaitan dengan hal tersebut, anggaran pemerintah akan lebih banyak difokuskan untuk penanganan pandemi, dan menyebabkan aksi pembangunan rendah karbon tidak bisa diimplementasikan secara optimal. Di sisi lain, penurunan emisi telah ditetapkan sebagai salah satu sasaran dalam Kerangka Ekonomi Makro, sehingga untuk mewujudkan target penurunan emisi dalam RPJMN 2020-2024 (sekitar 27% pada tahun 2024), maka implementasi pembangunan rendah karbon perlu dilakukan secara full recovery mulai tahun 2022, dan perlu adanya upaya carryover dari target tahun 2020 dan 2021.

Hasil sementara kajian tersebut masih perlu dielaborasi lebih lanjut melalui kajian yang lebih komprehensif, dan nantinya diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mendesain kebijakan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang untuk menciptakan lapangan kerja, mengeskalasi sistem kesehatan, menjamin sistem ketahanan pangan dan meningkatkan ketahanan terhadap bencana di masa mendatang. Dengan demikian, strategi untuk membangun kembali di masa pandemi akan sangat bergantung pada implementasi kebijakan di berbagai sektor, termasuk pada sektor energi, sektor transportasi, sektor kehutanan, sektor pertanian, sektor pesisir dan laut, dan sektor limbah.

narasumber

Bappenas Dorong Pembangunan Rendah Karbon Masuki New Normal dan Pasca Pandemi Covid-19

#Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/ Bappenas yang diwakili oleh Direktorat Lingkungan Hidup, Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (LCDI), dan UK Climate Change Unit, British Embassy Jakarta menyelenggarakan webinar bertajuk “Build Back Better: Pemulihan Ekonomi dan Sosial pasca Covid-19 melalui Pembangunan Rendah Karbon”

#Webinar yang dihadiri lebih dari 2,500 peserta dari seluruh Indonesia mengetengahkan pentingnya pemulihan ekonomi dan sosial secara berkelanjutan melalui pembangunan rendah karbon untuk meningkatkan ketangguhan dan membangun kembali masa depan yang lebih baik.

Jakarta, 28 Mei, 2020 – Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mendorong pembangunan kembali lebih baik (Build Back Better) di masa New Normal Covid-19 melalui Pembangunan Rendah Karbon (Low Carbon Development Initiative/ LCDI).  Hal ini sangat penting untuk menghindari terjadinya kondisi kerentanan semula dan menjadikan proses pemulihan sebagai transformasi sosial, ekonomi dan lingkungan menuju arah yang lebih baik, sekaligus meningkatkan ketangguhan terhadap dampak perubahan iklim di masa mendatang.

“Diperlukan upaya pemulihan ekonomi dan sosial berbasis strategi kebijakan berkelanjutan, terutama implementasi pembangunan rendah karbon untuk mengantisipasi pulihnya perekonomian nasional dan dunia yang tinggi emisi (carbon intensive industries),” ujar Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Ph.D, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas dalam pembukaan webinar. 

Arifin menambahkan bahwa pemerintah menyadari perlunya ditempuh unprecedented policies atau kebijakan yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk mengatasi keadaan krisis yang dihadapi Indonesia saat ini.  Yaitu memutus rantai penularan virus Covid-19, sambil melakukan tindakan pengamanan sosial dan kesehatan secara simultan serta intervensi ekonomi secara maksimal, maka perekonomian dan kehidupan sosial Indonesia akan lebih cepat pulih dan kembali normal.

Krisis ekonomi dan sosial yang disebabkan Covid-19 telah membawa perubahan mendasar pada prioritas pembangunan Indonesia. Dimana sepanjang tahun 2020 akan berfokus pada penanggulangan pandemi, jaring pengaman sosial, dan menjaga stabilitas ekonomi.  Sedangkan pada tahun 2021 akan berfokus pada percepatan pemulihan ekonomi dan reformasi sosial.  

Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor-Leste, H.E. Owen Jenkins, menyatakan: “Pemerintah Inggris melalui UK Climate Change Unit mendukung usaha bersama pemerintah Indonesia dan para pihak termasuk dunia usaha dan sektor swasta untuk bersama-sama menanggulangi ancaman global terhadap kehidupan dan generasi kita yaitu pandemic Covid-19 dan disaat yang sama juga menanggulangi ancaman sangat mendesak atas lingkungan dan perubahan iklim.”

“Hal penting lainnya, Pemerintah Inggris memahami bahwa pemulihan paska Covid-19 memerlukan dukungan nasional dan internasional, tidak hanya dari sisi keuangan namun juga dari sisi pilihan -pilihan kebijakan yang akan mendukung stimulasi pemulihan. Pembangunan rendah karbon sebagai bagian dari build back better memberikan peluang investasi dan pilihan-pilihan kebijakan yang dapat membantu untuk menuju kepada masa depan lingkungan yang lebih bersih, hijau dan berkelanjutan,” Owen menambahkan.

Menurut Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Dr. Ir. Medrilzam, MPE yang menjadi pembicara utama diperlukan kebijakan komprehensif yang bersifat jangka menengah dan jangka panjang, tidak sekedar adopsi Normal Baru (New Normal), tetapi sekaligus mengatasi ancaman bencana yang ada di hadapan mata yaitu perubahan iklim.

“Diperlukan Normal Baru dengan membangun kembali Indonesia yang lebih baik (build back better) dengan mempertahankan momentum agenda pembangunan berkelanjutan 2030,” tambah Medrilzam.

Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas menyampaikan beberapa solusi pemulihan build back better dalam Normal Baru, yaitu:  Stimulus ekonomi jangka panjang harus di desain untuk membangun ekonomi yang lebih kuat, menjamin kesehatan dalam jangka panjang, menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih baik (green jobs), menanggulangi perubahan iklim, sekaligus membangun masyarakat yang tangguh di masa mendatang

Kemudian mendorong stimulus fiskal ekonomi hijau yang inklusif untuk menciptakan model bisnis yang rendah karbon dan berkelanjutan; Pemanfaatan dana publik untuk investasi di sektor yang mendukung perekonomian sekaligus rendah emisi dan berkelanjutan; Mengintegrasikan risiko dan peluang iklim ke dalam sistem keuangan serta aspek-aspek penyusunan kebijakan publik dan infrastruktur. Dan Transisi dari pola business as usual yang tinggi emisi menuju pembangunan yang berkelanjutan dan rendah karbon.

Di bagian akhir, Medrilzam mengatakan: “Indonesia memiliki platform build back better untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta mengintegrasikan dengan kebijakan penanggulangan perubahan iklim melalui Pembangunan Rendah Karbon.”

Dalam diskusi webinar ini diketengahkan 5 (lima) sektor yang dapat menopang proses pemulihan ekonomi dan sosial berbasis pembangunan rendah karbon, masing-masing dari pengelolaan sektor energi, transportasi umum, hutan, pertanian, dan limbah.

Hadir sebagai keynote speaker adalah Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Ph.D, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas dan H.E. Owen Jenkins, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor-Leste.  Sedangkan sebagai penanggap materi menghadirkan Prof. Dr. Arif Satria, SP, MSi, Rektor IPB; Paul Butarbutar, Direktur Eksekutif, METI (Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia); Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE (Center Of Reform On Economics) Indonesia; dan Brigitta Isworo Laksmi, Wartawan Senior dan Pegiat Lingkungan.                   

-selesai-

Narahubung:
Kevin Simon
Sekretariat LCDI
communication@lcdi-indonesia.id
082258565533