composition-compost-made-rotten-food

Kelola Mubazir Pangan/Food Loss and Waste (FLW) untuk Mendukung Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Sirkular di Indonesia

Pandemi COVID-19 telah membuka mata seluruh dunia terhadap berbagai masalah yang timbul secara sistemik terhadap sistem ekonomi dan tatanan sosial, termasuk Indonesia. Meski tatanan ekonomi mengalami gejolak selama pandemi berlangsung, permintaan terhadap bahan pangan relatif sama. Masyarakat Indonesia justru memerlukan konsumsi pangan yang sehat dan bergizi untuk meningkatkan daya tahan selama masa pandemi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 8,34 persen penduduk Indonesia kekurangan pangan pada 2020. Jumlah ini meningkat 0,71 persen dari tahun sebelumnya. Tak hanya itu, pada tahun 2021, Global Food Security Index yang mengukur indeks ketahanan pangan di beberapa negara menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-69 dari 113 negara dan berada di bawah negara ASEAN lainnya, turun empat peringkat dari posisi  pada tahun sebelumnya.

Isu Kehilangan Pangan dan Sampah Makanan di Indonesia

Kontras dengan kondisi di atas, mulai dari permintaan bahan pangan yang konstan di masa krisis pandemi hingga rendahnya tingkat ketahanan pangan, Indonesia masih terus berkutat dengan isu sampah yang kian serius, termasuk kehilangan pangan (food loss) dan sampah makanan (food waste). Pada tahun 2021, proyeksi timbulan sampah nasional mencapai lebih dari 60 juta ton per tahun. Sebanyak 53,92% timbulan sampah tersebut merupakan sampah organik yang terdiri dari sampah makanan (39,93%) dan dedaunan, ranting, dan kayu (13,99%). Sampah makanan memang mudah terdekomposisi. Namun, apabila tidak dikelola dengan baik dan benar, sampah makanan dapat memberikan problematika tersendiri yang memengaruhi berbagai aspek, baik lingkungan, ekonomi, dan sosial. 

Bicara tentang food loss and waste (FLW) atau biasa dikenal di Indonesia dengan mubazir pangan, Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan food loss sebagai kehilangan pangan yang terjadi pada tahap produksi hingga tahap pengemasan, sedangkan food waste adalah pangan yang terbuang saat proses distribusi dan konsumsi. Sebagai contoh, buah yang rusak di gudang penyimpanan adalah food loss, sementara sisa makanan di piring adalah food waste. Dalam skala global, diperkirakan sepertiga dari pangan yang diproduksi untuk konsumsi manusia terbuang atau mubazir antara proses panen sampai rumah. Selain itu, mubazir pangan juga menyumbang sekitar 4,4 gigaton emisi gas rumah kaca di setiap tahunnya. Pada tahun 2017, Indonesia bahkan diklaim sebagai negara dengan mubazir pangan terbesar kedua di dunia dengan timbulan yang diperkirakan mencapai 300 kg per kapita per tahunnya. 

Menyikapi isu ini, pada tahun 2015, isu FLW atau mubazir pangan telah menjadi bagian dari Tujuan Pembangunan Bersama atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs), yaitu “Pada tahun 2030, dapat mengurangi separuh food waste per kapita di tahap distribusi dan konsumsi dan mengurangi food loss di tahap produksi dan sepanjang rantai pasok, termasuk kehilangan di pascapanen”. 

Bagaimana Pemerintah Indonesia Menyikapi Isu FLW?

Sebagai negara yang turut serta menyepakati agenda pembangunan global tersebut, Indonesia juga telah memperkuat komitmen pengelolaan FLW melalui kebijakan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, khususnya pada Prioritas Nasional (PN) 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim, dengan beberapa program prioritas yaitu Pertanian Berkelanjutan, Pengelolaan Limbah dan Ekonomi Sirkular yang mendorong kebijakan pengelolaan food loss and waste secara lebih berkelanjutan. Secara khusus, Indonesia juga telah berkomitmen untuk mengurangi dan melakukan pengelolaan sampah, termasuk sampah makanan, sebesar 30% target pengurangan dan 70% target penanganan pada 2025 mendatang melalui skema Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga (JAKSTRANAS). 

Sebagai langkah awal transformasi pengelolaan FLW di Indonesia, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian PPN/Bappenas, bekerja sama dengan Foreign, Commonwealth, and Development Office, Pemerintah Inggris, World Resources Institute (WRI), dan Waste4Change dalam menyusun “Kajian Food Loss and Waste di Indonesia” yang telah diluncurkan pada Juni 2021 lalu. Kajian ini bertujuan mengetahui baseline timbulan FLW selama 20 tahun terakhir, dampaknya terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, serta rekomendasi strategi pengelolaan FLW yang berkelanjutan. Dengan hasil analisis yang bersifat evidence-based, kajian tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman dan referensi bagi para pengambil kebijakan dalam implementasi dan pencapaian target-target Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Indonesia. 

Dalam kajian tersebut, diketahui bahwa timbulan FLW di Indonesia pada tahun 2000–2019 adalah sebesar 23-48 juta ton/tahun (Gambar 1), atau setara dengan 115–184 kg/kapita/tahun. Total timbulan FLW ini berasal dari lima tahap rantai pasok pangan, yaitu (1) tahap produksi, (2) tahap pasca-panen dan penyimpanan, (3) tahap pemrosesan dan pengemasan, (4) tahap distribusi dan pemasaran, dan (5) tahap konsumsi. 

Estimasi timbulan FLW tersebut dilakukan dengan menganalisis data-data primer dan sekunder, seperti data Neraca Bahan Makanan (NBM) dan data survei timbulan sampah. Adapun titik kehilangan kritis yang menunjukkan timbulan FLW tertinggi ada pada tahap konsumsi, dengan timbulan food waste sebesar 5 – 19 juta ton/tahun. Jika ditinjau dari sisi jenis pangan, sektor tanaman pangan, tepatnya padi-padian, menjadi kontributor terbesar timbulan FLW, yakni sebesar 12,21 juta ton/tahun. Sementara itu, jenis pangan yang paling tidak efisien adalah sektor hortikultura, terutama sayur-sayuran yang kehilangannya mencapai 62,8% dari seluruh suplai domestik sayur-sayuran di Indonesia. Artinya, sayur-sayuran yang diproduksi lebih banyak terbuang daripada dikonsumsi.

Dampak FLW di Indonesia

Berdasarkan hasil kajian, teridentifikasi 10 penyebab langsung dan 18 pendorong tidak langsung timbulnya FLW di Indonesia. Lima penyebab dan pendorong utama diantaranya terdiri dari (1) kurangnya implementasi Good Handling Practice (GHP), (2) kualitas ruang penyimpanan yang kurang optimal, (3) standar kualitas pasar dan preferensi konsumen, (4) kurangnya informasi/edukasi pekerja pangan & konsumen, serta (5) kelebihan porsi dan perilaku konsumen.  Selama 20 tahun (2000-2019), timbulan FLW di Indonesia telah memberikan dampak terhadap  aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial sebagai berikut:

a. Dampak Lingkungan FLW: Emisi Gas Rumah Kaca 

Dampak lingkungan FLW terhadap potensi pemanasan global dari gas rumah kaca (GRK) telah dianalisis menggunakan metode  Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2013 dengan dukungan  33.280 data yang dikumpulkan dari 2.025 sumber. Ternyata, rata-rata emisi yang dihasilkan satu ton FLW adalah sebesar 2.324,24 kg CO2-ek. Sementara itu, total potensi dampak pemanasan global yang dihasilkan dari FLW di Indonesia selama 20 tahun (2000-2019) (Gambar 2) diestimasikan sebesar 1.702,9 Mton CO2-ekuivalen dengan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca dalam rantai pasok, yaitu tahap konsumsi (58%), dalam sektor pangan yaitu tanaman pangan (39,67%) dan dalam kategori pangan yaitu padi-padian (35,27%). Adapun rata-rata emisi gas rumah kaca dari FLW selama 20 tahun (2000-2019) diperkirakan setara dengan 7,29% dari rata-rata emisi Gas Rumah Kaca Indonesia.

b. Dampak Ekonomi FLW: Potensi Kehilangan Ekonomi

Timbulan FLW 2000-2019 diestimasikan memberikan dampak pada ekonomi berupa kehilangan Produk Domestik Bruto Indonesia sebesar 4%-5% atau setara dengan 213 – 551 triliun Rupiah per tahun. Nilai kehilangan ekonomi paling besar terjadi di sektor tanaman pangan (Gambar 3), tepatnya di kategori padi-padian sebesar 88-155 triliun Rupiah per Tahun. 

c. Dampak Sosial FLW: Kehilangan Kandungan Zat Gizi 

Timbulan FLW di Indonesia sebesar 23–48 juta ton/tahun pada tahun 2000-2019 menyebabkan terjadinya kehilangan kandungan zat gizi, yakni  kehilangan kandungan energi, protein, vitamin A, dan zat besi. Kehilangan energi akibat FLW pada tahun 2000-2019 sebesar 618 – 989 kkal/kapita/hari setara dengan porsi makan 61 – 125 juta orang per tahun. Kandungan protein yang hilang dari FLW adalah sebesar 18 – 32 gram/kapita/hari atau setara dengan kebutuhan protein 68 – 149 juta rata-rata orang per tahun. Angka ini mencakup kebutuhan 30-50% populasi Indonesia). Sementara itu, kehilangan vitamin A akibat FLW adalah sebesar 360 – 953 Ug RE/kapita/hari yang setara dengan kebutuhan vitamin A 134 – 441 juta orang per tahun (63-166% populasi Indonesia). Terakhir, kandungan zat besi yang hilang dari FLW yaitu sebesar 4 – 7 mg/kapita/hari atau setara dengan kebutuhan zat besi 96 – 189 juta orang per tahun (46 – 72% populasi Indonesia).

Strategi Pengelolaan Food Loss and Waste di Indonesia

Apabila dampak multidimensi dari timbulan FLW ke depannya tidak dikendalikan, berdasarkan proyeksi 25 tahun ke depan, timbulan FLW Indonesia pada tahun 2045 diestimasi dapat mencapai 112 juta ton/tahun (setara dengan 344 kg/kapita/tahun). Untuk itu, dalam rangka mendukung penerapan Ekonomi Sirkular dan Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia, Kajian Food Loss and Waste di Indonesia telah mengidentifikasi strategi pengelolaan FLW yang dikelompokkan dalam 5 arah kebijakan. 

Pertama, Perubahan Perilaku. Strategi ini dapat berfokus pada 1) pengembangan Lembaga Penyuluhan di setiap daerah untuk dapat memberikan sosialisasi serta penyuluhan dan pendampingan kepada pekerja pangan terkait pencegahan dan pengelolaan potensi mubazir pangan; 2) peningkatan kapasitas pekerja pangan dengan memberikan pelatihan dan pemantauan secara berkala; dan (3) edukasi kepada konsumen untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pencegahan, pengurangan, dan pengelolaan FLW. Edukasi bisa dimulai dari pemberian pemahaman arti label pangan ‘baik sebelum’ dan ‘kedaluwarsa’ dan edukasi perubahan perilaku  menyimpan, menyiapkan, dan mengonsumsi makanan secara bijak, seperti menerapkan metode first in first out, yakni mengolah dan mengkonsumsi pangan yang telah dibeli terlebih dahulu dan menyimpan makanan menggunakan wadah/kemasan yang tepat.

Kedua, Pembenahan Penunjang Sistem Pangan. Strategi ini berfokus pada 1) pengembangan korporasi petani yang melibatkan tengkulak, offtaker dan pelaku pangan secara kemitraan untuk untuk dapat memperpendek rantai pasok, memberikan transparansi harga dan melakukan penanganan pangan yang terbuang dan 2) penyediaan infrastruktur dan sarana prasarana, seperti air bersih, listrik, jalan, gudang pendingin, platform sistem pangan dan akses/bantuan ICT (informasi, komunikasi dan teknologi) yang dapat mendukung efisiensi proses produksi pangan. Hal ini juga juga dapat berkontribusi pada pengurangan FLW di tingkat nasional regional serta menguatkan koordinasi antara lembaga terkait isu FLW.

Ketiga, Penguatan regulasi dan optimalisasi pendanaan. Strategi ini berfokus pada 1) optimalisasi  pendanaan tepat guna dan tepat sasaran untuk perbaikan infrastruktur pangan; 2) pengembangan regulasi FLW di tingkat nasional terkait peningkatan efisiensi proses produksi pangan, regulasi terkait food bank, pengelolaan sampah makanan oleh pelaku usaha, serta sistem insentif dan disinsentif pelaku pangan; 3)  pengembangan  kebijakan, panduan dan program level regional terkait strategi pencegahan dan pemanfaatan FLW dengan mempertimbangkan hotspot FLW di masing-masing daerah, dan usaha mengurangi sampah makanan ke TPA atau bocor ke lingkungan; dan 4) penguatan  koordinasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait isu FLW.

Keempat, Pemanfaatan FLW. Strategi ini berupaya untuk mendorong pengembangan platform penyaluran pangan berlebih/ugly food/sisa makanan dalam mencegah terjadinya FLW dan pengelolaan FLW yang mendukung ekonomi sirkular dan pengembangan percontohan pemanfaatan FLW skala kota/kabupaten dengan penerapan pemilahan sampah di sumber. Untuk menjaga agar bahan pangan layak konsumsi tersebut tidak terbuang percuma, beberapa organisasi di Indonesia telah berinisiatif untuk wadahi penyaluran ugly food dan sisa pangan kepada pihak yang membutuhkan, seperti Foodbank of Indonesia (FOI), Garda Pangan dan Food Bank Bandung (FBB)  Di sisi lain, pengelolaan FLW yang optimal di skala kota/kabupaten dapat diupayakan dengan berbagai pilihan teknologi pengolahan FLW, seperti biopori, pengomposan, budidaya black soldier fly (BSF), eco-enzyme, biogas, biodigester, biokonversi dan teknologi alternatif lainnya. Selain itu, FLW juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak.

Kelima, Pengembangan Kajian dan Pendataan FLW. Strategi ini menyoroti perlunya pendanaan timbulan FLW yang terintegrasi dari hulu ke hilir melalui sensus serta pengembangan kajian untuk melengkapi data FLW di Indonesia.

Untuk menyukseskan kelima strategi di atas dan mendorong implementasi Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Sirkular melalui pengelolaan food loss and waste,  Pemerintah Indonesia tidak bisa bergerak sendiri. Kolaborasi aktif dari seluruh pihak yang terlibat sangat diperlukan untuk memberikan hasil yang bermakna dan konkret untuk Indonesia. Nantinya, tentu akan ada berbagai tantangan dan peluang yang perlu dihadapi.  Namun, kita perlu optimis bahwa melalui kolaborasi seluruh stakeholders dari hulu hingga hilir rantai pasok pangan serta perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi pangan, Indonesia dapat mencapai kedaulatan  pangan serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat mengakses kajian FLW di Indonesia disini.

Editor:

Anggi Pertiwi Putri, Caroline Aretha Merylla, Asri Hadiyanti Giastuti

Puluhan rumah yang berdiri di dinding tanah yang tergerus longsor masih berdiri di tepi Kali Pesanggrahan, tepatnya di Jalan Usman Bontong RT 003 RW 002, Pasir Putih, Sawangan, Depok, Senin, 6 Desember 2021. Bencana longsor secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi perubahan iklim. TEMPO/Subekti.

Bappenas Prediksi Kerugian Akibat Perubahan Iklim Rp 544 T, Begini Rinciannya

TEMPO.COJakarta -Hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun.

Hasil kajian dari Kementerian PPN/Bappenas yang dimaksud berfokus pada potensi kerugian ekonomi di Indonesia sebagai dampak dari perubahan iklim.

Hasilnya menunjukkan Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim, jika intervensi kebijakan tidak dilakukan atau business as usual.

“Potensi kerugiannya sudah dihitung sampai 2024, dan diperkirakan kerugian ekonomi akibat berbagai [yang dipicu oleh] perubahan iklim cukup besar. Ini yang harus kita antisipasi bagaimana kita mengurangi potensi kerugian,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam pada webinar, Kamis, 6 Januari 2022.

Secara rinci, empat sektor prioritas diperkirakan bisa mengalami kerugian yang cukup signifikan. Pertama, dampak terhadap pesisir dan laut yang diperkirakan memiliki tingkat kerugian di sisi ekonomi paling tinggi. Misalnya, kecelakaan kapal dan genangan pantai. Bappenas memperkirakan kerugian akibat dampak perubahan iklim pada sektor ini mencapai Rp 408 triliun.

Kedua, sektor pertanian. Contoh kerugian ekonomi yang bisa ditimbulkan akibat perubahan iklim adalah penurunan produksi beras. Total kerugian diperkirakan sebesar Rp 78 triliun.

Ketiga, sektor kesehatan, dimana contoh kerugian yang diperkirakan oleh Bappenas yaitu peningkatan kasus demam berdarah dengan total kerugian di sisi ekonomi mencapai Rp 31 triliun.

Keempat, sektor perairan. Bappenas memperkirakan dampak perubahan iklim bisa memicu penurunan ketersediaan air hingga mencapai Rp 28 triliun.

Medrilzam menyampaikan bahwa Indonesia saat ini sudah menghadapi ancaman bencana akibat perubahan iklim. Dalam paparannya, dia menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir bencana yang kerap terjadi didominasi oleh bencana hirometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat bahwa bencana hidrometeorologi pada 2020, tahun pertama pandemi Covid-19, mencapai 4.842 kejadian, atau meningkat 2,4 kali dibandingkan dengan 2010.

Selain itu, selama periode 2010-2020, rata-rata kerugian ekonomi yang dialami oleh Indonesia akibat bencana hidrometeorologi setiap tahunnya yaitu sebesar Rp 22,8 triliun.

“Catatan dari BNPB, tahun 2020 hampir 99 persen bencana yang terjadi di Indonesia adalah yang terkait dengan hidrometeorologi yang relatif mendominasi. Tentunya, ini sangat terkait dengan perubahan iklim,” terang Medrilzam.

screenshot-majalah.tempo.co-2021.12.20-12_02_20

SELAMATKAN BUMI MELALUI CIRCULAR EKONOMI

Penggunaan sumber daya alam akan berkurang dan bisa menyelamatkan bumi dengan mengurangi emisi.

Tempo, Indonesia saat ini tengah menuju penerapan ekonomi sirkular. Pada Februari 2020, pemeritah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas bekerjasama dengan UNDP yang didukung Pemerintah Denmark meluncurkan gagasan baru pengembangan Ekonomi Sirkular di Indonesia.

Melalui inisiatif ini, Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengadopsi strategi nasional tentang ekonomi sirkular. Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam, mengatakan, ekonomi sirkular adalah upaya untuk memperpanjang umur siklus dari sebuah produk.

“Kita ingin agar terjadi semacam efisiensi didalam menggunakan sumber daya alam yang selama ini kita terus mengeksploitasi sumber daya alam untuk menghasilkan berbagai produk dan diupayakan kedepan sircular economy ini kita coba perpanjang umur siklus produknya,” kata Medrilzam dalam diskusi road to Tempo Circular Economy Awards, dengan judul “Praktik Circular Economy Industri di Indonesia”, yang disiarkan melalui YouTube Tempodotco, Jumat, 17 Desember 2021.

Dengan begitu, Medrilzam melanjutkan, penggunaan atau ekstrasi sumber daya alam berkurang. “Jadi kita bisa menyelamatkan bumi kita, mengurangi emisi dan sebagainya”.

Sebab, selain dengan memperpanjang umur siklus sebuah produk, juga mengurangi timbulan sampah atau limbah yang dihasilkan dari berbagai produk. “Jadi hasil dari produk-produk yang sudah tidak dipakai itu dibuang menjadi limbah bagi bumi kita, nah dengan praktek circular economy yang coba kita mulai terapkan ini tidak hanya di industri, tapi juga berbagai kegiatan-kegiatan lain,” ujarnya.

Harapannya, menurut Medrilzam, ada efisiensi dari sumber daya alam dengan mengurangi ekstraksi dan juga mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan selama ini. “Itu dua target besar, bila mana kita ingin mendorong praktek circular ekonomy ini”.

Dalam penerapan ekonomi sirkular di Tanah Air, Bappenas menetapkan 5 sektor industri prioritas yang nantinya akan menerapkan alternatif dari ekonomi linier tradisional (buat, gunakan, buang). Medrilzam menjelaskan lima sektor prioritas tersebut terdiri dari sektor makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, elektronik, dan perdagangan grosir atau eceran yang menggunakan kemasan plastik.

“Jadi lima sektor ini penggerak ekonomi kita, bahkan tenaga kerja yang bergerak di lima sektor ini besar sekali hampir 43 juta orang dan potensi dari kelima sektor ini untuk melakukan circular economy juga besar ternyata,” kata dia.

Penerapan ekonomi sirkular pada lima sektor industri di atas berpotensi menghasilkan tambahan PDB pada kisaran Rp 593642 triliun. Selain itu juga dapat menciptakan sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru hingga tahun 2030 dan penurunan emisi karbon dioksida atau CO2 hingga 126 juta ton.

“Karena itu, kita coba mendorong circular economy ini kita dorong betul, selain itu juga kita ingin perluas lagi lapangan kerjanya. Ini juga merespon sebagaimana kita melakukan sebuah transformasi ekonomi yang di tulang punggung oleh Green economy,” kata Medrilzam. “

Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo, Lucia Karina, mengatakan ekonomi sirkular itu adalah sistem yang melakukan pendekatan ekonomi dengan memaksimalkan kegunaan dan nilai bahan mentah tersebut. Sehingga komponenndan produk yang dipakai itu tidak akan menjadi limbah, tapi bisa dimanfaatkan untuk industri kelanjutannya.

“Kalau kita lihat apa yang dihadapi industri saat ini, selain keuntungan ada kendala yang dihadapi juga lumayan banyak untuk memulai ekonomi sirkular di Indonesia,” kata

Menurut Lucia, ada kendala di infrastruktur persampahan. “Kalau kita bicara konsumen produk, dari hulu sampah tersebut ada di rumah tangga. Infrastruktur pemilahan sampah dari rumah tangga, hanya satu kota yang ada yakni di Surabaya, tapi yg lainnya belum ada,” ujarnya.

Adapun, kendala kedua yakni adanya tumpang tindih dari regulasi yang ada. “Kalau kita ingin memenangkan pertarungan di circular economy itu adalah suatu kolaborasi yang betul-betul strategis, yang saling satu level antara semua pemangku kepentingan. Itu sebetulnya kuncinya,” kata Lucia.

Sebab, Lucia melanjutkan, kalau hanya diberikan pada satu pihak bahwa ini adalah tanggung jawab industri, ini akan terjadi ketimpangan. “Ini yang menurut saya menjadi PR bersama, ayo kita duduk bersama untuk mendorong ekonomi sirkular ini bisa jalan,” ujarnya,

Menurutnya, karena sirkular ekonomi ini akan membawa keuntungan luar biasa pada tiga sektor, yakni perekonomian, lingkungan, dan green jobs. “Kami dari Apindo menyambut baik adanya upaya untuk mendorong circular economy. Karena itu, sirkulasi ekonomi harus kita lakukan mulai sekarang, tanpa ada lagi level-levelan, level pemerintah, industri, swadaya masyarakat, dan lain sebagainya,” kata dia.

Adapun, Senior Brand Manager & Sustainability Champion P&G Indonesia, Ariandes Veddytarro, mengatakan, praktik sirkular ekonomi ini sangat penting untuk dipraktikan oleh pelaku industri, karena ini memberikan dampak positif. Pertama, efisiensi perusahaan.

Kemudian yang kedua, yakni meningkatkan persepsi di masyarakat terhadap perusahaan. Ketiga, yaini kepada lingkungan. “Kita tahu bawasannya dampak dari circular economy ini akan memberikan dampak positif, bumi kita ini adalah satu tempat yang kita tinggali, karena itu ini adalah bentuk tanggungjawab kita untuk menjagga melalui usaha di bidangnya kita masing,” kata dia.

Karena itu, Ariandes melanjutkan, ini menjadi hal yang perlu menjadi pertimbangan pelaku industri untuk menerapkan praktik circular economy dalam bisnisnya. “Di P&G praktik circular economy ini sudah dilakukan dengan memadukan prinsip Sustainability, yang kita terapkan dalam kegiatan operasional perusahaan kami dari hulu ke hilir,” ujarnya.

Director WRI Indonesia Nirarta Samadhi, mengatakan, konsep circular economy ini memang harus diadopsi sesegera mungkin. “Tapi perlu diperkuat dari sisi implementasinya, kita percuma punya rencana bagus tapi kalau tidak bisa dilaksanakan,” kata Nirarta.

Karena itu, untuk melaksanakan hal tersebut harus kolaborasi. Sebab, masing-masing pihak memiliki kelebihan dan potensi yang berbeda-beda, serta saling melengkapi. “Yang harus ditinggalkan adalah egoisme pribadi, karena kita tinggal di bumi yang sama mau siapapun asal kita dan apapun visi kita, kita harus peduli terhadap bumi kita tinggal dan harus bekerja bersama untuk menuju tujuan bersama yaitu melindungi bumi untuk anak cucu kita kedepan,” ujarnya.

WhatsApp-Image-2021-10-31-at-17.30.56

Indonesia-Inggris perkuat komitmen ekonomi hijau melalui rendah karbon

Jakarta (ANTARA) – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas
Suharso Monoarfa menegaskan komitmen Indonesia dan Inggris untuk implementasi ekonomi
hijau serta menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, melalui program
pembangunan rendah karbon.

Suharso menegaskan hal tersebut usai bertemu Menteri Pasifik dan Lingkungan Hidup Inggris
Lord Zac Goldsmith dalam kunjungan kerja ke London, Inggris.

“Kolaborasi Pemerintah Indonesia dan Inggris telah memberikan landasan yang kokoh bagi
Indonesia untuk bergerak menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan melalui berbagai studi
kebijakan,” kata Suharso dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Minggu.

Selama ini, studi kebijakan mengenai pembangunan ekonomi hijau yang berkelanjutan
mencakup food loss and waste, carbon tax, carbon pricing, efisiensi energi, serta keterkaitan
antara keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Kerja sama Indonesia-Inggris dalam kerangka pembangunan rendah karbon yang telah dimulai
sejak 2017, kini memasuki fase transisi ke tahap kedua yang akan dimulai 2022 hingga 2025,
dengan target lebih strategis dan berdampak jangka panjang.

Pada 2019, Kementerian PPN/Bappenas bersama konsorsium penelitian dan mitra
pembangunan mengembangkan laporan berjudul “Perubahan Paradigma Menuju Perekonomian
Hijau di Indonesia”.

Laporan itu memiliki temuan kunci meliputi pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan dapat
menghasilkan tingkat pertumbuhan PDB rata-rata enam persen per tahun, hingga strategi
penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 43 persen pada 2030.

Kemudian, Kementerian PPN/Bappenas mengintegrasikan temuan tersebut ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, salah satunya dengan menjadikan
pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai indikator pembangunan ekonomi makro.

Pada 2021, bersama UK-Foreign, Commonwealth & Development Office dan didukung New
Climate Economy serta World Resources Institute, Kementerian PPN/Bappenas juga telah
menyusun laporan “Ekonomi Hijau untuk Menuju Net-Zero Emissions di Masa Mendatang”.
Laporan tersebut membahas pentingnya Build Back Better, atau komitmen untuk bangkit dari
COVID-19, menuju ekonomi hijau dan untuk mencapai net-zero emissions paling lambat pada
2060.

“Berdasarkan Laporan Ekonomi Hijau yang Bappenas terbitkan bulan ini, skenario net-zero akan
membawa manfaat tambahan dalam hal ekonomi, sosial, dan lingkungan, sebagai upaya yang
tidak terpisahkan dari langkah-langkah pemulihan COVID-19, sekaligus berkontribusi dalam
menjaga suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius yang turut menjadi tujuan bersama Indonesia-Inggris,” kata Suharso

BAPPENAS KAMPANYEKAN PEMBANGUNAN BERKETAHANAN IKLIM (PBI)

JAKARTA Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas kembali meluncurkan dokumen kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) berbahasa Inggris sebagai pedoman penanganan perubahan iklim di Indonesia dan sebagai referensi untuk negara-negara lain di dunia.  Diharapkan publik internasional dapat memahami proses penerapan PBI di Indonesia maupun global.

Implementasi Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan PBI berkontribusi dari tingkat desa ke tingkat global. Dampak perubahan iklim sangat spesifik lokal, sehingga upaya penanganan perubahan iklim harus mampu mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptif masyarakat. PBI secara paralel juga berkontribusi pada pencapaian target-target yang telah ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan (Goal) 13, yaitu Penanganan Perubahan Iklim (Climate Action). Di sisi lain, upaya penanganan perubahan iklim berkontribusi pada pencapaian target global yaitu Paris Agreement dan Sendai Framework.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto dalam paparannya menyampaikan: “Ketahanan iklim nasional adalah salah satu hal terpenting yang terus diupayakan oleh Pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim global yang dampaknya sangat mempengaruhi kehidupan, khususnya pada empat sektor prioritas: kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan – karena kontribusinya yang sangat besar terhadap pendapatan sektor PDB.”

Sementara itu, Kepala Badan Meterologi, Geofisika dan Klimatologi (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa 99% bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi terutama akibat curah hujan yang ekstrem dan lebat. Akibatnya banyak terjadi banjir, puting beliung, dan tanah longsor.

Menteri Bappenas periode 2016 – 2019, Bambang Brodjonegoro menggarisbawahi mengenai  sisa makanan (food waste) yang dapat menimbulkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang sangat serius.

“Sisa makanan kira-kira membentuk 50% timbulan sampah. Jika terurai di landfill bisa menghasilkan gas metana dan menimbulkan emisi GRK,” tegas Bambang dalam paparannya.

Ketahanan iklim menjadi sangat penting karena Indonesia terletak pada garis ekuator dan diapit dua samudera sehingga  tercipta pola iklim dinamis, baik  yang berlangsung cepat (rapid onset) maupun dalam waktu yang relatif panjang (slow onset). Selain kerugian fisik dan material, masyarakat juga berpeluang kehilangan mata pencaharian sebagai dampak negatif dari pola iklim tersebut.

Berdasarkan kajian Bappenas 2019, kerugian ekonomi total untuk empat sektor prioritas ketahanan iklim dalam RPJMN 2020-2024 diperkirakan sebesar Rp 544 triliun, dengan peningkatan 12,8% dari 2020 ke 2024.  Nilai ini belum mempertimbangkan konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah sebagai variabel antara yang menghubungkan antara perubahan iklim dengan kondisi makro ekonomi di level nasional maupun provinsi.

Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2020, Pembangunan Berketahanan Iklim telah menjadi salah satu prioritas nasional (PN) ke 6 (enam) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.

Serial buku PBI ditujukan sebagai rujukan bagi para pihak dalam melaksanakan Prioritas Nasional (PN) ke-6  RPJMN 2020-2024 dan kerangka perencanaan pembangunan nasional berikutnya, yaitu dalam (i) Menyusun perencanaan program dan kegiatan ketahanan iklim; (ii) Panduan pembagian kewenangan bagi Kementerian dan Lembaga (K/L) untuk menghindari duplikasi terkait upaya ketahanan iklim pada sektor prioritas; (iii) Referensi bagi pelaksanaan fungsi monitoring dan evaluasi K/L dalam menilai kontribusi capaian ketahanan iklim terhadap target yang telah ditetapkan dalam RPJMN dan (iv) Panduan penandaan kegiatan ketahanan iklim pada sistem perencanaan, penganggaran dan informasi kinerja (KRISNA).

Dokumen PBI berbahasa Inggris yang diluncurkan oleh Bappenas terdiri dari 6 (enam) serial buku: (i) List of Priority Locations & Climate Resilience Actions; (ii) Institutional Arrangement for Climate Resilience; (iii) The Roles of Non-state Actors in Climate Resilience; (iv) Climate Resilience Funding; (v) Monitoring, Evaluation,& Reporting of Climate Resilience Actions in The Framework of National Development Planning; dan (vi) Summary Executive of Climate Resilience Development Policy.

Untuk proses pemantauan aksi PBI secara nasional, Bappenas mengembangkan sebuah platform/aplikasi berbasis online yaitu AKSARA Pembangunan Berketahanan Iklim. Aplikasi berbasis web ini merupakan sebuah alat bantu bagi pelaku aksi PBI, khususnya untuk Kementerian/Lembaga. AKSARA akan membantu proses perekaman aksi dan perhitungan nilai pengurangan kerugian ekonomi secara otomatis berdasarkan metodologi yang telah disepakati. Dari hasil pelaporan Tahun 2020 pada aplikasi AKSARA, aksi PBI di Indonesia mampu mengurangi kerugian ekonomi sebesar 33,96 triliun rupiah dari target 52,91 triliun rupiah atau sebesar 64,18%. Capaian pengurangan potensi kerugian tersebut merupakan total pencapaian dari empat (4) sektor PBI yaitu Kelautan dan Pesisir sebesar Rp 18,31T, Sektor Air sebesar Rp 0,75T, Sektor Pertanian sebesar Rp 8,38T, dan Sektor Kesehatan sebesar Rp 0,39T. Ke depan, aplikasi ini akan terus dikembangkan dengan sistem dynamic tagging dan diharapkan dapat akan bisa menjadi trend setter dan merekam seluruh aksi PBI hingga level Provinsi, Kabupaten, dan Kota di seluruh Indonesia.

#Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang diluncurkan Kementerian PPN/ Bappenas diharapkan mampu menjadi pedoman pembangunan ketahanan iklim nasional.

#Aksi Ketahanan Iklim adalah tindakan antisipasi  terencana maupun spontan untuk mengurangi nilai potensi kerugian akibat ancaman bahaya, kerentanan, dampak, dan risiko perubahan iklim pada kehidupan masyarakat di wilayah terdampak perubahan iklim.

5f2912e4eb249-menteri-ppn-kepala-bappenas-suharso-monoarfa_665_374_2

Mengenal Ekonomi Sirkular yang Disebut Bisa Tambah PDB RI Rp642 T

VIVA – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas melalui kerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) dan didukung Pemerintah Kerajaan Denmark, merilis laporan soal penerapan ekonomi sirkular pada lima sektor industri.

Hasil studi potensi Ekonomi Sirkular Indonesia itu disampaikan pada acara peluncuran online sekaligus Webinar Nasional bertajuk ‘Ekonomi Sirkular untuk Mendukung Ekonomi Hijau dan Pembangunan Rendah Karbon’.

“Penerapan ekonomi sirkular pada lima sektor industri berpotensi menghasilkan tambahan PDB secara keseluruhan pada kisaran Rp593 triliun sampai dengan Rp642 triliun,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, dikutip Senin 25 Januari 2021.

Studi tersebut berfokus pada lima sektor utama, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil, perdagangan grosir dan eceran (dengan fokus pada kemasan plastik), konstruksi, dan elektronik. Berdasarkan hasil studi, implementasi konsep ekonomi sirkular di lima sektor tersebut dapat menciptakan sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru hingga tahun 2030. 

Model ekonomi sirkular membuka peluang bagi para pelaku ekonomi untuk mengurangi konsumsi bahan, produksi limbah, dan emisi, sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Suharso menilai, model tersebut sudah berhasil diterapkan pada beberapa negara, termasuk Denmark. 

“Implementasi ekonomi sirkular diharapkan dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dan terobosan untuk membangun kembali Indonesia yang lebih tangguh pasca COVID-19,” kata Suharso.

“Misalnya melalui penciptaan lapangan pekerjaan hijau (Green jobs), dan peningkatan efisiensi proses dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya,” ujarnya.

Senada, Menteri Lingkungan Hidup Denmark, Lea Wermelin mengatakan bahwa keberlanjutan adalah inti dari filosofi produksi negara Denmark.

“Kami siap untuk berbagi praktik terbaik tentang penerapan Ekonomi Sirkular, dan berharap Indonesia dapat mengadopsi proses yang sama seiring dengan upaya pembangunan berkelanjutan,” kata Lea.

Sementara itu, Resident Representative UNDP Indonesia Norimasa Shimomura  menekankan, Indonesia bisa mendapat manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang sangat besar dari penerapan ekonomi sirkular.

Menurutnya, model ekonomi sirkular memungkinkan kita mengurangi konsumsi bahan, sampah, dan emisi, dan pada saat yang sama mempertahankan pertumbuhan dan menciptakan lapangan pekerjaan.

“Dengan demikian, model ini mampu menjawab tantangan perubahan iklim dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama perempuan yang rentan, warga lansia, anak-anak, dan masyarakat disabilitas, yang sesungguhnya mampu berperan aktif di komunitas,” ujar Norimasa.

Oleh: Raden Jihad Akbar, Mohammad Yudha Prasetya

Dimuat di VIVA.co.id

geothermal

Implementasi Pembangunan Rendah Karbon Butuh Dana Fantastis

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah mencanangkan pembangunan rendah karbon dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024.

Namun, untuk menguatkan komitmen terhadap rencana pembangunan tersebut, masih terdapat gap pendanaan yang cukup besar.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Medrilzam mengatakan bahwa kebutuhan pendanaan pembangunan rendah karbon mencapai sekitar Rp306 triliun.  

Menurut kajian Bappenas, dari total tersebut sebesar 24 persen atau Rp72,22 triliun merupakan proporsi pendanaan oleh pemerintah dan 76 persen atau Rp232,56 triliun merupakan proporsi dana dari dunia usaha.

“Sekitar 2018—2020, alokasi pemerintah sebenarnya masih di level Rp35 triliun untuk alokasi yang disediakan pemerintah. Ini mudah-mudahan masih ada ruang fiskal yang dialokasikan ke depan untuk penuhi target pendanaan Rp72 triliun,” ujarnya dalam webinar Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Dalam Rangka Pemulihan Covid-19 Dengan Pembangunan Rendah Karbon, Senin (14/12/2020).

Dia mengakui bahwa saat ini implementasi pembangunan rendah karbon masih tersendat. 

Bappenas kini mulai menyusun roadmap implementasi pengembangan pendanaan pembangunan rendah karbon dalam bentuk stimulus untuk green recovery. Stimulus ini diharapkan bisa dialokasikan pada 2022 sehingga dapat mendorong program-program terkait pembangunan rendah karbon lebih kuat.

“Mudah-mudahan setelah Covid-19, pada 2022 kami bisa beri dorongan lebih kuat lagi dan juga kami harus dorong porsinya temen-temen di dunia usaha untuk lebih kuat lagi mendukung upaya menuju ekonomi hijau,” katanya.

Medrilzam menambahkan bahwa terdapat cukup banyak potensi yang bisa didorong untuk pembangunan rendah karbon salah satunya terkait sektor energi baru terbarukan (EBT).

Beberapa kebijakan stimulus yang bisa didorong di sektor EBT antara lain, pembiayaan pemerintah untuk perbaikan mutu dokumen pengembangan proyek EBT, penjaminan pinjaman untuk pengembangan EBT, dan dana bergulir untuk pemasangan PLTS atap.

Dia menuturkan bahwa pemerintah dapat menyediakan dana untuk pemasangan PLTS atap kepada konsumen PLN di daerah dengan biaya pokok penyediaan tinggi.  

Selain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, implementasi pembangunan rendah karbon melalui EBT juga dinilai mampu menciptakan potensi lapangan kerja yang cukup besar.  Contohnya, pemasangan solar home system (SHS) di Bangladesh mampu menciptakan 15.000 lapangan pekerjaan di bidang penjualan, pemasangan, dan perbaikan SHS.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Implementasi Pembangunan Rendah Karbon Butuh Dana Fantastis

831439467702

Pandemi Momentum Beralih ke Pembangunan Rendah Karbon

Jakarta, Beritsatu.com – Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto menyampaikan, di masa krisis akibat pandemi Covid-19, pemerintah memiliki pekerjaan besar untuk tetap menjaga agar berbagai kebijakan pembangunan rendah karbon tetap menjadi bagian utuh dari program pemulihan ekonomi.

Ia juga mengatakan, kondisi saat ini hendaknya dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk beralih dari pendekatan business as usual yang intensif karbon menuju ke pembangunan rendah karbon yang dapat membangkitkan kembali ekonomi, serta menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan atau green job, dan secara bersamaan menekan laju emisi gas rumah kaca.

"Pemerintah memastikan strategi yang disusun dalam menangani dampak pandemi tidak semata-mata memacu pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi juga harus memiliki tujuan untuk membangun kembali Indonesia yang lebih baik, tangguh, dan berkelanjutan di masa mendatang,” kata Arifin Rudiyanto dalam webinar Build Back Better, Senin (14/12/2020).

Menurut Arifin, ada tiga strategi kunci untuk mendorong pemulihan ekonomi hijau yang berkelanjutan, sekaligus mewujudkan build back better.

Pertama, mendorong agar stimulus fiskal hijau menjadi bagian dari kebijakan pemulihan ekonomi yang diimplementasikan pada tahun 2021 dan 2022. Hal ini telah dimulai dengan penyusunan roadmap pembangunan rendah karbon yang saat ini telah mendapat dukungan dari berbagai mitra pembangunan.

“Dengan mendorong pemulihan ekonomi hijau, maka kesempatan lapangan kerja hijau diharapkan dapat semakin terbuka. Berbagai inovasi juga dikembangkan, antara lain pengembagan energi baru terbarukan, penerapan ekonomi sirkular, dan inovasi pembiayaan hijau melalui carbon price,” paparnya.

Strategi kedua, membangun ketahanan melalui penyusunan kebijakan-kebijakan untuk mengantisipasi guncangan tidak terduga atau shock di masa mendatang. Aktivitas yang dilakukan antara lain bantuan sosial untuk masyarakat, asuransi petani, dan aktivitas adaptasi yang mendukung ketahanan masyarakat. "Kemampuan beradaptasi terhadap ancaman di masa datang, salah satunya adalah perubahan iklim perlu semakin diperkuat,” tegasnya.

Ketiga, perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati perlu menjadi isu prioritas. Dikatakan Arifin, pemerintah menyadari, pandemi Covid-19 bukan satu-satunya kejadian yang dapat menimbulkan gejolak. Ketidakseimbangan ekosistem dan terganggunya keanekaragaman hayati juga dapat menjadi akar permasalahan yang dapat memicu terjadinya krisis multidimensi.

Arifin menambahkan, penanganan Covid-19 juga tidak dapat terpisahkan dari penanggulangan perubahan iklim, termasuk dengan menjaga keanekaragaman hayati. Karenanya, upaya kolektif dan kolaborasi multipihak dan lintas sektor perlu dijalankan bersama-sama untuk membangun Indonesia yang lebih baik, tangguh dan berkelanjutan.


Artikel ini telah tayang di Beritasatu.com dengan judul "Pandemi Momentum Beralih ke Pembangunan Rendah Karbon"

15152429842

Chatib Basri: Isu Lingkungan Masih Dianggap sebagai Barang Mewah

JAKARTA, KOMPAS.com – Berbagai negara di dunia tengah melaksanakan rencana pembangunan rendah karbon, tidak terkecuali di Indonesia. Namun sampai saat ini rencana pembangunan yang menyandingkan pertumbuhan ekonomi dan isu lingkungan itu masih diabaikan oleh banyak pihak.

Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menilai, dengan masih banyaknya isu mendasar, seperti kemiskinan dan ketahanan pangan, membuat isu lingkungan diabaikan oleh sejumlah pihak.

“Kesulitan dari pembangunan low carbon initiative di dalam banyak kasus seringkali isu lingkungan adalah isu yang dianggap sebagai barang mewah,” katanya dalam webinar Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Dalam Rangka Pemulihan Covid-10 Dengan Pembangunan Rendah Karbon, Senin (14/12/2020).

Padahal, menurut pria yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Mandiri itu, isu lingkungan akan berimplikasi terhadap isu-isu lainnya.

“Jangan lupa, persoalan climate change akan berpengaruh kepada sektor pertanian misalkan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Chatib menjelaskan, ke depan isu lingkungan juga menjadi sangat penting bagi suatu negara untuk mendapatkan suatu pembiayaan. Pasalnya, tren pembiayaan hijau atau green financing tengah ramai dilakukan oleh lembaga keuangan.

“Jadi saya bisa meyampaikan misalnya sebuah negara perekonomiannya masih berbasis ekstraktif dengan mengeksploitas SDA, investment bank di selurh dunia akan memberikan penalty yang lebih tinggi dalam financig,” tuturnya.

Oleh karenanya, pemerintah dinilai perlu mengimplementasikan insentif bagi pelaku usaha yang mulai mengembangkan teknologi berbasis ramah lingkungan seperti rendah karbon.

“Mungkin perlu diberikan insentif fiskaln bagi yang melakukan pembiayaan melalui green bond,” ucapnya.

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Chatib Basri: Isu Lingkungan Masih Dianggap sebagai Barang Mewah”

Penulis : Rully R. Ramli
Editor : Bambang P. Jatmiko

 

 

sekda-prov-sulsel-abdul-hayat-gani-foto-dok-for-jpnn-86

Sulawesi Selatan Berkomitmen Dukung Penerapan Teknologi Rendah Karbon

jpnn.com, JAKARTA – Sulawesi Selatan menjadi provinsi percontohan pertama yang menandatangani nota kesepahaman pembangunan rendah karbon dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada Tahun 2019.

Nota kesepahaman tersebut menunjukkan komitmen Provinsi Sulawesi Selatan menjaga kelestarian lingkungan tetapi tidak mengabaikan pembangunan.

Komitmen tersebut juga dibuktikan dengan ditetapkannya Peraturan Gubernur No. 11 tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Gubernur No. 59 tahun 2012 mengenai Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca.

Menindaklanjuti hal tersebut, Pemprov Sulsel mengadakan kegiatan sosialisasi peraturan gubernur dengan mengundang seluruh kabupaten/kota yang telah berkomitmen mendukung kegiatan “Pembangunan Rendah Karbon” di Sulawesi Selatan.

Sekda Provinsi Sulawesi Selatan Abdul Hayat Gani berpesan kepada Bappeda kabupaten/kota untuk berkomunikasi dengan provinsi.

“Kami ingin apakah peraturan gubernur ini sudah efektif sudah efisien. Kalau ada hal-hal menghambat di lapangan, atau ada yang perlu perbaikan, jangan ragu teman-teman dari Bappeda kabupaten/kota silakan menyampaikan ide, gambaran dan inovasinya ke kami (pemprov),” katanya dalam siaran pers di Jakarta.

Ia juga mengajak seluruh aspek masyarakat untuk dapat ikut serta mengawal pelaksanaan peraturan gubernur tersebut.

“Tugas kami dari sisi aspek manajemen sumber daya manusia untuk memastikan pergub-pergub yang dibuat oleh Pak Gubernur dibuat oleh kami semua akan kami kawal dengan baik,” kata Abdul Hayat Gani.

Artikel ini telah tayang di www.jpnn.com dengan judul “Sulawesi Selatan Berkomitmen Dukung Penerapan Teknologi Rendah Karbon”