JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan rendah karbon di Indonesia terhambat oleh rendahnya harga energi fosil, seperti minyak mentah, gas bumi, dan batubara. Akibatnya, harga energi terbarukan kalah bersaing. Tanpa insentif fiskal, pembangunan rendah karbon sulit diharapkan tumbuh pesat.
Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam menyampaikan hal itu dalam webinar bertajuk ”Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Pascakrisis Covid-19”, Senin (14/12/2020). Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjadi pembicara kunci.
Pembangunan rendah karbon adalah kebijakan pembangunan yang program dan pelaksanaannya menghasilkan pertumbuhan ekonomi rendah emisi gas rumah kaca. Pembangunan dengan cara ini menjadi bentuk penanggulangan perubahan iklim, perbaikan kualitas lingkungan, dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pembangunan rendah karbon menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 .
”Selain harga energi fosil yang murah, tantangan pembangunan rendah karbon lainnya adalah isu lingkungan di Indonesia belum menjadi isu prioritas, baik di level pusat maupun daerah, dalam konteks pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19,” kata Medrilzam.
Hal yang tak kalah penting lain, kata Medrilzam, belum ada kebijakan fiskal yang kuat berupa insentif bagi pelaku usaha yang menerapkan pembangunan rendah karbon. Selain itu, pembangunan rendah karbon tak bisa semata hanya diinisiasi pemerintah. Dukungan sektor swasta dan masyarakat umum sangat menentukan keberhasilan program tersebut.
Menurut Chatib, pandemi Covid-19 jadi momentum tepat untuk menata ulang kebijakan pembangunan rendah karbon di Indonesia. Skema pembiayaan hijau, yang menjadi tren di masa mendatang, akan semakin banyak dan mudah didapat. Syaratnya, pemerintah harus memberikan insentif bagi pelaku usaha yang menerapkan pembangunan rendah karbon.
”Kecenderungan menurunnya dukungan pembiayaan global terhadap sektor yang tidak ramah lingkungan kian menguat,” kata Chatib.
Selain itu, isu pengenaan pajak karbon (carbon tax) adalah salah satu kunci kesuksesan pembangunan rendah karbon di Indonesia. Pengenaan pajak karbon yang rendah menyebabkan orang sulit beralih ke pemakaian energi yang lebih bersih dan terbarukan.
Di sektor pengembangan sumber energi terbarukan di Indonesia, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris Yahya mengungkapkan, sampai triwulan II-2020, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 10,9 persen. Padahal, pada 2025, target yang dicanangkan pemerintah adalah 25 persen. Diperlukan percepatan pengembangan energi terbarukan untuk mencapai target tersebut.
”Untuk mencapai target itu, kami berfokus pada pengembangan energi terbarukan yang lebih cepat dibangun dan pembiayaan pembangunannya kompetitif, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS),” kata Harris.
Hingga 2035, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari energi terbarukan 47.500 megawatt (MW). Dari target itu, PLTS memegang porsi terbesar, yakni 17.540 MW, disusul pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 7.815 MW, dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 7.170 MW. Kementerian ESDM mencatat, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia sebesar 417.800 MW. Namun, potensi termanfaatkan baru 10.400 MW. (APO)
Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas dengan judul “Pembangunan Rendah Karbon Butuh Insentif”