sekda-prov-sulsel-abdul-hayat-gani-foto-dok-for-jpnn-86

Sulawesi Selatan Berkomitmen Dukung Penerapan Teknologi Rendah Karbon

jpnn.com, JAKARTA – Sulawesi Selatan menjadi provinsi percontohan pertama yang menandatangani nota kesepahaman pembangunan rendah karbon dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada Tahun 2019.

Nota kesepahaman tersebut menunjukkan komitmen Provinsi Sulawesi Selatan menjaga kelestarian lingkungan tetapi tidak mengabaikan pembangunan.

Komitmen tersebut juga dibuktikan dengan ditetapkannya Peraturan Gubernur No. 11 tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Gubernur No. 59 tahun 2012 mengenai Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca.

Menindaklanjuti hal tersebut, Pemprov Sulsel mengadakan kegiatan sosialisasi peraturan gubernur dengan mengundang seluruh kabupaten/kota yang telah berkomitmen mendukung kegiatan “Pembangunan Rendah Karbon” di Sulawesi Selatan.

Sekda Provinsi Sulawesi Selatan Abdul Hayat Gani berpesan kepada Bappeda kabupaten/kota untuk berkomunikasi dengan provinsi.

“Kami ingin apakah peraturan gubernur ini sudah efektif sudah efisien. Kalau ada hal-hal menghambat di lapangan, atau ada yang perlu perbaikan, jangan ragu teman-teman dari Bappeda kabupaten/kota silakan menyampaikan ide, gambaran dan inovasinya ke kami (pemprov),” katanya dalam siaran pers di Jakarta.

Ia juga mengajak seluruh aspek masyarakat untuk dapat ikut serta mengawal pelaksanaan peraturan gubernur tersebut.

“Tugas kami dari sisi aspek manajemen sumber daya manusia untuk memastikan pergub-pergub yang dibuat oleh Pak Gubernur dibuat oleh kami semua akan kami kawal dengan baik,” kata Abdul Hayat Gani.

Artikel ini telah tayang di www.jpnn.com dengan judul “Sulawesi Selatan Berkomitmen Dukung Penerapan Teknologi Rendah Karbon”

Pembangunan Rendah Karbon Butuh Insentif

JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan rendah karbon di Indonesia terhambat oleh rendahnya harga energi fosil, seperti minyak mentah, gas bumi, dan batubara. Akibatnya, harga energi terbarukan kalah bersaing. Tanpa insentif fiskal, pembangunan rendah karbon sulit diharapkan tumbuh pesat.

Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam menyampaikan hal itu dalam webinar bertajuk ”Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Pascakrisis Covid-19”, Senin (14/12/2020). Menteri Keuangan 2013-2014 M Chatib Basri dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjadi pembicara kunci.

Pembangunan rendah karbon adalah kebijakan pembangunan yang program dan pelaksanaannya menghasilkan pertumbuhan ekonomi rendah emisi gas rumah kaca. Pembangunan dengan cara ini menjadi bentuk penanggulangan perubahan iklim, perbaikan kualitas lingkungan, dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Pembangunan rendah karbon menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 .

”Selain harga energi fosil yang murah, tantangan pembangunan rendah karbon lainnya adalah isu lingkungan di Indonesia belum menjadi isu prioritas, baik di level pusat maupun daerah, dalam konteks pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19,” kata Medrilzam.

Hal yang tak kalah penting lain, kata Medrilzam, belum ada kebijakan fiskal yang kuat berupa insentif bagi pelaku usaha yang menerapkan pembangunan rendah karbon. Selain itu, pembangunan rendah karbon tak bisa semata hanya diinisiasi pemerintah. Dukungan sektor swasta dan masyarakat umum sangat menentukan keberhasilan program tersebut.

Menurut Chatib, pandemi Covid-19 jadi momentum tepat untuk menata ulang kebijakan pembangunan rendah karbon di Indonesia. Skema pembiayaan hijau, yang menjadi tren di masa mendatang, akan semakin banyak dan mudah didapat. Syaratnya, pemerintah harus memberikan insentif bagi pelaku usaha yang menerapkan pembangunan rendah karbon.

”Kecenderungan menurunnya dukungan pembiayaan global terhadap sektor yang tidak ramah lingkungan kian menguat,” kata Chatib.

Selain itu, isu pengenaan pajak karbon (carbon tax) adalah salah satu kunci kesuksesan pembangunan rendah karbon di Indonesia. Pengenaan pajak karbon yang rendah menyebabkan orang sulit beralih ke pemakaian energi yang lebih bersih dan terbarukan. 

Di sektor pengembangan sumber energi terbarukan di Indonesia, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris Yahya mengungkapkan, sampai triwulan II-2020, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 10,9 persen. Padahal, pada 2025, target yang dicanangkan pemerintah adalah 25 persen. Diperlukan percepatan pengembangan energi terbarukan untuk mencapai target tersebut.

”Untuk mencapai target itu, kami berfokus pada pengembangan energi terbarukan yang lebih cepat dibangun dan pembiayaan pembangunannya kompetitif, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS),” kata Harris.

Hingga 2035, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari energi terbarukan 47.500 megawatt (MW). Dari target itu, PLTS memegang porsi terbesar, yakni 17.540 MW, disusul pembangkit listrik tenaga air (PLTA) 7.815 MW, dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) 7.170 MW. Kementerian ESDM mencatat, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia sebesar 417.800 MW. Namun, potensi termanfaatkan baru 10.400 MW. (APO)

Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas dengan judul “Pembangunan Rendah Karbon Butuh Insentif”

5decf224d10c6

Chatib Basri Sarankan Pengenaan Pajak Karbon​

JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terus mengupayakan program pembangunan rendah karbon, sebagai langkah percepatan pertumbuhan ekonomi, namun pada saat bersamaan tetap mengedepankan isu lingkungan.

Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, mengatakan salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk mendorong pelaksanaan program tersebut, ialah dengan penerapan pajak karbon atau carbon tax. Dengan adanya pajak tersebut, maka perusahaan dengan kadar emisi karbon yang tinggi akan dikenakan biaya pungutan lebih oleh pemerintah.

Namun, menurutnya pajak karbon bukan hanya mengenai pemberian hukuman bagi para pelaku usaha yang masih memproduksi karbon emisi tinggi saja.

"Tapi bagaimana menggunakan uang itu sebagai insentif ke perusahaan untuk meningkatkan teknologinya," kata Chatib dalam webinar Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Dalam Rangka Pemulihan Covid-10 Dengan Pembangunan Rendah Karbon, Senin (14/12/2020).

Pria yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Mandiri itu, meyakini dengan adanya insentif para pelaku usaha dapat mengembangkan teknologi penekan produksi emisi karbon.

"Saya melihat pola-pola kebijakan fiskal dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya," ujarnya.

Chatib menyadari banyak pihak yang masih belum terlalu memperhatikan isu lingkungan. Pasalnya, masih banyak isu lain yang dinilai masih mendasar perlu dilakukan oleh berbagai pihak.

"Kesulitan dari pembangunan low carbon inisiative di dalam banyak kasus seringkali isu lingkungan adalah isu yang dianggap sebagai barang mewah," katanya.

Padahal, menurutnya, isu lingkungan akan berimplikasi terhadap isu-isu lainnya.

"Jangan lupa, persoalan climate change akan berpengaruh kepada sektor pertanian misalkan," ucapnya.


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Chatib Basri Sarankan Pengenaan Pajak Karbon"

Penulis : Rully R. Ramli
Editor : Bambang P. Jatmiko