3944028821

Penerapan Ekonomi Sirkular pada Industri Elektronik Bisa Tingkatkan PDB Rp 12,2 triliun pada 2030

JAKARTA, KOMPAS.com – Dalam beberapa tahun terakhir gaya hidup masyarakat kian lekat dengan perangkat digital dan akses virtual. Apalagi dengan adanya pandemi Covid-19 yang membatasi interaksi langsung di masyarakat menambah tinggi intensitas kegiatan virtual dengan menggunakan gawai.

Kebutuhan akan perangkat digital pun mengakibatkan praktik industri dan masyarakat yang berlebihan yang kemudian berdampak pada peningkatan timbulan limbah elektronik (e-waste) dan terbuangnya sumber daya elektronik tanpa ada kesempatan untuk diolah kembali.

Pada tahun 2021, masyarakat dunia diperkirakan telah membuang e-waste sebesar 57,4 juta ton, atau yang melebihi berat total dari Tembok Raksasa China. Lalu, bagaimana solusi pengelolaan limbah elektronik ini, agar tidak mencemari lingkungan, dan memiliki manfaat ekonomi?

Menurut Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto, salah satu solusi dari pengelolaan e-waste adalah melalui penerapan ekonomi sirkular dengan pengelolaan produk yang baik dan optimalisasi masa pakai produk.

“Kedua cara ini dapat meningkatkan penggunaan sumber daya alat elektronik yang lebih efisien dan mengurangi jumlah timbulan e-waste yang berdampak negatif pada lingkungan. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma ekonomi dari linear (ambil-pakai-buang) menjadi sirkular yang manfaatnya lebih panjang,” kata Arifin dalam siaran pers, Selasa (7/6/2022).

Sepanjang tahun 2021, jumlah timbulan e-waste di Indonesia mencapai 2 juta ton. Jumlah tersebut akan semakin meningkat dengan semakin pendeknya usia barang elektronik dan menimbulkan dampak jangka panjang, seperti racun pada tanah dan air yang berpotensi membahayakan rantai makanan dan berujung pada gangguan kesehatan manusia.

Salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi e-waste, misalnya, dilakukan melalui pengesahan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kebijakan tersebut memuat tahapan pengolahan e-waste yang dilakukan melalui proses pembersihan dan penghilangan seluruh cairan dan gas, pembongkaran komponen secara manual, pemilahan dan pemisahan komponen yang dicopot, proses pemecahan dan pemotongan, dan pemrosesan lanjutan yang digunakan sebagai bahan baku serta bahan elektronik.

Kebijakan tentang pengelolaan e-waste juga dimandatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang fokus kepada tahapan penanganan menyeluruh, mulai dari proses pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, sampai pengolahan akhir sampah spesifik.

Arifin mengatakan, penerapan ekonomi sirkular mencakup pengelolaan sumber daya alam pada lima sektor prioritas (Elektronik, Makanan dan Minuman, Tekstil, Konstruksi, dan Retail), yang berfokus pada kemasan plastik) berpotensi meningkatkan PDB pada kisaran Rp 593 triliun hingga Rp 638 triliun, menciptakan 4,4 juta lapangan pekerjaan, dan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030.

“Penerapan ekonomi sirkular pada industri elektronik berpotensi meningkatkan PDB Rp 12,2 triliun pada 2030. Pada aspek lingkungan, penerapan ekonomi sirkular pada industri elektronik diprediksi dapat membantu Indonesia menghindari hampir 0,4 juta ton emisi CO2 dan menghemat 0,6 miliar meter kubik air pada 2030,” ujar Arifin.

Dari sisi sosial, sirkularitas di sektor elektronik juga dapat menghasilkan penghematan rumah tangga tahunan senilai sekitar Rp 88.000 atau 0,2 persen dari rata-rata pengeluaran rumah tangga tahunan saat ini.

Vanessa Letizia, Direktur Eksekutif dari Greeneration Foundation mengatakan, alat elektronik multifungsi dengan daya pakai yang pendek membuat banyak pihak, perlu memikirkan solusi yang efisien agar e-waste di Indonesia bisa lebih terkendali.

“Kami percaya bahwa penerapan ekonomi sirkular tidak hanya dapat mengurangi timbulan e-waste, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap aspek ekonomi dan sosial. Dengan ekonomi sirkular, alur industri elektronik tidak lagi terdiri atas produksi, konsumsi, dan buang, melainkan produksi, konsumsi, dan kelola dengan bijak,” jelas Vanessa.

Adapun prinsip 9R dalam ekonomi sirkular yakni, RefuseRethinkReduceReuseRepairRefurbishRemanufactureRepurposeRecycle menjadi kunci dalam penggunaan barang elektronik yang lebih berkelanjutan. Beberapa prinsip 9R yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi atau mengganti penggunaan bahan dasar alat elektronik berbahaya (refuse). Contohnya, produsen alat elektronik dapat mengganti refrigeran halokarbon pada pendingin udara dengan refrigeran berbahan hydrocarbon (HC) yang hemat energi.

“Penerapan prinsip ekonomi sirkular 9R di masyarakat dapat menjadi langkah awal transisi ekonomi sirkular di Indonesia sebagai upaya meningkatkan efisiensi sumber daya dan pengelolaan e-waste. Upaya tersebut tidak hanya akan berkontribusi terhadap lingkungan, tetapi juga pada pembangunan ekonomi negara yang lebih hijau dan berkelanjutan,” tegas Vanessa.

Muslim family having a Ramadan feast

Mubazir Pangan Selama Ramadhan dan Ekonomi Sirkular

Jakarta (KOMPAS) – Indonesia menghasilkan timbulan food loss and waste atau mubazir pangan yang cukup besar, yaitu 23-48 juta ton per tahun dalam dua dekade terakhir (2000-2019). Jumlah ini diperkirakan meningkat secara substansial selama bulan Ramadhan.

Strategi pengelolaan mubazir pangan dalam kerangka ekonomi sirkular dibutuhkan untuk mewujudkan efisiensi pangan yang lebih berkelanjutan.

Permasalahan mubazir pangan memang sulit dihindari. Jumlah penduduk Indonesia yang besar berpotensi menghasilkan kemubaziran pangan yang juga besar dan diperkirakan akan terus bertambah setiap tahun. Read more…

PBI

Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) di Jawa Barat Mengandalkan Sektor Pertanian untuk Kurangi Potensi Kerugian Ekonomi

# Dalam rangka mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 khususnya Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim, Menteri PPN/Kepala Bappenas telah meluncurkan kebijakan PBI.

# Kebijakan PBI adalah upaya antisipasi bahaya dan risiko perubahan iklim melalui aksi ketahanan iklim. Hal ini guna mencapai Ketahanan Iklim Nasional dengan target berupa potensi penurunan kerugian ekonomi.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) bersama Direktorat Lingkungan Hidup/Dit. LH Bappenas dan Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon/LCDI mengadakan pertemuan bertema Diseminasi Pembangunan Berketahanan Iklim di Provinsi Jawa Barat dan Pemaparan JICA Project di Bandung, Jawa Barat  pada Rabu (20/4). Perubahan iklim yang terjadi dewasa ini, baik cuaca ekstrem maupun kejadian slow-onset, menyebabkan terjadinya kerugian dan kerusakan (Loss and Damage/L&D) sumber daya. Menurut Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/UNFCCC, L&D merujuk kepada efek negatif variabilitas (fluktuasi yang tiba-tiba) dan perubahan iklim yang tidak dapat diatasi atau diadaptasi oleh manusia.

Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim/PBI yang didorong oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunan Nasional Kemen BPN/Bappenas telah menunjukkan hasil kajian ilmiah terhadap proyeksi iklim, potensi bahaya perubahan iklim, serta potensi kerugian ekonomi. Kebijakan PBI di Indonesia juga telah selaras dengan isi Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Working Group II (WGII) Sixth Assessment Report, yaitu dengan memasukkan Peningkatan Ketahanan Iklim sebagai salah satu Prioritas Nasional dalam RPJMN 2020-2024.

Berdasarkan Rancangan Aksi Nasional – Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API), terdapat 4 (empat) sektor yang diprioritaskan yaitu kelautan dan pesisir, air, pertanian, serta kesehatan. Potensi kerugian ekonomi di empat sektor tersebut diprediksi dapat mencapai Rp 544,9 Triliun pada tahun 2020-2024 dan dapat ditekan menjadi 262,9 Triliun dengan beragam aksi intervensi. Namun, usaha pengurangan dampak perubahan iklim tidak akan mengurangi potensi kerugian yang timbul tanpa adanya perlindungan terhadap wilayah miskin melalui perlindungan sosial adaptif.

Oleh sebab itu, strategi dan lokasi prioritas menjadi kunci untuk melakukan intervensi aksi ketahanan iklim yang tepat. Aksi tersebut dapat dilakukan secara langsung melalui pengurangan kerentanan dan risiko yang meliputi iklim, ekosistem, dan kehidupan masyarakat ataupun pemberian dukungan dalam mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pelaporan berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

“Penentuan lokasi prioritas kegiatan aksi PBI menjadi sangat penting dilakukan untuk memimalkan dampak Loss and Damage yang semakin tinggi intensitas kejadiannya karena perubahan iklim, termasuk di Provinsi Jawa Barat,” ujar Irfan Darliazi, SE, M.Env.Rsc.Ec, sebagai perwakilan dari Dit. LH Bappenas.

Jawa Barat adalah contoh provinsi yang dihadapkan dengan potensi bahaya perubahan iklim tinggi. Meskipun Jawa Barat memiliki sekitar 912 ribu hektar sawah dan menghasilkan sekitar 9,5 juta ton padi pada tahun 2018, tetapi potensi kerugian ekonomi dari sektor pertanian diprediksi dapat mencapai 12 Triliun di tahun 2020-2024. Hal ini dikarenakan di tahun 2020, bencana alam didominasi oleh banjir dan tanah longsor sebesar 50%.

“Jawa Barat memiliki potensi kerugian ekonomi tertinggi di sektor pertanian dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya,” tambah Asri Hadiyanti Giastuti, ST., staf Dit. LH Bappenas.

PBI di Jawa Barat diharapkan dapat mengurangi potensi kerugian ekonomi tersebut. Dalam mengusung konsep pembangunan yang lebih luas, mitra pembangunan Japan International Cooperation Agency (JICA) membawa Jawa Barat dalam pilot project untuk meningkatkan resiliensi dan ketahanan iklim. JICA membantu dalam penyusunan kebijakan, dengan tetap menyesuaikan dengan kondisi prioritas di Jawa Barat dan memperhatikan outcome yang jelas dan terukur.

“Harapannya, provinsi Jawa Barat dapat mendukung PBI dengan partisipasi aktif dan koordinasi lintas sektor untuk memperoleh masukan konstruktif di  tingkat kebijakan dan intervensi di lapangan,” ujar Atik Nurwanda, PhD., perwakilan dari JICA.

Penguatan implementasi pembangunan berketahanan iklim selanjutnya dilakukan melalui pengembangan kapasitas dan kebijakan di empat sektor sebagai pendukung utama. Kajian terhadap resiko saat ini tengah dilakukan untuk menjaring masukan sebagai pengayaan berharga untuk pemerintah. Harapannya, berbagai Kementerian dan lembaga dapat bekerjasama untuk aksi ketahanan iklim melalui PBI di Provinsi Jawa Barat.

gbr2

Provinsi Jawa Barat Tetapkan Lima Sektor Prioritas Dalam RPRKD

Direktorat Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon Indonesia/LCDI, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat menggelar Workshop Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Bandung, Jawa Barat pada Rabu (20/4). Kegiatan ini bertujuan menjaring masukan terhadap skenario kebijakan yang sudah tersusun dalam Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Provinsi Jawa Barat.

Menurut perhitungan trajektori besaran emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Provinsi Jawa Barat akan mencapai 134.212.470 ton CO2eq di tahun 2030. Sektor energi memberikan kontribusi paling tinggi sebesar 40%, disusul sektor transportasi sebesar 31%. Tingginya besaran emisi tersebut berakar dari masalah overpopulasi, karena sebanyak 49,9 juta jiwa mendiami provinsi Jawa Barat pada tahun 2021. Hal ini, menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi paling padat penduduknya di Indonesia. Sehingga, tantangan daya dukung dan daya tampung lingkungan muncul seiring bertambahnya pemukiman penduduk yang memengaruhi kondisi tutupan lahan (hutan) dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Disebabkan berkurangnya lahan hutan, perkebunan, dan pertanian yang beralih fungsi menjadi hunian.

Provinsi Jawa Barat, sebagai salah satu provinsi percontohan PRK, telah menandatangani Nota Kesepahaman PRK dengan Bappenas pada 2 April 2019. Dalam implementasinya, Jawa Barat membutuhkan dukungan dalam penyusunan RPRKD dan peningkatan kapasitas bagi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) aksi PRK melalui Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Aksi Pembangunan Rendah Karbon Indonesia/AKSARA sebagai bentuk kontribusi mencapai target penurunan emisi Provinsi Jawa Barat.

“Bappenas siap memberikan dukungan kepada Provinsi, Kabupaten/Kota serta mitra pembangunan sebagaimana disepakati dalam Nota Kesepahaman PRK yang telah ditandatangani. Kami mendorong pemanfaatan sumber daya yang ada untuk perencanaan, pematangan, dan pemantauan serta evaluasi pembangunan rendah karbon,” ujar Direktur LH Kementerian Bappenas, Medrilzam.

Lebih lanjut, Medrilzam mengatakan bahwa diperlukan transformasi besar di bidang ekonomi. Untuk itu, perlu didorong navigasi ekonomi hijau melalui PRK di Provinsi Jawa Barat. Ekonomi Hijau ditempatkan sebagai salah satu game changer yang tidak hanya mendorong pemulihan hijau, tetapi dalam jangka panjang juga mampu mereformasi sistem perekonomian nasional menjadi lebih berkelanjutan.

(dari kiri) Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Medrilzam; Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Setiawan Wangsaatmaja; dan Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat, Sumasna.

Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Prioritas Nasional (PN), khususnya agenda pembangunan 6 memfokuskan pada program membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim. Maka, guna meningkatkan pencapaian penurunan besaran emisi sesuai PN 6 PP 3, Jawa Barat memfokuskan aksi PRK-nya pada lima sektor prioritas. Yaitu pengembangan industri hijau, pengelolaan limbah, pembangunan energi berkelanjutan, aksi rendah karbon pesisir dan laut, serta pemulihan lahan berkelanjutan.

“Apa yang kita rencanakan dan lakukan saat ini adalah menguraikan aksi pembangunan industri hijau, pengelolaan limbah, pembangunan energi berkelanjutan, aksi rendah karbon pesisir dan laut, serta pemulihan lahan berkelanjutan,” ujar Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Setiawan Wangsaatmaja.

Sementara itu, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat, Sumasna, menekankan agar target dan capaian PRK dapat dikawal dengan baik. Inisiasi PRK yang melibatkan masyarakat perlu didukung dengan memasukkannya ke dalam RPJMD serta membangun dan mengubah paradigma masyarakat menuju ekonomi hijau.

“Kami memiliki komitmen tinggi untuk mendorong PRK ke depan, mulai dari pengelolaan TPA untuk pengelolaan sampah dengan budidaya maggot hingga menurunkan besaran emisi melalui sistem transportasi massal MRT dan LRT,” ujar Sumasna.

Sumasna mengatakan bahwa hal tersebut menjadi Pekerjaan Rumah/PR besar yang tidak bisa diselesaikan oleh satu sektor saja. Setiap sektor perlu saling mendukung dan berperan dalam pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) untuk menyukseskan implementasi aksi PRK di Jawa Barat (AR).

Kegiatan Workshop Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Bandung, Jawa Barat
WhatsApp Image 2022-03-07 at 10.38.44

Mengenal fesyen sirkular, siklus yang mengubah dinamika dunia mode

Jakarta (ANTARA) – Fesyen yang terus berputar mempengaruhi konsumen untuk membeli produk-produk baru agar mereka terlihat mengikuti tren, tidak ketinggalan zaman, dan memiliki gaya tersendiri.

Padahal, Yves Saint Laurent, legenda fesyen dunia, pernah berkata: fashion fades, style is eternal. Artinya, gaya adalah sesuatu yang kita bawa di dalam diri kita, bukan sekadar memakai pakaian keluaran terkini.

Prinsip Yves Saint Laurent dapat dikatakan sejalan dengan konsep fesyen sirkular atau circular fashion yang mendorong masyarakat untuk lebih berkesadaran dalam mengonsumsi produk-produk fesyen.

Dengan lebih memperhatikan fungsi, mengutamakan kualitas, dan memilih desain yang mudah dipadupadankan, kita bisa berkreasi dalam gaya pakaian yang lebih universal dan abadi. Secara tidak langsung, kita telah berkontribusi untuk mengurangi sampah dan limbah tekstil.

Secara sederhana, fesyen sirkular (circular fashion) didefinisikan sebagai produk mode yang dirancang, bersumber, diproduksi, dan dilengkapi dengan tujuan memperpanjang manfaat dari sebuah rantai produksi dan konsumsi sehingga bisa menggunakan sumber daya dengan lebih efisien (resource efficiency).

Lebih jauh lagi, fesyen sirkular memastikan daya guna sebuah garmen tetap berputar, mulai dari rancangan pakaian, berapa lama daya pakainya, pemilihan bahan pakaian yang berkelanjutan, sampai proses produksi yang mendukung kesejahteraan pekerja. Dengan kata lain, penerapan fesyen sirkular mampu meminimalkan limbah dan polusi dari industri tekstil.

Selama dua tahun terakhir, pandemi COVID-19 telah menjadi titik balik industri fesyen nasional. Pandemi menghambat proses produksi dan supply chain ritel sehingga industri fesyen tidak hanya mengalami perubahan drastis dalam kebiasaan berbelanja, tetapi juga menyesuaikan desain pakaian yang lebih mengedepankan fungsi serta keberlanjutan agar tetap bertahan di masa pandemi.

Pada saat yang sama, konsumen juga mulai aktif menyuarakan kepedulian mereka atas dampak industri fesyen terhadap lingkungan. Mau tidak mau, para pelaku industri fesyen beradaptasi dan berupaya menerapkan fesyen sirkular secara bertahap.

Limbah tekstil di balik fast fashion

Fesyen cepat (fast fashion) merupakan metode desain, pembuatan, dan pemasaran yang fokus pada pakaian yang diproduksi secara massal.

Istilah itu digunakan oleh industri tekstil yang memiliki model bisnis dengan meniru dan memperbanyak desain fesyen kelas atas sehingga menimbulkan berbagai masalah, seperti sumber daya yang menipis, sampai penumpukan limbah berbahaya.

Penumpukan limbah tekstil yang diakibatkan oleh rendahnya kualitas material menjadikan industri ini sebagai polutan kedua terbesar di dunia. Bahkan produsen fesyen cepat kini tidak hanya merilis tren fesyen untuk dua musim dalam setahun, tetapi juga merilis hingga 52 koleksi mikro per tahun.

Dengan adanya pembaruan micro collection, konsumen akan lebih sering membeli pakaian agar tetap mengikuti tren. Padahal, tiap helai pakaian hanya digunakan rata-rata tujuh kali sebelum akhirnya tak lagi dikeluarkan dari lemari pakaian.

Di Amerika Serikat, setiap orang rata-rata menyumbang limbah tekstil hingga 35 kg per tahun. Indonesia sendiri menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga, yang mana menurut data dari SIPSN KLHK per tahun 2021, kontribusi limbah rumah tangga terhadap komposisi sampah keseluruhan mencapai 42,12 persen. Namun dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang .

Selain menimbulkan limbah, tingginya produksi pakaian dalam waktu singkat juga berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan.

Pengolahan dan pewarnaan tekstil mencemari 20 persen air di kawasan industri, di mana limbah pada air mengandung bahan-bahan berbahaya seperti merkuri dan arsenik, tetapi juga limbah rumah tangga lainnya seperti sampah organik dari sisa-sisa makanan, sampah anorganik seperti plastik dan kaleng, serta bahan kimia dari deterjen dan batu baterai yang membahayakan kehidupan makhluk hidup dalam air maupun masyarakat yang tinggal di sekitar aliran air.

Berpacu dalam laju slow fashion yang berkelanjutan

Sadar akan dampak negatif fesyen cepat yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup, kini semakin banyak pihak yang tergerak untuk memperlambat laju limbah tekstil melalui fesyen lambat (slow fashion) yang mengutamakan pemilihan bahan dan proses produksi yang ramah lingkungan, dan menggunakan material berkualitas tinggi.

Hal-hal sederhana itu mampu memperpanjang usia pakai pakaian. Konsep fesyen lambat akan membuat industri fesyen berjalan selaras dengan konsep ekonomi sirkular.

“Ekonomi sirkular merupakan kerangka ekonomi yang berupaya untuk memperpanjang siklus hidup dari suatu produk, bahan baku dan sumber daya yang ada, sehingga bisa dipakai selama mungkin,” jelas Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto, dikutip Kamis.

Dalam studi yang dilakukan Bappenas dijelaskan bahwa ekonomi sirkular lebih dari sekadar pengelolaan limbah melalui daur ulang, tetapi juga meliputi pengelolaan sumber daya alam yang mencakup keseluruhan proses produksi, distribusi, dan konsumsi dari hulu hingga ke hilir rantai pasok.

Apabila ekonomi sirkular dapat diterapkan dalam industri tekstil yang berkaitan erat dengan fesyen di Indonesia, limbah tekstil akan berkurang sebanyak 14 persen dan meningkatkan daur ulang limbah tekstil sebanyak 8 persen.

Sebagai salah satu upaya mengurangi dampak negatif dari produksi tekstil, hasil penelitian McKinsey menunjukkan bahwa pakaian yang digunakan dua kali lipat lebih lama akan mengurangi 44 persen emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri tekstil.

Hal itu diikuti para produsen fesyen yang mulai mengambil langkah dalam melanggengkan penggunaan pakaian sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.

Brand SukkhaCitta, misalnya, berkomitmen untuk menerapkan konsep farm-to-closet, yaitu sistem rantai pasokan yang melibatkan pengolahan bahan baku dari hasil pertanian regeneratif dan penggunaan bahan berkualitas dengan daya pakai yang tinggi.

Dengan begitu, konsumen akan mendapatkan produk fesyen yang berkualitas dan lebih menghargai prosesnya yang dapat mengurangi penebangan pohon, polusi udara, dan penggunaan listrik sebagai penyebab pemanasan global.

Kini, siklus daur ulang pengelolaan sampah yang awalnya dikenal dengan 3R (reducereuserecycle), dalam ekonomi Sirkular telah diuraikan lebih jauh menjadi 9R, yaitu RefuseRethinkReduceReuseRepairRefurbishRemanufactureRepurposeRecycleRecovery, yang penerapannya dicontohkan sebagai berikut:

Refuse: Memaksimalkan padu padan setiap helai pakaian yang ada di lemari tanpa membeli pakaian baru. Konsep ini dikenal dengan istilah capsule wardrobe.

Rethink: Menyewakan pakaian yang masih sangat layak atau jarang digunakan, misalnya baju pengantin, gaun pesta, setelan tuksedo, dan sebagainya. Situs www.styletheory.co misalnya, menghadirkan layanan berlangganan sewa berbagai jenis pakaian untuk memperpanjang daya guna pakaian.

Reduce: Memilih produk fesyen dengan bahan alami untuk mengurangi kandungan bahan kimia berbahaya pada limbah tekstil yang dihasilkan dalam proses produksi.

Reuse: Memilih barang-barang secondhand dengan thrifting.

Repair: Memperbaiki kondisi pakaian yang kita miliki, misal memasang kembali kancing yang lepas, mengganti resleting yang rusak, atau memperbaiki jahitan yang terlepas.

Refurbished: Memanfaatkan pakaian-pakaian yang sudah usang atau kotor dengan menambahkan bordir atau sulaman untuk menutupi noda yang tidak bisa hilang dan menisik celana jeans yang sobek.

Remanufacture: Memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari suatu pakaian yang masih layak dan memadukannya dengan pakaian lain untuk mendapatkan gaya yang benar-benar baru, misalnya kerah baju tartan dijahitkan pada bagian leher kaos putih polos.

Repurpose: Mengubah fungsi suatu pakaian, misalnya mengubah celana jeans menjadi rok, membuat selimut patchwork dari potongan-potongan pakaian, dan membuat boneka-boneka kecil dari kaos kaki.

Recycle: Memilah pakaian secara berkala kemudian pakaian yang sudah dipilah didonasikan ke recycle box

Recovery: Memulihkan energi dari limbah dan material pakaian yang tersisa menggunakan berbagai macam teknologi waste-to-energy

“Penerapan 9R dalam industri tekstil dan penggunaan produk tekstil merupakan sebuah siklus kebiasaan untuk tampil gaya yang sejalan dengan tanggung jawab kita untuk merawat bumi, atau dapat kita istilahkan dengan fesyen Sirkular,” kata Vanessa Letizia, Direktur Eksekutif Greeneration Foundation, yang berpartner dengan Kementerian PPN/BAPPENAS dan Pemerintah Kerajaan Denmark untuk mengkomunikasikan ekonomi Sirkular kepada masyarakat Indonesia.

“Konsumen akan menyadari bahwa tampilan produk yang sepintas terlihat tidak mengikuti tren, ternyata memiliki daya guna dan nilai lingkungan yang istimewa sehingga mendukung fesyen Sirkular,” kata Vanessa.

“Dengan melihat kedua faktor tersebut, konsumen juga harus semakin jeli meneliti produk yang dibelinya, terbiasa mengkritik produsen yang belum mendukung lingkungan, berusaha sebisa mungkin memperpanjang daya guna tekstil, dan bahkan memahami kandungan bahan baku tekstil yang tidak berbahaya untuk menghindari pencemaran oleh limbah tekstil,” jelas Vanessa.

Geliat fesyen sirkular dalam melanggengkan ekonomi

Inisiatif produsen dan masukan dari konsumen terkait produk fesyen dapat mendorong industri tekstil untuk menjadi lebih baik, terutama komitmen dalam memilih bahan-bahan yang ramah lingkungan dan bisa diperbarui.

Selain itu, diharapkan produsen dapat menetapkan rancangan yang lebih tahan lama dan memperhatikan efisiensi sumber daya sehingga dapat memastikan produk tersebut dapat digunakan kembali untuk tahapan siklus selanjutnya. Dorongan bagi produsen ini lambat laun akan menciptakan ekosistem ekonomi sirkular yang mendukung penerapan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Indonesia.

Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam upaya penanggulangan permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan melalui ekonomi sirkular dan pembangunan rendah karbon (PRK).

Komitmen itu merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) serta pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). PRK merupakan program prioritas pembangunan yang strategi penerapannya berkaitan erat dengan ekonomi sirkular, yaitu pembangunan energi berkelanjutan, penanganan limbah, dan pengembangan industri hijau.

Penerapan ekonomi sirkular sendiri menaungi lima sektor prioritas, yaitu makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, grosir dan perdagangan eceran/retail (terfokus pada kemasan plastik), serta peralatan listrik dan elektronik. Ekonomi sirkular akan mendorong pembangunan ekonomi dan pola industri yang lebih berkelanjutan.

Langkah-langkah ekonomi sirkular yang diterapkan pada industri tekstil bukanlah sekadar manajemen pengelolaan limbah, melainkan manajemen pengelolaan sumber daya.

Produksi tidak lagi mengambil bahan mentah dari alam, tetapi mendaur ulang materi yang sudah pernah diolah sehingga apabila diakumulasikan, akan terjadi penghematan modal dan sumber daya. Penerapan ekonomi sirkular pada produk fesyen sebagai bagian dari sektor tekstil bersama dengan penerapan pada 4 sektor prioritas lainnya berpotensi menghasilkan produk domestik bruto sebesar Rp 593 – 638 triliun pada tahun 2030.

Lebih jauh lagi, penerapan ekonomi sirkular dalam industri tekstil berpotensi meningkatkan pemberdayaan perempuan secara signifikan, mengingat sekitar 58% perempuan di Indonesia terlibat dalam industri ini.

Oleh karena itu, industri fesyen harus terus berkomitmen untuk menghadirkan produk-produk yang tidak hanya memperkaya penampilan, tapi juga merombak tampilan bumi menjadi lebih layak huni. Selain itu, konsumen juga diharapkan agar semakin konsisten memilih produk-produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga seluruh pihak yang terlibat bisa mendukung pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan.

Puluhan rumah yang berdiri di dinding tanah yang tergerus longsor masih berdiri di tepi Kali Pesanggrahan, tepatnya di Jalan Usman Bontong RT 003 RW 002, Pasir Putih, Sawangan, Depok, Senin, 6 Desember 2021. Bencana longsor secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi perubahan iklim. TEMPO/Subekti.

Bappenas Prediksi Kerugian Akibat Perubahan Iklim Rp 544 T, Begini Rinciannya

TEMPO.COJakarta -Hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun.

Hasil kajian dari Kementerian PPN/Bappenas yang dimaksud berfokus pada potensi kerugian ekonomi di Indonesia sebagai dampak dari perubahan iklim.

Hasilnya menunjukkan Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim, jika intervensi kebijakan tidak dilakukan atau business as usual.

“Potensi kerugiannya sudah dihitung sampai 2024, dan diperkirakan kerugian ekonomi akibat berbagai [yang dipicu oleh] perubahan iklim cukup besar. Ini yang harus kita antisipasi bagaimana kita mengurangi potensi kerugian,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam pada webinar, Kamis, 6 Januari 2022.

Secara rinci, empat sektor prioritas diperkirakan bisa mengalami kerugian yang cukup signifikan. Pertama, dampak terhadap pesisir dan laut yang diperkirakan memiliki tingkat kerugian di sisi ekonomi paling tinggi. Misalnya, kecelakaan kapal dan genangan pantai. Bappenas memperkirakan kerugian akibat dampak perubahan iklim pada sektor ini mencapai Rp 408 triliun.

Kedua, sektor pertanian. Contoh kerugian ekonomi yang bisa ditimbulkan akibat perubahan iklim adalah penurunan produksi beras. Total kerugian diperkirakan sebesar Rp 78 triliun.

Ketiga, sektor kesehatan, dimana contoh kerugian yang diperkirakan oleh Bappenas yaitu peningkatan kasus demam berdarah dengan total kerugian di sisi ekonomi mencapai Rp 31 triliun.

Keempat, sektor perairan. Bappenas memperkirakan dampak perubahan iklim bisa memicu penurunan ketersediaan air hingga mencapai Rp 28 triliun.

Medrilzam menyampaikan bahwa Indonesia saat ini sudah menghadapi ancaman bencana akibat perubahan iklim. Dalam paparannya, dia menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir bencana yang kerap terjadi didominasi oleh bencana hirometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat bahwa bencana hidrometeorologi pada 2020, tahun pertama pandemi Covid-19, mencapai 4.842 kejadian, atau meningkat 2,4 kali dibandingkan dengan 2010.

Selain itu, selama periode 2010-2020, rata-rata kerugian ekonomi yang dialami oleh Indonesia akibat bencana hidrometeorologi setiap tahunnya yaitu sebesar Rp 22,8 triliun.

“Catatan dari BNPB, tahun 2020 hampir 99 persen bencana yang terjadi di Indonesia adalah yang terkait dengan hidrometeorologi yang relatif mendominasi. Tentunya, ini sangat terkait dengan perubahan iklim,” terang Medrilzam.

screenshot-majalah.tempo.co-2021.12.20-12_02_20

SELAMATKAN BUMI MELALUI CIRCULAR EKONOMI

Penggunaan sumber daya alam akan berkurang dan bisa menyelamatkan bumi dengan mengurangi emisi.

Tempo, Indonesia saat ini tengah menuju penerapan ekonomi sirkular. Pada Februari 2020, pemeritah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas bekerjasama dengan UNDP yang didukung Pemerintah Denmark meluncurkan gagasan baru pengembangan Ekonomi Sirkular di Indonesia.

Melalui inisiatif ini, Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengadopsi strategi nasional tentang ekonomi sirkular. Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam, mengatakan, ekonomi sirkular adalah upaya untuk memperpanjang umur siklus dari sebuah produk.

“Kita ingin agar terjadi semacam efisiensi didalam menggunakan sumber daya alam yang selama ini kita terus mengeksploitasi sumber daya alam untuk menghasilkan berbagai produk dan diupayakan kedepan sircular economy ini kita coba perpanjang umur siklus produknya,” kata Medrilzam dalam diskusi road to Tempo Circular Economy Awards, dengan judul “Praktik Circular Economy Industri di Indonesia”, yang disiarkan melalui YouTube Tempodotco, Jumat, 17 Desember 2021.

Dengan begitu, Medrilzam melanjutkan, penggunaan atau ekstrasi sumber daya alam berkurang. “Jadi kita bisa menyelamatkan bumi kita, mengurangi emisi dan sebagainya”.

Sebab, selain dengan memperpanjang umur siklus sebuah produk, juga mengurangi timbulan sampah atau limbah yang dihasilkan dari berbagai produk. “Jadi hasil dari produk-produk yang sudah tidak dipakai itu dibuang menjadi limbah bagi bumi kita, nah dengan praktek circular economy yang coba kita mulai terapkan ini tidak hanya di industri, tapi juga berbagai kegiatan-kegiatan lain,” ujarnya.

Harapannya, menurut Medrilzam, ada efisiensi dari sumber daya alam dengan mengurangi ekstraksi dan juga mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan selama ini. “Itu dua target besar, bila mana kita ingin mendorong praktek circular ekonomy ini”.

Dalam penerapan ekonomi sirkular di Tanah Air, Bappenas menetapkan 5 sektor industri prioritas yang nantinya akan menerapkan alternatif dari ekonomi linier tradisional (buat, gunakan, buang). Medrilzam menjelaskan lima sektor prioritas tersebut terdiri dari sektor makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, elektronik, dan perdagangan grosir atau eceran yang menggunakan kemasan plastik.

“Jadi lima sektor ini penggerak ekonomi kita, bahkan tenaga kerja yang bergerak di lima sektor ini besar sekali hampir 43 juta orang dan potensi dari kelima sektor ini untuk melakukan circular economy juga besar ternyata,” kata dia.

Penerapan ekonomi sirkular pada lima sektor industri di atas berpotensi menghasilkan tambahan PDB pada kisaran Rp 593642 triliun. Selain itu juga dapat menciptakan sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru hingga tahun 2030 dan penurunan emisi karbon dioksida atau CO2 hingga 126 juta ton.

“Karena itu, kita coba mendorong circular economy ini kita dorong betul, selain itu juga kita ingin perluas lagi lapangan kerjanya. Ini juga merespon sebagaimana kita melakukan sebuah transformasi ekonomi yang di tulang punggung oleh Green economy,” kata Medrilzam. “

Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo, Lucia Karina, mengatakan ekonomi sirkular itu adalah sistem yang melakukan pendekatan ekonomi dengan memaksimalkan kegunaan dan nilai bahan mentah tersebut. Sehingga komponenndan produk yang dipakai itu tidak akan menjadi limbah, tapi bisa dimanfaatkan untuk industri kelanjutannya.

“Kalau kita lihat apa yang dihadapi industri saat ini, selain keuntungan ada kendala yang dihadapi juga lumayan banyak untuk memulai ekonomi sirkular di Indonesia,” kata

Menurut Lucia, ada kendala di infrastruktur persampahan. “Kalau kita bicara konsumen produk, dari hulu sampah tersebut ada di rumah tangga. Infrastruktur pemilahan sampah dari rumah tangga, hanya satu kota yang ada yakni di Surabaya, tapi yg lainnya belum ada,” ujarnya.

Adapun, kendala kedua yakni adanya tumpang tindih dari regulasi yang ada. “Kalau kita ingin memenangkan pertarungan di circular economy itu adalah suatu kolaborasi yang betul-betul strategis, yang saling satu level antara semua pemangku kepentingan. Itu sebetulnya kuncinya,” kata Lucia.

Sebab, Lucia melanjutkan, kalau hanya diberikan pada satu pihak bahwa ini adalah tanggung jawab industri, ini akan terjadi ketimpangan. “Ini yang menurut saya menjadi PR bersama, ayo kita duduk bersama untuk mendorong ekonomi sirkular ini bisa jalan,” ujarnya,

Menurutnya, karena sirkular ekonomi ini akan membawa keuntungan luar biasa pada tiga sektor, yakni perekonomian, lingkungan, dan green jobs. “Kami dari Apindo menyambut baik adanya upaya untuk mendorong circular economy. Karena itu, sirkulasi ekonomi harus kita lakukan mulai sekarang, tanpa ada lagi level-levelan, level pemerintah, industri, swadaya masyarakat, dan lain sebagainya,” kata dia.

Adapun, Senior Brand Manager & Sustainability Champion P&G Indonesia, Ariandes Veddytarro, mengatakan, praktik sirkular ekonomi ini sangat penting untuk dipraktikan oleh pelaku industri, karena ini memberikan dampak positif. Pertama, efisiensi perusahaan.

Kemudian yang kedua, yakni meningkatkan persepsi di masyarakat terhadap perusahaan. Ketiga, yaini kepada lingkungan. “Kita tahu bawasannya dampak dari circular economy ini akan memberikan dampak positif, bumi kita ini adalah satu tempat yang kita tinggali, karena itu ini adalah bentuk tanggungjawab kita untuk menjagga melalui usaha di bidangnya kita masing,” kata dia.

Karena itu, Ariandes melanjutkan, ini menjadi hal yang perlu menjadi pertimbangan pelaku industri untuk menerapkan praktik circular economy dalam bisnisnya. “Di P&G praktik circular economy ini sudah dilakukan dengan memadukan prinsip Sustainability, yang kita terapkan dalam kegiatan operasional perusahaan kami dari hulu ke hilir,” ujarnya.

Director WRI Indonesia Nirarta Samadhi, mengatakan, konsep circular economy ini memang harus diadopsi sesegera mungkin. “Tapi perlu diperkuat dari sisi implementasinya, kita percuma punya rencana bagus tapi kalau tidak bisa dilaksanakan,” kata Nirarta.

Karena itu, untuk melaksanakan hal tersebut harus kolaborasi. Sebab, masing-masing pihak memiliki kelebihan dan potensi yang berbeda-beda, serta saling melengkapi. “Yang harus ditinggalkan adalah egoisme pribadi, karena kita tinggal di bumi yang sama mau siapapun asal kita dan apapun visi kita, kita harus peduli terhadap bumi kita tinggal dan harus bekerja bersama untuk menuju tujuan bersama yaitu melindungi bumi untuk anak cucu kita kedepan,” ujarnya.

President Joko "Jokowi" Widodo gave speech at World Leaders Summit on Forest and Land Use, held in Glasgow, Scotland on Tuesday, November 2 2021.(President Secretariat/BPMI Setpres/Lukas)

The more ambitious climate action the better for Indonesia’s economy

The Jakarta Post. Indonesia, like many other economies across the world, is gradually recovering from multiple waves of COVID-19 infection. Meanwhile, we are at a pivotal juncture in dealing with climate change, as the cost of climate impacts begins to mount and our window for action narrows.

Climate change has many dangerous implications for Indonesia. Indonesia’s gross domestic product (GDP) could shrink by 16.7 to 30.2 percent because of the impacts of climate change if the world is 2 to 2.6 degrees Celsius warmer by mid-century, according to recent analysis by the insurer Swiss Re. Indonesia also ranks as the most vulnerable to climate change impacts among the 48 countries analyzed.

Yet, climate action is also a huge opportunity. With system-changing green interventions in key economic systems, Indonesia could reach net-zero emissions by as early as 2045, while achieving strong, resilient growth. Read more…

presenting-the-future-of-carbon-market-indonesia_169

Hadapi Transisi Karbon, Bappenas Siapkan 3 Hal Penting

Jakarta, CNBC Indonesia – Dalam beberapa tahun terakhir, cuaca ekstrem di berbagai negara semakin meningkat seiring dengan pemanasan suhu yang sudah mencapai 1,1 derajat Celcius. Dampak kerugian yang ditimbulkan bukan hanya sekadar kerusakan lingkungan tetapi juga kehilangan dari sisi ekonomi, termasuk banyak lapangan kerja yang terdampak oleh karena isu atau bencana hidrometeorologi.
Hasil studi Bappenas menunjukkan, energi demand diproyeksikan meningkat 3 kali lipat pada 2060. Dalam komitmen yang diambil dalam COP26, pembangunan yang dilaksanakan di setiap negara Indonesia juga cukup banyak berkolaborasi dengan negara lain dan multilateral agency perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam berbagai potensi dan diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengejar berbagai target yang sudah dijalankan dalam kebijakan pembangunan berupa karbon.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/BAPPENAS Medrilzam, mengatakan pihaknya telah menyiapkan 3 hal penting dalam transisi rendah karbon melalui konteks pembangunan.

“Pertama, kami melakukan Exercise Net Zero Emission, tentunya terkait dengan penurunan intensitas energi Indonesia dalam rangka untuk menjajaki komitmen yang sifatnya yang lebih serius,” ujar Medrilzam dalam acara Presenting The Future of Carbon Market Indonesia, ICF 2021, Rabu (1/12/2021).

Intensitas emisi gas rumah kaca ini tentunya nanti akan diturunkan lagi menjadi kebijakan yang strategis terutama di 3 sektor, yakni energi, lahan, dan juga limbah. Dia menambahkan, perkiraan penurunan beberapa kebijakan seperti rekonstruksi dan rehabilitasi mangrove diperkirakan mampu berkontribusi 24,9 % untuk menurunkan emisi karbon.
Kedua, Medrilzam menuturkan Penerapan Ekonomi Sirkuler dalam Pola Bisnis Perusahaan menjadi hal penting selanjutnya. Adapun sektor yang diperhatikan dalam hal ini yakni ekonomi, sosial, dan Lingkungan. Sedangkan yang ketiga yakni Transfer Teknologi Rendah Karbon dan Pengembangan SDM.

“Dalam kaitannya dengan sumber daya manusia untuk mendukung implementasi dari praktisi rendah karbon melalui berbagai kegiatan dan sektor terkait, tentunya teknologi sangat erat kaitannya. Jangan sampai ketinggalan dari sisi teknologi dan kemampuan kita dalam mengekspor berbagai potensi inovasi dan teknologi yang bisa kita kembangkan,” jelasnya.
Sementara itu, Coordinating Vice Chairwoman KADIN Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani, mengungkapkan sejumlah skenario telah disiapkan Pemerintah untuk mencapai pembangunan rendah karbon. Hal ini telah tertuang dalam Low Carbon Development Initiative 219 yang berisikan strategi pembangunan Indonesia dalam pembangunan rendah karbon sampai dengan 2050 yang juga memprioritaskan kualitas lingkungan penanggulangan bencana dan perubahan iklim.

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga telah mengesahkan Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional, serta pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.
Pengesahan peraturan ini juga telah disampaikan oleh Jokowi dalam pertemuan COP26 yang di dalamnya mencakup nilai ekonomi karbon atau karbon pricing yang dilaksanakan melalui 4 mekanisme, yaitu perdagangan karbon, offset karbon, pembayaran berbasis kinerja dan pungutan atas karbon.

“Target penurunan emisi gas rumah kaca merupakan tanggung jawab negara namun sektor swasta memegang peranan penting. Dalam mewujudkan percepatan target tersebut, pemerintah di tingkat nasional mulai berkolaborasi dengan pihak swasta, pemerintah daerah, dan pihak-pihak lainnya untuk mencapai target iklim yang lebih ambisius,” tutur Shinta.

Menurutnya, keterlibatan sektor swasta merupakan suatu hal yang krusial, salah satu diantaranya dalam pengembangan solusi dan inovasi teknologi pengembangan inovasi dan terobosan energi yang diluncurkan pada 2021 dan masih menjadi pembahasan pada COP26, yang berfokus kepada percepatan adopsi teknologi untuk pembangkit energi terbarukan pada negara berkembang.

Hal ini ditujukan untuk mengurangi profil risiko untuk investasi sektor ini, yang juga membutuhkan keterlibatan dari sektor swasta. Upaya penurunan emisi gas rumah kaca juga dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar yang mendasarkan pada aspek Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Shinta menambahkan, kebijakan NEK ini memerlukan kerjasama dan kolaborasi berbagai pihak, termasuk swasta dalam upaya penanggulangan perubahan iklim dan penurunan emisi karbon untuk mencapai ekonomi yang berkelanjutan.

“Dengan ini, diharapkan nantinya investasi hijau global juga akan berlomba datang ke Indonesia, dan kesempatan ini akan menjadikan Indonesia sebagai acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor, terutama sektor energi transportasi dan juga industri manufaktur,” pungkas Shinta.

WhatsApp-Image-2021-10-31-at-17.30.56

Indonesia-Inggris perkuat komitmen ekonomi hijau melalui rendah karbon

Jakarta (ANTARA) – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas
Suharso Monoarfa menegaskan komitmen Indonesia dan Inggris untuk implementasi ekonomi
hijau serta menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, melalui program
pembangunan rendah karbon.

Suharso menegaskan hal tersebut usai bertemu Menteri Pasifik dan Lingkungan Hidup Inggris
Lord Zac Goldsmith dalam kunjungan kerja ke London, Inggris.

“Kolaborasi Pemerintah Indonesia dan Inggris telah memberikan landasan yang kokoh bagi
Indonesia untuk bergerak menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan melalui berbagai studi
kebijakan,” kata Suharso dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Minggu.

Selama ini, studi kebijakan mengenai pembangunan ekonomi hijau yang berkelanjutan
mencakup food loss and waste, carbon tax, carbon pricing, efisiensi energi, serta keterkaitan
antara keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Kerja sama Indonesia-Inggris dalam kerangka pembangunan rendah karbon yang telah dimulai
sejak 2017, kini memasuki fase transisi ke tahap kedua yang akan dimulai 2022 hingga 2025,
dengan target lebih strategis dan berdampak jangka panjang.

Pada 2019, Kementerian PPN/Bappenas bersama konsorsium penelitian dan mitra
pembangunan mengembangkan laporan berjudul “Perubahan Paradigma Menuju Perekonomian
Hijau di Indonesia”.

Laporan itu memiliki temuan kunci meliputi pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan dapat
menghasilkan tingkat pertumbuhan PDB rata-rata enam persen per tahun, hingga strategi
penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 43 persen pada 2030.

Kemudian, Kementerian PPN/Bappenas mengintegrasikan temuan tersebut ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, salah satunya dengan menjadikan
pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai indikator pembangunan ekonomi makro.

Pada 2021, bersama UK-Foreign, Commonwealth & Development Office dan didukung New
Climate Economy serta World Resources Institute, Kementerian PPN/Bappenas juga telah
menyusun laporan “Ekonomi Hijau untuk Menuju Net-Zero Emissions di Masa Mendatang”.
Laporan tersebut membahas pentingnya Build Back Better, atau komitmen untuk bangkit dari
COVID-19, menuju ekonomi hijau dan untuk mencapai net-zero emissions paling lambat pada
2060.

“Berdasarkan Laporan Ekonomi Hijau yang Bappenas terbitkan bulan ini, skenario net-zero akan
membawa manfaat tambahan dalam hal ekonomi, sosial, dan lingkungan, sebagai upaya yang
tidak terpisahkan dari langkah-langkah pemulihan COVID-19, sekaligus berkontribusi dalam
menjaga suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius yang turut menjadi tujuan bersama Indonesia-Inggris,” kata Suharso