3S4A0507

Green Economy Championship Program, Upaya Perkuat Pemahaman dan Implementasi Ekonomi Hijau 10 Provinsi

Green Economy Championship Program telah diselenggarakan di Bekasi, Jawa Barat, 5-6 September 2022. Acara ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas sekaligus menyamakan paradigma dan pemahaman terkait Ekonomi Hijau, khususnya kepada local champions 7 pemerintah provinsi pilot Pembangunan Rendah Karbon/PRK (Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Papua, dan Papua Barat) ditambah 3 pemerintah provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, dan Maluku.  Termasuk perwakilan universitas dan mitra pembangunan.

Melalui program ini, para local champions diharapkan dapat memahami secara lebih mendalam tentang Green Economy Index (Indeks Ekonomi Hijau) yang baru saja diluncurkan dan penggunaan pemodelan system dynamics untuk membangun konsep terintegrasi dari Ekonomi Hijau.

Kementerian PPN/Bappenas sebelumnya telah meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau atau Green Economy Index (GEI) pada pertemuan ketiga G20 Development Working Group, pada 9 Agustus 2022. GEI diluncurkan guna mengukur progres, efektivitas, dan capaian transformasi ekonomi hijau secara tangible (nyata), representatif, dan akurat.

Ekonomi hijau merupakan salah satu strategi yang menjadi game changer transformasi ekonomi sebagai respon dari tantangan perubahan iklim dan pandemi Covid-19 serta terdiri dari 15 indikator di bawah pilar lingkungan, ekonomi, dan sosial. Ekonomi hijau diusung guna mentransformasi perekonomian nasional menjadi lebih berkelanjutan dan mendorong pemulihan hijau, melalui Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim.

Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas, Dr. Medrilzam, menjelaskan asal usul ekonomi hijau yaitu environmental economics dan ecological economics, kemudian menyampaikan bahwa Ekonomi hijau merupakan tool untuk menyusun perencanaan di daerah guna mencapai target nasional yang dicanangkan dengan pendekatan sistem.

Untuk itu, pemerintah pusat tidak dapat berjalan sendiri. Perencanaan kebijakan Ekonomi Hijau perlu terintegrasi antar sektor dan harus dibantu dengan pemerintah daerah. “Isu perubahan iklim adalah isu pembangunan. Sektor lingkungan memang terdampak, namun perubahan iklim merupakan hasil dari aktivitas semua sektor. Hal ini tidak bisa ditangani sendiri, perlu ada prime mover di daerah masing-masing sebagai local champion, dan juga peneliti dari universitas-universitas serta peran media sebagai sarana untuk merubah perilaku dan menyebarkan informasi terkait ekonomi hijau,” ujar Medrilzam.

Sesi kedua diisi dengan Workshop Green Economy Index sebagai Alat Ukur Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang disampaikan oleh Program & Policy (PRK) Team Leader, Egi Suarga. Peserta didampingi untuk mendiskusikan indikator-indikator GEI yang perlu dipertimbangkan guna menyusun RPRK Daerah.

 

Agenda di hari kedua adalah Workshop Pemodelan Dinamika Sistem untuk Mendukung Perencanaan Kebijakan Ekonomi Hijau yang disampaikan oleh Ahli Pemodelan ITB, Dr. Muhammad Tasrif. Beliau menjelaskan logika berpikir pemodelan dengan menggunakan pendekatan system dynamics. Peserta kemudian diajak menggunakan software Vensim sebagai alat bantu untuk keperluan penyusunan dokumen kebijakan perencanaan daerah. Harapannya, dari agenda ini, peserta dapat memahami konsep dasar dan strategi utama Ekonomi Hijau dan GEI sebagai alat bantu pengukuran keberhasilan pertumbuhan Ekonomi Hijau, serta dapat menggunakan pemodelan system dynamics Ekonomi Hijau untuk melakukan exercise kebijakan dalam perumusan dokumen kebijakan daerah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Daerah.

Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 6 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 6 Agustus 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan Proyek DKTI di Kota Malang, 11 Mei 2022

Bappenas dan Program Kerjasama Jerman dukung Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau melalui Pengelolaan Sampah Berkelanjutan: Implementasi di Level Kota/Kabupaten Jadi Kunci

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab perubahan iklim, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim. Salah satu penyebab tingginya emisi GRK adalah dikarenakan adanya dekomposisi sampah yang tidak terkelola dengan baik sehingga menghasilkan emisi gas buang yang terlepas ke lingkungan. Indonesia sebagai negara keempat dengan populasi terpadat di dunia[1] diestimasikan memproduksi hingga 105.000 ton limbah padat setiap harinya,[2] menempatkan sektor limbah menjadi penyumbang emisi terbesar ketiga di Indonesia setelah sektor kehutanan dan energi,[3] yaitu sekitar 5% dari total emisi di dunia.[4] Implementasi kebijakan pengelolaan sampah berkelanjutan dari hulu ke hilir, baik di tingkat nasional maupun Kota/Kabupaten, dapat mengurangi total emisi GRK sebesar 10-15%.[5] Oleh karena itu, sistem pengelolaan sampah terpadu di pusat dan daerah dapat berkontribusi secara signifikan terhadap aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.

 

Pemerintah Indonesia telah menggagas konsep PRK yang terdiri dari 5 (lima) sektor prioritas, diantaranya adalah Penanganan Limbah dan Ekonomi Sirkular. Kebijakan PRK sektor limbah diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dan pengelolaan limbah hingga mencapai 100% pada tahun 2060. Implementasi dari ekonomi sirkular yang mampu mengurangi timbulan limbah yang dihasilkan dan dibuang, mengutamakan penggunaan energi terbarukan, dan mendukung efisiensi penggunaan sumber daya alam, produk yang dihasilkan, serta proses yang digunakan pada industri sehingga lebih ramah lingkungan. Telah banyak kebijakan dan strategi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai turunan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, diantaranya PP No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,Perpres No. 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (JAKSTRNAS), Peraturan Menteri LHK no. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, Peraturan Menteri LHK No. 14/2021 tentang Pengelolaan Sampah di Bank Sampah, dll. Kementerian PPN/Bappenas juga mendorong berbagai Kabupaten/Kota agar mengimplementasikan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dengan menerapkan konsep ekonomi sirkular untuk mendukung prinsip ekonomi hijau. Implementasi tersebut juga perlu didukung oleh penguatan data yang menunjang perumusan kebijakan, pengembangan kapasitas teknis dalam penggunaan teknologi pengelolaan sampah yang relevan dengan strategi pengurangan emisi, dan pendanaan untuk biaya operasional pengelolaan sampah di daerah.

Dalam rangka memperkuat implementasi RPJMN 2020-2024 khususnya terkait Pembangunan Rendah Karbon di sektor limbah dan  ekonomi sirkular Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas didukung oleh Program Kerjasama Jerman yang diimplementasikan oleh GIZ melaksanakan Proyek Pengurangan Emisi di Perkotaan melalui Peningkatan Pengelolaan Sampah (DKTI) yang bertujuan untuk mendukung perencanaan dan pengembangan pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir dengan memperbaiki enabling condition di tingkat nasional dan di Kabupaten/Kota piloting. Pelaksanaan Proyek DKTI diawali di Bulan April-Mei 2021 dengan seleksi lokasi piloting project berdasarkan 5 (lima) faktor penilaian (Readiness/ Kesiapan, Sustainability/ Keberlanjutan, Relevance/ Keterkaitan,  Replicability/ Kemampuan Replikasi, dan Need of Technical Assistance/ Kebutuhan Bantuan Teknis). Enam Kabupaten/Kota yang terpilih sebagai pilot project DKTI dalam sistem pengelolaan sampah. Ke-enam Kabupaten/Kota tersebut yakni Kota Cirebon, Kota Malang, Kota Bukittinggi, Kota Jambi, Kota Denpasar, dan Kabupaten Bogor. Komitmen dari Kab/Kota untuk implementasi project DKTI tertuang dalam surat komitmen dari 6 ( enam) kepala daerah.

Pada Bulan April-Juni 2022 dilakukan kegiatan kunjungan dan pertemuan dengan Badan Perencanaan Daerah, Dinas Lingkungan Hidup, dan dinas terkait lainnya di 6 (enam) Kota/Kabupaten tersebut. Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan komitmen dan memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sampah, mendiseminasikan kegiatan DKTI kepada pemangku kepentingan terkait, dan menerima masukan serta informasi terbaru berkaitan dengan manajemen persampahan, serta dukungan yang dibutuhkan dari berbagai Kota/Kabupaten terkait. Dalam pertemuan tersebut, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas juga menyampaikan pentingnya Reformasi Sistem Tata Kelola Persampahan di Kota/Kabupaten untuk mendukung pengelolaan sampah berkelanjutan, dilanjutkan pemaparan masing-masing profil pengelolaan sampah dan diskusi dengan pemangku kepentingan yang hadir.

 Secara umum, ke-enam Kabupaten/Kota memerlukan pembaharuan dokumen perencanaan atau Master Plan pengelolaan sampah agar sesuai dengan kondisi riil di wilayahnya. Sebagai contoh, Kota Malang yang pada tahun 2021 angka timbulan sampahnya sebesar 718,44 ton/hari memiliki Master Plan persampahan tahun 2020 yang belum sesuai dengan JAKSTRADA (Kebijakan dan Strategi Daerah terkait Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga). Selain itu, Kabupaten Bogor dengan Master Plan tahun 2014 membutuhkan adanya pembaruan yang tidak sekedar berpusat pada aspek infrastruktur namun juga terdapat aspek seperti partisipasi dan penguatan masyarakat serta terkait dengan isu zonasi. Oleh karena itu, intervensi berupa bantuan teknis dibutuhkan untuk menyusun Master Plan baru dan merevisi dokumen kebijakan dengan mempertimbangkan kebutuhan pengembangan sistem pengelolaan sampah jangka Panjang yang holistik mencakup seluruh aspek perencanaan pengelolaan sampah.

Tantangan lain yang ditemukan di salah satu Kabupaten/Kota pilot adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah, termasuk adanya penambahan timbulan sampah ‘kiriman’ dari luar wilayah dan aktivitas tertentu seperti pariwisata dan komutasi penduduk keluar-masuk wilayah Kabupaten/Kota. Lebih dari 75% sampah di ke-enam daerah tersebut berujung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), menyebabkan TPA penuh lebih cepat sementara rata-rata pemerintah daerah tidak memiliki lahan untuk membangun TPA baru. Untuk itu, diperlukan implementasi proyek pilot dalam hal peningkatan kesadaran publik untuk dapat mengurangi timbulan sampah, diantaranya melalui kolaborasi dengan masyarakat sebagai aktor kunci dalam sistem pengumpulan sampah terpilah dan terjadwal, serta dialog dengan pemangku kepentingan terkait di level Kecamatan dan Kelurahan. Di Bukittinggi, penanganan sampah telah disisipkan dalam agenda agama berupa sedekah sampah. Selain itu untuk meningkatkan jumlah sampah terkelola, diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat, antara lain bantuan teknis untuk optimalisasi Tempat Pengolahan Sampah – Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) berkelanjutan seperti di Jambi, serta dukungan teknologi di TPS3R berupa Black Fly Soldier (BSF)/Lalat Tentara Hitam dan Plastic Extruder.

Sementara itu, pendanaan juga merupakan isu yang selalu menjadi perhatian di ke-enam Kabupaten/Kota pilot. Hal ini disebabkan karena alokasi anggaran pengelolaan sampah sangat minim dan tarif retribusi di daerah belum merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 (Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah). Oleh karenanya diperlukan peningkatan kapasitas dalam perhitungan biaya persampahan dan retribusi, eksplorasi opsi terkait akses pendanaan lainnya, pengembangan inovasi sistem penarikan retribusi sampah yang optimal, serta pengembangan model pembiayaan pengelolaan sampah.

Harapannya, melalui implementasi pendekatan berbasis sistem di tingkat Kota/Kabupaten pilot, aksi intervensi yang tengah dijalankan melalui proyek DKTI dapat mengakselerasi terwujudnya reformasi pengelolaan sampah berkelanjutan di berbagai daerah untuk mendukung pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau di Indonesia.

Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Cirebon, 8 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Jambi, 12 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Bukittinggi, 14 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Malang, 11 Mei 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kabupaten Bogor, 23 Juni 2022

[1] Worldometers. 2020. https://www.worldometers.info/world-population/#top20 diakses 29 Agustus 2022

[3] Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV Nasional 2017. http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/3150-kontribusi-penurunan-emisi-grk-nasional,-menuju-ndc-2030.html diakses 29 Agustus 2022

[4] Kristianto, G.A. & W. Koven. 2019. Estimating greenhouse gas emissions from municipal solid waste management in Depok, Indonesia. City and Environment Interactions: 4.

[5] Oates, L. et al. 2019. Supporting decent livelihoods through sustainable service provision: Lessons on solid waste management from Kampala, Uganda. Coalition for Urban Transitions.

fishing-boat-sunset-village-traditional-boat

Loss and Damage Akibat Dampak Perubahan Iklim di Sektor Pesisir

Konteks dan Isu

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Merujuk data (BPS, 2020) sekitar 42 juta orang tinggal pada daerah kurang dari 10 meter diatas permukaan laut. Padahal kajian proyeksi (USAID, 2016) menyebutkan kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada tahun 2050 yang berarti terdapat 42 juta penduduk berisiko kehilangan tempat tinggalnya. Dahuri (2006) juga menyatakan sebanyak 75% kota besar Indonesia terletak di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Bagi nelayan, dampak langsung perubahan iklim di daerah pesisir, yaitu semakin tingginya risiko melaut di tengah ketidakpastian cuaca sehingga dapat menyebabkan nelayan tidak lagi dapat melaut dan kehilangan mata pencaharian. Ditambah lagi dengan adanya banjir dan erosi pantai yang berpotensi merusak mangrove, tambak ikan, udang serta ladang garam di pantai sehingga menurunkan produktivitas masyarakat pesisir. Kondisi ini membuat kehidupan ekonomi masyarakat pesisir semakin terpuruk. Berdasarkan kajian Bappenas (2021), nilai potensial ekonomi rentang tahun 2020 – 2024 yang hilang akibat perubahan iklim dari sektor pesisir dan laut rerata mencapai Rp.81,53 Triliun yang menjadikan sektor ini paling terdampak akibat perubahan iklim dengan pesisir Pulau Jawa dan Sulawesi yang paling berpotensi tinggi.

Situasi dan Kondisi

Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim khususnya di wilayah pesisir. Hasil kajian Bappenas (2021) terkait dengan Coastal Vulnerability Index (CVI) yang mengklasifikasikan tingkat kerentanan berdasarkan parameter fisik dan oseanografi menunjukan bahwa panjang garis pantai terdampak dengan kategori CVI tertinggi (indeks 5) sepanjang 1819 km . Adapun Pulau Sulawesi memiliki indeks kerentanan tertinggi dengan 904.51 km. Sedangkan untuk Pulau Kalimantan dan Papua tidak memiliki indeks kerentanan pesisir dengan kategori kelas indeks 5.

Tabel 1. Tingkat Kerentanan Bahaya Pesisir di Indonesia
Sumber : Bappenas, 2021

Kondisi tersebut berdampak akan ancaman berupa berkurangnya luas daratan akibat tenggelam oleh air laut, rusaknya kawasan ekosistem pesisir akibat gelombang pasang, berubahnya mata pencaharian masyarakat, berkurangnya areal persawahan dataran rendah di dekat pantai, gangguan transportasi antar pulau, hilangnya objek wisata pulau, hingga menurunnya biodiversitas yang merupakan aset yang tidak ternilai.

Loss and Damage

Kerugian dan kerusakan atau loss and damage dapat disebabkan oleh efek buruk dari perubahan iklim baik peristiwa cuaca ekstrim atau peristiwa onset lambat (Cutter, 2019) Dalam perhitungan kerugian dampak perubahan iklim pada sektor laut dan pesisir, loss and damage tertinggi terjadi akibat adanya dampak perubahan iklim terhadap properti dan kegiatan perekonomian di kawasan pesisir dan laut (USAID, 2016).

Dampak perubahan iklim yang lebih besar terjadi di lokasi pusat pertumbuhan ekonomi yang memiliki atribut pembangunan wilayah yang lebih kompleks. Hal ini ditunjukan oleh studi yang dilakukan oleh USAID (2016) yang mendapati perbedaan yang signifikan dampak loss and damage di wilayah pusat perekonomian yang divisualisasikan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Proyeksi nilai ekonomi hilang dampak kenaikan air laut

Berdasarkan klasifikasi pusat perekonomian yang berada di kawasan pesisir, yang ditampilkan pada grafik di atas, Provinsi DKI Jakarta diproyeksikan akan mengalami kerugian ekonomi yang paling tinggi sebesar Rp. 13 miliar per tahun akibat dampak perubahan iklim pada sektor properti di kawasan pesisir. . Besaran nilai loss and damage yang tinggi di Jakarta ini disebabkan tingginya nilai properti dan investasi yang berada di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim di wilayah pesisir seperti abrasi, kenaikan permukaan air laut dan banjir. Kebalikan dengan tingginya kerugian ekonomi di Jakarta pada sektor properti, Provinsi Aceh dengan pusat pertumbuhan yang lebih sedikit dibandingkan dengan DKI Jakarta diproyeksikan mengalami kerugian sebesar 4,7 miliar per tahun sebagai dampak perubahan iklim. Proyeksi loss and damage yang diperhitungkan menitikberatkan pada besaran investasi properti di kedua lokasi berbeda yang akan berdampak langsung pada dampak perubahan iklim di wilayah pesisir.

Aksi Pengurangan Loss and Damage

Untuk mengurangi dampak negatif berupa degradasi biofisik, ekonomi dan sosial akibat loss and damage pada wilayah pesisir diperlukan upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi, yang merupakan proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak bencana yang diantisipasi akan terjadi dimasa yang akan datang (Diposaptono, 2003) Sedangkan adaptasi yang merupakan langkah penyesuaian yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang lebih buruk dari kejadian bencana (KLHK, 2018). 

Dalam konteks perubahan iklim, aksi pengurangan loss and damage berarti memodifikasi sistem sosial ekologi (SES) untuk mengakomodir dampak aktual, presisi serta prediksi (Barnet, 2001). Aksi ini perlu dilakukan dalam jangka waktu yang cepat dan terus dikembangkan terutama dalam menghadapi bahaya perubahan iklim pada tingkat unavoidable nature seperti yang digambarkan pada Gambar 2. (Cutter, 2019)

Gambar 2. Skenario kejadian pengurangan kerugian dan kerusakan bencana (Cutter,2019)

Konsep Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang merupakan konsep kegiatan terencana untuk meningkatkan kapasitas dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi dampak terhadap perubahan iklim juga perlu dilakukan sebagai upaya yang lebih dari adaptasi (beyond adaptation). Di dalam menangani dampak perubahan iklim di pesisir dan laut, konsep ini dapat dilakukan dengan pelaksanaan penataan tata ruang yang mempertimbangkan aspek perubahan iklim, penguatan instrumen pengendali iklim, penguatan kapasitas stakeholder, community-based development, koordinasi, dan pelaksanaan perlindungan sosial terhadap masyarakat yang terdampak. Aksi pengurangan dampak loss and damage yang telah dilakukan di wilayah pesisir Probolinggo dapat menjadi percontohan bagi wilayah rawan lainnya, yaitu melalui kegiatan seperti :

  • Berpindah Tempat Tinggal

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kalibuntu dalam menghadapi bencana banjir pasang air laut (rob) secara permanen dilakukan dengan cara berpindah tempat tinggal ke wilayah lain yang lebih tinggi dan aman 

  • Peninggian Pondasi Rumah

Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Probolinggo meninggikan pondasi rumah (0,5 – 1,0 meter) menyesuaikan dengan kondisi rob yang terjadi dan meningkat setiap tahunnya 

  • Membangun Tanggul Pantai (sea-wall)

Dalam penanggulangan kerusakan dan hilangnya lahan produktif (tambak, sawah dan perumahan) telah dilakukan dengan pembangunan dinding/tanggul pantai dan penanaman mangrove.

Gambar 3. Pembuatan Tanggul di wilayah pesisir (LIPI, 2019)
  • Inovasi Produksi Garam

Kabupaten Probolinggo terkenal dengan lahan tambak udang, bandeng, kepiting dan garam. Namun, dengan fenomena perubahan iklim yang sulit diprediksi, terdapat perpindahan kegiatan usaha masyarakat dari semula tambak udang, bandeng, kepiting yang lebih berisiko tinggi terhadap perubahan iklim beralih ke kegiatan tambak garam dengan inovasi yang mengantisipasi perubahan iklim.

Gambar 4. Pengembangan inovasi produksi garam (LIPI, 2019)

Inovasi tersebut dilakukan dengan sistem kerja buka tutup dilakukan mengikuti cuaca. Pada saat turun hujan dilakukan penutupan media penjemuran sedangkan pada saat cuaca panas tambak garam kembali dibuka. Dengan adanya inovasi ini, produksi garam yang telah dihasilkan sejak 2014-2018 berkisar antara 1,5-3,0 ton/10 hari dan menaikan  pendapatan petani garam  senilai sekitar 9 – 10 juta rupiah per bulan (LIPI, 2019)

Arah Kebijakan dan Strategi

Akselerasi pelaksanaan pengurangan loss and damage akibat dampak perubahan iklim sejatinya memerlukan kebijakan dan strategi yang kuat. Untuk mencapai hal tersebut terdapat beberapa strategi yang dilakukan seperti :

  1. Implementasi aksi ketahanan iklim yang berfokus pada peningkatan permukiman pesisir dan kawasan budidaya;
  2. Penguatan kestabilan masyarakat wilayah pesisir dengan pendampingan yang komprehensif dan holistik dalam bentuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas pengurangan dampak bencana iklim ;
  3. Penguatan regulasi penanggulangan bencana yang efektif dan efisien;
  4. Peningkatan integrasi kebijakan tingkat regional dan nasional berdasarkan kebutuhan komunitas pesisir;
  5. Penguatan investasi pengelolaan risiko bencana sesuai proyeksi dan prioritas lokasi;
  6. Penguatan tata kelola adaptasi dan mitigasi bencana perubahan iklim yang adaptif;
  7. Membangun ketahanan ekologi, ekonomi dan sosial khususnya daerah dengan tingkat risiko tinggi.


Semua strategi tersebut tentunya dijalankan dengan keterlibatan dan kolaborasi multi pihak yang mencakup lintas sektor sehingga dampak dari loss and damage akibat bencana iklim dapat diminimalkan untuk mencapai Indonesia yang lebih tangguh.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2020. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir. Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir. BPS Republik Indonesia Press. 

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2021. Climate Resilience Development Policy 2020-2045. Jakarta.

Barnett, J. 2001. Adapting to Climate Change in Pacific Island Countries: The Problem of Uncertainty. World Development 29(6): 977–93.

Cutter, Susan L. (2009). Measuring and Mapping Social Vulnerability dalam Cities at Risk. Bangkok.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka. Utama. Jakarta

Diposaptono, S. 2003. Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Alam Terpadu. Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2003

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan. 2018. Arah Kebijakan dan Sasaran Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Dirjen Pengendalian Perubah Iklim. Jakarta 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2019. Masyarakat Pesisir: Adaptasi Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Puslit Oseanografi – LIPI. Jakarta.

United States Agency for International Development (USAID), 2016. Indonesia: Coasts of Climate Change 2050. Brief Policy

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti

Close-up of agriculturist hands holding fresh arabica coffee berries in a coffee plantation. Farmer picking coffee bean in coffee process agriculture.

Tantangan dan Strategi Budidaya Kopi dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Budidaya Kopi di Indonesia

Kopi adalah salah satu komoditas perkebunan andalan di Indonesia yang berperan mendukung perekonomian negara dengan menghasilkan devisa negara, memberikan sumber pendapatan petani, dan menciptakan lapangan kerja. Semua provinsi di Indonesia memiliki lahan perkebunan kopi dengan mayoritas perkebunan tersebut dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Luas perkebunan kopi di Indonesia mencapai lebih dari satu juta hektar dengan wilayah perkebunan kopi terluas terletak di di Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 1) (BPS, 2020). Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai produsen kopi tertinggi keempat di dunia setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam (ICO, 2020). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, baik luas lahan perkebunan maupun produksi kopi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 2). International Coffee Organization (2020) juga memperkirakan dalam beberapa tahun ke depan peningkatan produksi kopi di Indonesia meningkat sebesar 3-5,8%. Disisi lain, perkebunan kopi sendiri memiliki tantangan yang cukup serius dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. Banyak penelitian yang telah menunjukkan indikasi perubahan iklim seperti perubahan intensitas hujan dan pola curah hujan, kenaikan suhu udara, pergeseran awal musim, serta kejadian dan intensitas iklim ekstrim yang semakin meningkat berpotensi memberikan dampak dan tantangan dalam menanam dan membudidayakan komoditas kopi (Pham Y et al 2019, Bunn et al 2015).

Gambar 1 Sebaran Luas Perkebunan Kopi di Indonesia (Sumber: BPS 2020)
Gambar 2 Luas dan Produksi Kopi di Indonesia Tahun 2011 hingga Tahun 2020 (Sumber: BPS 2020)

Tantangan Budidaya Kopi dalam Perubahan Iklim

Tanaman kopi memiliki umur hidup yang panjang (dapat mencapai 50 tahun) dengan siklus yang berulang setiap tahunnya dipengaruhi oleh iklim kondisi setempat, sehingga penanaman kopi saat ini berpotensi untuk terkena dampak perubahan iklim. Selama satu dekade terakhir, peningkatan suhu permukaan global lebih tinggi 1,090C dibandingkan dengan pasca revolusi industri (1850-1900) (IPCC, 2021). Peningkatan suhu tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi. Umumnya, masing-masing jenis kopi memiliki rentang suhu optimal berkisar 18-230C tergantung fase pertumbuhan yang sedang terjadi. Namun, penelitian menunjukan bahwa setiap kenaikan suhu 10C dapat menyebabkan penurunan produksi kopi mencapai 30,04%. Di sisi lain suhu udara yang sangat rendah (-30C hingga -5 0C) juga dapat mematikan daun kopi (Supriadi, 2014).

Tidak hanya kuantitas produksi kopi yang menurun, kualitas kopi juga dapat menurun akibat bulan kering berkepanjangan di atas 3 bulan (Willson, 1985). Peningkatan intensitas variabilitas iklim (seperti El Nino dan La Nina) akibat perubahan iklim dapat menyebabkan bulan kering berkepanjangan terjadi lebih sering dan intensitas curah hujan tidak tersebar merata di sepanjang tahun. Intensitas curah hujan yang dibutuhkan oleh tanaman kopi sebenarnya berbeda-beda tergantung dari kondisi tanah, kelembaban atmosfer, dan teknik budidaya kopi. Umumnya, curah hujan tahunan optimum untuk tanaman kopi adalah berkisar 1200 – 1800 mm dengan deret hari terjadi hujan tersebar merata (Willson, 1985).  Sayangnya, perubahan iklim cenderung membuat pola curah hujan bergeser. Penurunan total curah hujan bulanan atau musiman tidak selalu menggambarkan terjadinya penurunan intensitas curah hujan harian. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah hari hujan yang menurun dan kumulatif hujan dalam satu bulan atau satu musim hanya berasal dari kejadian hujan dengan intensitas yang tinggi. Intensitas hujan yang terlalu tinggi tentu akan meningkatkan risiko banjir dan gagal panen.

Selain menyangkut kualitas dan kuantitas produksi kopi, perubahan iklim juga menyebabkan semakin minimnya wilayah iklim yang cocok di Indonesia untuk melakukan budidaya kopi. Suhu udara yang cocok untuk budidaya kopi umumnya berada di altitude yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah. Petani yang menyadari adanya ketidakcocokan iklim di wilayah budidaya mereka, maka akan memilih bercocok tanam ke wilayah dengan altitude yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah. Disisi lain, wilayah yang altitude lebih tinggi tersebut seringkali merupakan Kawasan Hutan Lindung. Akibatnya, Kawasan hutan lindung akan beralih fungsi secara ilegal menjadi lahan perkebunan yang diputuskan sepihak oleh petani kopi. Oleh sebab itu, dalam menghadapi perubahan iklim diperlukan inovasi konkrit untuk mempertahankan budidaya kopi serta kuantitas dan kualitas produksinya.

Strategi yang dapat dilakukan

Secara umum, Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian telah mengusungkan 3 (tiga) pendekatan untuk menghadapi permasalahan perubahan iklim dalam budidaya kopi yaitu, pendekatan strategis (identifikasi wilayah), taktis (pengembangan metode dan teknik prediksi atau pemodelan musim) dan operasional (teknologi penanggulangan apabila prediksi meleset). Skema ketiga pendekatan ini dirincikan sebagai berikut:

  1. Pendekatan strategis dapat berupa inventarisasi data dan informasi terkait wilayah-wilayah yang membudidayakan kopi. Strategi ini meliputi penyusunan peta sebaran wilayah perkebunan kopi, identifikasi sistem budidaya perkebunan kopi di setiap wilayah yang ada, penyusunan peta lokasi kerawanan terhadap bencana banjir ataupun kekeringan, serta melanjutkan kegiatan penelitian dan program aksi untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
  2. Pendekatan taktis yang dapat dilakukan adalah memperkuat perkiraan atau prediksi serta analisis iklim dalam satu musim ke musim berikutnya dengan menggunakan data historis yang tersedia (menganalisis melalui grafik hujan bulanan/dekade/mingguan versus real time). Bila diperlukan, dapat juga menambahkan alat ukur cuaca khusus di lokasi-lokasi budidaya kopi prioritas. Pendekatan ini dapat menghasilkan kalender budidaya tanaman kopi yang siap dalam menghadapi perubahan iklim. Pada tanaman pangan semusim (seperti padi) prakiraan iklim telah banyak dimanfaatkan untuk menyusun kalender tanam. Oleh karena itu, kalender budidaya tanaman kopi selama satu tahun juga dapat disusun untuk membantu petani dalam melaksanakan perawatan (pemupukan, penyiraman, dan sebagainya) sesuai dengan fase-fase pertumbuhan tanaman kopi dan spesifik di wilayah tertentu.
  3. Pendekatan operasional dilakukan dengan membangun inventarisasi teknologi khususnya dalam mengendalikan intensitas curah hujan. Peta sebaran bangunan sumberdaya air (embung, sumur bor, waduk) dapat digunakan untuk merencanakan sarana irigasi atau saluran air yang dapat mengatur ketersediaan air. Sehingga, ketika intensitas curah hujan tinggi, air dapat dialirkan menuju tempat penyimpanan, dan ketika kering berkepanjangan air dapat dialirkan melalui lokasi-lokasi penyimpanan atau sumber air. Alternatif lain yang dapat diadopsi adalah penerapan asuransi indeks iklim yang memerlukan perencanaan lebih lanjut dengan prediksi iklim yang kuat.

Ketiga pendekatan ini tetap memerlukan tenaga terlatih yang dapat menggunakan sistem informasi sehingga dapat mendampingi petani dalam melakukan budidaya kopi. Selain intervensi langsung dari tenaga ahli saat budidaya kopi, aksi nyata ketahanan iklim dapat juga dilakukan dengan mentransfer pengetahuan tersebut langsung pada petani. Hal ini dapat meningkatkan kapasitas masyarakat terkait climate smart agriculture melalui program seperti sekolah lapang Iklim, program kampung iklim, serta pendampingan penggunaan alat mesin pertanian.

Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) merupakan perwujudan komitmen pemerintah Indonesia dalam menangani berbagai tantangan isu perubahan iklim. Peningkatan ketahanan iklim ini difokuskan pada 4 (empat) sektor terdampak perubahan iklim, salah satunya adalah sektor pertanian. Saat ini sektor pertanian berfokus pada tanaman padi sebagai indikator dalam penilaian bahaya iklim. Adanya potensi penurunan produksi padi akibat perubahan iklim tentu berdampak pada kerugian ekonomi nasional. Proyeksi kerugian ekonomi nasional pada sektor pertanian diperkirakan mencapai 77,9 Triliun Rupiah pada tahun 2020-2045. Kerugian ini tentu akan semakin tinggi apabila komoditas kopi juga diikutsertakan dalam analisis bahaya iklim mengingat pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, kedepannya pengembangan kajian ketahanan iklim akan diperkuat dengan penambahan komoditas lain yang juga berdampak signifikan terhadap perubahan iklim. Hal ini tentu akan memberikan dampak pada peningkatan ketahanan iklim di Indonesia.

Kesimpulan

Faktor iklim merupakan faktor penting dalam budidaya tanaman kopi, sehingga terjadi perubahan iklim memberikan dampak penurunan terhadap kuantitas dan kualitas produksi kopi. Iklim yang tidak sesuai akan mendukung pertumbuhan tanaman menurun, daun menguning, bunga gugur, percepatan fase pertumbuhan sehingga menurunkan kualitas, tanaman mati, serta memicu hama dan penyakit tanaman yang dapat merusak tanaman kopi. Dampak perubahan iklim tidak hanya berpengaruh pada produksi kopi saja, namun juga berpengaruh terhadap rangkaian aktivitas lain pada rantai nilai kopi. Produksi kopi yang buruk akan menghasilkan kualitas yang buruk, sehingga terjadi penurunan harga jual. Saat ini, tuntutan permintaan produksi kopi dengan kualitas yang baik akan terus meningkat bukan hanya di tingkat lokal tetapi juga global, sedangkan risiko perubahan iklim terus meningkat. Oleh karena itu aksi ketahanan iklim yang terintegrasi dalam jangka panjang dan bersifat menyeluruh sangat dibutuhkan, seluruh aktor dalam rantai nilai kopi, para stakeholder, dan pemerintah juga harus berperan serta dalam melakukan upaya adaptasi perubahan iklim terhadap budidaya kopi.

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). 2020. Statistik Kopi Indonesia. [www.bps.go.id]
  2. International Coffee Organization (ICO). 2020. Coffee Market Repor. [https://www.ico.org/trade_statistics.asp].
  3. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2021. Climate Change 2021 The Physical Science Basis Summary for Policymakers. [www.ipcc.ch].
  4. Supriadi, H. 2014. Budidaya tanaman kopi untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Perspektif 13 (1): 35-52.
  5. Clifford M.N and Willson K.C. 1985. Coffee: Botany, Biochemistry, and Production of Beans and Beverage. United States: Springer.
  6. Pham, Y., Reardon-Smith, K., Mushtaq, S. et al. 2019 The impact of climate change and variability on coffee production: a systematic review. Climatic Change 156, 609–630. https://doi.org/10.1007/s10584-019-02538-y

Bunn, C., Läderach, P., Ovalle Rivera, O. et al. 2015. A bitter cup: climate change profile of global production of Arabica and Robusta coffee. Climatic Change 129, 89–101. https://doi.org/10.1007/s10584-014-1306-x

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti

6

Ekonomi Sirkular Jadi Bagian Dari Transformasi Ekonomi

Ekonomi sirkular bukan hanya sekadar soal pengelolaan limbah yang lebih baik, melainkan juga mencakup rangkaian intervensi holistik dari hulu hingga hilir. Hal ini mendongkrak efisiensi dalam penggunaan sumber daya.

JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah berkomitmen untuk mengimplementasikan ekonomi sirkular di bawah payung pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau sebagai bagian dari strategi transformasi ekonomi nasional. Selain meningkatkan produk domestik bruto, penerapan ekonomi sirkular juga berpotensi memberi manfaat positif dari sisi sosial dan lingkungan.

Komitmen tersebut terekspos dalam peluncuran buku berjudul The Future is Circular: Langkah Nyata Inisiatif Ekonomi Sirkular di Indonesia yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (LCDI), serta Kedutaan Besar Denmark untuk Indonesia di Jakarta, Kamis (18/8/2022). Buku ini ditulis oleh tim dari Cleanomic, sebuah platform media sosial yang membahas topik seputar hidup lestari.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Medrilzam mengatakan, ekonomi sirkular bertujuan untuk meminimalkan penggunaan materi dan sumber daya sekaligus mendorong agar suatu produk memiliki daya guna selama mungkin. Itu dilakukan dengan mengembalikan sisa proses produksi dan konsumsi ke dalam siklus produksi.

”Dengan demikian, konsep ekonomi sirkular bukan hanya sekadar pengelolaan limbah yang lebih baik, melainkan juga mencakup serangkaian intervensi yang holistik dari hulu hingga hilir dengan meningkatkan efisiensi dari penggunaan sumber daya di setiap rantai nilai kegiatan ekonomi,” ujarnya.

Medrilzam menuturkan, Bappenas bersama kementerian/lembaga lainnya akan menjadikan ekonomi sirkular sebagai prioritas pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional dalam 20 tahun ke depan. Ekonomi sirkular saat ini menjadi salah satu alat bagi pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi hijau Indonesia ke depan.

Sesuai dengan Peta Jalan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau disebut juga Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia 2030, Indonesia telah menetapkan kebijakan pembangunan rendah karbon yang kemudian diselaraskan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Salah satu komitmen konkret upaya pembangunan rendah karbon Indonesia adalah menetapkan target nasional penurunan emisi sebesar 27,3 persen pada 2024. Untuk mencapai target-target tersebut, Indonesia perlu mengubah sistem-sistem lama yang sudah tidak lagi efektif, bahkan berisiko merusak lingkungan.

”Pada prinsipnya, sistem ekonomi sirkular merujuk pada usaha-usaha mempertahankan nilai produk, bahan, dan sumber daya dalam perekonomian selama mungkin, sembari tetap menghasilkan pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Buku yang diluncurkan Bappenas ini terdiri atas enam bab. Bab pertama menjelaskan mengenai ekonomi sirkular dan pembangunan rendah karbon secara komprehensif. Sementara lima bab selebihnya menceritakan soal inisiatif yang dilakukan 36 lembaga/perusahaan dalam menjalankan prinsip-prinsip ekonomi sirkular.

Para Inisiator

Sejumlah 36 inisiator tersebut terdiri dari perusahaan swasta, BUMN, usaha rintisan, hingga lembaga pemerintahan, di antaranya PT Pertamina (Persero), PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk, PT Astra International Tbk, Gojek, Rebricks, Beli Jelantah, serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Medrilzam mengklaim, penerapan ekonomi sirkular di 36 inisiator tersebut juga mampu menghasilkan efisiensi energi sebanyak 4,8 juta megawatt, penurunan konsumsi air lebih dari 252.000 meter kubik, serta pengurangan 827.000 ton sampah.

Para inisiator ini juga mengurangi emisi gas rumah kaca lebih dari 1,4 juta ton karbon dioksida ekuivalen. Capaian terakhir ini sejalan dengan upaya pemerintah dalam mencapai pembangunan rendah karbon dan emisi nol bersih.

”Selain itu, tercipta juga lapangan kerja baru yang menyerap hingga sekitar 14.270 tenaga kerja baru. Angka-angka ini mencerminkan betapa masifnya, betapa hebatnya dampak positif yang bisa dihasilkan dari ekonomi sirkular ini,” kata Medrilzam.

Dalam kesempatan yang sama, Environment and Social Responsibility Manager Astra International Jaka Fernando mengatakan, melalui penerapan ekonomi sirkular, Astra International mampu menekan biaya operasional hingga Rp 1,5 triliun.

”Astra tanpa disadari telah menerapkan konsep ekonomi sirkular sejak lama dan bahkan telah menjadi satu komoditas industri. Secara prinsip, konsep yang dianut Astra adalah rantai nilai karena industri lini bisnisnya bergerak dari hulu sampai hilir,” kata Jaka.

Program dan inisiatif ekonomi sirkular yang telah dilakukan Astra antara lain melakukan proses daur ulang aki mobil/motor menjadi bahan mentah yang akan diremanufaktur oleh PT GS Battery. Selain itu, dilakukan pemanfaatan kembali material mesin dan bagian-bagian alat berat dengan melakukan remanufaktur dan rekondisi komponen alat berat agar kembali sesuai degan spesifikasi aslinya.

Perusahaan juga mengelola limbah dari hasil penggunaan mesin fotokopi dan dari proses rekondisi mesin fotokopi hingga menggunakan kembali plastik bekas pembungkus komponen (sparepart) di area gudang. Di samping itu, dilakukan standardisasi penggunaan plastik untuk membungkus produk serta penggunaan plastik ramah lingkungan.

Kerja sama

Officer in Charge Resident Representative UNDP Indonesia Nicholas Booth menyampaikan, kerja sama sangat penting untuk mewujudkan ekonomi sirkular. Sebaliknya, hal ini sulit dikembangkan jika hanya mengandalkan pemerintah, tanpa melibatkan sektor swasta. Ia melihat saat ini banyak dunia usaha berskala kecil di Indonesia yang berpotensi untuk masuk dalam ekosistem ekonomi sirkular.

”Untuk memperbesar ekosistem ekonomi sirkular di Indonesia, perlu dukungan penuh dari pemerintah, termasuk dengan memberikan berbagai insentif. Di sisi lain, sektor swasta dapat saling menampilkan contoh praktik baik yang dijalankan mulai dari korporasi yang bertaraf internasional hingga UMKM dalam menjalankan ekonomi sirkular,” kata Booth.

Sementara itu, Head of Environment and Water Kedutaan Besar Denmark untuk Indonesia Julie Bulow Appelqvist menuturkan, ekonomi sirkular juga sebuah konsep yang baru di Denmark dan negara Skandinavia pada umumnya. Saat ini negaranya juga masih mencoba menemukan cara yang efektif untuk mendorong ekonomi sirkular.

”Ekonomi sirkular adalah hal yang masih baru di dunia sehingga semua negara di dunia perlu terus mencari cara baru dan menemukan berbagai solusi terhadap permasalahan lingkungan,” ujarnya.

AM0_3941

Indonesia Miliki Indeks Ekonomi Hijau

Kementerian PPN/Bappenas meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau Indonesia serangkaian acara side event DWG G20 di Nusa Dua, Badung, Selasa (9/8/2022). Indeks Ekonomi Hijau menjadi tolok ukur capaian transformasi ekonomi.

BADUNG, KOMPAS — Indonesia kini memiliki tolok ukur indikator perkembangan ukuran keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi dan kesetaraan sosial masyarakat serta mitigasi risiko kerusakan lingkungan dengan diluncurkannya Indeks Ekonomi Hijau Indonesia oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Indeks Ekonomi Hijau (Green Economy Index) Indonesia memberikan gambaran pencapaian dan skor Indonesia dalam transformasi menuju ekonomi hijau.

Ekonomi hijau menjadi satu dari enam strategi transformasi ekonomi Indonesia, yang ditetapkan Kementerian PPN/Bappenas, dalam upaya mencapai visi Indonesia 2045 dan dinyatakan sebagai pengubah permainan (game changer) bagi Indonesia dalam pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19 dan menuju arah pembangunan berkelanjutan.

Laporan Indeks Ekonomi Hijau (Green Economy Index/GEI) Indonesia akan diintegrasikan ke dalam dokumen pembangunan nasional, baik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

GEI Indonesia untuk kali pertama tersebut diluncurkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa serangkaian pertemuan ketiga Development Working Group (DWG) dalam acara sampingan (side event), yang diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas, terkait presidensi G20 Indonesia di Nusa Dua, Badung, Bali, Selasa (9/8/2022).

Melalui video, yang ditayangkan dalam forum 3rd DWG Meeting Side Event G20 dengan tema ”Towards Implementation and Beyond: Measuring the Progress of Low Carbon and Green Economy”, Selasa (9/8/2022), Suharso Monoarfa menyebutkan, GEI Indonesia menjadi tolok ukur pencapaian Indonesia dalam upaya transisi menuju ekonomi hijau.

Menurut Suharso Monoarfa, ekonomi hijau memiliki prinsip utama menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus mendorong kesejahteraan sosial dan menjaga kualitas dan daya dukung lingkungan.

Hal itu dinyatakan berfokus pada peningkatan investasi hijau, pengelolaan aset dan infrastruktur yang berkelanjutan, dan memastikan transisi yang adil dan terjangkau serta memberdayakan sumber daya manusia.

Keberadaan GEI Indonesia mendapat respons positif dari sejumlah pihak, antara lain , Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins dan Duta Besar Jerman untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste Ina Lepel; maupun dari lembaga mitra di dalam negeri dan juga mitra dari luar negeri.

Melalui tayangan videonya, Dubes Owen Jenkins menyatakan, GEI Indonesia dengan 15 indikator tersebut merupakan hal mendasar, yang menunjukkan Indonesia berada pada jalur menuju ekonomi hijau.

Transformasi Ekonomi

Indeks Ekonomi Hijau Indonesia menghitung skor Indonesia dalam transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau dengan melihat perbandingan kemajuan dari indikator terhadap nilai minimal dan target maksimal, yang ingin dicapai.

Nilai minimal indikator berdasarkan data historis Indonesia dari acuan terendah, sedangkan nilai maksimal didasarkan target yang sudah dicantumkan dalam Visi Indonesia 2045 dan target dalam model Low Carbon Development Initiative (LCDI) 2045 untuk mencapai Net Zero Emission 2060. Adapun rentang waktu data histori GEI Indonesia mulai 2011 sampai 2020.

Terdapat 15 indikator dalam GEI Indonesia, yang mencakup tiga pilar, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang mencerminkan pembangunan ekonomi hijau. Pilar ekonomi terdiri atas enam indikator, antara lain, intensitas emisi, intensitas energi, dan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita.

Sementara itu, pilar sosial mencakup empat indikator, yakni tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, angka harapan hidup, dan rata-rata lama sekolah. Sementara pilar lingkungan meliputi lima indikator, yaitu tutupan lahan, lahan gambut terdegradasi, penurunan emisi, sampah terkelola, dan energi baru terbarukan.

Laporan GEI Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan dan adanya sinergitas antarpilar.

Dari siaran pers Kementerian PPN/Bappenas disebutkan, GEI Indonesia bertujuan menjaga arah pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang dan mempercepat penerapan program pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim sebagai tulang punggung dalam transisi menuju ekonomi hijau.

Adapun transisi ekonomi hijau dinyatakan dapat memberikan beragam manfaat bagi Indonesia, di antaranya, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata 6,1-6,5 persen per tahun hingga 2050.

Lalu penurunan intensitas emisi hingga 68 persen di tahun 2045, penyelamatan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 87-96 miliar ton selama rentang 2021-2060, dan penambahan lapangan kerja di sektor pekerjaan ramah lingkungan (green jobs) bagi 1,8 juta tenaga kerja pada 2030.

Dalam acara peluncuran GEI Indonesia, perencana ahli utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto, yang mewakili Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas J Rizal Primana mengatakan, peluncuran GEI Indonesia menjadi wujud nyata Indonesia dalam mengukur efektivitas transformasi ekonomi, yang berkelanjutan dan rendah karbon, dengan menggunakan metodologi yang akurat.

Laporan GEI Indonesia juga membuktikan komitmen Indonesia, terutama Kementerian PPN/Bappenas, dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Dalam sambutannya itu, Arifin juga menyatakan Indeks Ekonomi Hijau akan ikut dijadikan sasaran makro pembangunan, baik dalam dokumen RPJMN maupun RPJPN.

Sebelumnya, dalam sesi pengarahan media menjelang acara side event G20 dengan tema ”Towards Implementation and Beyond: Measuring the Progress of Low Carbon and Green Economy” di Nusa Dua, Badung, Selasa (9/8/2022), Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menerangkan, GEI menjadi upaya Bappenas dalam mengukur performa pembangunan menuju ekonomi hijau.

Secara umum, pencapaian indikator-indikator pada pilar ekonomi dan pilar sosial terukur lebih tinggi dibandingkan pencapaian indikator pada pilar lingkungan.

Meski demikian, menurut Medrilzam, kondisi Indonesia sudah mengindikasikan perbaikan dan pembangunan menuju ekonomi hijau berada pada jalur yang sesuai. ”Kondisi Indonesia tidaklah jelek. Performa pembangunan ekonomi hijau Indonesia menunjukkan tren meningkat dalam 10 tahun,” ujar Medrilzam.

Anggota DPR, yang juga Sekretaris Kaukus Ekonomi Hijau Parlemen dan Komisioner Low Carbon Development Initiative (LCDI), Dyah Roro Esti Widya Putri mengatakan, pembangunan rendah karbon juga berpeluang menciptakan lapangan kerja di sektor pekerjaan hijau, berkontribusi dalam mengurangi kemiskinan ekstrem, dan berkontribusi dalam mengurangi emisi GRK maupun polusi air dan polusi udara.

Dalam sesi pengarahan media tersebut, Roro juga menyatakan pentingnya kerja sama dan sinergi pemerintah dengan parlemen dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.

Adapun acara peluncuran GEI Indonesia dalam acara side event G20 dengan tema “Towards Implementation and Beyond: Measuring the Progress of Low Carbon and Green Economy” itu diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas bersama United Kingdom Foreign Commonwealth and Development Office, Germany’s Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action, Global Green Growth Institute (GGGI), WRI Indonesia, GIZ, LCDI, dan United Nations Partnership for Action on Green Economy (PAGE).

5

Jadi Model Kota Masa Depan, IKN Dikembangkan Dengan Konsep Ekonomi Sirkular

JAKARTA – Ibu Kota Negara (IKN) baru atau IKN Nusantara di Kalimantan Timur dikembangkan dengan konsep ekonomi sirkular agar menjadi kota yang berkelanjutan, sehat, produktif, efisien, inovatif dan ramah lingkungan. Dengan itu IKN Nusantara menjadi model kota masa depan karena terkait dengan perubahan iklim. Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam menyampaikan, konsep ekonomi sirkular menjadi sangat penting dalam pembangunan kota. Karena 80 persen emisi global itu bersumber dari aktivitas ekonomi di kota.

 

“Kota juga merupakan penyumbang sampah dan polusi terbesar di dunia. Harapannya, konsep pembangunan economy circular di IKN ini tertular ke banyak kota lainnya di tanah air, sehingga kita makin dikenal di dunia,” kata Medrilzam dalam diskusi virtual bertajuk ‘Menyongsong Ibu Kota Negara Sirkular’ yang digelar oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dengan Kementerian PPN/Bappenas, dan didukung oleh FMB9, Kamis (28/7/2022). 

Konsep ekonomi sirkular, kata Medrilzam, terus berkembang, bukan hanya terkait dengan sampah tetapi cakupannya luas, termasuk bagaimana mengurangi penggunaan sumber daya alam (SDA). Menggunakan barang yang sama dalam jangka waktu yang lama dalam satu siklus produksi. “Pembangunan kota dengan konsep ekonomi sirkular ini akan menjadi tren ke depan karena berkaitan dengan upaya mengatasi perubahan iklim. Juga menyangkut upaya menjaga keanekaragaman hayati,” ujarnya.

 

Pada kesempatan yang sama, Southeast Asia Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), Faela Sufa berharap agar pembangunan IKN benar-benar mengurangi polusi. Sufa lantas menyoroti tingginya kontribusi kendaraan bermotor di tanah air terhadap pencemaran udara. “Di IKN harus kurangi kendaraan bermotor. Apalagi konsepnya di sana mikro mobility. Saya lihat itu yang masih kurang saat ini. Padahal, mestinya utamakan jalur untuk pejalan kaki, sepeda. Kurang penggunaan kendaraan pribadi. Untuk kendaraan bermotor khusus untuk kalangan tertentu saja,” pungkas Sufa. 

 

Sementara untuk menciptakan kondisi kota zero carbo, menurut Sufa, IKN Nusantara harus langsung menerapkan sistem elektrifikasi transportasi publik dan sistem transportasi yang terintegrasi. Terutama agar bisa terintegrasi dengan tata guna lahan. “Jadi, hal ini bisa dicapai jika moda utama adalah pejalan kaki dan pesepeda. Hal ini memperhatikan implikasi dari penggunaan tata guna lahan dan juga radius dari KIPP sendiri yang 5 km itu sangat memungkinkan untuk dilakukan mobilitas dengan bersepeda,” ungkapnya. 

 

Sementara itu, Ketua Komite Komunikasi, Media dan Penghargaan PII, Lucia Karina meminta agar pembangunan di IKN menggunakan sumber daya energi yang berkelanjutan. Terlebih lagi di Kalimantan Timur, lanjut dia, ada banyak potensi sumber daya energi baru dan terbarukan, sehingga harus dimanfaatkan. Lucia juga meminta agar pemerintah membangun infrastruktur persampahan, bukan hanya infrastrukturnya tetapi membangun manajemen di antara rantai pasok tersebut. “Misalnya baja-baja itu kita koneksi kan dengan industrti, begitu juga tekstil, ada tukang tadahnya. Nilai eknominya luar biasa kalau kita lihat yang dilakukan India dan China mereka lakukan itu,” ucap Lucia.

 

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Kamis, 28 Juli 2022 – 22:45 WIB oleh Donatus Nador dengan judul “Jadi Model Kota Masa Depan, IKN Dikembangkan dengan Konsep Ekonomi Sirkular”. Untuk selengkapnya kunjungi:

https://daerah.sindonews.com/read/839921/174/jadi-model-kota-masa-depan-ikn-dikembangkan-dengan-konsep-ekonomi-sirkular-1659020879

badan-meteorologi-klimatologi-dan-geofisika-bmkg-memperkirakan-terjadinya-hujan-di-kalimantan-selatan-kalsel-dalam-3-hari-ke-d_169

Quo Vadis Ekonomi Hijau Indonesia?

Medrilzam, CNBC Indonesia – Code Red for Humanity atau Kode Merah untuk Kemanusiaan merupakan sinyal jelas dan penuh kecemasan yang disampaikan dalam laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Laporan itu adalah sebuah kajian mendalam mengenai perubahan iklim dalam tiga tahun terakhir berdasar 14.000 studi ilmiah oleh 234 pengamat dari 66 negara. Laporan IPCC tahun 2021 ini juga menekankan penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia.

Sementara itu, diskursus mengenai megatrend 2050 mengindikasi akan terjadi perubahan besar di masa depan dengan adanya pergeseran kekuatan ekonomi global, perubahan demografis, percepatan urbanisasi, terobosan teknologi, serta perubahan iklim dan kelangkaan sumber daya. Beragam kajian memprediksi terjadinya eksodus akibat pemanasan global seperti yang terjadi di Filipina dan Guatemala. Jika perubahan iklim akibat aktivitas manusia terus berlanjut seperti saat ini, Bank Dunia memperingatkan pada tahun 2050 jumlah pengungsi iklim akan lebih tinggi daripada akibat perang. Sebanyak 180 juta orang akan menjadi pengungsi iklim karena kehilangan tempat tinggal, kelaparan, atau mencari tempat yang lebih layak dengan sumber daya yang masih tersedia.

Di Indonesia, menurut data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama tahun 2021 telah terjadi 5.402 kejadian bencana di mana 98%-99% merupakan bencana hidrometeorologi, yakni banjir besar, tanah longsor, puting beliung, kekeringan dan sebagainya. Bencana hidrometeorologi ini diperkirakan akan semakin intens dan semakin besar di masa mendatang sebagai akibat dari perubahan iklim. Kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menunjukan akibat perubahan iklim, di tahun 2020-2024 Indonesia dihadapkan pada konsekuensi potensi kerugian sebesar Rp 544 triliun dari empat sektor prioritas dan dapat menahan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 4%-5% per tahun, sehingga mencegah Indonesia keluar dari middle-income trap.

Bersamaan dengan itu, kita masih tetap perlu menghadapi dampak krisis akibat pandemi Covid-19. Krisis akibat penyakit itu merupakan krisis multidimensi yang secara fundamental mempengaruhi stabilitas makroekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir, mengakibatkan kontraksi ekonomi sebesar 2,07% pada tahun 2020 serta meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Isu perubahan iklim dan dampak pandemi Covid-19 ini telah membuat Indonesia tidak lagi sama seperti sebelumnya, sehingga diperlukan langkah “luar biasa” untuk mengembalikan trajectory pertumbuhan ekonomi Indonesia ke posisi sebelum terjadinya pandemi.

Untuk menjawab kedua tantangan tersebut, pemerintah Indonesia mendorong proses transformasi ekonomi secara struktural, yang salah satu strateginya adalah penerapan pemulihan ekonomi menuju Ekonomi Hijau yang lebih berkelanjutan. Kita menyadari pemulihan ekonomi secara business as usual tidak akan dapat mengatasi tantangan yang kita hadapi. Untuk itu, Ekonomi Hijau akan didorong sebagai game changer dalam proses transformasi ekonomi Indonesia.

Sejalan dengan kebijakan transformasi ekonomi tersebut, pemerintah Indonesia telah menetapkan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebagai backbone strategi pemulihan yang akan mengantarkan Indonesia menuju Ekonomi Hijau. Kebijakan PRK bahkan telah ditetapkan sebagai program prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Melalui PRK, trade-off antara pembangunan ekonomi dan isu-isu lingkungan yang terkait dengan dampak perubahan iklim dapat diminimalkan sehingga tujuan pembangunan ekonomi nasional dan perbaikan lingkungan dapat berjalan beriringan. Ada lima sektor atau strategi prioritas utama dalam program PRK, yaitu: 1) Pemulihan lahan berkelanjutan; 2) Pengembangan energi berkelanjutan; 3) Pengelolaan sampah dan ekonomi sirkular; 4) Pengembangan industri hijau; serta 5) Rendah karbon pesisir dan laut.

Dengan menerapkan strategi tersebut, Indonesia diharapkan dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga tahun 2045 dan sekaligus mendukung tercapainya target Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat lagi. Indikator keberhasilan PRK, yaitu Intensitas Emisi Gas Rumah Kaca (Emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan per satuan output ekonomi) diharapkan turun secara bertahap melalui proses transisi energi dari berbasis fossil fuel ke energi bersih (energi baru terbarukan), peningkatan efisiensi energi, dan penggunaan kendaraan listrik secara lebih luas. Tidak ketinggalan, penurunan Intensitas emisi GRK juga dihasilkan dari berbagai program di sektor lahan seperti restorasi hutan dan lahan gambut, konservasi mangrove, dan juga peningkatan produktivitas di lahan perkebunan dan pertanian.

Kebijakan PRK juga diarahkan pada pengelolaan limbah dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dan menurunkan produksi limbah cair hingga mendekati 100% pada tahun 2060 serta mendukung penghapusan subsidi energi secara penuh di tahun 2030 dan implementasi pajak karbon. Simulasi yang dilakukan Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan pertumbuhan ekonomi rata-rata Indonesia 6% bila skema ini diterapkan, dan target NZE dapat dicapai pada tahun 2060. Di satu sisi, Indonesia dapat keluar dari middle income trap dan menjadi sejajar dengan negara maju lainnya pada tahun 2045 (100 tahun kemerdekaan Indonesia/Indonesia Emas).

Kementerian PPN/Bappenas mencatat selama kurun waktu 2010-2020, terdapat 19.143 aksi PRK yang telah dilakukan oleh daerah dan kementerian/lembaga. Melalui sejumlah aksi tersebut, Indonesia berhasilkan menurunkan emisi GRK secara akumulatif sebesar 26,45% hingga tahun 2020 dan menurunkan intensitas emisi GRK sebesar 38,05% di tahun 2020. Hal itu sejalan dengan target pemerintah sebelumnya yang menargetkan terjadi penurunan Emisi GRK sebesar 26% di bawah baseline di tahun 2020.

Terlepas dari berbagai keberhasilan yang dilakukan melalui PRK, muncul pertanyaan sederhana: bagaimana mengukur arah pembangunan kita sudah on track menuju Ekonomi Hijau atau seberapa jauh kita masih harus berusaha? Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas saat ini sedang merumuskan Green Economy Index/GEI atau Indeks Ekonomi Hijau Indonesia sebagai pendekatan dan juga alat untuk mengukur efektivitas transformasi ekonomi menuju Ekonomi Hijau yang tangible, representatif, dan akurat. Kementerian PPN/Bappenas mengindikasikan GEI Indonesia, yang akan diumumkan pada saat acara G20 Development Working Group (DWG) di Bali pada bulan Agustus 2022, akan menjadi tolok ukur keberhasilan pencapaian Ekonomi Hijau Indonesia hingga 2045 dan menjadi bagian salah satu Indikator Keberhasilan Kunci Pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. GEI akan diukur setiap tahun dan kinerja GEI tahunan akan menjadi acuan bagi para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan pembangunan yang lebih hijau, rendah karbon dan berketahanan iklim untuk menghasilkan ekonomi yang hijau dan rendah karbon di Indonesia.

Sebagai focal point dari DWG G20, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian PPN/Bappenas juga telah mendorong agar penerapan Kebijakan Ekonomi Hijau akan menjadi salah satu keputusan strategis dari G20 di tahun 2022. Saat itu, Ekonomi Hijau telah masuk ke dalam draft keputusan DWG G20 yang tentunya perlu mendapat dukungan dari seluruh negara anggota G20. Diharapkan Kebijakan Ekonomi Hijau yang disepakati juga memberikan angin segar dan indikasi yang jelas kepada COP 27 UNFCCC di Mesir pada akhir 2022 bahwa seluruh negara anggota G20 mendukung terintegrasi nya aksi-aksi dalam mengatasi perubahan iklim menjadi bagian utuh dari program pembangunan nasional setiap negara untuk menghasilkan kondisi ekonomi yang rendah karbon dan ramah iklim di masa yang akan datang.

Peluncuran Indeks Ekonomi Hijau Indonesia pada rangkaian side event DWG G20 menjadi relevan dan strategis sesuai dengan tema Presidensi G20 2022 “Recover together, recover stronger”. Harapannya Indonesia dapat menjadi pemrakarsa utama dan contoh bagi negara lainnya dalam mengimplementasikan Kebijakan Ekonomi Hijau. Sudah saatnya semua negara bersatu padu untuk mewujudkan Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon demi masa depan umat manusia yang lebih baik lagi.

pexels-pok-rie-6471926

Studi Loss and Damage serta Kaitannya Dengan Sistem Peringatan Dini

Gambar 1. Jembatan yang rusak akibat banjir bandang di Lubuk Tarok, Sijunjung, Sumatera Barat, Selasa (28/3) Tirto, 2017 (https://tirto.id/cnJS)

Perubahan iklim pada satu dekade terakhir ini telah menunjukkan dampak yang signifikan pada angka kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kejadian bencana pada 10 tahun terakhir (2011 – 2021) dan angka ini didominasi oleh bahaya hidrometeorologi. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 98,1% kejadian bencana di Indonesia disebabkan oleh kejadian meteorologi dan iklim ekstrem. Jumlah kejadian bencana ini juga diprediksikan akan terus bertambah sehingga diperlukan tindakan untuk meningkatkan kapasitas resiliensi nasional terhadap variabilitas dan perubahan iklim.

Gambar 2. Jumlah Kejadian Bencana tahun 2011 – 2021 di Indonesia (BNPB, 2021)

Bencana hidrometeorologi tak hanya menimbulkan korban jiwa tapi juga berdampak pada lingkungan dan kerugian ekonomi. Isu kerugian ini kemudian yang bergerak menjadi fokus dari peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim. Untuk itu, studi tentang kerugian yang dialami akibat bencana atau dikenal sebagai Loss and Damage, menjadi salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan kapasitas dalam menghadapi perubahan iklim untuk menghindari kerugian besar saat terjadi bencana.

Mengenal Istilah Loss and Damage

Loss and Damage” adalah istilah umum yang merujuk pada konsekuensi perubahan iklim yang melampaui kapasitas adaptif sebuah negara, masyarakat, dan ekosistem atau gagalnya upaya mitigasi dan adaptasi sehingga menimbulkan kerugian fisik dan materi (Mechler, et.al, 2018). Loss and Damage akibat perubahan iklim menjadi perhatian utama, khususnya negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan jumlah komunitas rentan terhadap bencana yang tinggi. Loss and Damage timbul sebagai spektrum dampak negatif perubahan iklim, mulai dari peristiwa cuaca ekstrim, seperti badai tropis dan banjir, hingga peristiwa slow-onset, seperti kenaikan muka air laut dan kenaikan suhu udara. Dalam upaya mengatasi permasalahan Loss and Damage, diperlukan pemahaman tentang jenis kejadian dan proses kejadian yang terkait dengan perubahan iklim. Sebagai contoh, untuk menganalisa Loss and Damage akibat bencana banjir yang terjadi di suatu wilayah, diperlukan analisis pada curah hujan yang terjadi, historis kejadian banjir, hingga tingkat kerentanan dari daerah yang diamati. Oleh karena itu, diperlukan studi holistik untuk memahami berbagai pendekatan untuk mengatasi Loss and Damage serta sumber daya utama yang diperlukan untuk menerapkannya secara efektif.

Peran WMO dalam Mendukung Studi Loss and Damage Nasional

Gambar 3. Ada berbagai pendekatan untuk studi Loss and Damage, salah satu pendekatan yang telah dilakukan oleh BMKG dan WMO yang disebut katalog kejadian ekstrim (http://puslitbang.bmkg.go.id/extreme-catalogue.html).

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim, World Meteorological Organization (WMO) melalui Resolusi No 9 Tahun 2015 telah menetapkan perlunya karakterisasi dan penyusunan katalog kejadian ekstrem secara sistematis untuk cuaca dan iklim berikut kejadian bencana hidrometeorologi yang diakibatkannya. WMO, sebagai badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang cuaca dan iklim (meteorologi), berkomitmen untuk memfasilitasi studi yang berkaitan dengan observasi di bidang meteorologi sebagai dukungan bagi negara yang membutuhkan. Untuk wilayah Asia Tenggara, WMO memberikan dukungan kepada Indonesia, melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dengan memberikan informasi berupa data atmosfer bumi, cuaca, iklim, air, dan cuaca luar angkasa yang direkam secara sistematis. Dengan memonitor kondisi meteorologi, fenomena alam akan terekam sebagai katalog kejadian bencana yang digunakan sebagai proyeksi terhadap kejadian bencana yang mengancam. Data historis bencana yang dihasilkan dapat digunakan sebagai referensi dalam proses proyeksi kejadian bencana di masa depan. Selain itu, data tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan studi kebencanaan dengan menghubungkan suatu fenomena kecil dengan fenomena kejadian lain yang berskala lebih besar, misalnya: menghubungkan hujan lebat, angin kencang, banjir gelombang badai dan tanah longsor dengan siklon tropis. Selain itu, melalui metodologi penautan antar kejadian ini, besaran resiko dari kejadian bencana yang terjadi dapat menghasilkan data yang presisi sehingga dapat digunakan sebagai Analisa untuk menghindari kerugian yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Menggunakan data dari WMO, data historis bencana dapat digunakan sebagai data utama dalam kajian Loss and Damage dengan menggunakan data tersebut sebagai salah satu pendekatan untuk membangun sistem penyaluran bantuan yang efektif dan mendukung sistem perhitungan risiko yang tepat. Kajian perhitungan Loss and Damage dapat dilakukan dengan mengidentifikasi lokasi dengan potensi bahaya, kerentanan dan jumlah risiko yang tinggi, serta memiliki kapasitas yang cukup rendah untuk menghadapi kejadian ekstrem. Berbagai karakteristik lokasi di Indonesia mengakibatkan tingkat dampak yang berbeda akibat kejadian berbahaya tersebut. Penentuan lokasi prioritas, dengan menentukan wilayah dengan tingkat kerugian dan kerusakan yang paling tinggi sebagai lokasi dengan prioritas tinggi, dapat digunakan sebagai pendekatan dalam kajian Loss and Damage dan diintegrasikan ke dalam strategi nasional untuk diterapkan dalam praktik lokal.

 

Kaitan Loss and Damage dengan Early Warning System

Sistem peringatan dini atau Early Warning System (EWS) adalah elemen utama dari pengurangan risiko bencana. Dalam praktiknya, implementasi sistem peringatan dini bertujuan untuk mencegah hilangnya nyawa dan mengurangi dampak ekonomi dan material dari bencana. Agar efektif, sistem peringatan dini perlu: melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko, memfasilitasi pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang risiko, menyebarkan pesan peringatan secara efektif dan kesiapan dalam menghadapi bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Kajian Loss and Damage dalam hal ini menjadi salah satu kajian pendukung dalam pengembangan sistem peringatan dini dan sebagai bagian dari tindakan awal menuju masyarakat yang berkelanjutan, tangguh dan inklusif.

PBB melalui laporan International Strategy for Disaster Reduction (2006) telah menyebutkan beberapa elemen menjadi kunci dalam keberhasilan implementasi sistem peringatan dini, yaitu pengetahuan mengenai risiko; monitoring dan sistem peringatan; diseminasi informasi dan alur komunikasi; dan kapasitas dalam merespon bencana.

1. Informasi Mengenai Risiko

Risiko timbul dari kombinasi bahaya dan kerentanan di lokasi tertentu. Penilaian risiko membutuhkan sistematika pengumpulan dan analisis data dan harus mempertimbangkan sifat dinamis dari bahaya dan kerentanan yang muncul dari proses seperti: urbanisasi, perubahan penggunaan lahan pedesaan, degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Penilaian risiko dan peta membantu memotivasi masyarakat, prioritaskan kebutuhan sistem peringatan dini dan memandu persiapan pencegahan dan tanggap bencana.

2. Monitoring dan Sistem Peringatan

Sistem peringatan merupakan inti utama dari sistem peringatan dini, dan di dalam proses pembentukkan sistem diperlukan suatu dasar ilmiah yang kuat untuk memprediksi bahaya serta sistem otomatis yang dapat memberikan peringatan dengan waktu operasional 24 jam nonstop. Pemantauan secara terus menerus terhadap parameter bahaya, termasuk tanda bahaya dini, menjadi komponen penting untuk menghasilkan sistem peringatan yang akurat dan tepat waktu. Layanan sistem peringatan dini juga dapat dimanfaatkan untuk peringatan jenis bahaya yang berbeda disaat bersamaan (Multi Hazard Early Warning System/MHEWS). Dalam pengembangan sistem MHEWS diperlukan suatu koordinasi antar badan/Lembaga pemerintah yang berwenang sebagai acuan institusional, procedural dan komunikasi yang efektif.

 
Gambar 4. Pemasangan EWS longsor di Bukit Gunung Empyak, Dlingo, Bantul (Harian Jogja, 2019)

3. Diseminasi Informasi dan Alur Komunikasi

Informasi mengenai sistem peringatan dini dan pelaksanaannya harus tersampaikan dengan baik ke seluruh komponen masyarakat, termasuk pemerintah dan semua pihak yang terlibat dalam kesiagaan bencana, terutama masyarakat di wilayah dengan tingkat risiko tinggi. Ketersampaian informasi dan edukasi mengenai cara kerja dan pelaksanaan sistem peringatan dini sangat penting agar masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat pada saat terjadi bencana sehingga memungkinkan pengurangan tingkat kerugian dan kehilangan akibat bencana yang terjadi. Diperlukan identifikasi suatu sistem komunikasi tingkat regional, nasional dan komunitas juga secara rinci serta menetapkan kondisi dimana tindakan otoritatif yang sesuai dapat diterapkan. Selain itu, metode penggunaan saluran komunikasi yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang efektif juga diperlukan untuk memastikan setiap lapisan masyarakat mendapatkan peringatan dini.

 

4. Kapasitas dalam Merespons Bencana

Penting bagi masyarakat untuk memahami risiko yang dihadapi; memahami pentingnya sistem peringatan dini dan tahu bagaimana harus bereaksi pada saat bencana terjadi. Program pendidikan dan kesiapsiagaan memegang peran kunci dalam mendukung kapasitas masyarakat. Simulasi dan uji efektivitas terhadap rencana penanggulangan bencana juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan sistem peringatan dini. Masyarakat harus diinformasikan dengan baik tentang tindakan yang harus dilakukan, rute evakuasi yang tersedia, dan cara efektif untuk menghindari kerusakan dan kerugian harta benda

Gambar 5. Simulasi penanganan kejadian bencana sebagai upaya peningkatan kapasitas masyarakat (Republika, 2017)

Upaya penguatan sistem peringatan dini bencana untuk meminimalisir Loss and Damage akibat perubahan iklim tercantum sebagai Major Project (MP) 39 di dalam Prioritas Nasional 6 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim. Upaya ini bertujuan untuk membangun sistem peringatan dini terpadu yang meliputi berbagai jenis ancaman bencana di Indonesia (termasuk bencana yang bersifat seketika/sudden onset dan perlahan/slow onset). Pengkategorian jenis bencana juga diperlukan untuk memperkuat lingkup pengembangan termasuk komponen struktur, seperti operasional alat dan pemeliharaan yang diprakarsai oleh BMKG, dan komponen kultur, seperti pemahaman risiko dan rencana tindak lanjut oleh BNPB.

Temuan hasil kajian sistem peringatan dini oleh Bappenas terhadap capaian kegiatan BMKG tahun 2021 menunjukkan bahwa sistem peringatan dini cuaca ekstrem masih di kisaran 30 menit sebelum kejadian dimana prosedur standar operasional berada dalam kisaran 1-3 jam. Selain itu, untuk mendukung  sistem peringatan dini yang komprehensif, perlu ditambahkan detail berupa intensitas, durasi, lokasi, dan waktu kejadian pada perkiraan cuaca 6 jam ke depan. Oleh karena itu, upaya pengembangan sistem peringatan dini, perlu ditingkatkan agar dapat mencapai target penurunan kerugian ekonimi akibat perubahan iklim seperti yang telah ditetapkan pada RPJMN 2020-2024.

Pelaksanaan sistem peringatan dini merupakan salah satu poin penting dalam mengurangi risiko kerugian Loss and Damage akibat bencana agar masyarakat yang terpapar memiliki kapasitas untuk bertindak secara tepat pada saat terjadinya bencana. Adapun kajian Loss and Damage dapat menghasilkan suatu pemetaan wilayah dengan risiko tinggi dimana nantinya wilayah ini menjadi prioritas dalam implementasi sistem peringatan dini. Harapannya, dengan berjalannya sistem peringatan dini dan kajian Loss and Damage yang tepat, maka masyarakat dapat memiliki ketahanan yang baik dan siap menghadapi kemungkinan bencana yang terjadi di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

 

BMKG. 2021. Data dan informasi disunting dari halaman http:// puslitbang.bmkg.go.id/extreme-catalogue.html

BNPB. 2021. Data dan informasi disunting dari halaman https://inarisk.bnpb.go.id/

ISDR. 2006. Developing Early Warning System: A Checklist. EWC III: Third International Conference on Early Warning

Mechler, R., L.M. Bouwer, T. Schinko, S. Surminski, and J. Linnerooth-Bayer. 2018. Loss and Damage from Climate Change: Concepts, Methods and Policy Options. Springer International Publishing, 561 pp.

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti

3S4A9899

Workshop and Capacity Building Ekonomi Sirkular: Memperkuat Implementasi Ekonomi Sirkular di Indonesia

Kementerian PPN/Bappenas melalui Direktorat Lingkungan Hidup (Dit. LH) menyelenggarakan workshop dan capacity building ekonomi sirkular kepada key stakeholder tingkat nasional dengan tema ‘Memperkuat Implementasi Ekonomi Sirkular di Indonesia’ di Bekasi (28/3).

Workshop ini dilaksanakan pada 28-30 Maret 2022 dan dihadiri oleh 56 peserta dari berbagai sektor, antara lain kementerian dan lembaga, pelaku usaha, organisasi, dan media. Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan pemahaman pemangku kepentingan dan menggali potensi penerapan ekonomi sirkular dalam mendukung Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau di Indonesia. Penyelenggaraan workshop ini bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP), didukung oleh Pemerintah Kerajaan Denmark dan Greeneration Foundation melalui Indonesia Circular Economy Forum (ICEF). Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari laporan “Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Ekonomi Sirkular di Indonesia” dan menjadi tahapan awal dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular.

Turut hadir memberi sambutan pembuka, Plt. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto, Environment Counselor Danish Embassy for Indonesia, Julie Bulow A., dan Head of Environment Unit UNDP Indonesia, Agus Prabowo. Setting The Context dipaparkan oleh Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam. Selain itu, kegiatan diisi oleh pembelajaran oleh berbagai ahli dalam bidang Ekonomi Sirkular, antara lain:

  • Sustainability Expert: PFAN Country Coordinator for Indonesia, Hari Yuwono
  • Training Expert: CSR and Sustainability Management Expert, Maria Dian Nurani
  • Circular Economy Expert: CEO and Founder Waste4Change, Bijaksana Junerosano
  • Circular Economy Business Expert: Consultant for PR3 Project, ReSOLVE
  • Circular Economy Policy Expert: Consulting Manager Waste4Change, Annisa Ratna Putri

Kegiatan ini diisi pula oleh kuliah tamu penerapan ekonomi sirkular, antara lain:

  • Circular Economy Best Practices from Denmark

Circular Economy Specialist at Danish Environmental Protection Agency (DEPA)

  • Creating Enabling Systems to Achieve a Holistic Circular Business Model

Integration and Communication Head, Great Giant Foods (Gunung Sewu Group)

  • Implementation of Innovative Business Models to Achieve Circularity in Technology Industry

Director of Environment and Sustainability, Schneider Electric Indonesia

Dari kegiatan ini, ditekankan pentingnya strategi dan action plan dalam penerapan ekonomi sirkular melalui diskusi perencanaan aktivitas ekonomi sirkular untuk organisasi dan instansi masing-masing peserta. Kerjasama antar sektor juga menjadi langkah awal untuk mengimplementasikan ekonomi sirkular di Indonesia, yang nantinya Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular diharapkan akan menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045.