Lawn and dense modern buildings, Chongqing, China.

Solusi Berbasis Alam untuk Pengelolaan Risiko Banjir Perkotaan

Solusi Berbasis Alam untuk Pengelolaan Risiko Banjir Perkotaan

Pendahuluan

Banjir perkotaan umumnya disebabkan oleh peristiwa hujan deras atau ekstrem (Schanze, 2018). Peningkatan suhu permukaan global akibat perubahan iklim saat ini mengakibatkan lebih seringnya terjadi kejadian hujan deras (IPCC Work Group I, 2013). Selain itu, perubahan iklim yang terjadi saat ini menyebabkan intensitas curah hujan yang lebih tinggi terjadi dalam periode waktu yang lebih singkat (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2023). Kondisi ini diperparah oleh kurangnya struktur drainase air hujan, yang berakibat pada sulitnya mengatasi hujan deras. Ketika intensitas hujan melebihi kapasitas jaringan pipa pembuangan, air hujan tidak dapat dibuang dengan cepat, sehingga menciptakan banjir perkotaan yang serius. Di samping itu, urbanisasi juga memainkan peran dalam meningkatkan risiko banjir, karena perubahan dalam penggunaan lahan dan pembangunan infrastruktur yang tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan total kerusakan dan kerugian akibat bencana hidrometeorologi periode 2018-2022 mencapai Rp 31,5 triliun. Pada tahun 2023, hujan dengan intensitas tinggi mengguyur sebagian besar wilayah Kota Medan, Sumatera Utara. Kejadian ini mengakibatkan kurang lebih 6.323 rumah terendam banjir dengan variasi tinggi muka air 0-200 sentimeter. Tidak hanya itu, tercatat ada 8.067 KK atau 25.383 jiwa yang terdampak akibat kejadian banjir ini. Oleh karena itu, peningkatan upaya penanganan untuk mencegah terjadinya kejadian banjir di perkotaan yang serupa di masa depan sangat diperlukan. Hal ini menjadi semakin penting mengingat proyeksi bahwa pada tahun 2025 sekitar 68% penduduk Indonesia diperkirakan akan tinggal di kota. Jika tidak dilakukan tindakan intervensi yang tepat, potensi kerusakan akibat banjir di wilayah perkotaan dapat meningkat secara signifikan.

Hingga saat ini, upaya untuk mengendalikan banjir masih didominasi pada infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) seperti pembangunan dan perluasan sistem drainase, waduk/situ, pompa air, dan pemeliharaan kanal. Namun, pembangunan tersebut justru membawa dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan khususnya aspek lingkungan. Pembangunan kawasan perkotaan seringkali kurang atau bahkan sama sekali tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan adaptif lainnya dengan memanfaatkan Nature-based Solutions (NbS), yang melibatkan berbagai fungsi alam dan kelestarian lingkungan sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim.

Nature-based Solution

Istilah solusi berbasis alam (NBS) mengacu pada pengelolaan berkelanjutan dan penggunaan fitur dan proses alam untuk mengatasi tantangan sosial-lingkungan. Nbs secara efektif dan adaptis mengatasi masalah air melalui pengelolaan berkelanjutan dan merestorasi atau memodifikasi ekosistem sambil memberikan keuntungan secara simultan kepada masyarakat dan keanekaragaman hayati (Cohen-Scacham et al., 2016). Dalam konteks ketahanan air, NbS menggunakan prinsip alamiah dari siklus air, di mana hujan turun, sebagian terserap ke dalam tanah, sementara yang lain mengalir ke permukaan bumi, dan kemudian mengalami proses transpirasi dan evaporasi yang mengembalikan air ke atmosfer.

Salah satu implementasi Nature-based Solution adalah dengan memanfaatkan infrastruktur hijau atau green infrastructure. Infrastruktur hijau dalam sektor air merujuk pada sistem alam atau seminatural yang menyediakan opsi pengelolaan sumber daya air dengan manfaat yang setara atau serupa dengan infrastruktur air konvensional berwarna abu-abu (dibangun/fisik). Infrastruktur hijau semakin diakui sebagai peluang penting dalam mengatasi tantangan kompleks pengelolaan air dan dapat digunakan untuk mendukung tujuan dalam berbagai bidang kebijakan.

Pada makalah ini, akan dijelaskan beberapa infrastruktur hijau yang dikombinasikan dengan infrastruktur abu yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi banjir khususnya di perkotaan, yaitu: Green Roof (Atap Hijau), Permeable/Porous Pavement (Perkerasan Berpori), Bioswale, dan Infiltration Trench (Selokan Infiltrasi).

Green Roofs

Atap hijau adalah praktik pengelolaan air hujan yang sangat efektif di wilayah perkotaan karena kapasitasnya dalam menyimpan air dalam jumlah besar. Hal ini mengurangi risiko banjir perkotaan karena vegetasi dan lapisan substrat berkontribusi terhadap peningkatan evapotranspirasi dan penyerapan air hujan, sehingga mengurangi aliran permukaan. Selain itu, atap hijau unggul dalam meningkatkan kualitas air dengan secara aktif mengurangi limpasan dan menyerap polutan dari air hujan. Penelitian telah menunjukkan bahwa atap hijau secara signifikan menurunkan persentase nitrogen amonia dalam limpasan dibandingkan dengan persentase air hujan. Selain itu, atap hijau menawarkan manfaat berharga dalam menangkap partikel debu halus yang berbahaya dari udara, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan kualitas udara dan kenyamanan secara keseluruhan di kawasan perkotaan yang padat penduduknya. Atap hijau juga memberikan keuntungan lain seperti mengurangi panas permukaan, mendukung biodiversitas perkotaan, dan manfaat ekonomi.

Permeable/Porous Pavement

Porous pavement adalah perkerasan yang direncanakan dengan menggunakan bahan material yang mampu merembeskan aliran air ke dalam lapisan tanah di bawah nya. Jenis perkerasan ini memiliki kelebihan dalam melakukan peresapan air hujan ke dalam tanah sehingga limpasan air hujan di permukaan akan lebih sedikit. Contoh dari perkerasan berpori ini termasuk batu bata berpori, batu beton dikombinasikan dengan rumput, dan kerikil. Namun, perlu diperhatikan bahwa perkerasan tersebut lebih cocok untuk jalan dengan volume rendah, tempat parkir, jalur sepeda, trotoar, taman bermain, lapangan tenis, dan jalan lain yang menahan beban yang tidak terlalu besar. Oleh karena itu, pemilihan jenis perkerasan harus disesuaikan dengan tujuan penggunaannya. Kelebihan dari perkerasan berpori seperti mengurangi pembuatan saluran drainase, mengurangi limpasan di atas perkerasan yang berisiko menyebabkan kecelakaan lalu lintas, mengurangi sedimen pada limpasan yang dapat mencemari kualitas air, serta mempermudah transfer air dan oksigen pada akar – akar tanaman.

Bioswale 

Bioswale adalah infrastruktur yang biasanya berbentuk parit terbuka yang ditanami dengan vegetasi tahan air. Bioswale merupakan sistem yang dapat mengangkut limpasan air hujan dan dapat menyerap air serta meningkatkan kualitas air karena berfungsi sebagai penyaring polutan dan puing-puing dari limpasan air sebelum memasuki daerah aliran sungai atau saluran pembuangan air. Bioswale dirancang untuk dapat menampung lebih banyak air limpasan yang berasal dari lingkungan yang luas, seperti jalan atau tempat parkir (USDA, 2005). Dengan meresapkan air hujan ke dalam tanah dan mengurangi aliran permukaan yang cepat, bioswale membantu mengurangi risiko banjir perkotaan dan menjaga keseimbangan dalam siklus air

Infiltration Trench

Infiltration trench atau parit infiltrasi terdiri dari parit yang diisi dengan material berpori dan batu kerikil yang memungkinkan air hujan meresap ke dalam tanah. Fungsi utamanya adalah memperlambat aliran air hujan, memberikan waktu bagi tanah untuk menyerap air, dan memungkinkan penyimpanan air hujan secara alami. Dengan meresapkan air hujan ke dalam tanah, infiltration trench mengurangi aliran permukaan yang dapat menyebabkan banjir perkotaan. Selain itu, mereka membantu menjaga kualitas air dengan menyaring kontaminan dan partikel dari air hujan sebelum mencapai saluran air. Dengan cara ini, parit infiltrasi tidak hanya membantu mengurangi risiko banjir, tetapi juga memperbaiki siklus air dan mendukung pengelolaan air yang berkelanjutan di perkotaan. Beberapa contoh pemanfaatan infiltration trench seperti taman dan ruang terbuka hijau, kawasan industri, pusat kesehatan dan rumah sakit, pusat perbelanjaan dan perdagangan, dan sekolah serta kampus.

Contoh Penerapan Nature-based Solution – Green Roofs

Dalam merespons perubahan iklim, Hamburg telah menggalakkan usaha untuk meningkatkan aspek kehijauan, baik dalam lingkungan perkotaan maupun pada atap-atap bangunan. Sebagai inisiatif pionir di Jerman, Hamburg telah merancang Strategi Atap Hijau yang komprehensif. Tujuan utamanya adalah memasang luas total 100 hektar atap hijau di wilayah metropolitan. Untuk mendukung upaya ini, Kementerian Lingkungan dan Energi Hamburg telah mengalokasikan dana sebesar € 3 juta hingga akhir tahun 2024 untuk proyek atap hijau. Pemilik bangunan berhak menerima subsidi yang mencakup hingga 60% dari biaya pemasangan atap hijau. Keuntungan tambahan yang diperoleh meliputi pengurangan biaya perawatan akibat usia atap hijau yang lebih lama, efisiensi energi yang lebih baik karena peningkatan isolasi bangunan, serta potongan 50% pada biaya air hujan berkat fungsi retensi air hujan dari atap hijau.

Dari pembangunan yang ada, atap hijau mampu memberikan efek pendinginan terhadap lingkungan sekitar dan meningkatkan kelembaban udara, sehingga mengurangi dampak pulau panas perkotaan. Selain itu, atap hijau memberikan peningkatan pada isolasi bangunan, yang memungkinkan adaptasi yang lebih baik terhadap suhu ekstrem. Lebih lanjut, atap hijau memperbaiki manajemen air dengan retensi air hujan dan penguapan alami. Mereka dapat menyimpan antara 50 hingga 90% dari curah hujan tahunan dan hingga 30-40% dari hujan lebat sehingga mencegah terjadinya banjir.

Sama halnya dengan Kota Hamburg, tiga wilayah di Indonesia mengeluarkan peraturan daerah dalam menggalakkan usaha untuk meningkatkan aspek kehijauan, yaitu Jakarta dengan Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau, Semarang dengan Peraturan Walikota Nomor 24 Tahun 2019 tentang Bangunan Gedung Hijau, dan  Bandung dengan Peraturan Wali Kota Nomor 1023 Tahun 2016 tentang Bangunan Gedung Hijau.

Menurut laporan data dari IFC hingga tahun 2018, terdapat 339 bangunan berkelanjutan yang telah disertifikasi di Kota Jakarta dan berpotensi menghemat hampir USD 90 juta dalam pengeluaran energi. Namun, menurut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta, jumlah ini dianggap masih terlalu sedikit mengingat masih banyak gedung-gedung milik Pemprov DKI yang belum menerapkan konsep gedung hijau. Sejalan dengan visi Pemprov DKI Jakarta untuk mencapai 100% bangunan berkelanjutan pada tahun 2030 untuk bangunan baru dan target 60% untuk bangunan eksisting yang telah ada pada tahun 2030, pemerintah provinsi tengah merencanakan perluasan penerapan bangunan berkelanjutan dengan merevisi Pergub.

Contoh lainnya ialah Kota Bandung yang pemerintahnya berinisiatif untuk memberikan insentif baik finansial maupun non-finansial berupa tambahan jumlah lapis lantai dan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak tahun 2016. Insentif tersebut didesain dengan tujuan meningkatkan motivasi pemilik bangunan di Kota Bandung untuk mengadopsi konsep green building. Namun, sampai saat ini, penerapan green building masih mengalami kendala yang ditunjukkan dengan belum adanya bangunan yang telah selesai dibangun yang benar-benar telah memenuhi persyaratan green building. Salah satu penyebab belum berhasilnya penerapan green building tersebut dikarenakan belum belum adanya peraturan lanjutan tentang insentif dari Peraturan Walikota Bandung Nomor 1023 tentang Bangunan Gedung Hijau.

Mengambil inspirasi dari keberhasilan praktik di kota Hamburg, pemerintah Jerman menganggarkan dana untuk mendukung pemasangan atap hijau pada bangunan. Sementara konsep green building melibatkan lebih dari sekadar atap hijau, memberikan subsidi khusus dalam hal pembuatan atap hijau dapat dijadikan salah satu metode untuk meningkatkan minat pemilik bangunan. Jika konsep green building, atau setidaknya penerapan atap hijau, dapat berhasil diadopsi di Kota Bandung, maka Kota Bandung, yang secara geografis terletak dalam lokasi prioritas banjir, memiliki potensi untuk mengurangi dampak kerugian akibat banjir.

Way Forward NbS di Indonesia

Untuk mencapai kesuksesan dalam penerapan Nature-based Solutions (NbS) di Indonesia, beberapa faktor kunci harus diperhatikan. Pertama, dukungan dan koordinasi yang kuat dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah sangatlah dibutuhkan. Saat ini, implementasi Nature-based Solutions (NbS) dapat diperkuat oleh kerangka hukum yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menggambarkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai wilayah linear atau berkelompok yang dirancang untuk penggunaan yang lebih terbuka dan pertumbuhan tanaman, baik itu alami maupun ditanam secara sengaja. Peraturan-peraturan yang mengatur RTH yang terkait dengan bangunan, seperti taman atap, taman balkon, taman koridor, taman podium, dan taman vertikal/vertical garden/green wall, tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2022.

Selain itu, implementasi NbS lainnya seperti penggunaan permeable/porous pavement sesuai dengan prinsip-prinsip green building yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 2 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Hijau dan Peraturan Menteri PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan. Oleh karena itu, dengan adanya kerangka hukum yang mendukung ini, diharapkan pemerintah dapat lebih fokus pada pembangunan berbasis alam.

Kedua, keterlibatan aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan proyek NbS akan menjadi faktor penting dalam kesuksesan. Kemitraan dengan sektor swasta dan organisasi non-pemerintah juga dapat memperkuat upaya implementasi NbS. Upaya penyuluhan, kampanye informasi, dan pelatihan dapat membantu meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan proyek NbS.

Dalam konteks Indonesia yang geografisnya beragam, adaptasi dan penyesuaian proyek NbS dengan karakteristik lokal menjadi penting untuk menjawab tantangan banjir dan perubahan iklim. Dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif, implementasi NbS di Indonesia dapat menjadi kunci sukses dalam mengatasi masalah banjir perkotaan dan menjaga keberlanjutan lingkungan.

Kesimpulan

Penyebab utama banjir perkotaan adalah hujan deras yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. Ini diperparah oleh kurangnya struktur drainase air hujan yang memadai dan urbanisasi yang tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kerugian besar akibat bencana hidrometeorologi, termasuk banjir, dan dengan proyeksi bahwa sekitar 68% penduduk Indonesia akan tinggal di kota pada tahun 2025, penanganan banjir perkotaan menjadi semakin penting.

Artikel ini membahas Nature-based Solutions (NbS), yang melibatkan pengelolaan berkelanjutan dan penggunaan fitur alam dan proses alam untuk mengatasi tantangan sosial-lingkungan. Beberapa contoh NbS yang dibahas termasuk Green Roofs (Atap Hijau), Permeable/Porous Pavement (Paving Permeabel), Bioswale, dan Infiltration Trench (Selokan Infiltrasi). Kesuksesan implementasi NbS di Indonesia memerlukan dukungan pemerintah dari pusat hingga daerah, keterlibatan masyarakat, adaptasi dengan karakteristik lokal, dan pendekatan kolaboratif. Dengan menggunakan pendekatan NbS, diharapkan dapat mengatasi masalah banjir perkotaan, meningkatkan kualitas air, dan menjaga keberlanjutan lingkungan perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Schanze, J. (2018). Pluvial flood risk management: an evolving and specific field. Journal of Flood Risk Management, 11(3), 227-229.

IPCC Work Group I. (2013). Climate change 2013: The physical science basis. Contribution of Working, 43, 866–871.

Cohen-Shacham, E., Walters, G., Janzen, C., & Maginnis, S. (2016). Nature-based solutions to address global societal challenges. IUCN: Gland, Switzerland, 97, 2016-2036.

Natural Resources Conservation Service, “Bioswales,” United States Department of Agricultures, 2005.

Urban Green Blue Grids. (n.d.). Porous Paving Materials. https://urbangreenbluegrids.com/measures/porous-paving-materials/

European Environment Agency. (n.d.). Four Pillars to Hamburg’s Green Roof Strategy: Financial Incentive, Dialogue, Regulation, and Science. https://climate-adapt.eea.europa.eu/en/metadata/case-studies/four-pillars-to-hamburg2019s-green-roof-strategy-financial-incentive-dialogue-regulation-and-science

DPRD DKI Jakarta Provinsi. (n.d.). Gedung Pemerintah Wajib Jadi Percontohan Green Building. https://dprd-dkijakartaprov.go.id/gedung-pemerintah-wajib-jadi-percontohan-green-building/

Pahnael, J. R. N., Soekiman, A., & Wimala, M. (2020). Penerapan Kebijakan Insentif Green Building di Kota Bandung. Jurnal Infrastruktur, 6(1), 1-13.

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

Litany Meliala

Comments are closed.