Lawn and dense modern buildings, Chongqing, China.

Solusi Berbasis Alam untuk Pengelolaan Risiko Banjir Perkotaan

Solusi Berbasis Alam untuk Pengelolaan Risiko Banjir Perkotaan

Pendahuluan

Banjir perkotaan umumnya disebabkan oleh peristiwa hujan deras atau ekstrem (Schanze, 2018). Peningkatan suhu permukaan global akibat perubahan iklim saat ini mengakibatkan lebih seringnya terjadi kejadian hujan deras (IPCC Work Group I, 2013). Selain itu, perubahan iklim yang terjadi saat ini menyebabkan intensitas curah hujan yang lebih tinggi terjadi dalam periode waktu yang lebih singkat (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2023). Kondisi ini diperparah oleh kurangnya struktur drainase air hujan, yang berakibat pada sulitnya mengatasi hujan deras. Ketika intensitas hujan melebihi kapasitas jaringan pipa pembuangan, air hujan tidak dapat dibuang dengan cepat, sehingga menciptakan banjir perkotaan yang serius. Di samping itu, urbanisasi juga memainkan peran dalam meningkatkan risiko banjir, karena perubahan dalam penggunaan lahan dan pembangunan infrastruktur yang tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan total kerusakan dan kerugian akibat bencana hidrometeorologi periode 2018-2022 mencapai Rp 31,5 triliun. Pada tahun 2023, hujan dengan intensitas tinggi mengguyur sebagian besar wilayah Kota Medan, Sumatera Utara. Kejadian ini mengakibatkan kurang lebih 6.323 rumah terendam banjir dengan variasi tinggi muka air 0-200 sentimeter. Tidak hanya itu, tercatat ada 8.067 KK atau 25.383 jiwa yang terdampak akibat kejadian banjir ini. Oleh karena itu, peningkatan upaya penanganan untuk mencegah terjadinya kejadian banjir di perkotaan yang serupa di masa depan sangat diperlukan. Hal ini menjadi semakin penting mengingat proyeksi bahwa pada tahun 2025 sekitar 68% penduduk Indonesia diperkirakan akan tinggal di kota. Jika tidak dilakukan tindakan intervensi yang tepat, potensi kerusakan akibat banjir di wilayah perkotaan dapat meningkat secara signifikan.

Hingga saat ini, upaya untuk mengendalikan banjir masih didominasi pada infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) seperti pembangunan dan perluasan sistem drainase, waduk/situ, pompa air, dan pemeliharaan kanal. Namun, pembangunan tersebut justru membawa dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan khususnya aspek lingkungan. Pembangunan kawasan perkotaan seringkali kurang atau bahkan sama sekali tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan adaptif lainnya dengan memanfaatkan Nature-based Solutions (NbS), yang melibatkan berbagai fungsi alam dan kelestarian lingkungan sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim.

Nature-based Solution

Istilah solusi berbasis alam (NBS) mengacu pada pengelolaan berkelanjutan dan penggunaan fitur dan proses alam untuk mengatasi tantangan sosial-lingkungan. Nbs secara efektif dan adaptis mengatasi masalah air melalui pengelolaan berkelanjutan dan merestorasi atau memodifikasi ekosistem sambil memberikan keuntungan secara simultan kepada masyarakat dan keanekaragaman hayati (Cohen-Scacham et al., 2016). Dalam konteks ketahanan air, NbS menggunakan prinsip alamiah dari siklus air, di mana hujan turun, sebagian terserap ke dalam tanah, sementara yang lain mengalir ke permukaan bumi, dan kemudian mengalami proses transpirasi dan evaporasi yang mengembalikan air ke atmosfer.

Salah satu implementasi Nature-based Solution adalah dengan memanfaatkan infrastruktur hijau atau green infrastructure. Infrastruktur hijau dalam sektor air merujuk pada sistem alam atau seminatural yang menyediakan opsi pengelolaan sumber daya air dengan manfaat yang setara atau serupa dengan infrastruktur air konvensional berwarna abu-abu (dibangun/fisik). Infrastruktur hijau semakin diakui sebagai peluang penting dalam mengatasi tantangan kompleks pengelolaan air dan dapat digunakan untuk mendukung tujuan dalam berbagai bidang kebijakan.

Pada makalah ini, akan dijelaskan beberapa infrastruktur hijau yang dikombinasikan dengan infrastruktur abu yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi banjir khususnya di perkotaan, yaitu: Green Roof (Atap Hijau), Permeable/Porous Pavement (Perkerasan Berpori), Bioswale, dan Infiltration Trench (Selokan Infiltrasi).

Green Roofs

Atap hijau adalah praktik pengelolaan air hujan yang sangat efektif di wilayah perkotaan karena kapasitasnya dalam menyimpan air dalam jumlah besar. Hal ini mengurangi risiko banjir perkotaan karena vegetasi dan lapisan substrat berkontribusi terhadap peningkatan evapotranspirasi dan penyerapan air hujan, sehingga mengurangi aliran permukaan. Selain itu, atap hijau unggul dalam meningkatkan kualitas air dengan secara aktif mengurangi limpasan dan menyerap polutan dari air hujan. Penelitian telah menunjukkan bahwa atap hijau secara signifikan menurunkan persentase nitrogen amonia dalam limpasan dibandingkan dengan persentase air hujan. Selain itu, atap hijau menawarkan manfaat berharga dalam menangkap partikel debu halus yang berbahaya dari udara, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan kualitas udara dan kenyamanan secara keseluruhan di kawasan perkotaan yang padat penduduknya. Atap hijau juga memberikan keuntungan lain seperti mengurangi panas permukaan, mendukung biodiversitas perkotaan, dan manfaat ekonomi.

Permeable/Porous Pavement

Porous pavement adalah perkerasan yang direncanakan dengan menggunakan bahan material yang mampu merembeskan aliran air ke dalam lapisan tanah di bawah nya. Jenis perkerasan ini memiliki kelebihan dalam melakukan peresapan air hujan ke dalam tanah sehingga limpasan air hujan di permukaan akan lebih sedikit. Contoh dari perkerasan berpori ini termasuk batu bata berpori, batu beton dikombinasikan dengan rumput, dan kerikil. Namun, perlu diperhatikan bahwa perkerasan tersebut lebih cocok untuk jalan dengan volume rendah, tempat parkir, jalur sepeda, trotoar, taman bermain, lapangan tenis, dan jalan lain yang menahan beban yang tidak terlalu besar. Oleh karena itu, pemilihan jenis perkerasan harus disesuaikan dengan tujuan penggunaannya. Kelebihan dari perkerasan berpori seperti mengurangi pembuatan saluran drainase, mengurangi limpasan di atas perkerasan yang berisiko menyebabkan kecelakaan lalu lintas, mengurangi sedimen pada limpasan yang dapat mencemari kualitas air, serta mempermudah transfer air dan oksigen pada akar – akar tanaman.

Bioswale 

Bioswale adalah infrastruktur yang biasanya berbentuk parit terbuka yang ditanami dengan vegetasi tahan air. Bioswale merupakan sistem yang dapat mengangkut limpasan air hujan dan dapat menyerap air serta meningkatkan kualitas air karena berfungsi sebagai penyaring polutan dan puing-puing dari limpasan air sebelum memasuki daerah aliran sungai atau saluran pembuangan air. Bioswale dirancang untuk dapat menampung lebih banyak air limpasan yang berasal dari lingkungan yang luas, seperti jalan atau tempat parkir (USDA, 2005). Dengan meresapkan air hujan ke dalam tanah dan mengurangi aliran permukaan yang cepat, bioswale membantu mengurangi risiko banjir perkotaan dan menjaga keseimbangan dalam siklus air

Infiltration Trench

Infiltration trench atau parit infiltrasi terdiri dari parit yang diisi dengan material berpori dan batu kerikil yang memungkinkan air hujan meresap ke dalam tanah. Fungsi utamanya adalah memperlambat aliran air hujan, memberikan waktu bagi tanah untuk menyerap air, dan memungkinkan penyimpanan air hujan secara alami. Dengan meresapkan air hujan ke dalam tanah, infiltration trench mengurangi aliran permukaan yang dapat menyebabkan banjir perkotaan. Selain itu, mereka membantu menjaga kualitas air dengan menyaring kontaminan dan partikel dari air hujan sebelum mencapai saluran air. Dengan cara ini, parit infiltrasi tidak hanya membantu mengurangi risiko banjir, tetapi juga memperbaiki siklus air dan mendukung pengelolaan air yang berkelanjutan di perkotaan. Beberapa contoh pemanfaatan infiltration trench seperti taman dan ruang terbuka hijau, kawasan industri, pusat kesehatan dan rumah sakit, pusat perbelanjaan dan perdagangan, dan sekolah serta kampus.

Contoh Penerapan Nature-based Solution – Green Roofs

Dalam merespons perubahan iklim, Hamburg telah menggalakkan usaha untuk meningkatkan aspek kehijauan, baik dalam lingkungan perkotaan maupun pada atap-atap bangunan. Sebagai inisiatif pionir di Jerman, Hamburg telah merancang Strategi Atap Hijau yang komprehensif. Tujuan utamanya adalah memasang luas total 100 hektar atap hijau di wilayah metropolitan. Untuk mendukung upaya ini, Kementerian Lingkungan dan Energi Hamburg telah mengalokasikan dana sebesar € 3 juta hingga akhir tahun 2024 untuk proyek atap hijau. Pemilik bangunan berhak menerima subsidi yang mencakup hingga 60% dari biaya pemasangan atap hijau. Keuntungan tambahan yang diperoleh meliputi pengurangan biaya perawatan akibat usia atap hijau yang lebih lama, efisiensi energi yang lebih baik karena peningkatan isolasi bangunan, serta potongan 50% pada biaya air hujan berkat fungsi retensi air hujan dari atap hijau.

Dari pembangunan yang ada, atap hijau mampu memberikan efek pendinginan terhadap lingkungan sekitar dan meningkatkan kelembaban udara, sehingga mengurangi dampak pulau panas perkotaan. Selain itu, atap hijau memberikan peningkatan pada isolasi bangunan, yang memungkinkan adaptasi yang lebih baik terhadap suhu ekstrem. Lebih lanjut, atap hijau memperbaiki manajemen air dengan retensi air hujan dan penguapan alami. Mereka dapat menyimpan antara 50 hingga 90% dari curah hujan tahunan dan hingga 30-40% dari hujan lebat sehingga mencegah terjadinya banjir.

Sama halnya dengan Kota Hamburg, tiga wilayah di Indonesia mengeluarkan peraturan daerah dalam menggalakkan usaha untuk meningkatkan aspek kehijauan, yaitu Jakarta dengan Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau, Semarang dengan Peraturan Walikota Nomor 24 Tahun 2019 tentang Bangunan Gedung Hijau, dan  Bandung dengan Peraturan Wali Kota Nomor 1023 Tahun 2016 tentang Bangunan Gedung Hijau.

Menurut laporan data dari IFC hingga tahun 2018, terdapat 339 bangunan berkelanjutan yang telah disertifikasi di Kota Jakarta dan berpotensi menghemat hampir USD 90 juta dalam pengeluaran energi. Namun, menurut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta, jumlah ini dianggap masih terlalu sedikit mengingat masih banyak gedung-gedung milik Pemprov DKI yang belum menerapkan konsep gedung hijau. Sejalan dengan visi Pemprov DKI Jakarta untuk mencapai 100% bangunan berkelanjutan pada tahun 2030 untuk bangunan baru dan target 60% untuk bangunan eksisting yang telah ada pada tahun 2030, pemerintah provinsi tengah merencanakan perluasan penerapan bangunan berkelanjutan dengan merevisi Pergub.

Contoh lainnya ialah Kota Bandung yang pemerintahnya berinisiatif untuk memberikan insentif baik finansial maupun non-finansial berupa tambahan jumlah lapis lantai dan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak tahun 2016. Insentif tersebut didesain dengan tujuan meningkatkan motivasi pemilik bangunan di Kota Bandung untuk mengadopsi konsep green building. Namun, sampai saat ini, penerapan green building masih mengalami kendala yang ditunjukkan dengan belum adanya bangunan yang telah selesai dibangun yang benar-benar telah memenuhi persyaratan green building. Salah satu penyebab belum berhasilnya penerapan green building tersebut dikarenakan belum belum adanya peraturan lanjutan tentang insentif dari Peraturan Walikota Bandung Nomor 1023 tentang Bangunan Gedung Hijau.

Mengambil inspirasi dari keberhasilan praktik di kota Hamburg, pemerintah Jerman menganggarkan dana untuk mendukung pemasangan atap hijau pada bangunan. Sementara konsep green building melibatkan lebih dari sekadar atap hijau, memberikan subsidi khusus dalam hal pembuatan atap hijau dapat dijadikan salah satu metode untuk meningkatkan minat pemilik bangunan. Jika konsep green building, atau setidaknya penerapan atap hijau, dapat berhasil diadopsi di Kota Bandung, maka Kota Bandung, yang secara geografis terletak dalam lokasi prioritas banjir, memiliki potensi untuk mengurangi dampak kerugian akibat banjir.

Way Forward NbS di Indonesia

Untuk mencapai kesuksesan dalam penerapan Nature-based Solutions (NbS) di Indonesia, beberapa faktor kunci harus diperhatikan. Pertama, dukungan dan koordinasi yang kuat dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah sangatlah dibutuhkan. Saat ini, implementasi Nature-based Solutions (NbS) dapat diperkuat oleh kerangka hukum yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menggambarkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai wilayah linear atau berkelompok yang dirancang untuk penggunaan yang lebih terbuka dan pertumbuhan tanaman, baik itu alami maupun ditanam secara sengaja. Peraturan-peraturan yang mengatur RTH yang terkait dengan bangunan, seperti taman atap, taman balkon, taman koridor, taman podium, dan taman vertikal/vertical garden/green wall, tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2022.

Selain itu, implementasi NbS lainnya seperti penggunaan permeable/porous pavement sesuai dengan prinsip-prinsip green building yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 2 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Hijau dan Peraturan Menteri PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan. Oleh karena itu, dengan adanya kerangka hukum yang mendukung ini, diharapkan pemerintah dapat lebih fokus pada pembangunan berbasis alam.

Kedua, keterlibatan aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan proyek NbS akan menjadi faktor penting dalam kesuksesan. Kemitraan dengan sektor swasta dan organisasi non-pemerintah juga dapat memperkuat upaya implementasi NbS. Upaya penyuluhan, kampanye informasi, dan pelatihan dapat membantu meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan proyek NbS.

Dalam konteks Indonesia yang geografisnya beragam, adaptasi dan penyesuaian proyek NbS dengan karakteristik lokal menjadi penting untuk menjawab tantangan banjir dan perubahan iklim. Dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif, implementasi NbS di Indonesia dapat menjadi kunci sukses dalam mengatasi masalah banjir perkotaan dan menjaga keberlanjutan lingkungan.

Kesimpulan

Penyebab utama banjir perkotaan adalah hujan deras yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. Ini diperparah oleh kurangnya struktur drainase air hujan yang memadai dan urbanisasi yang tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kerugian besar akibat bencana hidrometeorologi, termasuk banjir, dan dengan proyeksi bahwa sekitar 68% penduduk Indonesia akan tinggal di kota pada tahun 2025, penanganan banjir perkotaan menjadi semakin penting.

Artikel ini membahas Nature-based Solutions (NbS), yang melibatkan pengelolaan berkelanjutan dan penggunaan fitur alam dan proses alam untuk mengatasi tantangan sosial-lingkungan. Beberapa contoh NbS yang dibahas termasuk Green Roofs (Atap Hijau), Permeable/Porous Pavement (Paving Permeabel), Bioswale, dan Infiltration Trench (Selokan Infiltrasi). Kesuksesan implementasi NbS di Indonesia memerlukan dukungan pemerintah dari pusat hingga daerah, keterlibatan masyarakat, adaptasi dengan karakteristik lokal, dan pendekatan kolaboratif. Dengan menggunakan pendekatan NbS, diharapkan dapat mengatasi masalah banjir perkotaan, meningkatkan kualitas air, dan menjaga keberlanjutan lingkungan perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Schanze, J. (2018). Pluvial flood risk management: an evolving and specific field. Journal of Flood Risk Management, 11(3), 227-229.

IPCC Work Group I. (2013). Climate change 2013: The physical science basis. Contribution of Working, 43, 866–871.

Cohen-Shacham, E., Walters, G., Janzen, C., & Maginnis, S. (2016). Nature-based solutions to address global societal challenges. IUCN: Gland, Switzerland, 97, 2016-2036.

Natural Resources Conservation Service, “Bioswales,” United States Department of Agricultures, 2005.

Urban Green Blue Grids. (n.d.). Porous Paving Materials. https://urbangreenbluegrids.com/measures/porous-paving-materials/

European Environment Agency. (n.d.). Four Pillars to Hamburg’s Green Roof Strategy: Financial Incentive, Dialogue, Regulation, and Science. https://climate-adapt.eea.europa.eu/en/metadata/case-studies/four-pillars-to-hamburg2019s-green-roof-strategy-financial-incentive-dialogue-regulation-and-science

DPRD DKI Jakarta Provinsi. (n.d.). Gedung Pemerintah Wajib Jadi Percontohan Green Building. https://dprd-dkijakartaprov.go.id/gedung-pemerintah-wajib-jadi-percontohan-green-building/

Pahnael, J. R. N., Soekiman, A., & Wimala, M. (2020). Penerapan Kebijakan Insentif Green Building di Kota Bandung. Jurnal Infrastruktur, 6(1), 1-13.

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

Underwater view of a group of seabed with green seagrass.

Pengelolaan Ekosistem Lamun Sebagai Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim

Pengelolaan Ekosistem Lamun Sebagai Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim

Pendahuluan

Ekosistem lamun adalah suatu tipe ekosistem laut yang didominasi oleh tanaman lamun. Lamun merupakan tanaman laut berbunga yang tumbuh di perairan dangkal di sepanjang pantai, terutama di daerah pasang surut. Lamun dapat beradaptasi dengan lingkungan laut yang memiliki salinitas tinggi. Lamun memiliki akar, rimpang, daun, bunga, dan buah seperti tumbuhan darat, tetapi dapat hidup terbenam di dalam air. Lamun tumbuh berkerumunan dan membentuk padang lamun, yang merupakan habitat, makanan, dan perlindungan bagi berbagai makhluk laut, seperti ikan, udang, kepiting, kerang, penyu, dugong, dan lain-lain. 

Gambar 1. Ekosistem lamun sebagai nursery ground biota laut

Keberadaan ekosistem lamun memiliki manfaat ekologis dan ekonomis di wilayah pesisir. Fungsi ekologis, seperti sebagai produsen primer, siklus karbon dan nitrogen, stabilisasi sedimen, dan habitat biota. Sebagai produsen primer, lamun dapat menghasilkan oksigen dan bahan organik melalui fotosintesis. Sebagai siklus karbon dan nitrogen, lamun dapat menyerap karbon dioksida dan nitrogen dari air dan mengubahnya menjadi senyawa organik. Sebagai stabilisasi sedimen, lamun dapat menahan sedimen dengan akar dan rimpangnya, serta mengurangi kecepatan arus dan gelombang dengan daunnya.

 

Secara ekonomi keberadaan ekosistem lamun memiliki manfaat dalam mendukung produktivitas dan keanekaragaman ikan dan biota laut lainnya Rp20.579.103/ha/tahun (Dirhamsyah, 2007). Lamun Beberapa spesies lamun juga dapat dimakan seperti Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan Halodule uninervis yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan antioksidan yang baik untuk kesehatan. Lamun dapat digunakan sebagai bahan baku industri pangan, seperti pembuatan agar-agar, nata de coco, dan bioetanol. Dikarenakan lamun memiliki serat yang kuat sehingga digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas dan dijadikan sebagai alternatif pupuk organik. Kajian yang dilakukan (Wahyudin et al., 2016) diestimasikan total nilai minimal ekonomi jasa ekosistem lamun bagi kesejahteraan masyarakat sekitar 121,75 juta/ha/tahun. Tulisan ini membahas terkait dengan peran dan pengelolaan ekosistem lamun sebagai salah satu upaya adaptasi perubahan iklim di kawasan pesisir.

Ekosistem Lamun Terhadap Ketahanan Iklim

Ekosistem lamun dapat berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) atau blue carbon, yaitu kemampuan untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida dari atmosfer ke laut melalui proses fotosintesis. CO2 yang diserap lamun sebagian digunakan sebagai energi dan sebagian lainnya disimpan dalam jaringan tubuhnya dalam bentuk biomassa, baik bagian atas (daun, bunga, buah) maupun bagian bawah (akar, rimpang). Biomassa lamun tersebut dapat bertahan lama di dalam sedimen laut dan tidak kembali ke atmosfer. Ekosistem lamun sangat efektif menyerap CO2 dengan serapan sebesar 1.867 ton/km2 (48%) relatif lebih tinggi dibandingkan mangrove sebesar 806 ton/km 2 (21%) dan karang sebesar 1.197 ton/km 2 (31%) (Simamora, 2010).

 

Kemampuan lain pada ekosistem lamun adalah sebagai penstabil sedimen dan penahan gelombang, yaitu kemampuan untuk menahan erosi dan abrasi pantai akibat perubahan iklim. Akar dan rimpang lamun dapat menancap kuat di dasar laut dan menahan sedimen agar tidak terbawa arus dan gelombang. Daun lamun dapat mengurangi kecepatan arus dan gelombang yang menghantam pantai. Ekosistem lamun dapat mengurangi tinggi gelombang hingga 36% dan energi gelombang hingga 70%. Lamun juga dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan, yaitu masuknya air laut ke sumber air tawar akibat kenaikan permukaan air laut (Rahman et al.,2018)

 

Selain itu kemampuan ekosistem lamun dalam menstabilkan subtract dasar yang lunak dan memperlambat arus sepanjang pantai (longshore current) sangat bermanfaat sebagai upaya degradasi pesisir pantai. Dengan demikian, ekosistem lamun dapat melindungi garis pantai dari kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, abrasi, gelombang tinggi maupun tsunami.

Ekosistem Lamun di Indonesia

Perairan Indonesia memiliki kekayaan keragaman lamun yang besar. Dari 60 spesies lamun yang ada di  dunia yang terbagi dalam 12 marga (genus), 15 spesies dari 7 genus di antara ditemukan di Indonesia. Secara luasan 5%-10% ekosistem lamun dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian Pusat Riset Oseanografi-BRIN (PRO-BRIN), luas padang lamun Indonesia yang diteliti baru sekitar 16%- 35% dari potensi sesungguhnya.

 

Spesies yang paling luas sebarannya di pantai Indonesia seperti Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Cymodocea serrulata. Perairan di Indonesia menjadi rumah nyaman untuk bertumbuhnya lamun terutama di pesisir timur dan barat Pulau Sumatra. Seperti di kawasan Pantai Tanjung Kelayang, Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung. Kawasan sekitar Batam dan Bintan, Nias, dan sebagian Lampung juga menjadi favorit bertumbuhnya ekosistem lamun.

Gambar 2. Sebaran Distribusi Ekosistem Lamun (KKP, 2021)

Luasan ekosistem lamun di seluruh perairan Indonesia yang sudah diverifikasi oleh Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI yaitu 293.464 ha dengan perincian luas lamun di perairan timur 284.660 ha dan barat 8.804 ha. Dari seluruh luasan padang lamun yang sudah tervalidasi, tercatat hanya 15,35 persen yang kondisinya masuk kategori bagus atau sehat. Sedangkan seluas 53,8 persen lainnya dinyatakan kurang sehat, dan sisanya sekitar 30,77 persen dinyatakan miskin. Mengacu pada standar Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jika merujuk pada pedoman tersebut padang lamun yang masuk kategori sehat harus memiliki tutupan minimal 60 persen. Sementara itu, untuk kondisi sekarang, tutupan padang lamun di Indonesia rerata mencapai 42,23 persen.

 

Terlepas dari signifikansinya, berbagai ancaman memberi tekanan pada habitat yang berharga ini. Konservasi dan restorasi lamun sangat penting untuk mempertahankan jasa penyerapan karbon, bersama dengan jasa ekosistem lainnya seperti, pengurangan gelombang tinggi, habitat biota laut dan manfaat ekonomi bagi masyarakat di kawasan pesisir.

Praktik Pengelolaan Ekosistem Lamun di Indonesia

 

Indonesia adalah pemilik padang lamun terluas di Asia Tenggara, kedua di dunia setelah Australia. Luasnya kurang lebih 15% dari total padang lamun dunia. Namun demikian permasalahan pengelolaan ekosistem lamun yang paling mendasar adalah masih kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya ekosistem lamun, hal ini karena lamun masih dipandang semata sebagai “rerumputan yang tidak berguna” sehingga degradasi ekosistem lamun baik yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia maupun kondisi perubahan alam menyebabkan penurunan produktivitas sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dikandungnya.

 

Pengelolaan ekosistem lamun yang lebih baik telah mulai dilakukan, pemerintah bertekad untuk menjaga lamun, mangrove dan terumbu karang sebagai ekosistem tiga serangkai benteng pesisir. Upaya tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI). Pemerintah Indonesia juga telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Australia sejak 2017 dalam program Blue Carbon Indonesia – Australia, kerja sama tersebut berupa joint research, capacity development dan transfer technology atau knowledge serta menyampaikan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti, khususnya mengenai Blue Carbon pada ekosistem Lamun.

Gambar 3. Pengelolaan rehabilitasi lamun di Papua Barat

Terkait contoh praktik pengelolaan ekosistem lamun yang pernah dilakukan di Kepulauan Sangkarang, Sulawesi Selatan, terhadap padang lamun seluas 600 meter persegi yang menelan anggaran USD 100 ribu (Rp1,5 miliar) untuk perencanaan, penanaman, dan pemantauan selama tiga tahun. Program yang dimulai sejak 2016 ini menggunakan metode transplantasi, yakni pengambilan tanaman lamun yang sehat untuk ditanam di lokasi tujuan. Setelah tujuh tahun dilaksanakan, usaha restorasi menuai hasil positif. Padang lamun yang pulih memancing satwa perairan untuk hidup di dalamnya, melindungi pantai dari erosi.

 

Kegiatan ini juga memberikan dampak yang sangat baik terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pesisir sebesar 3 kali lipat berupa tangkapan ikan dan juga memanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Selain itu, restorasi lamun dinilai lebih murah dibandingkan restorasi terumbu karang. Berdasarkan kajian BRIN pemulihan lamun yang mencakup perencanaan, penanaman, sampai pemantauan menurut perhitungan mereka memakan biaya sekitar US$700 ribu (Rp10,8 miliar) untuk tiap hektar. Sedangkan restorasi karang mencapai US$3 juta (Rp45 miliar) per ha. Sehingga lebih menguntungkan dan mudah diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia.

 

Saat ini keberlanjutan pengelolaan ekosistem lamun di Indonesia terus ditindaklanjuti secara lebih masif, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Archipelagic and Island State (AIS) Forum Bulan Oktober 2023 di Bali, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia meluncurkan Profil Aksi Mitigasi Karbon Biru Lamun. Dokumen ini akan menjadi bagian peningkatan target Kontribusi Nasional (NDC) Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dan menjadi peta jalan untuk menentukan langkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Pada Profil Aksi Mitigasi Karbon Biru Lamun, akan fokus intervensi regulasi pemanfaatan ruang laut dan melakukan restorasi padang lamun. Hasilnya, diproyeksikan adanya penurunan emisi karbon secara signifikan pada 2030. Kedepannya diperlukan pengelolaan ekosistem lamun yang lebih berkelanjutan sehingga peluang besar pemanfaatan lamun sebagai salah satu solusi mengatasi perubahan iklim.

Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun Berkelanjutan

  1. Pemantauan Ekosistem Lamun:
  • Melakukan pemantauan rutin terhadap ekosistem lamun untuk memahami perubahan yang terjadi.
  • Menggunakan teknologi seperti pemetaan satelit, foto udara, dan survei bawah air untuk memantau perubahan area dan kesehatan lamun.
  1. Perlindungan Hukum dan Zonasi:
  • Mendukung pembentukan undang-undang dan regulasi yang melindungi ekosistem lamun.
  • Mendirikan zona-zona perlindungan di sekitar ekosistem lamun yang melarang aktivitas manusia yang merusak, seperti penggalian pasir, penggunaan jaring trawl, atau pemotongan lamun.
  1. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan:
  • Memastikan pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem lamun.
  • Mengimplementasikan kuota penangkapan ikan dan larangan alat tangkap yang merusak lamun.
  1. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat:
  • Melakukan kampanye edukasi kepada masyarakat lokal tentang pentingnya ekosistem lamun dan dampak negatif aktivitas manusia.
  • Meningkatkan kesadaran akan perlindungan lamun dan peran pentingnya dalam ekosistem pesisir.
  1. Praktik Konservasi:
  • Melakukan upaya rehabilitasi dan restorasi ekosistem lamun yang rusak, seperti dengan menanam bibit lamun atau mengurangi polusi.
  • Mengurangi pemindahan tanah dan penggalian pasir yang dapat merusak lamun.
  1. Pengendalian Pencemaran:
  • Memantau dan mengendalikan sumber pencemaran seperti limbah industri, pertanian, dan pembuangan sampah yang dapat merusak lamun dan perairan laut.
  1. Kajian dan Riset:
  • Melakukan penelitian ilmiah untuk memahami ekologi lamun dan perubahan iklim yang mempengaruhi ekosistem tersebut.
  • Menyusun data ilmiah yang dapat digunakan dalam perencanaan pengelolaan.
  1. Kemitraan dan Kerja Sama:
  • Berkolaborasi dengan pemerintah, LSM, dan sektor swasta untuk pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan.
  • Melibatkan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan strategi pengelolaan.

Pengelolaan ekosistem lamun yang efektif memerlukan kerja sama antara berbagai pihak dan perencanaan jangka panjang yang berkelanjutan untuk menjaga kelestarian ekosistem ini sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim serta dapat meningkatkan ketahanan ekonomi bagi masyarakat di kawasan pesisir.

Penutup

Menilik dari manfaat, keberadaan dan potensi pengembangan ekosistem lamun di pesisir Indonesia, sudah seharusnya pengelolaan ekosistem lamun mendapatkan posisi yang kuat sama halnya dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang menjadi aset tidak hanya dalam mengatasi dampak degradasi kawasan pesisir juga dalam penguatan aspek ekonomi (blue economy) yang telah menjadi piranti kesatuan yang sangat menjanjikan di masa mendatang. Pengembangan ekosistem lamun dalam mengurangi dampak perubahan iklim menjadi salah satu intervensi untuk ancaman bencana di wilayah pesisir. Selain itu optimalisasi peran ekosistem padang lamun perlunya pengelolaan secara berkelanjutan. Upaya yang bisa dilakukan dengan pengembangan inovasi, pemanfaatan dan perlindungan lamun, pelibatan masyarakat, kolaborasi, peningkatan persentase tutupan dan variasi spesies lamun. Harapan kedepan ekosistem lamun dapat memberikan manfaat yang besar dari aspek lingkungan, sosial dan ekonomi khususnya bagi masyarakat pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

 

Dirmansyah (2007) An economic valuation of seagrass ecosystem in East Bintan, Riau Archipelago, Indonesia. Oseanologi dan Limnologi, 33, pp. 257-270

Badan Pusat Statistik, 2020. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir. Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir. BPS Republik Indonesia Press.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka. Utama. Jakarta

Gufron & Kordi, 2011. Ekosistem Padang Lamun, Fungsi Potensi dan Pengelolaan. Rineka Cipta Jakarta

Simamora, S. 2010. Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Alam Terpadu. Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2003

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan. 2018. Arah Kebijakan dan Sasaran Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2019. Masyarakat Pesisir: Adaptasi Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Puslit Oseanografi – LIPI. Jakarta.

 

United States Agency for International Development (USAID), 2016. Indonesia: Coasts of Climate Change 2050. Brief Policy

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

Close-up of agriculturist hands holding fresh arabica coffee berries in a coffee plantation. Farmer picking coffee bean in coffee process agriculture.

Tantangan dan Strategi Budidaya Kopi dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Budidaya Kopi di Indonesia

Kopi adalah salah satu komoditas perkebunan andalan di Indonesia yang berperan mendukung perekonomian negara dengan menghasilkan devisa negara, memberikan sumber pendapatan petani, dan menciptakan lapangan kerja. Semua provinsi di Indonesia memiliki lahan perkebunan kopi dengan mayoritas perkebunan tersebut dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Luas perkebunan kopi di Indonesia mencapai lebih dari satu juta hektar dengan wilayah perkebunan kopi terluas terletak di di Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 1) (BPS, 2020). Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai produsen kopi tertinggi keempat di dunia setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam (ICO, 2020). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, baik luas lahan perkebunan maupun produksi kopi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 2). International Coffee Organization (2020) juga memperkirakan dalam beberapa tahun ke depan peningkatan produksi kopi di Indonesia meningkat sebesar 3-5,8%. Disisi lain, perkebunan kopi sendiri memiliki tantangan yang cukup serius dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. Banyak penelitian yang telah menunjukkan indikasi perubahan iklim seperti perubahan intensitas hujan dan pola curah hujan, kenaikan suhu udara, pergeseran awal musim, serta kejadian dan intensitas iklim ekstrim yang semakin meningkat berpotensi memberikan dampak dan tantangan dalam menanam dan membudidayakan komoditas kopi (Pham Y et al 2019, Bunn et al 2015).

Gambar 1 Sebaran Luas Perkebunan Kopi di Indonesia (Sumber: BPS 2020)
Gambar 2 Luas dan Produksi Kopi di Indonesia Tahun 2011 hingga Tahun 2020 (Sumber: BPS 2020)

Tantangan Budidaya Kopi dalam Perubahan Iklim

Tanaman kopi memiliki umur hidup yang panjang (dapat mencapai 50 tahun) dengan siklus yang berulang setiap tahunnya dipengaruhi oleh iklim kondisi setempat, sehingga penanaman kopi saat ini berpotensi untuk terkena dampak perubahan iklim. Selama satu dekade terakhir, peningkatan suhu permukaan global lebih tinggi 1,090C dibandingkan dengan pasca revolusi industri (1850-1900) (IPCC, 2021). Peningkatan suhu tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi. Umumnya, masing-masing jenis kopi memiliki rentang suhu optimal berkisar 18-230C tergantung fase pertumbuhan yang sedang terjadi. Namun, penelitian menunjukan bahwa setiap kenaikan suhu 10C dapat menyebabkan penurunan produksi kopi mencapai 30,04%. Di sisi lain suhu udara yang sangat rendah (-30C hingga -5 0C) juga dapat mematikan daun kopi (Supriadi, 2014).

Tidak hanya kuantitas produksi kopi yang menurun, kualitas kopi juga dapat menurun akibat bulan kering berkepanjangan di atas 3 bulan (Willson, 1985). Peningkatan intensitas variabilitas iklim (seperti El Nino dan La Nina) akibat perubahan iklim dapat menyebabkan bulan kering berkepanjangan terjadi lebih sering dan intensitas curah hujan tidak tersebar merata di sepanjang tahun. Intensitas curah hujan yang dibutuhkan oleh tanaman kopi sebenarnya berbeda-beda tergantung dari kondisi tanah, kelembaban atmosfer, dan teknik budidaya kopi. Umumnya, curah hujan tahunan optimum untuk tanaman kopi adalah berkisar 1200 – 1800 mm dengan deret hari terjadi hujan tersebar merata (Willson, 1985).  Sayangnya, perubahan iklim cenderung membuat pola curah hujan bergeser. Penurunan total curah hujan bulanan atau musiman tidak selalu menggambarkan terjadinya penurunan intensitas curah hujan harian. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah hari hujan yang menurun dan kumulatif hujan dalam satu bulan atau satu musim hanya berasal dari kejadian hujan dengan intensitas yang tinggi. Intensitas hujan yang terlalu tinggi tentu akan meningkatkan risiko banjir dan gagal panen.

Selain menyangkut kualitas dan kuantitas produksi kopi, perubahan iklim juga menyebabkan semakin minimnya wilayah iklim yang cocok di Indonesia untuk melakukan budidaya kopi. Suhu udara yang cocok untuk budidaya kopi umumnya berada di altitude yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah. Petani yang menyadari adanya ketidakcocokan iklim di wilayah budidaya mereka, maka akan memilih bercocok tanam ke wilayah dengan altitude yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah. Disisi lain, wilayah yang altitude lebih tinggi tersebut seringkali merupakan Kawasan Hutan Lindung. Akibatnya, Kawasan hutan lindung akan beralih fungsi secara ilegal menjadi lahan perkebunan yang diputuskan sepihak oleh petani kopi. Oleh sebab itu, dalam menghadapi perubahan iklim diperlukan inovasi konkrit untuk mempertahankan budidaya kopi serta kuantitas dan kualitas produksinya.

Strategi yang dapat dilakukan

Secara umum, Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian telah mengusungkan 3 (tiga) pendekatan untuk menghadapi permasalahan perubahan iklim dalam budidaya kopi yaitu, pendekatan strategis (identifikasi wilayah), taktis (pengembangan metode dan teknik prediksi atau pemodelan musim) dan operasional (teknologi penanggulangan apabila prediksi meleset). Skema ketiga pendekatan ini dirincikan sebagai berikut:

  1. Pendekatan strategis dapat berupa inventarisasi data dan informasi terkait wilayah-wilayah yang membudidayakan kopi. Strategi ini meliputi penyusunan peta sebaran wilayah perkebunan kopi, identifikasi sistem budidaya perkebunan kopi di setiap wilayah yang ada, penyusunan peta lokasi kerawanan terhadap bencana banjir ataupun kekeringan, serta melanjutkan kegiatan penelitian dan program aksi untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
  2. Pendekatan taktis yang dapat dilakukan adalah memperkuat perkiraan atau prediksi serta analisis iklim dalam satu musim ke musim berikutnya dengan menggunakan data historis yang tersedia (menganalisis melalui grafik hujan bulanan/dekade/mingguan versus real time). Bila diperlukan, dapat juga menambahkan alat ukur cuaca khusus di lokasi-lokasi budidaya kopi prioritas. Pendekatan ini dapat menghasilkan kalender budidaya tanaman kopi yang siap dalam menghadapi perubahan iklim. Pada tanaman pangan semusim (seperti padi) prakiraan iklim telah banyak dimanfaatkan untuk menyusun kalender tanam. Oleh karena itu, kalender budidaya tanaman kopi selama satu tahun juga dapat disusun untuk membantu petani dalam melaksanakan perawatan (pemupukan, penyiraman, dan sebagainya) sesuai dengan fase-fase pertumbuhan tanaman kopi dan spesifik di wilayah tertentu.
  3. Pendekatan operasional dilakukan dengan membangun inventarisasi teknologi khususnya dalam mengendalikan intensitas curah hujan. Peta sebaran bangunan sumberdaya air (embung, sumur bor, waduk) dapat digunakan untuk merencanakan sarana irigasi atau saluran air yang dapat mengatur ketersediaan air. Sehingga, ketika intensitas curah hujan tinggi, air dapat dialirkan menuju tempat penyimpanan, dan ketika kering berkepanjangan air dapat dialirkan melalui lokasi-lokasi penyimpanan atau sumber air. Alternatif lain yang dapat diadopsi adalah penerapan asuransi indeks iklim yang memerlukan perencanaan lebih lanjut dengan prediksi iklim yang kuat.

Ketiga pendekatan ini tetap memerlukan tenaga terlatih yang dapat menggunakan sistem informasi sehingga dapat mendampingi petani dalam melakukan budidaya kopi. Selain intervensi langsung dari tenaga ahli saat budidaya kopi, aksi nyata ketahanan iklim dapat juga dilakukan dengan mentransfer pengetahuan tersebut langsung pada petani. Hal ini dapat meningkatkan kapasitas masyarakat terkait climate smart agriculture melalui program seperti sekolah lapang Iklim, program kampung iklim, serta pendampingan penggunaan alat mesin pertanian.

Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) merupakan perwujudan komitmen pemerintah Indonesia dalam menangani berbagai tantangan isu perubahan iklim. Peningkatan ketahanan iklim ini difokuskan pada 4 (empat) sektor terdampak perubahan iklim, salah satunya adalah sektor pertanian. Saat ini sektor pertanian berfokus pada tanaman padi sebagai indikator dalam penilaian bahaya iklim. Adanya potensi penurunan produksi padi akibat perubahan iklim tentu berdampak pada kerugian ekonomi nasional. Proyeksi kerugian ekonomi nasional pada sektor pertanian diperkirakan mencapai 77,9 Triliun Rupiah pada tahun 2020-2045. Kerugian ini tentu akan semakin tinggi apabila komoditas kopi juga diikutsertakan dalam analisis bahaya iklim mengingat pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, kedepannya pengembangan kajian ketahanan iklim akan diperkuat dengan penambahan komoditas lain yang juga berdampak signifikan terhadap perubahan iklim. Hal ini tentu akan memberikan dampak pada peningkatan ketahanan iklim di Indonesia.

Kesimpulan

Faktor iklim merupakan faktor penting dalam budidaya tanaman kopi, sehingga terjadi perubahan iklim memberikan dampak penurunan terhadap kuantitas dan kualitas produksi kopi. Iklim yang tidak sesuai akan mendukung pertumbuhan tanaman menurun, daun menguning, bunga gugur, percepatan fase pertumbuhan sehingga menurunkan kualitas, tanaman mati, serta memicu hama dan penyakit tanaman yang dapat merusak tanaman kopi. Dampak perubahan iklim tidak hanya berpengaruh pada produksi kopi saja, namun juga berpengaruh terhadap rangkaian aktivitas lain pada rantai nilai kopi. Produksi kopi yang buruk akan menghasilkan kualitas yang buruk, sehingga terjadi penurunan harga jual. Saat ini, tuntutan permintaan produksi kopi dengan kualitas yang baik akan terus meningkat bukan hanya di tingkat lokal tetapi juga global, sedangkan risiko perubahan iklim terus meningkat. Oleh karena itu aksi ketahanan iklim yang terintegrasi dalam jangka panjang dan bersifat menyeluruh sangat dibutuhkan, seluruh aktor dalam rantai nilai kopi, para stakeholder, dan pemerintah juga harus berperan serta dalam melakukan upaya adaptasi perubahan iklim terhadap budidaya kopi.

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). 2020. Statistik Kopi Indonesia. [www.bps.go.id]
  2. International Coffee Organization (ICO). 2020. Coffee Market Repor. [https://www.ico.org/trade_statistics.asp].
  3. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2021. Climate Change 2021 The Physical Science Basis Summary for Policymakers. [www.ipcc.ch].
  4. Supriadi, H. 2014. Budidaya tanaman kopi untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Perspektif 13 (1): 35-52.
  5. Clifford M.N and Willson K.C. 1985. Coffee: Botany, Biochemistry, and Production of Beans and Beverage. United States: Springer.
  6. Pham, Y., Reardon-Smith, K., Mushtaq, S. et al. 2019 The impact of climate change and variability on coffee production: a systematic review. Climatic Change 156, 609–630. https://doi.org/10.1007/s10584-019-02538-y

Bunn, C., Läderach, P., Ovalle Rivera, O. et al. 2015. A bitter cup: climate change profile of global production of Arabica and Robusta coffee. Climatic Change 129, 89–101. https://doi.org/10.1007/s10584-014-1306-x

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti