Underwater view of a group of seabed with green seagrass.

Pengelolaan Ekosistem Lamun Sebagai Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim

Pengelolaan Ekosistem Lamun Sebagai Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim

Pendahuluan

Ekosistem lamun adalah suatu tipe ekosistem laut yang didominasi oleh tanaman lamun. Lamun merupakan tanaman laut berbunga yang tumbuh di perairan dangkal di sepanjang pantai, terutama di daerah pasang surut. Lamun dapat beradaptasi dengan lingkungan laut yang memiliki salinitas tinggi. Lamun memiliki akar, rimpang, daun, bunga, dan buah seperti tumbuhan darat, tetapi dapat hidup terbenam di dalam air. Lamun tumbuh berkerumunan dan membentuk padang lamun, yang merupakan habitat, makanan, dan perlindungan bagi berbagai makhluk laut, seperti ikan, udang, kepiting, kerang, penyu, dugong, dan lain-lain. 

Gambar 1. Ekosistem lamun sebagai nursery ground biota laut

Keberadaan ekosistem lamun memiliki manfaat ekologis dan ekonomis di wilayah pesisir. Fungsi ekologis, seperti sebagai produsen primer, siklus karbon dan nitrogen, stabilisasi sedimen, dan habitat biota. Sebagai produsen primer, lamun dapat menghasilkan oksigen dan bahan organik melalui fotosintesis. Sebagai siklus karbon dan nitrogen, lamun dapat menyerap karbon dioksida dan nitrogen dari air dan mengubahnya menjadi senyawa organik. Sebagai stabilisasi sedimen, lamun dapat menahan sedimen dengan akar dan rimpangnya, serta mengurangi kecepatan arus dan gelombang dengan daunnya.

 

Secara ekonomi keberadaan ekosistem lamun memiliki manfaat dalam mendukung produktivitas dan keanekaragaman ikan dan biota laut lainnya Rp20.579.103/ha/tahun (Dirhamsyah, 2007). Lamun Beberapa spesies lamun juga dapat dimakan seperti Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan Halodule uninervis yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan antioksidan yang baik untuk kesehatan. Lamun dapat digunakan sebagai bahan baku industri pangan, seperti pembuatan agar-agar, nata de coco, dan bioetanol. Dikarenakan lamun memiliki serat yang kuat sehingga digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas dan dijadikan sebagai alternatif pupuk organik. Kajian yang dilakukan (Wahyudin et al., 2016) diestimasikan total nilai minimal ekonomi jasa ekosistem lamun bagi kesejahteraan masyarakat sekitar 121,75 juta/ha/tahun. Tulisan ini membahas terkait dengan peran dan pengelolaan ekosistem lamun sebagai salah satu upaya adaptasi perubahan iklim di kawasan pesisir.

Ekosistem Lamun Terhadap Ketahanan Iklim

Ekosistem lamun dapat berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) atau blue carbon, yaitu kemampuan untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida dari atmosfer ke laut melalui proses fotosintesis. CO2 yang diserap lamun sebagian digunakan sebagai energi dan sebagian lainnya disimpan dalam jaringan tubuhnya dalam bentuk biomassa, baik bagian atas (daun, bunga, buah) maupun bagian bawah (akar, rimpang). Biomassa lamun tersebut dapat bertahan lama di dalam sedimen laut dan tidak kembali ke atmosfer. Ekosistem lamun sangat efektif menyerap CO2 dengan serapan sebesar 1.867 ton/km2 (48%) relatif lebih tinggi dibandingkan mangrove sebesar 806 ton/km 2 (21%) dan karang sebesar 1.197 ton/km 2 (31%) (Simamora, 2010).

 

Kemampuan lain pada ekosistem lamun adalah sebagai penstabil sedimen dan penahan gelombang, yaitu kemampuan untuk menahan erosi dan abrasi pantai akibat perubahan iklim. Akar dan rimpang lamun dapat menancap kuat di dasar laut dan menahan sedimen agar tidak terbawa arus dan gelombang. Daun lamun dapat mengurangi kecepatan arus dan gelombang yang menghantam pantai. Ekosistem lamun dapat mengurangi tinggi gelombang hingga 36% dan energi gelombang hingga 70%. Lamun juga dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan, yaitu masuknya air laut ke sumber air tawar akibat kenaikan permukaan air laut (Rahman et al.,2018)

 

Selain itu kemampuan ekosistem lamun dalam menstabilkan subtract dasar yang lunak dan memperlambat arus sepanjang pantai (longshore current) sangat bermanfaat sebagai upaya degradasi pesisir pantai. Dengan demikian, ekosistem lamun dapat melindungi garis pantai dari kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, abrasi, gelombang tinggi maupun tsunami.

Ekosistem Lamun di Indonesia

Perairan Indonesia memiliki kekayaan keragaman lamun yang besar. Dari 60 spesies lamun yang ada di  dunia yang terbagi dalam 12 marga (genus), 15 spesies dari 7 genus di antara ditemukan di Indonesia. Secara luasan 5%-10% ekosistem lamun dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian Pusat Riset Oseanografi-BRIN (PRO-BRIN), luas padang lamun Indonesia yang diteliti baru sekitar 16%- 35% dari potensi sesungguhnya.

 

Spesies yang paling luas sebarannya di pantai Indonesia seperti Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Cymodocea serrulata. Perairan di Indonesia menjadi rumah nyaman untuk bertumbuhnya lamun terutama di pesisir timur dan barat Pulau Sumatra. Seperti di kawasan Pantai Tanjung Kelayang, Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung. Kawasan sekitar Batam dan Bintan, Nias, dan sebagian Lampung juga menjadi favorit bertumbuhnya ekosistem lamun.

Gambar 2. Sebaran Distribusi Ekosistem Lamun (KKP, 2021)

Luasan ekosistem lamun di seluruh perairan Indonesia yang sudah diverifikasi oleh Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI yaitu 293.464 ha dengan perincian luas lamun di perairan timur 284.660 ha dan barat 8.804 ha. Dari seluruh luasan padang lamun yang sudah tervalidasi, tercatat hanya 15,35 persen yang kondisinya masuk kategori bagus atau sehat. Sedangkan seluas 53,8 persen lainnya dinyatakan kurang sehat, dan sisanya sekitar 30,77 persen dinyatakan miskin. Mengacu pada standar Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jika merujuk pada pedoman tersebut padang lamun yang masuk kategori sehat harus memiliki tutupan minimal 60 persen. Sementara itu, untuk kondisi sekarang, tutupan padang lamun di Indonesia rerata mencapai 42,23 persen.

 

Terlepas dari signifikansinya, berbagai ancaman memberi tekanan pada habitat yang berharga ini. Konservasi dan restorasi lamun sangat penting untuk mempertahankan jasa penyerapan karbon, bersama dengan jasa ekosistem lainnya seperti, pengurangan gelombang tinggi, habitat biota laut dan manfaat ekonomi bagi masyarakat di kawasan pesisir.

Praktik Pengelolaan Ekosistem Lamun di Indonesia

 

Indonesia adalah pemilik padang lamun terluas di Asia Tenggara, kedua di dunia setelah Australia. Luasnya kurang lebih 15% dari total padang lamun dunia. Namun demikian permasalahan pengelolaan ekosistem lamun yang paling mendasar adalah masih kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya ekosistem lamun, hal ini karena lamun masih dipandang semata sebagai “rerumputan yang tidak berguna” sehingga degradasi ekosistem lamun baik yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia maupun kondisi perubahan alam menyebabkan penurunan produktivitas sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dikandungnya.

 

Pengelolaan ekosistem lamun yang lebih baik telah mulai dilakukan, pemerintah bertekad untuk menjaga lamun, mangrove dan terumbu karang sebagai ekosistem tiga serangkai benteng pesisir. Upaya tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI). Pemerintah Indonesia juga telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Australia sejak 2017 dalam program Blue Carbon Indonesia – Australia, kerja sama tersebut berupa joint research, capacity development dan transfer technology atau knowledge serta menyampaikan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti, khususnya mengenai Blue Carbon pada ekosistem Lamun.

Gambar 3. Pengelolaan rehabilitasi lamun di Papua Barat

Terkait contoh praktik pengelolaan ekosistem lamun yang pernah dilakukan di Kepulauan Sangkarang, Sulawesi Selatan, terhadap padang lamun seluas 600 meter persegi yang menelan anggaran USD 100 ribu (Rp1,5 miliar) untuk perencanaan, penanaman, dan pemantauan selama tiga tahun. Program yang dimulai sejak 2016 ini menggunakan metode transplantasi, yakni pengambilan tanaman lamun yang sehat untuk ditanam di lokasi tujuan. Setelah tujuh tahun dilaksanakan, usaha restorasi menuai hasil positif. Padang lamun yang pulih memancing satwa perairan untuk hidup di dalamnya, melindungi pantai dari erosi.

 

Kegiatan ini juga memberikan dampak yang sangat baik terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pesisir sebesar 3 kali lipat berupa tangkapan ikan dan juga memanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Selain itu, restorasi lamun dinilai lebih murah dibandingkan restorasi terumbu karang. Berdasarkan kajian BRIN pemulihan lamun yang mencakup perencanaan, penanaman, sampai pemantauan menurut perhitungan mereka memakan biaya sekitar US$700 ribu (Rp10,8 miliar) untuk tiap hektar. Sedangkan restorasi karang mencapai US$3 juta (Rp45 miliar) per ha. Sehingga lebih menguntungkan dan mudah diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia.

 

Saat ini keberlanjutan pengelolaan ekosistem lamun di Indonesia terus ditindaklanjuti secara lebih masif, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Archipelagic and Island State (AIS) Forum Bulan Oktober 2023 di Bali, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia meluncurkan Profil Aksi Mitigasi Karbon Biru Lamun. Dokumen ini akan menjadi bagian peningkatan target Kontribusi Nasional (NDC) Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dan menjadi peta jalan untuk menentukan langkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Pada Profil Aksi Mitigasi Karbon Biru Lamun, akan fokus intervensi regulasi pemanfaatan ruang laut dan melakukan restorasi padang lamun. Hasilnya, diproyeksikan adanya penurunan emisi karbon secara signifikan pada 2030. Kedepannya diperlukan pengelolaan ekosistem lamun yang lebih berkelanjutan sehingga peluang besar pemanfaatan lamun sebagai salah satu solusi mengatasi perubahan iklim.

Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun Berkelanjutan

  1. Pemantauan Ekosistem Lamun:
  • Melakukan pemantauan rutin terhadap ekosistem lamun untuk memahami perubahan yang terjadi.
  • Menggunakan teknologi seperti pemetaan satelit, foto udara, dan survei bawah air untuk memantau perubahan area dan kesehatan lamun.
  1. Perlindungan Hukum dan Zonasi:
  • Mendukung pembentukan undang-undang dan regulasi yang melindungi ekosistem lamun.
  • Mendirikan zona-zona perlindungan di sekitar ekosistem lamun yang melarang aktivitas manusia yang merusak, seperti penggalian pasir, penggunaan jaring trawl, atau pemotongan lamun.
  1. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan:
  • Memastikan pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem lamun.
  • Mengimplementasikan kuota penangkapan ikan dan larangan alat tangkap yang merusak lamun.
  1. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat:
  • Melakukan kampanye edukasi kepada masyarakat lokal tentang pentingnya ekosistem lamun dan dampak negatif aktivitas manusia.
  • Meningkatkan kesadaran akan perlindungan lamun dan peran pentingnya dalam ekosistem pesisir.
  1. Praktik Konservasi:
  • Melakukan upaya rehabilitasi dan restorasi ekosistem lamun yang rusak, seperti dengan menanam bibit lamun atau mengurangi polusi.
  • Mengurangi pemindahan tanah dan penggalian pasir yang dapat merusak lamun.
  1. Pengendalian Pencemaran:
  • Memantau dan mengendalikan sumber pencemaran seperti limbah industri, pertanian, dan pembuangan sampah yang dapat merusak lamun dan perairan laut.
  1. Kajian dan Riset:
  • Melakukan penelitian ilmiah untuk memahami ekologi lamun dan perubahan iklim yang mempengaruhi ekosistem tersebut.
  • Menyusun data ilmiah yang dapat digunakan dalam perencanaan pengelolaan.
  1. Kemitraan dan Kerja Sama:
  • Berkolaborasi dengan pemerintah, LSM, dan sektor swasta untuk pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan.
  • Melibatkan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan strategi pengelolaan.

Pengelolaan ekosistem lamun yang efektif memerlukan kerja sama antara berbagai pihak dan perencanaan jangka panjang yang berkelanjutan untuk menjaga kelestarian ekosistem ini sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim serta dapat meningkatkan ketahanan ekonomi bagi masyarakat di kawasan pesisir.

Penutup

Menilik dari manfaat, keberadaan dan potensi pengembangan ekosistem lamun di pesisir Indonesia, sudah seharusnya pengelolaan ekosistem lamun mendapatkan posisi yang kuat sama halnya dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang menjadi aset tidak hanya dalam mengatasi dampak degradasi kawasan pesisir juga dalam penguatan aspek ekonomi (blue economy) yang telah menjadi piranti kesatuan yang sangat menjanjikan di masa mendatang. Pengembangan ekosistem lamun dalam mengurangi dampak perubahan iklim menjadi salah satu intervensi untuk ancaman bencana di wilayah pesisir. Selain itu optimalisasi peran ekosistem padang lamun perlunya pengelolaan secara berkelanjutan. Upaya yang bisa dilakukan dengan pengembangan inovasi, pemanfaatan dan perlindungan lamun, pelibatan masyarakat, kolaborasi, peningkatan persentase tutupan dan variasi spesies lamun. Harapan kedepan ekosistem lamun dapat memberikan manfaat yang besar dari aspek lingkungan, sosial dan ekonomi khususnya bagi masyarakat pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

 

Dirmansyah (2007) An economic valuation of seagrass ecosystem in East Bintan, Riau Archipelago, Indonesia. Oseanologi dan Limnologi, 33, pp. 257-270

Badan Pusat Statistik, 2020. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir. Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir. BPS Republik Indonesia Press.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka. Utama. Jakarta

Gufron & Kordi, 2011. Ekosistem Padang Lamun, Fungsi Potensi dan Pengelolaan. Rineka Cipta Jakarta

Simamora, S. 2010. Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Alam Terpadu. Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2003

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan. 2018. Arah Kebijakan dan Sasaran Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2019. Masyarakat Pesisir: Adaptasi Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Puslit Oseanografi – LIPI. Jakarta.

 

United States Agency for International Development (USAID), 2016. Indonesia: Coasts of Climate Change 2050. Brief Policy

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

Andi Syahputra

Comments are closed.