Lawn and dense modern buildings, Chongqing, China.

Solusi Berbasis Alam untuk Pengelolaan Risiko Banjir Perkotaan

Solusi Berbasis Alam untuk Pengelolaan Risiko Banjir Perkotaan

Pendahuluan

Banjir perkotaan umumnya disebabkan oleh peristiwa hujan deras atau ekstrem (Schanze, 2018). Peningkatan suhu permukaan global akibat perubahan iklim saat ini mengakibatkan lebih seringnya terjadi kejadian hujan deras (IPCC Work Group I, 2013). Selain itu, perubahan iklim yang terjadi saat ini menyebabkan intensitas curah hujan yang lebih tinggi terjadi dalam periode waktu yang lebih singkat (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2023). Kondisi ini diperparah oleh kurangnya struktur drainase air hujan, yang berakibat pada sulitnya mengatasi hujan deras. Ketika intensitas hujan melebihi kapasitas jaringan pipa pembuangan, air hujan tidak dapat dibuang dengan cepat, sehingga menciptakan banjir perkotaan yang serius. Di samping itu, urbanisasi juga memainkan peran dalam meningkatkan risiko banjir, karena perubahan dalam penggunaan lahan dan pembangunan infrastruktur yang tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan total kerusakan dan kerugian akibat bencana hidrometeorologi periode 2018-2022 mencapai Rp 31,5 triliun. Pada tahun 2023, hujan dengan intensitas tinggi mengguyur sebagian besar wilayah Kota Medan, Sumatera Utara. Kejadian ini mengakibatkan kurang lebih 6.323 rumah terendam banjir dengan variasi tinggi muka air 0-200 sentimeter. Tidak hanya itu, tercatat ada 8.067 KK atau 25.383 jiwa yang terdampak akibat kejadian banjir ini. Oleh karena itu, peningkatan upaya penanganan untuk mencegah terjadinya kejadian banjir di perkotaan yang serupa di masa depan sangat diperlukan. Hal ini menjadi semakin penting mengingat proyeksi bahwa pada tahun 2025 sekitar 68% penduduk Indonesia diperkirakan akan tinggal di kota. Jika tidak dilakukan tindakan intervensi yang tepat, potensi kerusakan akibat banjir di wilayah perkotaan dapat meningkat secara signifikan.

Hingga saat ini, upaya untuk mengendalikan banjir masih didominasi pada infrastruktur abu-abu (grey infrastructure) seperti pembangunan dan perluasan sistem drainase, waduk/situ, pompa air, dan pemeliharaan kanal. Namun, pembangunan tersebut justru membawa dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan khususnya aspek lingkungan. Pembangunan kawasan perkotaan seringkali kurang atau bahkan sama sekali tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan adaptif lainnya dengan memanfaatkan Nature-based Solutions (NbS), yang melibatkan berbagai fungsi alam dan kelestarian lingkungan sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim.

Nature-based Solution

Istilah solusi berbasis alam (NBS) mengacu pada pengelolaan berkelanjutan dan penggunaan fitur dan proses alam untuk mengatasi tantangan sosial-lingkungan. Nbs secara efektif dan adaptis mengatasi masalah air melalui pengelolaan berkelanjutan dan merestorasi atau memodifikasi ekosistem sambil memberikan keuntungan secara simultan kepada masyarakat dan keanekaragaman hayati (Cohen-Scacham et al., 2016). Dalam konteks ketahanan air, NbS menggunakan prinsip alamiah dari siklus air, di mana hujan turun, sebagian terserap ke dalam tanah, sementara yang lain mengalir ke permukaan bumi, dan kemudian mengalami proses transpirasi dan evaporasi yang mengembalikan air ke atmosfer.

Salah satu implementasi Nature-based Solution adalah dengan memanfaatkan infrastruktur hijau atau green infrastructure. Infrastruktur hijau dalam sektor air merujuk pada sistem alam atau seminatural yang menyediakan opsi pengelolaan sumber daya air dengan manfaat yang setara atau serupa dengan infrastruktur air konvensional berwarna abu-abu (dibangun/fisik). Infrastruktur hijau semakin diakui sebagai peluang penting dalam mengatasi tantangan kompleks pengelolaan air dan dapat digunakan untuk mendukung tujuan dalam berbagai bidang kebijakan.

Pada makalah ini, akan dijelaskan beberapa infrastruktur hijau yang dikombinasikan dengan infrastruktur abu yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi banjir khususnya di perkotaan, yaitu: Green Roof (Atap Hijau), Permeable/Porous Pavement (Perkerasan Berpori), Bioswale, dan Infiltration Trench (Selokan Infiltrasi).

Green Roofs

Atap hijau adalah praktik pengelolaan air hujan yang sangat efektif di wilayah perkotaan karena kapasitasnya dalam menyimpan air dalam jumlah besar. Hal ini mengurangi risiko banjir perkotaan karena vegetasi dan lapisan substrat berkontribusi terhadap peningkatan evapotranspirasi dan penyerapan air hujan, sehingga mengurangi aliran permukaan. Selain itu, atap hijau unggul dalam meningkatkan kualitas air dengan secara aktif mengurangi limpasan dan menyerap polutan dari air hujan. Penelitian telah menunjukkan bahwa atap hijau secara signifikan menurunkan persentase nitrogen amonia dalam limpasan dibandingkan dengan persentase air hujan. Selain itu, atap hijau menawarkan manfaat berharga dalam menangkap partikel debu halus yang berbahaya dari udara, sehingga berkontribusi terhadap peningkatan kualitas udara dan kenyamanan secara keseluruhan di kawasan perkotaan yang padat penduduknya. Atap hijau juga memberikan keuntungan lain seperti mengurangi panas permukaan, mendukung biodiversitas perkotaan, dan manfaat ekonomi.

Permeable/Porous Pavement

Porous pavement adalah perkerasan yang direncanakan dengan menggunakan bahan material yang mampu merembeskan aliran air ke dalam lapisan tanah di bawah nya. Jenis perkerasan ini memiliki kelebihan dalam melakukan peresapan air hujan ke dalam tanah sehingga limpasan air hujan di permukaan akan lebih sedikit. Contoh dari perkerasan berpori ini termasuk batu bata berpori, batu beton dikombinasikan dengan rumput, dan kerikil. Namun, perlu diperhatikan bahwa perkerasan tersebut lebih cocok untuk jalan dengan volume rendah, tempat parkir, jalur sepeda, trotoar, taman bermain, lapangan tenis, dan jalan lain yang menahan beban yang tidak terlalu besar. Oleh karena itu, pemilihan jenis perkerasan harus disesuaikan dengan tujuan penggunaannya. Kelebihan dari perkerasan berpori seperti mengurangi pembuatan saluran drainase, mengurangi limpasan di atas perkerasan yang berisiko menyebabkan kecelakaan lalu lintas, mengurangi sedimen pada limpasan yang dapat mencemari kualitas air, serta mempermudah transfer air dan oksigen pada akar – akar tanaman.

Bioswale 

Bioswale adalah infrastruktur yang biasanya berbentuk parit terbuka yang ditanami dengan vegetasi tahan air. Bioswale merupakan sistem yang dapat mengangkut limpasan air hujan dan dapat menyerap air serta meningkatkan kualitas air karena berfungsi sebagai penyaring polutan dan puing-puing dari limpasan air sebelum memasuki daerah aliran sungai atau saluran pembuangan air. Bioswale dirancang untuk dapat menampung lebih banyak air limpasan yang berasal dari lingkungan yang luas, seperti jalan atau tempat parkir (USDA, 2005). Dengan meresapkan air hujan ke dalam tanah dan mengurangi aliran permukaan yang cepat, bioswale membantu mengurangi risiko banjir perkotaan dan menjaga keseimbangan dalam siklus air

Infiltration Trench

Infiltration trench atau parit infiltrasi terdiri dari parit yang diisi dengan material berpori dan batu kerikil yang memungkinkan air hujan meresap ke dalam tanah. Fungsi utamanya adalah memperlambat aliran air hujan, memberikan waktu bagi tanah untuk menyerap air, dan memungkinkan penyimpanan air hujan secara alami. Dengan meresapkan air hujan ke dalam tanah, infiltration trench mengurangi aliran permukaan yang dapat menyebabkan banjir perkotaan. Selain itu, mereka membantu menjaga kualitas air dengan menyaring kontaminan dan partikel dari air hujan sebelum mencapai saluran air. Dengan cara ini, parit infiltrasi tidak hanya membantu mengurangi risiko banjir, tetapi juga memperbaiki siklus air dan mendukung pengelolaan air yang berkelanjutan di perkotaan. Beberapa contoh pemanfaatan infiltration trench seperti taman dan ruang terbuka hijau, kawasan industri, pusat kesehatan dan rumah sakit, pusat perbelanjaan dan perdagangan, dan sekolah serta kampus.

Contoh Penerapan Nature-based Solution – Green Roofs

Dalam merespons perubahan iklim, Hamburg telah menggalakkan usaha untuk meningkatkan aspek kehijauan, baik dalam lingkungan perkotaan maupun pada atap-atap bangunan. Sebagai inisiatif pionir di Jerman, Hamburg telah merancang Strategi Atap Hijau yang komprehensif. Tujuan utamanya adalah memasang luas total 100 hektar atap hijau di wilayah metropolitan. Untuk mendukung upaya ini, Kementerian Lingkungan dan Energi Hamburg telah mengalokasikan dana sebesar € 3 juta hingga akhir tahun 2024 untuk proyek atap hijau. Pemilik bangunan berhak menerima subsidi yang mencakup hingga 60% dari biaya pemasangan atap hijau. Keuntungan tambahan yang diperoleh meliputi pengurangan biaya perawatan akibat usia atap hijau yang lebih lama, efisiensi energi yang lebih baik karena peningkatan isolasi bangunan, serta potongan 50% pada biaya air hujan berkat fungsi retensi air hujan dari atap hijau.

Dari pembangunan yang ada, atap hijau mampu memberikan efek pendinginan terhadap lingkungan sekitar dan meningkatkan kelembaban udara, sehingga mengurangi dampak pulau panas perkotaan. Selain itu, atap hijau memberikan peningkatan pada isolasi bangunan, yang memungkinkan adaptasi yang lebih baik terhadap suhu ekstrem. Lebih lanjut, atap hijau memperbaiki manajemen air dengan retensi air hujan dan penguapan alami. Mereka dapat menyimpan antara 50 hingga 90% dari curah hujan tahunan dan hingga 30-40% dari hujan lebat sehingga mencegah terjadinya banjir.

Sama halnya dengan Kota Hamburg, tiga wilayah di Indonesia mengeluarkan peraturan daerah dalam menggalakkan usaha untuk meningkatkan aspek kehijauan, yaitu Jakarta dengan Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2012 tentang Bangunan Gedung Hijau, Semarang dengan Peraturan Walikota Nomor 24 Tahun 2019 tentang Bangunan Gedung Hijau, dan  Bandung dengan Peraturan Wali Kota Nomor 1023 Tahun 2016 tentang Bangunan Gedung Hijau.

Menurut laporan data dari IFC hingga tahun 2018, terdapat 339 bangunan berkelanjutan yang telah disertifikasi di Kota Jakarta dan berpotensi menghemat hampir USD 90 juta dalam pengeluaran energi. Namun, menurut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta, jumlah ini dianggap masih terlalu sedikit mengingat masih banyak gedung-gedung milik Pemprov DKI yang belum menerapkan konsep gedung hijau. Sejalan dengan visi Pemprov DKI Jakarta untuk mencapai 100% bangunan berkelanjutan pada tahun 2030 untuk bangunan baru dan target 60% untuk bangunan eksisting yang telah ada pada tahun 2030, pemerintah provinsi tengah merencanakan perluasan penerapan bangunan berkelanjutan dengan merevisi Pergub.

Contoh lainnya ialah Kota Bandung yang pemerintahnya berinisiatif untuk memberikan insentif baik finansial maupun non-finansial berupa tambahan jumlah lapis lantai dan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak tahun 2016. Insentif tersebut didesain dengan tujuan meningkatkan motivasi pemilik bangunan di Kota Bandung untuk mengadopsi konsep green building. Namun, sampai saat ini, penerapan green building masih mengalami kendala yang ditunjukkan dengan belum adanya bangunan yang telah selesai dibangun yang benar-benar telah memenuhi persyaratan green building. Salah satu penyebab belum berhasilnya penerapan green building tersebut dikarenakan belum belum adanya peraturan lanjutan tentang insentif dari Peraturan Walikota Bandung Nomor 1023 tentang Bangunan Gedung Hijau.

Mengambil inspirasi dari keberhasilan praktik di kota Hamburg, pemerintah Jerman menganggarkan dana untuk mendukung pemasangan atap hijau pada bangunan. Sementara konsep green building melibatkan lebih dari sekadar atap hijau, memberikan subsidi khusus dalam hal pembuatan atap hijau dapat dijadikan salah satu metode untuk meningkatkan minat pemilik bangunan. Jika konsep green building, atau setidaknya penerapan atap hijau, dapat berhasil diadopsi di Kota Bandung, maka Kota Bandung, yang secara geografis terletak dalam lokasi prioritas banjir, memiliki potensi untuk mengurangi dampak kerugian akibat banjir.

Way Forward NbS di Indonesia

Untuk mencapai kesuksesan dalam penerapan Nature-based Solutions (NbS) di Indonesia, beberapa faktor kunci harus diperhatikan. Pertama, dukungan dan koordinasi yang kuat dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah sangatlah dibutuhkan. Saat ini, implementasi Nature-based Solutions (NbS) dapat diperkuat oleh kerangka hukum yang ada, seperti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang menggambarkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai wilayah linear atau berkelompok yang dirancang untuk penggunaan yang lebih terbuka dan pertumbuhan tanaman, baik itu alami maupun ditanam secara sengaja. Peraturan-peraturan yang mengatur RTH yang terkait dengan bangunan, seperti taman atap, taman balkon, taman koridor, taman podium, dan taman vertikal/vertical garden/green wall, tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2022.

Selain itu, implementasi NbS lainnya seperti penggunaan permeable/porous pavement sesuai dengan prinsip-prinsip green building yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 2 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Hijau dan Peraturan Menteri PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan. Oleh karena itu, dengan adanya kerangka hukum yang mendukung ini, diharapkan pemerintah dapat lebih fokus pada pembangunan berbasis alam.

Kedua, keterlibatan aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lokal dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan proyek NbS akan menjadi faktor penting dalam kesuksesan. Kemitraan dengan sektor swasta dan organisasi non-pemerintah juga dapat memperkuat upaya implementasi NbS. Upaya penyuluhan, kampanye informasi, dan pelatihan dapat membantu meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan proyek NbS.

Dalam konteks Indonesia yang geografisnya beragam, adaptasi dan penyesuaian proyek NbS dengan karakteristik lokal menjadi penting untuk menjawab tantangan banjir dan perubahan iklim. Dengan pendekatan yang holistik dan kolaboratif, implementasi NbS di Indonesia dapat menjadi kunci sukses dalam mengatasi masalah banjir perkotaan dan menjaga keberlanjutan lingkungan.

Kesimpulan

Penyebab utama banjir perkotaan adalah hujan deras yang semakin sering terjadi akibat perubahan iklim. Ini diperparah oleh kurangnya struktur drainase air hujan yang memadai dan urbanisasi yang tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kerugian besar akibat bencana hidrometeorologi, termasuk banjir, dan dengan proyeksi bahwa sekitar 68% penduduk Indonesia akan tinggal di kota pada tahun 2025, penanganan banjir perkotaan menjadi semakin penting.

Artikel ini membahas Nature-based Solutions (NbS), yang melibatkan pengelolaan berkelanjutan dan penggunaan fitur alam dan proses alam untuk mengatasi tantangan sosial-lingkungan. Beberapa contoh NbS yang dibahas termasuk Green Roofs (Atap Hijau), Permeable/Porous Pavement (Paving Permeabel), Bioswale, dan Infiltration Trench (Selokan Infiltrasi). Kesuksesan implementasi NbS di Indonesia memerlukan dukungan pemerintah dari pusat hingga daerah, keterlibatan masyarakat, adaptasi dengan karakteristik lokal, dan pendekatan kolaboratif. Dengan menggunakan pendekatan NbS, diharapkan dapat mengatasi masalah banjir perkotaan, meningkatkan kualitas air, dan menjaga keberlanjutan lingkungan perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA

 

Schanze, J. (2018). Pluvial flood risk management: an evolving and specific field. Journal of Flood Risk Management, 11(3), 227-229.

IPCC Work Group I. (2013). Climate change 2013: The physical science basis. Contribution of Working, 43, 866–871.

Cohen-Shacham, E., Walters, G., Janzen, C., & Maginnis, S. (2016). Nature-based solutions to address global societal challenges. IUCN: Gland, Switzerland, 97, 2016-2036.

Natural Resources Conservation Service, “Bioswales,” United States Department of Agricultures, 2005.

Urban Green Blue Grids. (n.d.). Porous Paving Materials. https://urbangreenbluegrids.com/measures/porous-paving-materials/

European Environment Agency. (n.d.). Four Pillars to Hamburg’s Green Roof Strategy: Financial Incentive, Dialogue, Regulation, and Science. https://climate-adapt.eea.europa.eu/en/metadata/case-studies/four-pillars-to-hamburg2019s-green-roof-strategy-financial-incentive-dialogue-regulation-and-science

DPRD DKI Jakarta Provinsi. (n.d.). Gedung Pemerintah Wajib Jadi Percontohan Green Building. https://dprd-dkijakartaprov.go.id/gedung-pemerintah-wajib-jadi-percontohan-green-building/

Pahnael, J. R. N., Soekiman, A., & Wimala, M. (2020). Penerapan Kebijakan Insentif Green Building di Kota Bandung. Jurnal Infrastruktur, 6(1), 1-13.

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

GAP08222

Bappenas dan Pemerintah Jerman Rekomendasikan Reformasi Pengelolaan Sampah

JAKARTA – Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan Kementerian Federal Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ) Pemerintah Republik Federal Jerman melalui GIZ melakukan Dialog Reformasi Pengelolaan Sampah untuk menyampaikan langkah prioritas perbaikan pengelolaan sampah yang perlu dijalankan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, dan masyarakat. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati menjelaskan komitmen Indonesia dalam pengelolaan sampah. “Pengelolaan sampah ini sudah menjadi dua agenda pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 saat ini, yaitu dalam Prioritas Nasional 5 dan 6. Ke depannya, Reformasi Pengelolaan Sampah yang terintegrasi dari hulu ke hilir ini juga akan menjadi salah satu dari 20 upaya transformasi super prioritas atau game changer di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045,” kata Deputi Vivi, Selasa (30/1).

Terdapat enam faktor pengungkit reformasi pengelolaan sampah, yaitu perencanaan berkualitas, data persampahan aktual dan akurat, kapasitas pemangku kepentingan, kelembagaan pengelolaan sampah inklusif, pendanaan kuat, dan binding mechanism. Enam faktor pengungkit dirumuskan berdasarkan analisis dan upaya perbaikan di tingkat nasional dan daerah yang telah dilaksanakan dalam Proyek Pengurangan Emisi di Perkotaan melalui Peningkatan Pengelolaan Sampah (ERiC DKTI). Proyek kerja sama Indonesia-Jerman yang dimulai sejak 2020 ini didukung komite pengarah K/L, yaitu Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian PUPR, Kementerian LHK, dan Kementerian Dalam Negeri, untuk memperkuat aspek non teknis persampahan, mulai dari perencanaan, pendanaan, kelembagaan, hingga pengelolaan data.

Fokus intervensi proyek kerja sama adalah di 6 kabupaten/kota pilot, yaitu Kabupaten Bogor, Kota Bukittinggi, Kota Jambi, Kota Cirebon, Kota Malang, dan Kota Denpasar. Beberapa hasil yang telah dihasilkan selama proyek berlangsung adalah enam laporan analisis rekomendasi kebijakan, tiga peraturan daerah tentang penyesuaian angka retribusi pengelolaan sampah di Kabupaten Bogor, Kota Bukittinggi, dan Kota Cirebon, pendampingan pemilahan sampah di lebih dari 558 kepala keluarga di 6 kabupaten/kota pilot, pembangunan Kalkulator Digital Perhitungan Biaya Retribusi Pengelolaan Sampah, serta penguatan interoperabilitas data persampahan lintas K/L.

Acara Dialog Reformasi Pengelolaan Sampah ini turut dihadiri perwakilan Pemerintah Jerman, salah satunya Deputy Head of Mission of the German Embassy to Indonesia Thomas Graf. “Pemerintah Jerman mengapresiasi dan akan terus mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam mereformasi pengelolaan sampah. Semoga rekomendasi yang dihasilkan dari proyek ini dapat segera diimplementasikan sehingga pengelolaan sampah di Indonesia dapat lebih terintegrasi dan berkelanjutan,” ungkap Thomas.

3S4A8778

Jaring Isu Pembangunan Berkelanjutan, Bappenas Gelar Konsultasi Publik KLHS RPJMN 2025-2029

JAKARTA – Kementerian PPN/Bappenas menggelar Konsultasi Publik dan Penjaringan Isu sebagai bagian proses penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam mengatakan KLHS penting untuk memastikan pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan, dan menjadi integral dari perencanaan dan implementasi pembangunan. “Kita tidak bisa melupakan isu lingkungan dalam konteks pembangunan ke depan di dalam RPJMN 2025-2029. Tadinya isu lingkungan tidak ada dalam perencanaan pembangunan, tapi sekarang menjadi bagian utuh dalam perencanaan pembangunan,” ujar Medrilzam, Selasa (12/12). Sebagai bagian penting RPJMN 2025-2029, KLHS bertujuan agar perencanaan pembangunan dilaksanakan sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga mampu mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045, salah satunya keluar dari middle income trap dan penurunan emisi gas rumah kaca untuk net zero emission.

Penyusunan KLHS RPJMN 2025-2029 terbagi dalam empat tahap. Tahap pertama, penjaringan isu pembangunan berkelanjutan yang melibatkan identifikasi dan penilaian isu kritis. Tahap kedua, pengembangan model untuk memahami dan memprediksi dampak berbagai kebijakan dan strategi pembangunan, guna merumuskan dan mengevaluasi skenario pembangunan. Tahap ketiga, kajian pengaruh kebijakan terhadap kondisi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Terakhir, penyusunan rekomendasi perbaikan kebijakan jangka panjang berdasarkan hasil penjaringan isu, pengembangan model, dan kajian pengaruh kebijakan. “Kami sangat concern pada penyusunan RPJMN 2025-2029, karena ini menjadi tatakan awal dari RPJPN 2025-2045 dalam rangka mencapai Indonesia Emas. Inilah penentu bagaimana nantinya kita membangun fondasi untuk akselerasi pembangunan, sehingga bisa mencapai sasaran yang ditetapkan untuk Indonesia 2045,” ungkap Direktur Pemantauan, Evaluasi, dan Pengendalian Pembangunan Sektoral Kementerian PPN/Bappenas Ika Widyawati.

Di penghujung acara, Direktur Medrilzam mengatakan konsultasi publik terkait KLHS tidak cukup hanya dengan menjaring isu. Ke depannya, perlu perluasan survei, pemetaan akar masalah, implikasi, distorsi hingga proyeksi di masa yang akan datang sehingga perencanaan dapat lebih komprehensif dan dinamis. “KLHS dengan RPJMN 2025-2029 akan terus kait mengait, sehingga kita betul-betul bisa mengawal perencanaan pembangunan lebih baik di masa mendatang,” pungkas Medrilzam.

PHOTO-2023-12-04-19-21-51_1

Siap Terapkan Ekonomi Hijau, Bappenas Buka Diskusi dengan Para Ahli di COP28 UEA

Sebagai bagian dari side event Konferensi Anggota (Conference of Parties/COP) Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) ke-28 yang tengah diadakan di Expo City Dubai, Dubai, Uni Emirat Arab hingga 12 Desember nanti, Kedeputian Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas turut berpartisipasi dengan menggelar sesi talk show di Paviliun Indonesia yang berjudul “Transforming to Inclusive Green Economy Development Framework Towards Net Zero Emissions” (4/12). Menghadirkan berbagai pakar dari bidang pembangunan berkelanjutan, finansial, dan energi, talk show tersebut menjadi ajang bertukar pikiran dan berbagi pengetahuan dalam penerapan ekonomi hijau untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) dan pembangunan berkelanjutan serta menyaring perspektif global dalam mendukung kerangka pembangunan Ekonomi Hijau melalui inovasi teknologi dan keuangan.

 

Dalam sambutan kuncinya, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati, menekankan bahwa masalah yang dikenal dengan sebutan triple planetary crisis bukan hanya merupakan masalah lingkungan, tetapi juga masalah pembangunan yang berdampak langsung pada ekonomi dan sosial. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan holistik untuk mengatasinya. “Salah satu solusinya adalah dengan menerapkan kebijakan Ekonomi Hijau”, ujar Deputi Vivi. Beliau menjelaskan bahwa penerapan kebijakan Ekonomi Hijau menuju NZE memerlukan transformasi mendasar melalui transisi energi, implementasi pembangunan rendah karbon yang lebih kuat dan lebih luas, hingga ekonomi sirkular. “Indonesia telah memasukkan target intensitas emisi gas rumah kaca (GRK) dan Ekonomi Hijau (termasuk pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim) dalam rencana pembangunan jangka panjangnya”, tutup Deputi Vivi.

 

Masih terkait pentingnya penerapan Ekonomi Hijau, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappanas, Medrilzam, menyoroti tantangan ke depan dalam penerapan Ekonomi Hijau. Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi emisi sebesar 80,98% setiap tahun pada tahun 2045, selaras dengan tujuan Visi 2045. Mengenai hal tersebut, kendala yang disoroti oleh Direktur Lingkungan Hidup, antara lain pendanaan dan investasi hijau, akses teknologi dan pengetahuan yang relevan, dan koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan mulai dari kementerian hingga pemerintah daerah dan LSM. Terlepas dari tantangan-tantangan ini, Bappenas juga telah meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau (Green Economy Index/GEI) sebagai alat ukur untuk mengevaluasi progres penerapan Ekonomi Hijau Indonesia yang mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.

 

Pada kesempatan ini, Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Myrna Asnawati Safitri, turut menjelaskan bahwa pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sejalan dengan Green Economy Development Framework (GEDF). Hal ini terlihat dari tujuan besar IKN yang ingin menjadikan Nusantara sebagai kota yang bersih, berketahanan iklim, dan berkelanjutan serta kota hutan cerdas dan kota net-zero. “Nusantara memiliki key performance index (KPI) yang sangat strict, contohnya 65 persen kawasannya harus merupakan kawasan lindung dan menggunakan 100 persen energi terbarukan”, ujar Deputi Myrna.

 

Selanjutnya, Matthew Webb, Deputy Director International Energy Transition yang mewakili United Kingdom Foreign, Commonwealth, Development Office (UK FDCO) berbicara mengenai peran kerja sama Pemerintah Inggris dengan Pemerintah Indonesia melalui Low Carbon Development Initiative Program yang menjadi salah satu “backbone” penerapan Ekonomi Hijau. Pada sesi tersebut, Webb menyoroti keselarasan antara GEDF Indonesia dan rencana jangka panjang Inggris. Kolaborasi dalam membangun kerangka hukum yang kuat, berbagi wawasan, dan memberikan dukungan untuk implementasi kebijakan merupakan bidang-bidang utama kerja sama antara kedua negara.

 

Menghadirkan perwakilan dari lembaga keuangan, Justin Wu dari HSBC Asia Pasifik, menekankan peran mereka dalam membangun perekonomian net-zero. Wu menggarisbawahi pentingnya menilai teknologi ramah lingkungan yang dapat diterapkan, seperti kendaraan bertenaga surya dan listrik, sembari mempertimbangkan inovasi baru, seperti hidrogen. Produk keuangan berkelanjutan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan juga memainkan peran penting dalam menyelaraskan tujuan ekonomi dan lingkungan hidup Indonesia dan mampu menarik minat yang signifikan dari investor internasional.

 

Terakhir, Philip Gass dari International Institute for Sustainable Development (IISD) menjabarkan bahwa transisi yang adil dalam pembiayaan serta penyeimbangan harga karbon untuk mendorong transformasi industri tanpa mengorbankan daya saing. Ia juga menekankan pentingnya kekuatan internasional dalam penetapan harga karbon dan keterlibatan masyarakat dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.


Sesi talk show yang dipandu oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), tersebut berlangsung di Pavilion Indonesia COP28 UEA, Expo City Dubai. Sebagai pertemuan tertinggi yang berupaya mengatasi perubahan iklim, COP28 ini berlangsung dari tanggal 30 November hingga 12 Desember 2023.

3S4A5771

Dukung Pengelolaan Food Loss and Waste, Bappenas Tanda Tangani MoU dengan Pemerintah Denmark

Dalam rangka merayakan International Day of Awareness of Food Loss and Waste, Bappenas menyelenggarakan acara yang bertema “Tiada Sisa yang Tak Berdaya”, pada Selasa (10/10), di Gedung Bappenas, Jakarta. Acara tersebut dimulai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Denmark mengenai Strategic Sector Cooperation (SSC) on Food Loss and Waste (FLW). Setelah penandatanganan MOU SSC on FLW, acara dilanjutkan dengan pengumuman pemenang kompetisi menulis SGD Academy: Mengurangi Sampah Makanan, demo solusi pengelolaan FLW oleh pemenang pertama kompetisi National Youth Ideathon: Better Management of Food Loss and Waste to Support Green and Circular Economy, serta talkshow terkait FLW yang menghadirkan empat narasumber, yakni Direktur Standardisasi Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Founder Life Cycle Indonesia, FAO Program Officer, serta Co-Founder Burgreens.

 

Isu FLW telah menjadi masalah tersendiri di Indonesia. Berdasarkan kajian dari Bappenas, timbulan FLW selama tahun 2000-2019 berada pada rentang 23-48 juta ton/tahun atau setara dengan 115-184 kg/kapita/tahun. “Hal tersebut menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,7 ribu Megaton CO2-eq dan kerugian sebesar 213 – 551 triliun rupiah/tahun atau setara dengan 4%-5% PDB Indonesia. Jika tidak ditanggulangi dengan baik, diperkirakan timbulan FLW akan mencapai 334 kg/kapita/tahun di tahun 2045,” tegas Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati, dalam sambutan pembuka pada sesi penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Denmark.

 

Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Denmark bertujuan untuk membangun kerangka kerja sama antara kedua pihak terkait permasalahan FLW sebagai upaya pencapaian efisiensi sumber daya dalam produksi pangan dan pertanian. Nota Kesepahaman ini akan memperkuat kerangka kebijakan ekonomi hijau dan ekonomi sirkular di Indonesia dalam ruang lingkup pengembangan perencanaan, berbagi pengetahuan (knowledge sharing), peraturan dan kebijakan, pengalaman, pengelolaan data, dan praktik terbaik sambil menjajaki kemitraan inovatif baru yang relevan dengan ketahanan pangan, perubahan iklim, dan tantangan lingkungan.


Acara International Day of Awareness of Food Loss and Waste: Tiada Sisa yang Tak Berdaya juga dimeriahkan dengan pameran langkah nyata penerapan Ekonomi Sirkular di Indonesia oleh para pelaku bisnis berkelanjutan di Indonesia, seperti Siklus, Surplus Indonesia, Alner, Allas, Plasticpay, dan Burgreens.

2521811

Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Sektor Kesehatan dan Urgensi untuk Meningkatkan Kualitas Kajian Ketahanan Iklim

Perubahan Iklim dan Prioritas Nasional Bidang Kesehatan 

Perubahan iklim saat ini terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya di atmosfer yang menyebabkan terjadinya efek gas rumah kaca. Fenomena ini berdampak pada peningkatan penyebaran atau kejadian penyakit seperti tular vektor (DBD dan Malaria), tular udara (Pneumonia), tular air (Diare), serta penyakit sensitif iklim lainnya pada penduduk. Penyakit-penyakit tersebut masuk dalam prioritas penyakit akibat perubahan iklim oleh pemerintah baik pada Kementerian PPN/Bappenas pada kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) maupun pada Kementerian Kesehatan melalui kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan (APIK).

 

Penyakit DBD dan Malaria merupakan penyakit menular yang ditularkan melalui perantara atau gigitan vektor nyamuk Aedes Aegypti dan Anopheles. Perkembangan vektor penyakit ini dapat dipengaruhi oleh iklim yang berubah karena unsur cuaca mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan, dan populasi nyamuk tersebut. Sebagai contoh, curah hujan dengan penyinaran matahari yang relatif panjang turut mempengaruhi perindukan nyamuk sehingga nyamuk berkembangbiak lebih cepat dan lebih masif.

 

Adapun kejadian penyakit Pneumonia bersumber dari droplet nuklei yang melayang di udara yang dihasilkan dari batuk, bersin, dan berbicara oleh orang terinfeksi. Penyakit ini juga memiliki kaitan dengan parameter iklim seperti suhu udara, kelembaban relatif, dan intensitas pencahayaan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba penyebab. Suhu udara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroba karena dapat mempengaruhi lamanya fase lag (adaptasi), kecepatan pertumbuhan, kegiatan enzimatis, dan penyerapan nutrisi oleh mikroba. Di sisi lain, kelembaban relatif yang tinggi dapat menurunkan daya tahan tubuh seseorang sehingga meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama infeksi. Selain itu, kelembaban yang tinggi juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri sehingga meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit. Pada aspek iklim lain, pencahayaan yang berasal dari cahaya matahari memegang peranan penting karena dapat membunuh mikroba.

 

Adapun penyakit diare disebabkan oleh bakteri (umumnya Campylobacter, Salmonella, Shigella, dan E. Coli) yang menular melalui media air karena kurangnya sarana air bersih dan fasilitas sanitasi. Perubahan kondisi iklim seperti meningkatnya curah hujan dan meningkatnya lama musim panas dapat mempengaruhi akses dan ketersediaan air bersih sehingga meningkatkan risiko kontaminasi bakteri pada makanan dan minuman dan meningkatkan prevalensi kasus diare di populasi.

Perubahan Iklim dan Dampak Kesehatan Lainnya

Gambaran distribusi dan frekuensi penyakit akibat perubahan iklim pada saat ini belum sepenuhnya dapat mencerminkan beban sebenarnya. Di dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009, definisi sehat yaitu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hal ini menunjukkan bahwa secara lebih mendalam, dampak perubahan iklim perlu dikaji tidak hanya memperhatikan keadaan fisik saja tetapi juga terhadap keadaan mental dan kesejahteraan sosial.

 

Dari sisi dampak perubahan iklim terhadap kondisi kesehatan fisik, masih diperlukan kajian yang berfokus pada dampak kesehatan lainnya yang sensitif dengan variasi iklim, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu contoh peningkatan suhu bumi dan perubahan pola musim yang memiliki pengaruh terhadap ketersediaan bahan makanan dan berakibat pada masalah gizi atau malnutrisi terhadap kelompok rentan. Selain itu, peningkatan suhu panas juga berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh peningkatan penularan penyakit menular. Kelembaban yang tidak normal dapat mengganggu sistem pernapasan dan dalam jangka panjang dapat merusak paru-paru. Selain itu, terdapat beberapa kasus yang masih jarang dikaji mengenai hubungan antara peristiwa cuaca ekstrim dengan kesehatan mental, misalnya kejadian bunuh diri atau penyalahgunaan zat terlarang akibat gagal panen. Peningkatan prevalensi penyakit juga akan semakin meng-highlight ketimpangan dalam kuantitas dan kualitas layanan kesehatan di berbagai wilayah.

 

Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental dalam jangka panjang secara langsung dan tidak langsung lainnya adalah kecemasan dan depresi terhadap kondisi lingkungan dan keadaan iklim. Keadaan mental yang terganggu dapat terjadi karena memikirkan kerusakan lingkungan atau mengkhawatirkan masa depan yang tidak pasti, ditambah dengan kurangnya tindakan yang diambil oleh pihak terkait. Untuk menumbuhkan ketahanan emosional dalam menghadapi perubahan iklim, dampak kesehatan mental dari perubahan iklim ini perlu dieksplorasi lebih lanjut. Hal ini dikarenakan kemampuan manusia untuk menghadapi perubahan iklim pada akhirnya bergantung pada kapasitas emosionalnya untuk menghadapi ancaman.

Meningkatkan Kualitas Kajian PBI

Sektor kesehatan telah menjadi salah satu sektor prioritas di dalam penanganan perubahan iklim, khususnya di dalam kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI). Menurut perhitungan Bappenas di tahun 2020, kerugian yang ditimbulkan akibat dampak perubahan iklim pada sektor kesehatan mencapai Rp 31,3 Triliun dalam kurun waktu 2020 hingga 2024. Diproyeksikan di beberapa wilayah, kejadian penyakit DBD akan meningkat di beberapa kota besar seperti di Pekanbaru, Palembang, Banjarbaru, Banjarmasin, Samarinda, Tarakan, Kolaka, Ambon, Semarang, dan Kupang. Untuk itu, PBI telah diintegrasikan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagai bagian dari Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim. 

 

Kajian ilmiah yang dijadikan landasan dalam penyusunan kebijakan PBI dan RPJMN 2020-2024 sektor kesehatan saat ini hanya mengkaji dampak terhadap penyakit menular saja (tular vektor dan udara). Perlu dilakukannya pengembangan lebih lanjut untuk penyakit sensitif iklim lainnya, seperti penyakit tidak menular. WHO pada 2021 telah mempublikasikan berbagai penyakit terkait pernapasan, panas, malnutrisi, kesehatan mental, zoonosis, dan penyakit tidak menular lainnya yang diproyeksikan akan meningkat kejadiannya akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, ruang lingkup kajian dapat diperluas sesuai dengan perkembangan ilmu dan kondisi saat ini.

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti

fishing-boat-sunset-village-traditional-boat

Loss and Damage Akibat Dampak Perubahan Iklim di Sektor Pesisir

Konteks dan Isu

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Merujuk data (BPS, 2020) sekitar 42 juta orang tinggal pada daerah kurang dari 10 meter diatas permukaan laut. Padahal kajian proyeksi (USAID, 2016) menyebutkan kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada tahun 2050 yang berarti terdapat 42 juta penduduk berisiko kehilangan tempat tinggalnya. Dahuri (2006) juga menyatakan sebanyak 75% kota besar Indonesia terletak di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Bagi nelayan, dampak langsung perubahan iklim di daerah pesisir, yaitu semakin tingginya risiko melaut di tengah ketidakpastian cuaca sehingga dapat menyebabkan nelayan tidak lagi dapat melaut dan kehilangan mata pencaharian. Ditambah lagi dengan adanya banjir dan erosi pantai yang berpotensi merusak mangrove, tambak ikan, udang serta ladang garam di pantai sehingga menurunkan produktivitas masyarakat pesisir. Kondisi ini membuat kehidupan ekonomi masyarakat pesisir semakin terpuruk. Berdasarkan kajian Bappenas (2021), nilai potensial ekonomi rentang tahun 2020 – 2024 yang hilang akibat perubahan iklim dari sektor pesisir dan laut rerata mencapai Rp.81,53 Triliun yang menjadikan sektor ini paling terdampak akibat perubahan iklim dengan pesisir Pulau Jawa dan Sulawesi yang paling berpotensi tinggi.

Situasi dan Kondisi

Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim khususnya di wilayah pesisir. Hasil kajian Bappenas (2021) terkait dengan Coastal Vulnerability Index (CVI) yang mengklasifikasikan tingkat kerentanan berdasarkan parameter fisik dan oseanografi menunjukan bahwa panjang garis pantai terdampak dengan kategori CVI tertinggi (indeks 5) sepanjang 1819 km . Adapun Pulau Sulawesi memiliki indeks kerentanan tertinggi dengan 904.51 km. Sedangkan untuk Pulau Kalimantan dan Papua tidak memiliki indeks kerentanan pesisir dengan kategori kelas indeks 5.

Tabel 1. Tingkat Kerentanan Bahaya Pesisir di Indonesia
Sumber : Bappenas, 2021

Kondisi tersebut berdampak akan ancaman berupa berkurangnya luas daratan akibat tenggelam oleh air laut, rusaknya kawasan ekosistem pesisir akibat gelombang pasang, berubahnya mata pencaharian masyarakat, berkurangnya areal persawahan dataran rendah di dekat pantai, gangguan transportasi antar pulau, hilangnya objek wisata pulau, hingga menurunnya biodiversitas yang merupakan aset yang tidak ternilai.

Loss and Damage

Kerugian dan kerusakan atau loss and damage dapat disebabkan oleh efek buruk dari perubahan iklim baik peristiwa cuaca ekstrim atau peristiwa onset lambat (Cutter, 2019) Dalam perhitungan kerugian dampak perubahan iklim pada sektor laut dan pesisir, loss and damage tertinggi terjadi akibat adanya dampak perubahan iklim terhadap properti dan kegiatan perekonomian di kawasan pesisir dan laut (USAID, 2016).

Dampak perubahan iklim yang lebih besar terjadi di lokasi pusat pertumbuhan ekonomi yang memiliki atribut pembangunan wilayah yang lebih kompleks. Hal ini ditunjukan oleh studi yang dilakukan oleh USAID (2016) yang mendapati perbedaan yang signifikan dampak loss and damage di wilayah pusat perekonomian yang divisualisasikan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Proyeksi nilai ekonomi hilang dampak kenaikan air laut

Berdasarkan klasifikasi pusat perekonomian yang berada di kawasan pesisir, yang ditampilkan pada grafik di atas, Provinsi DKI Jakarta diproyeksikan akan mengalami kerugian ekonomi yang paling tinggi sebesar Rp. 13 miliar per tahun akibat dampak perubahan iklim pada sektor properti di kawasan pesisir. . Besaran nilai loss and damage yang tinggi di Jakarta ini disebabkan tingginya nilai properti dan investasi yang berada di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim di wilayah pesisir seperti abrasi, kenaikan permukaan air laut dan banjir. Kebalikan dengan tingginya kerugian ekonomi di Jakarta pada sektor properti, Provinsi Aceh dengan pusat pertumbuhan yang lebih sedikit dibandingkan dengan DKI Jakarta diproyeksikan mengalami kerugian sebesar 4,7 miliar per tahun sebagai dampak perubahan iklim. Proyeksi loss and damage yang diperhitungkan menitikberatkan pada besaran investasi properti di kedua lokasi berbeda yang akan berdampak langsung pada dampak perubahan iklim di wilayah pesisir.

Aksi Pengurangan Loss and Damage

Untuk mengurangi dampak negatif berupa degradasi biofisik, ekonomi dan sosial akibat loss and damage pada wilayah pesisir diperlukan upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi, yang merupakan proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak bencana yang diantisipasi akan terjadi dimasa yang akan datang (Diposaptono, 2003) Sedangkan adaptasi yang merupakan langkah penyesuaian yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang lebih buruk dari kejadian bencana (KLHK, 2018). 

Dalam konteks perubahan iklim, aksi pengurangan loss and damage berarti memodifikasi sistem sosial ekologi (SES) untuk mengakomodir dampak aktual, presisi serta prediksi (Barnet, 2001). Aksi ini perlu dilakukan dalam jangka waktu yang cepat dan terus dikembangkan terutama dalam menghadapi bahaya perubahan iklim pada tingkat unavoidable nature seperti yang digambarkan pada Gambar 2. (Cutter, 2019)

Gambar 2. Skenario kejadian pengurangan kerugian dan kerusakan bencana (Cutter,2019)

Konsep Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang merupakan konsep kegiatan terencana untuk meningkatkan kapasitas dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi dampak terhadap perubahan iklim juga perlu dilakukan sebagai upaya yang lebih dari adaptasi (beyond adaptation). Di dalam menangani dampak perubahan iklim di pesisir dan laut, konsep ini dapat dilakukan dengan pelaksanaan penataan tata ruang yang mempertimbangkan aspek perubahan iklim, penguatan instrumen pengendali iklim, penguatan kapasitas stakeholder, community-based development, koordinasi, dan pelaksanaan perlindungan sosial terhadap masyarakat yang terdampak. Aksi pengurangan dampak loss and damage yang telah dilakukan di wilayah pesisir Probolinggo dapat menjadi percontohan bagi wilayah rawan lainnya, yaitu melalui kegiatan seperti :

  • Berpindah Tempat Tinggal

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kalibuntu dalam menghadapi bencana banjir pasang air laut (rob) secara permanen dilakukan dengan cara berpindah tempat tinggal ke wilayah lain yang lebih tinggi dan aman 

  • Peninggian Pondasi Rumah

Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Probolinggo meninggikan pondasi rumah (0,5 – 1,0 meter) menyesuaikan dengan kondisi rob yang terjadi dan meningkat setiap tahunnya 

  • Membangun Tanggul Pantai (sea-wall)

Dalam penanggulangan kerusakan dan hilangnya lahan produktif (tambak, sawah dan perumahan) telah dilakukan dengan pembangunan dinding/tanggul pantai dan penanaman mangrove.

Gambar 3. Pembuatan Tanggul di wilayah pesisir (LIPI, 2019)
  • Inovasi Produksi Garam

Kabupaten Probolinggo terkenal dengan lahan tambak udang, bandeng, kepiting dan garam. Namun, dengan fenomena perubahan iklim yang sulit diprediksi, terdapat perpindahan kegiatan usaha masyarakat dari semula tambak udang, bandeng, kepiting yang lebih berisiko tinggi terhadap perubahan iklim beralih ke kegiatan tambak garam dengan inovasi yang mengantisipasi perubahan iklim.

Gambar 4. Pengembangan inovasi produksi garam (LIPI, 2019)

Inovasi tersebut dilakukan dengan sistem kerja buka tutup dilakukan mengikuti cuaca. Pada saat turun hujan dilakukan penutupan media penjemuran sedangkan pada saat cuaca panas tambak garam kembali dibuka. Dengan adanya inovasi ini, produksi garam yang telah dihasilkan sejak 2014-2018 berkisar antara 1,5-3,0 ton/10 hari dan menaikan  pendapatan petani garam  senilai sekitar 9 – 10 juta rupiah per bulan (LIPI, 2019)

Arah Kebijakan dan Strategi

Akselerasi pelaksanaan pengurangan loss and damage akibat dampak perubahan iklim sejatinya memerlukan kebijakan dan strategi yang kuat. Untuk mencapai hal tersebut terdapat beberapa strategi yang dilakukan seperti :

  1. Implementasi aksi ketahanan iklim yang berfokus pada peningkatan permukiman pesisir dan kawasan budidaya;
  2. Penguatan kestabilan masyarakat wilayah pesisir dengan pendampingan yang komprehensif dan holistik dalam bentuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas pengurangan dampak bencana iklim ;
  3. Penguatan regulasi penanggulangan bencana yang efektif dan efisien;
  4. Peningkatan integrasi kebijakan tingkat regional dan nasional berdasarkan kebutuhan komunitas pesisir;
  5. Penguatan investasi pengelolaan risiko bencana sesuai proyeksi dan prioritas lokasi;
  6. Penguatan tata kelola adaptasi dan mitigasi bencana perubahan iklim yang adaptif;
  7. Membangun ketahanan ekologi, ekonomi dan sosial khususnya daerah dengan tingkat risiko tinggi.


Semua strategi tersebut tentunya dijalankan dengan keterlibatan dan kolaborasi multi pihak yang mencakup lintas sektor sehingga dampak dari loss and damage akibat bencana iklim dapat diminimalkan untuk mencapai Indonesia yang lebih tangguh.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2020. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir. Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir. BPS Republik Indonesia Press. 

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2021. Climate Resilience Development Policy 2020-2045. Jakarta.

Barnett, J. 2001. Adapting to Climate Change in Pacific Island Countries: The Problem of Uncertainty. World Development 29(6): 977–93.

Cutter, Susan L. (2009). Measuring and Mapping Social Vulnerability dalam Cities at Risk. Bangkok.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka. Utama. Jakarta

Diposaptono, S. 2003. Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Alam Terpadu. Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2003

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan. 2018. Arah Kebijakan dan Sasaran Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Dirjen Pengendalian Perubah Iklim. Jakarta 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2019. Masyarakat Pesisir: Adaptasi Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Puslit Oseanografi – LIPI. Jakarta.

United States Agency for International Development (USAID), 2016. Indonesia: Coasts of Climate Change 2050. Brief Policy

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti