3S4A0507

Green Economy Championship Program, Upaya Perkuat Pemahaman dan Implementasi Ekonomi Hijau 10 Provinsi

Green Economy Championship Program telah diselenggarakan di Bekasi, Jawa Barat, 5-6 September 2022. Acara ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas sekaligus menyamakan paradigma dan pemahaman terkait Ekonomi Hijau, khususnya kepada local champions 7 pemerintah provinsi pilot Pembangunan Rendah Karbon/PRK (Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Papua, dan Papua Barat) ditambah 3 pemerintah provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, dan Maluku.  Termasuk perwakilan universitas dan mitra pembangunan.

Melalui program ini, para local champions diharapkan dapat memahami secara lebih mendalam tentang Green Economy Index (Indeks Ekonomi Hijau) yang baru saja diluncurkan dan penggunaan pemodelan system dynamics untuk membangun konsep terintegrasi dari Ekonomi Hijau.

Kementerian PPN/Bappenas sebelumnya telah meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau atau Green Economy Index (GEI) pada pertemuan ketiga G20 Development Working Group, pada 9 Agustus 2022. GEI diluncurkan guna mengukur progres, efektivitas, dan capaian transformasi ekonomi hijau secara tangible (nyata), representatif, dan akurat.

Ekonomi hijau merupakan salah satu strategi yang menjadi game changer transformasi ekonomi sebagai respon dari tantangan perubahan iklim dan pandemi Covid-19 serta terdiri dari 15 indikator di bawah pilar lingkungan, ekonomi, dan sosial. Ekonomi hijau diusung guna mentransformasi perekonomian nasional menjadi lebih berkelanjutan dan mendorong pemulihan hijau, melalui Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim.

Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas, Dr. Medrilzam, menjelaskan asal usul ekonomi hijau yaitu environmental economics dan ecological economics, kemudian menyampaikan bahwa Ekonomi hijau merupakan tool untuk menyusun perencanaan di daerah guna mencapai target nasional yang dicanangkan dengan pendekatan sistem.

Untuk itu, pemerintah pusat tidak dapat berjalan sendiri. Perencanaan kebijakan Ekonomi Hijau perlu terintegrasi antar sektor dan harus dibantu dengan pemerintah daerah. “Isu perubahan iklim adalah isu pembangunan. Sektor lingkungan memang terdampak, namun perubahan iklim merupakan hasil dari aktivitas semua sektor. Hal ini tidak bisa ditangani sendiri, perlu ada prime mover di daerah masing-masing sebagai local champion, dan juga peneliti dari universitas-universitas serta peran media sebagai sarana untuk merubah perilaku dan menyebarkan informasi terkait ekonomi hijau,” ujar Medrilzam.

Sesi kedua diisi dengan Workshop Green Economy Index sebagai Alat Ukur Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang disampaikan oleh Program & Policy (PRK) Team Leader, Egi Suarga. Peserta didampingi untuk mendiskusikan indikator-indikator GEI yang perlu dipertimbangkan guna menyusun RPRK Daerah.

 

Agenda di hari kedua adalah Workshop Pemodelan Dinamika Sistem untuk Mendukung Perencanaan Kebijakan Ekonomi Hijau yang disampaikan oleh Ahli Pemodelan ITB, Dr. Muhammad Tasrif. Beliau menjelaskan logika berpikir pemodelan dengan menggunakan pendekatan system dynamics. Peserta kemudian diajak menggunakan software Vensim sebagai alat bantu untuk keperluan penyusunan dokumen kebijakan perencanaan daerah. Harapannya, dari agenda ini, peserta dapat memahami konsep dasar dan strategi utama Ekonomi Hijau dan GEI sebagai alat bantu pengukuran keberhasilan pertumbuhan Ekonomi Hijau, serta dapat menggunakan pemodelan system dynamics Ekonomi Hijau untuk melakukan exercise kebijakan dalam perumusan dokumen kebijakan daerah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Daerah.

Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 6 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 6 Agustus 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan Proyek DKTI di Kota Malang, 11 Mei 2022

Bappenas dan Program Kerjasama Jerman dukung Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau melalui Pengelolaan Sampah Berkelanjutan: Implementasi di Level Kota/Kabupaten Jadi Kunci

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab perubahan iklim, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim. Salah satu penyebab tingginya emisi GRK adalah dikarenakan adanya dekomposisi sampah yang tidak terkelola dengan baik sehingga menghasilkan emisi gas buang yang terlepas ke lingkungan. Indonesia sebagai negara keempat dengan populasi terpadat di dunia[1] diestimasikan memproduksi hingga 105.000 ton limbah padat setiap harinya,[2] menempatkan sektor limbah menjadi penyumbang emisi terbesar ketiga di Indonesia setelah sektor kehutanan dan energi,[3] yaitu sekitar 5% dari total emisi di dunia.[4] Implementasi kebijakan pengelolaan sampah berkelanjutan dari hulu ke hilir, baik di tingkat nasional maupun Kota/Kabupaten, dapat mengurangi total emisi GRK sebesar 10-15%.[5] Oleh karena itu, sistem pengelolaan sampah terpadu di pusat dan daerah dapat berkontribusi secara signifikan terhadap aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.

 

Pemerintah Indonesia telah menggagas konsep PRK yang terdiri dari 5 (lima) sektor prioritas, diantaranya adalah Penanganan Limbah dan Ekonomi Sirkular. Kebijakan PRK sektor limbah diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dan pengelolaan limbah hingga mencapai 100% pada tahun 2060. Implementasi dari ekonomi sirkular yang mampu mengurangi timbulan limbah yang dihasilkan dan dibuang, mengutamakan penggunaan energi terbarukan, dan mendukung efisiensi penggunaan sumber daya alam, produk yang dihasilkan, serta proses yang digunakan pada industri sehingga lebih ramah lingkungan. Telah banyak kebijakan dan strategi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai turunan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, diantaranya PP No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,Perpres No. 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (JAKSTRNAS), Peraturan Menteri LHK no. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, Peraturan Menteri LHK No. 14/2021 tentang Pengelolaan Sampah di Bank Sampah, dll. Kementerian PPN/Bappenas juga mendorong berbagai Kabupaten/Kota agar mengimplementasikan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dengan menerapkan konsep ekonomi sirkular untuk mendukung prinsip ekonomi hijau. Implementasi tersebut juga perlu didukung oleh penguatan data yang menunjang perumusan kebijakan, pengembangan kapasitas teknis dalam penggunaan teknologi pengelolaan sampah yang relevan dengan strategi pengurangan emisi, dan pendanaan untuk biaya operasional pengelolaan sampah di daerah.

Dalam rangka memperkuat implementasi RPJMN 2020-2024 khususnya terkait Pembangunan Rendah Karbon di sektor limbah dan  ekonomi sirkular Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas didukung oleh Program Kerjasama Jerman yang diimplementasikan oleh GIZ melaksanakan Proyek Pengurangan Emisi di Perkotaan melalui Peningkatan Pengelolaan Sampah (DKTI) yang bertujuan untuk mendukung perencanaan dan pengembangan pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir dengan memperbaiki enabling condition di tingkat nasional dan di Kabupaten/Kota piloting. Pelaksanaan Proyek DKTI diawali di Bulan April-Mei 2021 dengan seleksi lokasi piloting project berdasarkan 5 (lima) faktor penilaian (Readiness/ Kesiapan, Sustainability/ Keberlanjutan, Relevance/ Keterkaitan,  Replicability/ Kemampuan Replikasi, dan Need of Technical Assistance/ Kebutuhan Bantuan Teknis). Enam Kabupaten/Kota yang terpilih sebagai pilot project DKTI dalam sistem pengelolaan sampah. Ke-enam Kabupaten/Kota tersebut yakni Kota Cirebon, Kota Malang, Kota Bukittinggi, Kota Jambi, Kota Denpasar, dan Kabupaten Bogor. Komitmen dari Kab/Kota untuk implementasi project DKTI tertuang dalam surat komitmen dari 6 ( enam) kepala daerah.

Pada Bulan April-Juni 2022 dilakukan kegiatan kunjungan dan pertemuan dengan Badan Perencanaan Daerah, Dinas Lingkungan Hidup, dan dinas terkait lainnya di 6 (enam) Kota/Kabupaten tersebut. Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan komitmen dan memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sampah, mendiseminasikan kegiatan DKTI kepada pemangku kepentingan terkait, dan menerima masukan serta informasi terbaru berkaitan dengan manajemen persampahan, serta dukungan yang dibutuhkan dari berbagai Kota/Kabupaten terkait. Dalam pertemuan tersebut, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas juga menyampaikan pentingnya Reformasi Sistem Tata Kelola Persampahan di Kota/Kabupaten untuk mendukung pengelolaan sampah berkelanjutan, dilanjutkan pemaparan masing-masing profil pengelolaan sampah dan diskusi dengan pemangku kepentingan yang hadir.

 Secara umum, ke-enam Kabupaten/Kota memerlukan pembaharuan dokumen perencanaan atau Master Plan pengelolaan sampah agar sesuai dengan kondisi riil di wilayahnya. Sebagai contoh, Kota Malang yang pada tahun 2021 angka timbulan sampahnya sebesar 718,44 ton/hari memiliki Master Plan persampahan tahun 2020 yang belum sesuai dengan JAKSTRADA (Kebijakan dan Strategi Daerah terkait Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga). Selain itu, Kabupaten Bogor dengan Master Plan tahun 2014 membutuhkan adanya pembaruan yang tidak sekedar berpusat pada aspek infrastruktur namun juga terdapat aspek seperti partisipasi dan penguatan masyarakat serta terkait dengan isu zonasi. Oleh karena itu, intervensi berupa bantuan teknis dibutuhkan untuk menyusun Master Plan baru dan merevisi dokumen kebijakan dengan mempertimbangkan kebutuhan pengembangan sistem pengelolaan sampah jangka Panjang yang holistik mencakup seluruh aspek perencanaan pengelolaan sampah.

Tantangan lain yang ditemukan di salah satu Kabupaten/Kota pilot adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah, termasuk adanya penambahan timbulan sampah ‘kiriman’ dari luar wilayah dan aktivitas tertentu seperti pariwisata dan komutasi penduduk keluar-masuk wilayah Kabupaten/Kota. Lebih dari 75% sampah di ke-enam daerah tersebut berujung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), menyebabkan TPA penuh lebih cepat sementara rata-rata pemerintah daerah tidak memiliki lahan untuk membangun TPA baru. Untuk itu, diperlukan implementasi proyek pilot dalam hal peningkatan kesadaran publik untuk dapat mengurangi timbulan sampah, diantaranya melalui kolaborasi dengan masyarakat sebagai aktor kunci dalam sistem pengumpulan sampah terpilah dan terjadwal, serta dialog dengan pemangku kepentingan terkait di level Kecamatan dan Kelurahan. Di Bukittinggi, penanganan sampah telah disisipkan dalam agenda agama berupa sedekah sampah. Selain itu untuk meningkatkan jumlah sampah terkelola, diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat, antara lain bantuan teknis untuk optimalisasi Tempat Pengolahan Sampah – Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) berkelanjutan seperti di Jambi, serta dukungan teknologi di TPS3R berupa Black Fly Soldier (BSF)/Lalat Tentara Hitam dan Plastic Extruder.

Sementara itu, pendanaan juga merupakan isu yang selalu menjadi perhatian di ke-enam Kabupaten/Kota pilot. Hal ini disebabkan karena alokasi anggaran pengelolaan sampah sangat minim dan tarif retribusi di daerah belum merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 (Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah). Oleh karenanya diperlukan peningkatan kapasitas dalam perhitungan biaya persampahan dan retribusi, eksplorasi opsi terkait akses pendanaan lainnya, pengembangan inovasi sistem penarikan retribusi sampah yang optimal, serta pengembangan model pembiayaan pengelolaan sampah.

Harapannya, melalui implementasi pendekatan berbasis sistem di tingkat Kota/Kabupaten pilot, aksi intervensi yang tengah dijalankan melalui proyek DKTI dapat mengakselerasi terwujudnya reformasi pengelolaan sampah berkelanjutan di berbagai daerah untuk mendukung pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau di Indonesia.

Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Cirebon, 8 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Jambi, 12 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Bukittinggi, 14 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Malang, 11 Mei 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kabupaten Bogor, 23 Juni 2022

[1] Worldometers. 2020. https://www.worldometers.info/world-population/#top20 diakses 29 Agustus 2022

[3] Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV Nasional 2017. http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/3150-kontribusi-penurunan-emisi-grk-nasional,-menuju-ndc-2030.html diakses 29 Agustus 2022

[4] Kristianto, G.A. & W. Koven. 2019. Estimating greenhouse gas emissions from municipal solid waste management in Depok, Indonesia. City and Environment Interactions: 4.

[5] Oates, L. et al. 2019. Supporting decent livelihoods through sustainable service provision: Lessons on solid waste management from Kampala, Uganda. Coalition for Urban Transitions.

AM0_3941

Indonesia Miliki Indeks Ekonomi Hijau

Kementerian PPN/Bappenas meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau Indonesia serangkaian acara side event DWG G20 di Nusa Dua, Badung, Selasa (9/8/2022). Indeks Ekonomi Hijau menjadi tolok ukur capaian transformasi ekonomi.

BADUNG, KOMPAS — Indonesia kini memiliki tolok ukur indikator perkembangan ukuran keseimbangan antara kesejahteraan ekonomi dan kesetaraan sosial masyarakat serta mitigasi risiko kerusakan lingkungan dengan diluncurkannya Indeks Ekonomi Hijau Indonesia oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Indeks Ekonomi Hijau (Green Economy Index) Indonesia memberikan gambaran pencapaian dan skor Indonesia dalam transformasi menuju ekonomi hijau.

Ekonomi hijau menjadi satu dari enam strategi transformasi ekonomi Indonesia, yang ditetapkan Kementerian PPN/Bappenas, dalam upaya mencapai visi Indonesia 2045 dan dinyatakan sebagai pengubah permainan (game changer) bagi Indonesia dalam pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19 dan menuju arah pembangunan berkelanjutan.

Laporan Indeks Ekonomi Hijau (Green Economy Index/GEI) Indonesia akan diintegrasikan ke dalam dokumen pembangunan nasional, baik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

GEI Indonesia untuk kali pertama tersebut diluncurkan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa serangkaian pertemuan ketiga Development Working Group (DWG) dalam acara sampingan (side event), yang diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas, terkait presidensi G20 Indonesia di Nusa Dua, Badung, Bali, Selasa (9/8/2022).

Melalui video, yang ditayangkan dalam forum 3rd DWG Meeting Side Event G20 dengan tema ”Towards Implementation and Beyond: Measuring the Progress of Low Carbon and Green Economy”, Selasa (9/8/2022), Suharso Monoarfa menyebutkan, GEI Indonesia menjadi tolok ukur pencapaian Indonesia dalam upaya transisi menuju ekonomi hijau.

Menurut Suharso Monoarfa, ekonomi hijau memiliki prinsip utama menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sekaligus mendorong kesejahteraan sosial dan menjaga kualitas dan daya dukung lingkungan.

Hal itu dinyatakan berfokus pada peningkatan investasi hijau, pengelolaan aset dan infrastruktur yang berkelanjutan, dan memastikan transisi yang adil dan terjangkau serta memberdayakan sumber daya manusia.

Keberadaan GEI Indonesia mendapat respons positif dari sejumlah pihak, antara lain , Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste Owen Jenkins dan Duta Besar Jerman untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste Ina Lepel; maupun dari lembaga mitra di dalam negeri dan juga mitra dari luar negeri.

Melalui tayangan videonya, Dubes Owen Jenkins menyatakan, GEI Indonesia dengan 15 indikator tersebut merupakan hal mendasar, yang menunjukkan Indonesia berada pada jalur menuju ekonomi hijau.

Transformasi Ekonomi

Indeks Ekonomi Hijau Indonesia menghitung skor Indonesia dalam transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau dengan melihat perbandingan kemajuan dari indikator terhadap nilai minimal dan target maksimal, yang ingin dicapai.

Nilai minimal indikator berdasarkan data historis Indonesia dari acuan terendah, sedangkan nilai maksimal didasarkan target yang sudah dicantumkan dalam Visi Indonesia 2045 dan target dalam model Low Carbon Development Initiative (LCDI) 2045 untuk mencapai Net Zero Emission 2060. Adapun rentang waktu data histori GEI Indonesia mulai 2011 sampai 2020.

Terdapat 15 indikator dalam GEI Indonesia, yang mencakup tiga pilar, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang mencerminkan pembangunan ekonomi hijau. Pilar ekonomi terdiri atas enam indikator, antara lain, intensitas emisi, intensitas energi, dan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita.

Sementara itu, pilar sosial mencakup empat indikator, yakni tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, angka harapan hidup, dan rata-rata lama sekolah. Sementara pilar lingkungan meliputi lima indikator, yaitu tutupan lahan, lahan gambut terdegradasi, penurunan emisi, sampah terkelola, dan energi baru terbarukan.

Laporan GEI Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan dan adanya sinergitas antarpilar.

Dari siaran pers Kementerian PPN/Bappenas disebutkan, GEI Indonesia bertujuan menjaga arah pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang dan mempercepat penerapan program pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim sebagai tulang punggung dalam transisi menuju ekonomi hijau.

Adapun transisi ekonomi hijau dinyatakan dapat memberikan beragam manfaat bagi Indonesia, di antaranya, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata 6,1-6,5 persen per tahun hingga 2050.

Lalu penurunan intensitas emisi hingga 68 persen di tahun 2045, penyelamatan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga 87-96 miliar ton selama rentang 2021-2060, dan penambahan lapangan kerja di sektor pekerjaan ramah lingkungan (green jobs) bagi 1,8 juta tenaga kerja pada 2030.

Dalam acara peluncuran GEI Indonesia, perencana ahli utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto, yang mewakili Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas J Rizal Primana mengatakan, peluncuran GEI Indonesia menjadi wujud nyata Indonesia dalam mengukur efektivitas transformasi ekonomi, yang berkelanjutan dan rendah karbon, dengan menggunakan metodologi yang akurat.

Laporan GEI Indonesia juga membuktikan komitmen Indonesia, terutama Kementerian PPN/Bappenas, dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Dalam sambutannya itu, Arifin juga menyatakan Indeks Ekonomi Hijau akan ikut dijadikan sasaran makro pembangunan, baik dalam dokumen RPJMN maupun RPJPN.

Sebelumnya, dalam sesi pengarahan media menjelang acara side event G20 dengan tema ”Towards Implementation and Beyond: Measuring the Progress of Low Carbon and Green Economy” di Nusa Dua, Badung, Selasa (9/8/2022), Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam menerangkan, GEI menjadi upaya Bappenas dalam mengukur performa pembangunan menuju ekonomi hijau.

Secara umum, pencapaian indikator-indikator pada pilar ekonomi dan pilar sosial terukur lebih tinggi dibandingkan pencapaian indikator pada pilar lingkungan.

Meski demikian, menurut Medrilzam, kondisi Indonesia sudah mengindikasikan perbaikan dan pembangunan menuju ekonomi hijau berada pada jalur yang sesuai. ”Kondisi Indonesia tidaklah jelek. Performa pembangunan ekonomi hijau Indonesia menunjukkan tren meningkat dalam 10 tahun,” ujar Medrilzam.

Anggota DPR, yang juga Sekretaris Kaukus Ekonomi Hijau Parlemen dan Komisioner Low Carbon Development Initiative (LCDI), Dyah Roro Esti Widya Putri mengatakan, pembangunan rendah karbon juga berpeluang menciptakan lapangan kerja di sektor pekerjaan hijau, berkontribusi dalam mengurangi kemiskinan ekstrem, dan berkontribusi dalam mengurangi emisi GRK maupun polusi air dan polusi udara.

Dalam sesi pengarahan media tersebut, Roro juga menyatakan pentingnya kerja sama dan sinergi pemerintah dengan parlemen dan seluruh pemangku kepentingan lainnya.

Adapun acara peluncuran GEI Indonesia dalam acara side event G20 dengan tema “Towards Implementation and Beyond: Measuring the Progress of Low Carbon and Green Economy” itu diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas bersama United Kingdom Foreign Commonwealth and Development Office, Germany’s Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Action, Global Green Growth Institute (GGGI), WRI Indonesia, GIZ, LCDI, dan United Nations Partnership for Action on Green Economy (PAGE).

5

Jadi Model Kota Masa Depan, IKN Dikembangkan Dengan Konsep Ekonomi Sirkular

JAKARTA – Ibu Kota Negara (IKN) baru atau IKN Nusantara di Kalimantan Timur dikembangkan dengan konsep ekonomi sirkular agar menjadi kota yang berkelanjutan, sehat, produktif, efisien, inovatif dan ramah lingkungan. Dengan itu IKN Nusantara menjadi model kota masa depan karena terkait dengan perubahan iklim. Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam menyampaikan, konsep ekonomi sirkular menjadi sangat penting dalam pembangunan kota. Karena 80 persen emisi global itu bersumber dari aktivitas ekonomi di kota.

 

“Kota juga merupakan penyumbang sampah dan polusi terbesar di dunia. Harapannya, konsep pembangunan economy circular di IKN ini tertular ke banyak kota lainnya di tanah air, sehingga kita makin dikenal di dunia,” kata Medrilzam dalam diskusi virtual bertajuk ‘Menyongsong Ibu Kota Negara Sirkular’ yang digelar oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dengan Kementerian PPN/Bappenas, dan didukung oleh FMB9, Kamis (28/7/2022). 

Konsep ekonomi sirkular, kata Medrilzam, terus berkembang, bukan hanya terkait dengan sampah tetapi cakupannya luas, termasuk bagaimana mengurangi penggunaan sumber daya alam (SDA). Menggunakan barang yang sama dalam jangka waktu yang lama dalam satu siklus produksi. “Pembangunan kota dengan konsep ekonomi sirkular ini akan menjadi tren ke depan karena berkaitan dengan upaya mengatasi perubahan iklim. Juga menyangkut upaya menjaga keanekaragaman hayati,” ujarnya.

 

Pada kesempatan yang sama, Southeast Asia Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), Faela Sufa berharap agar pembangunan IKN benar-benar mengurangi polusi. Sufa lantas menyoroti tingginya kontribusi kendaraan bermotor di tanah air terhadap pencemaran udara. “Di IKN harus kurangi kendaraan bermotor. Apalagi konsepnya di sana mikro mobility. Saya lihat itu yang masih kurang saat ini. Padahal, mestinya utamakan jalur untuk pejalan kaki, sepeda. Kurang penggunaan kendaraan pribadi. Untuk kendaraan bermotor khusus untuk kalangan tertentu saja,” pungkas Sufa. 

 

Sementara untuk menciptakan kondisi kota zero carbo, menurut Sufa, IKN Nusantara harus langsung menerapkan sistem elektrifikasi transportasi publik dan sistem transportasi yang terintegrasi. Terutama agar bisa terintegrasi dengan tata guna lahan. “Jadi, hal ini bisa dicapai jika moda utama adalah pejalan kaki dan pesepeda. Hal ini memperhatikan implikasi dari penggunaan tata guna lahan dan juga radius dari KIPP sendiri yang 5 km itu sangat memungkinkan untuk dilakukan mobilitas dengan bersepeda,” ungkapnya. 

 

Sementara itu, Ketua Komite Komunikasi, Media dan Penghargaan PII, Lucia Karina meminta agar pembangunan di IKN menggunakan sumber daya energi yang berkelanjutan. Terlebih lagi di Kalimantan Timur, lanjut dia, ada banyak potensi sumber daya energi baru dan terbarukan, sehingga harus dimanfaatkan. Lucia juga meminta agar pemerintah membangun infrastruktur persampahan, bukan hanya infrastrukturnya tetapi membangun manajemen di antara rantai pasok tersebut. “Misalnya baja-baja itu kita koneksi kan dengan industrti, begitu juga tekstil, ada tukang tadahnya. Nilai eknominya luar biasa kalau kita lihat yang dilakukan India dan China mereka lakukan itu,” ucap Lucia.

 

Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Kamis, 28 Juli 2022 – 22:45 WIB oleh Donatus Nador dengan judul “Jadi Model Kota Masa Depan, IKN Dikembangkan dengan Konsep Ekonomi Sirkular”. Untuk selengkapnya kunjungi:

https://daerah.sindonews.com/read/839921/174/jadi-model-kota-masa-depan-ikn-dikembangkan-dengan-konsep-ekonomi-sirkular-1659020879

badan-meteorologi-klimatologi-dan-geofisika-bmkg-memperkirakan-terjadinya-hujan-di-kalimantan-selatan-kalsel-dalam-3-hari-ke-d_169

Quo Vadis Ekonomi Hijau Indonesia?

Medrilzam, CNBC Indonesia – Code Red for Humanity atau Kode Merah untuk Kemanusiaan merupakan sinyal jelas dan penuh kecemasan yang disampaikan dalam laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Laporan itu adalah sebuah kajian mendalam mengenai perubahan iklim dalam tiga tahun terakhir berdasar 14.000 studi ilmiah oleh 234 pengamat dari 66 negara. Laporan IPCC tahun 2021 ini juga menekankan penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia.

Sementara itu, diskursus mengenai megatrend 2050 mengindikasi akan terjadi perubahan besar di masa depan dengan adanya pergeseran kekuatan ekonomi global, perubahan demografis, percepatan urbanisasi, terobosan teknologi, serta perubahan iklim dan kelangkaan sumber daya. Beragam kajian memprediksi terjadinya eksodus akibat pemanasan global seperti yang terjadi di Filipina dan Guatemala. Jika perubahan iklim akibat aktivitas manusia terus berlanjut seperti saat ini, Bank Dunia memperingatkan pada tahun 2050 jumlah pengungsi iklim akan lebih tinggi daripada akibat perang. Sebanyak 180 juta orang akan menjadi pengungsi iklim karena kehilangan tempat tinggal, kelaparan, atau mencari tempat yang lebih layak dengan sumber daya yang masih tersedia.

Di Indonesia, menurut data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama tahun 2021 telah terjadi 5.402 kejadian bencana di mana 98%-99% merupakan bencana hidrometeorologi, yakni banjir besar, tanah longsor, puting beliung, kekeringan dan sebagainya. Bencana hidrometeorologi ini diperkirakan akan semakin intens dan semakin besar di masa mendatang sebagai akibat dari perubahan iklim. Kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menunjukan akibat perubahan iklim, di tahun 2020-2024 Indonesia dihadapkan pada konsekuensi potensi kerugian sebesar Rp 544 triliun dari empat sektor prioritas dan dapat menahan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 4%-5% per tahun, sehingga mencegah Indonesia keluar dari middle-income trap.

Bersamaan dengan itu, kita masih tetap perlu menghadapi dampak krisis akibat pandemi Covid-19. Krisis akibat penyakit itu merupakan krisis multidimensi yang secara fundamental mempengaruhi stabilitas makroekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir, mengakibatkan kontraksi ekonomi sebesar 2,07% pada tahun 2020 serta meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Isu perubahan iklim dan dampak pandemi Covid-19 ini telah membuat Indonesia tidak lagi sama seperti sebelumnya, sehingga diperlukan langkah “luar biasa” untuk mengembalikan trajectory pertumbuhan ekonomi Indonesia ke posisi sebelum terjadinya pandemi.

Untuk menjawab kedua tantangan tersebut, pemerintah Indonesia mendorong proses transformasi ekonomi secara struktural, yang salah satu strateginya adalah penerapan pemulihan ekonomi menuju Ekonomi Hijau yang lebih berkelanjutan. Kita menyadari pemulihan ekonomi secara business as usual tidak akan dapat mengatasi tantangan yang kita hadapi. Untuk itu, Ekonomi Hijau akan didorong sebagai game changer dalam proses transformasi ekonomi Indonesia.

Sejalan dengan kebijakan transformasi ekonomi tersebut, pemerintah Indonesia telah menetapkan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebagai backbone strategi pemulihan yang akan mengantarkan Indonesia menuju Ekonomi Hijau. Kebijakan PRK bahkan telah ditetapkan sebagai program prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Melalui PRK, trade-off antara pembangunan ekonomi dan isu-isu lingkungan yang terkait dengan dampak perubahan iklim dapat diminimalkan sehingga tujuan pembangunan ekonomi nasional dan perbaikan lingkungan dapat berjalan beriringan. Ada lima sektor atau strategi prioritas utama dalam program PRK, yaitu: 1) Pemulihan lahan berkelanjutan; 2) Pengembangan energi berkelanjutan; 3) Pengelolaan sampah dan ekonomi sirkular; 4) Pengembangan industri hijau; serta 5) Rendah karbon pesisir dan laut.

Dengan menerapkan strategi tersebut, Indonesia diharapkan dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga tahun 2045 dan sekaligus mendukung tercapainya target Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat lagi. Indikator keberhasilan PRK, yaitu Intensitas Emisi Gas Rumah Kaca (Emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan per satuan output ekonomi) diharapkan turun secara bertahap melalui proses transisi energi dari berbasis fossil fuel ke energi bersih (energi baru terbarukan), peningkatan efisiensi energi, dan penggunaan kendaraan listrik secara lebih luas. Tidak ketinggalan, penurunan Intensitas emisi GRK juga dihasilkan dari berbagai program di sektor lahan seperti restorasi hutan dan lahan gambut, konservasi mangrove, dan juga peningkatan produktivitas di lahan perkebunan dan pertanian.

Kebijakan PRK juga diarahkan pada pengelolaan limbah dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dan menurunkan produksi limbah cair hingga mendekati 100% pada tahun 2060 serta mendukung penghapusan subsidi energi secara penuh di tahun 2030 dan implementasi pajak karbon. Simulasi yang dilakukan Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan pertumbuhan ekonomi rata-rata Indonesia 6% bila skema ini diterapkan, dan target NZE dapat dicapai pada tahun 2060. Di satu sisi, Indonesia dapat keluar dari middle income trap dan menjadi sejajar dengan negara maju lainnya pada tahun 2045 (100 tahun kemerdekaan Indonesia/Indonesia Emas).

Kementerian PPN/Bappenas mencatat selama kurun waktu 2010-2020, terdapat 19.143 aksi PRK yang telah dilakukan oleh daerah dan kementerian/lembaga. Melalui sejumlah aksi tersebut, Indonesia berhasilkan menurunkan emisi GRK secara akumulatif sebesar 26,45% hingga tahun 2020 dan menurunkan intensitas emisi GRK sebesar 38,05% di tahun 2020. Hal itu sejalan dengan target pemerintah sebelumnya yang menargetkan terjadi penurunan Emisi GRK sebesar 26% di bawah baseline di tahun 2020.

Terlepas dari berbagai keberhasilan yang dilakukan melalui PRK, muncul pertanyaan sederhana: bagaimana mengukur arah pembangunan kita sudah on track menuju Ekonomi Hijau atau seberapa jauh kita masih harus berusaha? Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas saat ini sedang merumuskan Green Economy Index/GEI atau Indeks Ekonomi Hijau Indonesia sebagai pendekatan dan juga alat untuk mengukur efektivitas transformasi ekonomi menuju Ekonomi Hijau yang tangible, representatif, dan akurat. Kementerian PPN/Bappenas mengindikasikan GEI Indonesia, yang akan diumumkan pada saat acara G20 Development Working Group (DWG) di Bali pada bulan Agustus 2022, akan menjadi tolok ukur keberhasilan pencapaian Ekonomi Hijau Indonesia hingga 2045 dan menjadi bagian salah satu Indikator Keberhasilan Kunci Pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. GEI akan diukur setiap tahun dan kinerja GEI tahunan akan menjadi acuan bagi para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan pembangunan yang lebih hijau, rendah karbon dan berketahanan iklim untuk menghasilkan ekonomi yang hijau dan rendah karbon di Indonesia.

Sebagai focal point dari DWG G20, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian PPN/Bappenas juga telah mendorong agar penerapan Kebijakan Ekonomi Hijau akan menjadi salah satu keputusan strategis dari G20 di tahun 2022. Saat itu, Ekonomi Hijau telah masuk ke dalam draft keputusan DWG G20 yang tentunya perlu mendapat dukungan dari seluruh negara anggota G20. Diharapkan Kebijakan Ekonomi Hijau yang disepakati juga memberikan angin segar dan indikasi yang jelas kepada COP 27 UNFCCC di Mesir pada akhir 2022 bahwa seluruh negara anggota G20 mendukung terintegrasi nya aksi-aksi dalam mengatasi perubahan iklim menjadi bagian utuh dari program pembangunan nasional setiap negara untuk menghasilkan kondisi ekonomi yang rendah karbon dan ramah iklim di masa yang akan datang.

Peluncuran Indeks Ekonomi Hijau Indonesia pada rangkaian side event DWG G20 menjadi relevan dan strategis sesuai dengan tema Presidensi G20 2022 “Recover together, recover stronger”. Harapannya Indonesia dapat menjadi pemrakarsa utama dan contoh bagi negara lainnya dalam mengimplementasikan Kebijakan Ekonomi Hijau. Sudah saatnya semua negara bersatu padu untuk mewujudkan Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon demi masa depan umat manusia yang lebih baik lagi.

gbr2

Provinsi Jawa Barat Tetapkan Lima Sektor Prioritas Dalam RPRKD

Direktorat Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon Indonesia/LCDI, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat menggelar Workshop Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Bandung, Jawa Barat pada Rabu (20/4). Kegiatan ini bertujuan menjaring masukan terhadap skenario kebijakan yang sudah tersusun dalam Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Provinsi Jawa Barat.

Menurut perhitungan trajektori besaran emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Provinsi Jawa Barat akan mencapai 134.212.470 ton CO2eq di tahun 2030. Sektor energi memberikan kontribusi paling tinggi sebesar 40%, disusul sektor transportasi sebesar 31%. Tingginya besaran emisi tersebut berakar dari masalah overpopulasi, karena sebanyak 49,9 juta jiwa mendiami provinsi Jawa Barat pada tahun 2021. Hal ini, menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi paling padat penduduknya di Indonesia. Sehingga, tantangan daya dukung dan daya tampung lingkungan muncul seiring bertambahnya pemukiman penduduk yang memengaruhi kondisi tutupan lahan (hutan) dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Disebabkan berkurangnya lahan hutan, perkebunan, dan pertanian yang beralih fungsi menjadi hunian.

Provinsi Jawa Barat, sebagai salah satu provinsi percontohan PRK, telah menandatangani Nota Kesepahaman PRK dengan Bappenas pada 2 April 2019. Dalam implementasinya, Jawa Barat membutuhkan dukungan dalam penyusunan RPRKD dan peningkatan kapasitas bagi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) aksi PRK melalui Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Aksi Pembangunan Rendah Karbon Indonesia/AKSARA sebagai bentuk kontribusi mencapai target penurunan emisi Provinsi Jawa Barat.

“Bappenas siap memberikan dukungan kepada Provinsi, Kabupaten/Kota serta mitra pembangunan sebagaimana disepakati dalam Nota Kesepahaman PRK yang telah ditandatangani. Kami mendorong pemanfaatan sumber daya yang ada untuk perencanaan, pematangan, dan pemantauan serta evaluasi pembangunan rendah karbon,” ujar Direktur LH Kementerian Bappenas, Medrilzam.

Lebih lanjut, Medrilzam mengatakan bahwa diperlukan transformasi besar di bidang ekonomi. Untuk itu, perlu didorong navigasi ekonomi hijau melalui PRK di Provinsi Jawa Barat. Ekonomi Hijau ditempatkan sebagai salah satu game changer yang tidak hanya mendorong pemulihan hijau, tetapi dalam jangka panjang juga mampu mereformasi sistem perekonomian nasional menjadi lebih berkelanjutan.

(dari kiri) Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Medrilzam; Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Setiawan Wangsaatmaja; dan Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat, Sumasna.

Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Prioritas Nasional (PN), khususnya agenda pembangunan 6 memfokuskan pada program membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim. Maka, guna meningkatkan pencapaian penurunan besaran emisi sesuai PN 6 PP 3, Jawa Barat memfokuskan aksi PRK-nya pada lima sektor prioritas. Yaitu pengembangan industri hijau, pengelolaan limbah, pembangunan energi berkelanjutan, aksi rendah karbon pesisir dan laut, serta pemulihan lahan berkelanjutan.

“Apa yang kita rencanakan dan lakukan saat ini adalah menguraikan aksi pembangunan industri hijau, pengelolaan limbah, pembangunan energi berkelanjutan, aksi rendah karbon pesisir dan laut, serta pemulihan lahan berkelanjutan,” ujar Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Setiawan Wangsaatmaja.

Sementara itu, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat, Sumasna, menekankan agar target dan capaian PRK dapat dikawal dengan baik. Inisiasi PRK yang melibatkan masyarakat perlu didukung dengan memasukkannya ke dalam RPJMD serta membangun dan mengubah paradigma masyarakat menuju ekonomi hijau.

“Kami memiliki komitmen tinggi untuk mendorong PRK ke depan, mulai dari pengelolaan TPA untuk pengelolaan sampah dengan budidaya maggot hingga menurunkan besaran emisi melalui sistem transportasi massal MRT dan LRT,” ujar Sumasna.

Sumasna mengatakan bahwa hal tersebut menjadi Pekerjaan Rumah/PR besar yang tidak bisa diselesaikan oleh satu sektor saja. Setiap sektor perlu saling mendukung dan berperan dalam pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) untuk menyukseskan implementasi aksi PRK di Jawa Barat (AR).

Kegiatan Workshop Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Bandung, Jawa Barat
WhatsApp Image 2022-03-07 at 10.38.44

Mengenal fesyen sirkular, siklus yang mengubah dinamika dunia mode

Jakarta (ANTARA) – Fesyen yang terus berputar mempengaruhi konsumen untuk membeli produk-produk baru agar mereka terlihat mengikuti tren, tidak ketinggalan zaman, dan memiliki gaya tersendiri.

Padahal, Yves Saint Laurent, legenda fesyen dunia, pernah berkata: fashion fades, style is eternal. Artinya, gaya adalah sesuatu yang kita bawa di dalam diri kita, bukan sekadar memakai pakaian keluaran terkini.

Prinsip Yves Saint Laurent dapat dikatakan sejalan dengan konsep fesyen sirkular atau circular fashion yang mendorong masyarakat untuk lebih berkesadaran dalam mengonsumsi produk-produk fesyen.

Dengan lebih memperhatikan fungsi, mengutamakan kualitas, dan memilih desain yang mudah dipadupadankan, kita bisa berkreasi dalam gaya pakaian yang lebih universal dan abadi. Secara tidak langsung, kita telah berkontribusi untuk mengurangi sampah dan limbah tekstil.

Secara sederhana, fesyen sirkular (circular fashion) didefinisikan sebagai produk mode yang dirancang, bersumber, diproduksi, dan dilengkapi dengan tujuan memperpanjang manfaat dari sebuah rantai produksi dan konsumsi sehingga bisa menggunakan sumber daya dengan lebih efisien (resource efficiency).

Lebih jauh lagi, fesyen sirkular memastikan daya guna sebuah garmen tetap berputar, mulai dari rancangan pakaian, berapa lama daya pakainya, pemilihan bahan pakaian yang berkelanjutan, sampai proses produksi yang mendukung kesejahteraan pekerja. Dengan kata lain, penerapan fesyen sirkular mampu meminimalkan limbah dan polusi dari industri tekstil.

Selama dua tahun terakhir, pandemi COVID-19 telah menjadi titik balik industri fesyen nasional. Pandemi menghambat proses produksi dan supply chain ritel sehingga industri fesyen tidak hanya mengalami perubahan drastis dalam kebiasaan berbelanja, tetapi juga menyesuaikan desain pakaian yang lebih mengedepankan fungsi serta keberlanjutan agar tetap bertahan di masa pandemi.

Pada saat yang sama, konsumen juga mulai aktif menyuarakan kepedulian mereka atas dampak industri fesyen terhadap lingkungan. Mau tidak mau, para pelaku industri fesyen beradaptasi dan berupaya menerapkan fesyen sirkular secara bertahap.

Limbah tekstil di balik fast fashion

Fesyen cepat (fast fashion) merupakan metode desain, pembuatan, dan pemasaran yang fokus pada pakaian yang diproduksi secara massal.

Istilah itu digunakan oleh industri tekstil yang memiliki model bisnis dengan meniru dan memperbanyak desain fesyen kelas atas sehingga menimbulkan berbagai masalah, seperti sumber daya yang menipis, sampai penumpukan limbah berbahaya.

Penumpukan limbah tekstil yang diakibatkan oleh rendahnya kualitas material menjadikan industri ini sebagai polutan kedua terbesar di dunia. Bahkan produsen fesyen cepat kini tidak hanya merilis tren fesyen untuk dua musim dalam setahun, tetapi juga merilis hingga 52 koleksi mikro per tahun.

Dengan adanya pembaruan micro collection, konsumen akan lebih sering membeli pakaian agar tetap mengikuti tren. Padahal, tiap helai pakaian hanya digunakan rata-rata tujuh kali sebelum akhirnya tak lagi dikeluarkan dari lemari pakaian.

Di Amerika Serikat, setiap orang rata-rata menyumbang limbah tekstil hingga 35 kg per tahun. Indonesia sendiri menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga, yang mana menurut data dari SIPSN KLHK per tahun 2021, kontribusi limbah rumah tangga terhadap komposisi sampah keseluruhan mencapai 42,12 persen. Namun dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang .

Selain menimbulkan limbah, tingginya produksi pakaian dalam waktu singkat juga berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan.

Pengolahan dan pewarnaan tekstil mencemari 20 persen air di kawasan industri, di mana limbah pada air mengandung bahan-bahan berbahaya seperti merkuri dan arsenik, tetapi juga limbah rumah tangga lainnya seperti sampah organik dari sisa-sisa makanan, sampah anorganik seperti plastik dan kaleng, serta bahan kimia dari deterjen dan batu baterai yang membahayakan kehidupan makhluk hidup dalam air maupun masyarakat yang tinggal di sekitar aliran air.

Berpacu dalam laju slow fashion yang berkelanjutan

Sadar akan dampak negatif fesyen cepat yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup, kini semakin banyak pihak yang tergerak untuk memperlambat laju limbah tekstil melalui fesyen lambat (slow fashion) yang mengutamakan pemilihan bahan dan proses produksi yang ramah lingkungan, dan menggunakan material berkualitas tinggi.

Hal-hal sederhana itu mampu memperpanjang usia pakai pakaian. Konsep fesyen lambat akan membuat industri fesyen berjalan selaras dengan konsep ekonomi sirkular.

“Ekonomi sirkular merupakan kerangka ekonomi yang berupaya untuk memperpanjang siklus hidup dari suatu produk, bahan baku dan sumber daya yang ada, sehingga bisa dipakai selama mungkin,” jelas Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto, dikutip Kamis.

Dalam studi yang dilakukan Bappenas dijelaskan bahwa ekonomi sirkular lebih dari sekadar pengelolaan limbah melalui daur ulang, tetapi juga meliputi pengelolaan sumber daya alam yang mencakup keseluruhan proses produksi, distribusi, dan konsumsi dari hulu hingga ke hilir rantai pasok.

Apabila ekonomi sirkular dapat diterapkan dalam industri tekstil yang berkaitan erat dengan fesyen di Indonesia, limbah tekstil akan berkurang sebanyak 14 persen dan meningkatkan daur ulang limbah tekstil sebanyak 8 persen.

Sebagai salah satu upaya mengurangi dampak negatif dari produksi tekstil, hasil penelitian McKinsey menunjukkan bahwa pakaian yang digunakan dua kali lipat lebih lama akan mengurangi 44 persen emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri tekstil.

Hal itu diikuti para produsen fesyen yang mulai mengambil langkah dalam melanggengkan penggunaan pakaian sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.

Brand SukkhaCitta, misalnya, berkomitmen untuk menerapkan konsep farm-to-closet, yaitu sistem rantai pasokan yang melibatkan pengolahan bahan baku dari hasil pertanian regeneratif dan penggunaan bahan berkualitas dengan daya pakai yang tinggi.

Dengan begitu, konsumen akan mendapatkan produk fesyen yang berkualitas dan lebih menghargai prosesnya yang dapat mengurangi penebangan pohon, polusi udara, dan penggunaan listrik sebagai penyebab pemanasan global.

Kini, siklus daur ulang pengelolaan sampah yang awalnya dikenal dengan 3R (reducereuserecycle), dalam ekonomi Sirkular telah diuraikan lebih jauh menjadi 9R, yaitu RefuseRethinkReduceReuseRepairRefurbishRemanufactureRepurposeRecycleRecovery, yang penerapannya dicontohkan sebagai berikut:

Refuse: Memaksimalkan padu padan setiap helai pakaian yang ada di lemari tanpa membeli pakaian baru. Konsep ini dikenal dengan istilah capsule wardrobe.

Rethink: Menyewakan pakaian yang masih sangat layak atau jarang digunakan, misalnya baju pengantin, gaun pesta, setelan tuksedo, dan sebagainya. Situs www.styletheory.co misalnya, menghadirkan layanan berlangganan sewa berbagai jenis pakaian untuk memperpanjang daya guna pakaian.

Reduce: Memilih produk fesyen dengan bahan alami untuk mengurangi kandungan bahan kimia berbahaya pada limbah tekstil yang dihasilkan dalam proses produksi.

Reuse: Memilih barang-barang secondhand dengan thrifting.

Repair: Memperbaiki kondisi pakaian yang kita miliki, misal memasang kembali kancing yang lepas, mengganti resleting yang rusak, atau memperbaiki jahitan yang terlepas.

Refurbished: Memanfaatkan pakaian-pakaian yang sudah usang atau kotor dengan menambahkan bordir atau sulaman untuk menutupi noda yang tidak bisa hilang dan menisik celana jeans yang sobek.

Remanufacture: Memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari suatu pakaian yang masih layak dan memadukannya dengan pakaian lain untuk mendapatkan gaya yang benar-benar baru, misalnya kerah baju tartan dijahitkan pada bagian leher kaos putih polos.

Repurpose: Mengubah fungsi suatu pakaian, misalnya mengubah celana jeans menjadi rok, membuat selimut patchwork dari potongan-potongan pakaian, dan membuat boneka-boneka kecil dari kaos kaki.

Recycle: Memilah pakaian secara berkala kemudian pakaian yang sudah dipilah didonasikan ke recycle box

Recovery: Memulihkan energi dari limbah dan material pakaian yang tersisa menggunakan berbagai macam teknologi waste-to-energy

“Penerapan 9R dalam industri tekstil dan penggunaan produk tekstil merupakan sebuah siklus kebiasaan untuk tampil gaya yang sejalan dengan tanggung jawab kita untuk merawat bumi, atau dapat kita istilahkan dengan fesyen Sirkular,” kata Vanessa Letizia, Direktur Eksekutif Greeneration Foundation, yang berpartner dengan Kementerian PPN/BAPPENAS dan Pemerintah Kerajaan Denmark untuk mengkomunikasikan ekonomi Sirkular kepada masyarakat Indonesia.

“Konsumen akan menyadari bahwa tampilan produk yang sepintas terlihat tidak mengikuti tren, ternyata memiliki daya guna dan nilai lingkungan yang istimewa sehingga mendukung fesyen Sirkular,” kata Vanessa.

“Dengan melihat kedua faktor tersebut, konsumen juga harus semakin jeli meneliti produk yang dibelinya, terbiasa mengkritik produsen yang belum mendukung lingkungan, berusaha sebisa mungkin memperpanjang daya guna tekstil, dan bahkan memahami kandungan bahan baku tekstil yang tidak berbahaya untuk menghindari pencemaran oleh limbah tekstil,” jelas Vanessa.

Geliat fesyen sirkular dalam melanggengkan ekonomi

Inisiatif produsen dan masukan dari konsumen terkait produk fesyen dapat mendorong industri tekstil untuk menjadi lebih baik, terutama komitmen dalam memilih bahan-bahan yang ramah lingkungan dan bisa diperbarui.

Selain itu, diharapkan produsen dapat menetapkan rancangan yang lebih tahan lama dan memperhatikan efisiensi sumber daya sehingga dapat memastikan produk tersebut dapat digunakan kembali untuk tahapan siklus selanjutnya. Dorongan bagi produsen ini lambat laun akan menciptakan ekosistem ekonomi sirkular yang mendukung penerapan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Indonesia.

Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam upaya penanggulangan permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan melalui ekonomi sirkular dan pembangunan rendah karbon (PRK).

Komitmen itu merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) serta pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). PRK merupakan program prioritas pembangunan yang strategi penerapannya berkaitan erat dengan ekonomi sirkular, yaitu pembangunan energi berkelanjutan, penanganan limbah, dan pengembangan industri hijau.

Penerapan ekonomi sirkular sendiri menaungi lima sektor prioritas, yaitu makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, grosir dan perdagangan eceran/retail (terfokus pada kemasan plastik), serta peralatan listrik dan elektronik. Ekonomi sirkular akan mendorong pembangunan ekonomi dan pola industri yang lebih berkelanjutan.

Langkah-langkah ekonomi sirkular yang diterapkan pada industri tekstil bukanlah sekadar manajemen pengelolaan limbah, melainkan manajemen pengelolaan sumber daya.

Produksi tidak lagi mengambil bahan mentah dari alam, tetapi mendaur ulang materi yang sudah pernah diolah sehingga apabila diakumulasikan, akan terjadi penghematan modal dan sumber daya. Penerapan ekonomi sirkular pada produk fesyen sebagai bagian dari sektor tekstil bersama dengan penerapan pada 4 sektor prioritas lainnya berpotensi menghasilkan produk domestik bruto sebesar Rp 593 – 638 triliun pada tahun 2030.

Lebih jauh lagi, penerapan ekonomi sirkular dalam industri tekstil berpotensi meningkatkan pemberdayaan perempuan secara signifikan, mengingat sekitar 58% perempuan di Indonesia terlibat dalam industri ini.

Oleh karena itu, industri fesyen harus terus berkomitmen untuk menghadirkan produk-produk yang tidak hanya memperkaya penampilan, tapi juga merombak tampilan bumi menjadi lebih layak huni. Selain itu, konsumen juga diharapkan agar semakin konsisten memilih produk-produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga seluruh pihak yang terlibat bisa mendukung pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan.

Puluhan rumah yang berdiri di dinding tanah yang tergerus longsor masih berdiri di tepi Kali Pesanggrahan, tepatnya di Jalan Usman Bontong RT 003 RW 002, Pasir Putih, Sawangan, Depok, Senin, 6 Desember 2021. Bencana longsor secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi perubahan iklim. TEMPO/Subekti.

Bappenas Prediksi Kerugian Akibat Perubahan Iklim Rp 544 T, Begini Rinciannya

TEMPO.COJakarta -Hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun.

Hasil kajian dari Kementerian PPN/Bappenas yang dimaksud berfokus pada potensi kerugian ekonomi di Indonesia sebagai dampak dari perubahan iklim.

Hasilnya menunjukkan Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim, jika intervensi kebijakan tidak dilakukan atau business as usual.

“Potensi kerugiannya sudah dihitung sampai 2024, dan diperkirakan kerugian ekonomi akibat berbagai [yang dipicu oleh] perubahan iklim cukup besar. Ini yang harus kita antisipasi bagaimana kita mengurangi potensi kerugian,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam pada webinar, Kamis, 6 Januari 2022.

Secara rinci, empat sektor prioritas diperkirakan bisa mengalami kerugian yang cukup signifikan. Pertama, dampak terhadap pesisir dan laut yang diperkirakan memiliki tingkat kerugian di sisi ekonomi paling tinggi. Misalnya, kecelakaan kapal dan genangan pantai. Bappenas memperkirakan kerugian akibat dampak perubahan iklim pada sektor ini mencapai Rp 408 triliun.

Kedua, sektor pertanian. Contoh kerugian ekonomi yang bisa ditimbulkan akibat perubahan iklim adalah penurunan produksi beras. Total kerugian diperkirakan sebesar Rp 78 triliun.

Ketiga, sektor kesehatan, dimana contoh kerugian yang diperkirakan oleh Bappenas yaitu peningkatan kasus demam berdarah dengan total kerugian di sisi ekonomi mencapai Rp 31 triliun.

Keempat, sektor perairan. Bappenas memperkirakan dampak perubahan iklim bisa memicu penurunan ketersediaan air hingga mencapai Rp 28 triliun.

Medrilzam menyampaikan bahwa Indonesia saat ini sudah menghadapi ancaman bencana akibat perubahan iklim. Dalam paparannya, dia menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir bencana yang kerap terjadi didominasi oleh bencana hirometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat bahwa bencana hidrometeorologi pada 2020, tahun pertama pandemi Covid-19, mencapai 4.842 kejadian, atau meningkat 2,4 kali dibandingkan dengan 2010.

Selain itu, selama periode 2010-2020, rata-rata kerugian ekonomi yang dialami oleh Indonesia akibat bencana hidrometeorologi setiap tahunnya yaitu sebesar Rp 22,8 triliun.

“Catatan dari BNPB, tahun 2020 hampir 99 persen bencana yang terjadi di Indonesia adalah yang terkait dengan hidrometeorologi yang relatif mendominasi. Tentunya, ini sangat terkait dengan perubahan iklim,” terang Medrilzam.

screenshot-majalah.tempo.co-2021.12.20-12_02_20

SELAMATKAN BUMI MELALUI CIRCULAR EKONOMI

Penggunaan sumber daya alam akan berkurang dan bisa menyelamatkan bumi dengan mengurangi emisi.

Tempo, Indonesia saat ini tengah menuju penerapan ekonomi sirkular. Pada Februari 2020, pemeritah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas bekerjasama dengan UNDP yang didukung Pemerintah Denmark meluncurkan gagasan baru pengembangan Ekonomi Sirkular di Indonesia.

Melalui inisiatif ini, Indonesia akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengadopsi strategi nasional tentang ekonomi sirkular. Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam, mengatakan, ekonomi sirkular adalah upaya untuk memperpanjang umur siklus dari sebuah produk.

“Kita ingin agar terjadi semacam efisiensi didalam menggunakan sumber daya alam yang selama ini kita terus mengeksploitasi sumber daya alam untuk menghasilkan berbagai produk dan diupayakan kedepan sircular economy ini kita coba perpanjang umur siklus produknya,” kata Medrilzam dalam diskusi road to Tempo Circular Economy Awards, dengan judul “Praktik Circular Economy Industri di Indonesia”, yang disiarkan melalui YouTube Tempodotco, Jumat, 17 Desember 2021.

Dengan begitu, Medrilzam melanjutkan, penggunaan atau ekstrasi sumber daya alam berkurang. “Jadi kita bisa menyelamatkan bumi kita, mengurangi emisi dan sebagainya”.

Sebab, selain dengan memperpanjang umur siklus sebuah produk, juga mengurangi timbulan sampah atau limbah yang dihasilkan dari berbagai produk. “Jadi hasil dari produk-produk yang sudah tidak dipakai itu dibuang menjadi limbah bagi bumi kita, nah dengan praktek circular economy yang coba kita mulai terapkan ini tidak hanya di industri, tapi juga berbagai kegiatan-kegiatan lain,” ujarnya.

Harapannya, menurut Medrilzam, ada efisiensi dari sumber daya alam dengan mengurangi ekstraksi dan juga mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan selama ini. “Itu dua target besar, bila mana kita ingin mendorong praktek circular ekonomy ini”.

Dalam penerapan ekonomi sirkular di Tanah Air, Bappenas menetapkan 5 sektor industri prioritas yang nantinya akan menerapkan alternatif dari ekonomi linier tradisional (buat, gunakan, buang). Medrilzam menjelaskan lima sektor prioritas tersebut terdiri dari sektor makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, elektronik, dan perdagangan grosir atau eceran yang menggunakan kemasan plastik.

“Jadi lima sektor ini penggerak ekonomi kita, bahkan tenaga kerja yang bergerak di lima sektor ini besar sekali hampir 43 juta orang dan potensi dari kelima sektor ini untuk melakukan circular economy juga besar ternyata,” kata dia.

Penerapan ekonomi sirkular pada lima sektor industri di atas berpotensi menghasilkan tambahan PDB pada kisaran Rp 593642 triliun. Selain itu juga dapat menciptakan sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru hingga tahun 2030 dan penurunan emisi karbon dioksida atau CO2 hingga 126 juta ton.

“Karena itu, kita coba mendorong circular economy ini kita dorong betul, selain itu juga kita ingin perluas lagi lapangan kerjanya. Ini juga merespon sebagaimana kita melakukan sebuah transformasi ekonomi yang di tulang punggung oleh Green economy,” kata Medrilzam. “

Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo, Lucia Karina, mengatakan ekonomi sirkular itu adalah sistem yang melakukan pendekatan ekonomi dengan memaksimalkan kegunaan dan nilai bahan mentah tersebut. Sehingga komponenndan produk yang dipakai itu tidak akan menjadi limbah, tapi bisa dimanfaatkan untuk industri kelanjutannya.

“Kalau kita lihat apa yang dihadapi industri saat ini, selain keuntungan ada kendala yang dihadapi juga lumayan banyak untuk memulai ekonomi sirkular di Indonesia,” kata

Menurut Lucia, ada kendala di infrastruktur persampahan. “Kalau kita bicara konsumen produk, dari hulu sampah tersebut ada di rumah tangga. Infrastruktur pemilahan sampah dari rumah tangga, hanya satu kota yang ada yakni di Surabaya, tapi yg lainnya belum ada,” ujarnya.

Adapun, kendala kedua yakni adanya tumpang tindih dari regulasi yang ada. “Kalau kita ingin memenangkan pertarungan di circular economy itu adalah suatu kolaborasi yang betul-betul strategis, yang saling satu level antara semua pemangku kepentingan. Itu sebetulnya kuncinya,” kata Lucia.

Sebab, Lucia melanjutkan, kalau hanya diberikan pada satu pihak bahwa ini adalah tanggung jawab industri, ini akan terjadi ketimpangan. “Ini yang menurut saya menjadi PR bersama, ayo kita duduk bersama untuk mendorong ekonomi sirkular ini bisa jalan,” ujarnya,

Menurutnya, karena sirkular ekonomi ini akan membawa keuntungan luar biasa pada tiga sektor, yakni perekonomian, lingkungan, dan green jobs. “Kami dari Apindo menyambut baik adanya upaya untuk mendorong circular economy. Karena itu, sirkulasi ekonomi harus kita lakukan mulai sekarang, tanpa ada lagi level-levelan, level pemerintah, industri, swadaya masyarakat, dan lain sebagainya,” kata dia.

Adapun, Senior Brand Manager & Sustainability Champion P&G Indonesia, Ariandes Veddytarro, mengatakan, praktik sirkular ekonomi ini sangat penting untuk dipraktikan oleh pelaku industri, karena ini memberikan dampak positif. Pertama, efisiensi perusahaan.

Kemudian yang kedua, yakni meningkatkan persepsi di masyarakat terhadap perusahaan. Ketiga, yaini kepada lingkungan. “Kita tahu bawasannya dampak dari circular economy ini akan memberikan dampak positif, bumi kita ini adalah satu tempat yang kita tinggali, karena itu ini adalah bentuk tanggungjawab kita untuk menjagga melalui usaha di bidangnya kita masing,” kata dia.

Karena itu, Ariandes melanjutkan, ini menjadi hal yang perlu menjadi pertimbangan pelaku industri untuk menerapkan praktik circular economy dalam bisnisnya. “Di P&G praktik circular economy ini sudah dilakukan dengan memadukan prinsip Sustainability, yang kita terapkan dalam kegiatan operasional perusahaan kami dari hulu ke hilir,” ujarnya.

Director WRI Indonesia Nirarta Samadhi, mengatakan, konsep circular economy ini memang harus diadopsi sesegera mungkin. “Tapi perlu diperkuat dari sisi implementasinya, kita percuma punya rencana bagus tapi kalau tidak bisa dilaksanakan,” kata Nirarta.

Karena itu, untuk melaksanakan hal tersebut harus kolaborasi. Sebab, masing-masing pihak memiliki kelebihan dan potensi yang berbeda-beda, serta saling melengkapi. “Yang harus ditinggalkan adalah egoisme pribadi, karena kita tinggal di bumi yang sama mau siapapun asal kita dan apapun visi kita, kita harus peduli terhadap bumi kita tinggal dan harus bekerja bersama untuk menuju tujuan bersama yaitu melindungi bumi untuk anak cucu kita kedepan,” ujarnya.

BAPPENAS KAMPANYEKAN PEMBANGUNAN BERKETAHANAN IKLIM (PBI)

JAKARTA Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas kembali meluncurkan dokumen kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) berbahasa Inggris sebagai pedoman penanganan perubahan iklim di Indonesia dan sebagai referensi untuk negara-negara lain di dunia.  Diharapkan publik internasional dapat memahami proses penerapan PBI di Indonesia maupun global.

Implementasi Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan PBI berkontribusi dari tingkat desa ke tingkat global. Dampak perubahan iklim sangat spesifik lokal, sehingga upaya penanganan perubahan iklim harus mampu mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptif masyarakat. PBI secara paralel juga berkontribusi pada pencapaian target-target yang telah ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan (Goal) 13, yaitu Penanganan Perubahan Iklim (Climate Action). Di sisi lain, upaya penanganan perubahan iklim berkontribusi pada pencapaian target global yaitu Paris Agreement dan Sendai Framework.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto dalam paparannya menyampaikan: “Ketahanan iklim nasional adalah salah satu hal terpenting yang terus diupayakan oleh Pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim global yang dampaknya sangat mempengaruhi kehidupan, khususnya pada empat sektor prioritas: kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan – karena kontribusinya yang sangat besar terhadap pendapatan sektor PDB.”

Sementara itu, Kepala Badan Meterologi, Geofisika dan Klimatologi (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa 99% bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi terutama akibat curah hujan yang ekstrem dan lebat. Akibatnya banyak terjadi banjir, puting beliung, dan tanah longsor.

Menteri Bappenas periode 2016 – 2019, Bambang Brodjonegoro menggarisbawahi mengenai  sisa makanan (food waste) yang dapat menimbulkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang sangat serius.

“Sisa makanan kira-kira membentuk 50% timbulan sampah. Jika terurai di landfill bisa menghasilkan gas metana dan menimbulkan emisi GRK,” tegas Bambang dalam paparannya.

Ketahanan iklim menjadi sangat penting karena Indonesia terletak pada garis ekuator dan diapit dua samudera sehingga  tercipta pola iklim dinamis, baik  yang berlangsung cepat (rapid onset) maupun dalam waktu yang relatif panjang (slow onset). Selain kerugian fisik dan material, masyarakat juga berpeluang kehilangan mata pencaharian sebagai dampak negatif dari pola iklim tersebut.

Berdasarkan kajian Bappenas 2019, kerugian ekonomi total untuk empat sektor prioritas ketahanan iklim dalam RPJMN 2020-2024 diperkirakan sebesar Rp 544 triliun, dengan peningkatan 12,8% dari 2020 ke 2024.  Nilai ini belum mempertimbangkan konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah sebagai variabel antara yang menghubungkan antara perubahan iklim dengan kondisi makro ekonomi di level nasional maupun provinsi.

Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2020, Pembangunan Berketahanan Iklim telah menjadi salah satu prioritas nasional (PN) ke 6 (enam) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.

Serial buku PBI ditujukan sebagai rujukan bagi para pihak dalam melaksanakan Prioritas Nasional (PN) ke-6  RPJMN 2020-2024 dan kerangka perencanaan pembangunan nasional berikutnya, yaitu dalam (i) Menyusun perencanaan program dan kegiatan ketahanan iklim; (ii) Panduan pembagian kewenangan bagi Kementerian dan Lembaga (K/L) untuk menghindari duplikasi terkait upaya ketahanan iklim pada sektor prioritas; (iii) Referensi bagi pelaksanaan fungsi monitoring dan evaluasi K/L dalam menilai kontribusi capaian ketahanan iklim terhadap target yang telah ditetapkan dalam RPJMN dan (iv) Panduan penandaan kegiatan ketahanan iklim pada sistem perencanaan, penganggaran dan informasi kinerja (KRISNA).

Dokumen PBI berbahasa Inggris yang diluncurkan oleh Bappenas terdiri dari 6 (enam) serial buku: (i) List of Priority Locations & Climate Resilience Actions; (ii) Institutional Arrangement for Climate Resilience; (iii) The Roles of Non-state Actors in Climate Resilience; (iv) Climate Resilience Funding; (v) Monitoring, Evaluation,& Reporting of Climate Resilience Actions in The Framework of National Development Planning; dan (vi) Summary Executive of Climate Resilience Development Policy.

Untuk proses pemantauan aksi PBI secara nasional, Bappenas mengembangkan sebuah platform/aplikasi berbasis online yaitu AKSARA Pembangunan Berketahanan Iklim. Aplikasi berbasis web ini merupakan sebuah alat bantu bagi pelaku aksi PBI, khususnya untuk Kementerian/Lembaga. AKSARA akan membantu proses perekaman aksi dan perhitungan nilai pengurangan kerugian ekonomi secara otomatis berdasarkan metodologi yang telah disepakati. Dari hasil pelaporan Tahun 2020 pada aplikasi AKSARA, aksi PBI di Indonesia mampu mengurangi kerugian ekonomi sebesar 33,96 triliun rupiah dari target 52,91 triliun rupiah atau sebesar 64,18%. Capaian pengurangan potensi kerugian tersebut merupakan total pencapaian dari empat (4) sektor PBI yaitu Kelautan dan Pesisir sebesar Rp 18,31T, Sektor Air sebesar Rp 0,75T, Sektor Pertanian sebesar Rp 8,38T, dan Sektor Kesehatan sebesar Rp 0,39T. Ke depan, aplikasi ini akan terus dikembangkan dengan sistem dynamic tagging dan diharapkan dapat akan bisa menjadi trend setter dan merekam seluruh aksi PBI hingga level Provinsi, Kabupaten, dan Kota di seluruh Indonesia.

#Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang diluncurkan Kementerian PPN/ Bappenas diharapkan mampu menjadi pedoman pembangunan ketahanan iklim nasional.

#Aksi Ketahanan Iklim adalah tindakan antisipasi  terencana maupun spontan untuk mengurangi nilai potensi kerugian akibat ancaman bahaya, kerentanan, dampak, dan risiko perubahan iklim pada kehidupan masyarakat di wilayah terdampak perubahan iklim.