Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah mencanangkan pembangunan rendah karbon dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024.
Namun, untuk menguatkan komitmen terhadap rencana pembangunan tersebut, masih terdapat gap pendanaan yang cukup besar.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Medrilzam mengatakan bahwa kebutuhan pendanaan pembangunan rendah karbon mencapai sekitar Rp306 triliun.
Menurut kajian Bappenas, dari total tersebut sebesar 24 persen atau Rp72,22 triliun merupakan proporsi pendanaan oleh pemerintah dan 76 persen atau Rp232,56 triliun merupakan proporsi dana dari dunia usaha.
“Sekitar 2018—2020, alokasi pemerintah sebenarnya masih di level Rp35 triliun untuk alokasi yang disediakan pemerintah. Ini mudah-mudahan masih ada ruang fiskal yang dialokasikan ke depan untuk penuhi target pendanaan Rp72 triliun,” ujarnya dalam webinar Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Dalam Rangka Pemulihan Covid-19 Dengan Pembangunan Rendah Karbon, Senin (14/12/2020).
Dia mengakui bahwa saat ini implementasi pembangunan rendah karbon masih tersendat.
Bappenas kini mulai menyusun roadmap implementasi pengembangan pendanaan pembangunan rendah karbon dalam bentuk stimulus untuk green recovery. Stimulus ini diharapkan bisa dialokasikan pada 2022 sehingga dapat mendorong program-program terkait pembangunan rendah karbon lebih kuat.
“Mudah-mudahan setelah Covid-19, pada 2022 kami bisa beri dorongan lebih kuat lagi dan juga kami harus dorong porsinya temen-temen di dunia usaha untuk lebih kuat lagi mendukung upaya menuju ekonomi hijau,” katanya.
Medrilzam menambahkan bahwa terdapat cukup banyak potensi yang bisa didorong untuk pembangunan rendah karbon salah satunya terkait sektor energi baru terbarukan (EBT).
Beberapa kebijakan stimulus yang bisa didorong di sektor EBT antara lain, pembiayaan pemerintah untuk perbaikan mutu dokumen pengembangan proyek EBT, penjaminan pinjaman untuk pengembangan EBT, dan dana bergulir untuk pemasangan PLTS atap.
Dia menuturkan bahwa pemerintah dapat menyediakan dana untuk pemasangan PLTS atap kepada konsumen PLN di daerah dengan biaya pokok penyediaan tinggi.
Selain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, implementasi pembangunan rendah karbon melalui EBT juga dinilai mampu menciptakan potensi lapangan kerja yang cukup besar. Contohnya, pemasangan solar home system (SHS) di Bangladesh mampu menciptakan 15.000 lapangan pekerjaan di bidang penjualan, pemasangan, dan perbaikan SHS.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Implementasi Pembangunan Rendah Karbon Butuh Dana Fantastis“