Underwater view of a group of seabed with green seagrass.

Pengelolaan Ekosistem Lamun Sebagai Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim

Pengelolaan Ekosistem Lamun Sebagai Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim

Pendahuluan

Ekosistem lamun adalah suatu tipe ekosistem laut yang didominasi oleh tanaman lamun. Lamun merupakan tanaman laut berbunga yang tumbuh di perairan dangkal di sepanjang pantai, terutama di daerah pasang surut. Lamun dapat beradaptasi dengan lingkungan laut yang memiliki salinitas tinggi. Lamun memiliki akar, rimpang, daun, bunga, dan buah seperti tumbuhan darat, tetapi dapat hidup terbenam di dalam air. Lamun tumbuh berkerumunan dan membentuk padang lamun, yang merupakan habitat, makanan, dan perlindungan bagi berbagai makhluk laut, seperti ikan, udang, kepiting, kerang, penyu, dugong, dan lain-lain. 

Gambar 1. Ekosistem lamun sebagai nursery ground biota laut

Keberadaan ekosistem lamun memiliki manfaat ekologis dan ekonomis di wilayah pesisir. Fungsi ekologis, seperti sebagai produsen primer, siklus karbon dan nitrogen, stabilisasi sedimen, dan habitat biota. Sebagai produsen primer, lamun dapat menghasilkan oksigen dan bahan organik melalui fotosintesis. Sebagai siklus karbon dan nitrogen, lamun dapat menyerap karbon dioksida dan nitrogen dari air dan mengubahnya menjadi senyawa organik. Sebagai stabilisasi sedimen, lamun dapat menahan sedimen dengan akar dan rimpangnya, serta mengurangi kecepatan arus dan gelombang dengan daunnya.

 

Secara ekonomi keberadaan ekosistem lamun memiliki manfaat dalam mendukung produktivitas dan keanekaragaman ikan dan biota laut lainnya Rp20.579.103/ha/tahun (Dirhamsyah, 2007). Lamun Beberapa spesies lamun juga dapat dimakan seperti Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan Halodule uninervis yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan antioksidan yang baik untuk kesehatan. Lamun dapat digunakan sebagai bahan baku industri pangan, seperti pembuatan agar-agar, nata de coco, dan bioetanol. Dikarenakan lamun memiliki serat yang kuat sehingga digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas dan dijadikan sebagai alternatif pupuk organik. Kajian yang dilakukan (Wahyudin et al., 2016) diestimasikan total nilai minimal ekonomi jasa ekosistem lamun bagi kesejahteraan masyarakat sekitar 121,75 juta/ha/tahun. Tulisan ini membahas terkait dengan peran dan pengelolaan ekosistem lamun sebagai salah satu upaya adaptasi perubahan iklim di kawasan pesisir.

Ekosistem Lamun Terhadap Ketahanan Iklim

Ekosistem lamun dapat berfungsi sebagai penyerap karbon (carbon sink) atau blue carbon, yaitu kemampuan untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida dari atmosfer ke laut melalui proses fotosintesis. CO2 yang diserap lamun sebagian digunakan sebagai energi dan sebagian lainnya disimpan dalam jaringan tubuhnya dalam bentuk biomassa, baik bagian atas (daun, bunga, buah) maupun bagian bawah (akar, rimpang). Biomassa lamun tersebut dapat bertahan lama di dalam sedimen laut dan tidak kembali ke atmosfer. Ekosistem lamun sangat efektif menyerap CO2 dengan serapan sebesar 1.867 ton/km2 (48%) relatif lebih tinggi dibandingkan mangrove sebesar 806 ton/km 2 (21%) dan karang sebesar 1.197 ton/km 2 (31%) (Simamora, 2010).

 

Kemampuan lain pada ekosistem lamun adalah sebagai penstabil sedimen dan penahan gelombang, yaitu kemampuan untuk menahan erosi dan abrasi pantai akibat perubahan iklim. Akar dan rimpang lamun dapat menancap kuat di dasar laut dan menahan sedimen agar tidak terbawa arus dan gelombang. Daun lamun dapat mengurangi kecepatan arus dan gelombang yang menghantam pantai. Ekosistem lamun dapat mengurangi tinggi gelombang hingga 36% dan energi gelombang hingga 70%. Lamun juga dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan, yaitu masuknya air laut ke sumber air tawar akibat kenaikan permukaan air laut (Rahman et al.,2018)

 

Selain itu kemampuan ekosistem lamun dalam menstabilkan subtract dasar yang lunak dan memperlambat arus sepanjang pantai (longshore current) sangat bermanfaat sebagai upaya degradasi pesisir pantai. Dengan demikian, ekosistem lamun dapat melindungi garis pantai dari kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, abrasi, gelombang tinggi maupun tsunami.

Ekosistem Lamun di Indonesia

Perairan Indonesia memiliki kekayaan keragaman lamun yang besar. Dari 60 spesies lamun yang ada di  dunia yang terbagi dalam 12 marga (genus), 15 spesies dari 7 genus di antara ditemukan di Indonesia. Secara luasan 5%-10% ekosistem lamun dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan hasil kajian Pusat Riset Oseanografi-BRIN (PRO-BRIN), luas padang lamun Indonesia yang diteliti baru sekitar 16%- 35% dari potensi sesungguhnya.

 

Spesies yang paling luas sebarannya di pantai Indonesia seperti Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Cymodocea serrulata. Perairan di Indonesia menjadi rumah nyaman untuk bertumbuhnya lamun terutama di pesisir timur dan barat Pulau Sumatra. Seperti di kawasan Pantai Tanjung Kelayang, Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung. Kawasan sekitar Batam dan Bintan, Nias, dan sebagian Lampung juga menjadi favorit bertumbuhnya ekosistem lamun.

Gambar 2. Sebaran Distribusi Ekosistem Lamun (KKP, 2021)

Luasan ekosistem lamun di seluruh perairan Indonesia yang sudah diverifikasi oleh Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI yaitu 293.464 ha dengan perincian luas lamun di perairan timur 284.660 ha dan barat 8.804 ha. Dari seluruh luasan padang lamun yang sudah tervalidasi, tercatat hanya 15,35 persen yang kondisinya masuk kategori bagus atau sehat. Sedangkan seluas 53,8 persen lainnya dinyatakan kurang sehat, dan sisanya sekitar 30,77 persen dinyatakan miskin. Mengacu pada standar Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Jika merujuk pada pedoman tersebut padang lamun yang masuk kategori sehat harus memiliki tutupan minimal 60 persen. Sementara itu, untuk kondisi sekarang, tutupan padang lamun di Indonesia rerata mencapai 42,23 persen.

 

Terlepas dari signifikansinya, berbagai ancaman memberi tekanan pada habitat yang berharga ini. Konservasi dan restorasi lamun sangat penting untuk mempertahankan jasa penyerapan karbon, bersama dengan jasa ekosistem lainnya seperti, pengurangan gelombang tinggi, habitat biota laut dan manfaat ekonomi bagi masyarakat di kawasan pesisir.

Praktik Pengelolaan Ekosistem Lamun di Indonesia

 

Indonesia adalah pemilik padang lamun terluas di Asia Tenggara, kedua di dunia setelah Australia. Luasnya kurang lebih 15% dari total padang lamun dunia. Namun demikian permasalahan pengelolaan ekosistem lamun yang paling mendasar adalah masih kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya ekosistem lamun, hal ini karena lamun masih dipandang semata sebagai “rerumputan yang tidak berguna” sehingga degradasi ekosistem lamun baik yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia maupun kondisi perubahan alam menyebabkan penurunan produktivitas sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dikandungnya.

 

Pengelolaan ekosistem lamun yang lebih baik telah mulai dilakukan, pemerintah bertekad untuk menjaga lamun, mangrove dan terumbu karang sebagai ekosistem tiga serangkai benteng pesisir. Upaya tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI). Pemerintah Indonesia juga telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Australia sejak 2017 dalam program Blue Carbon Indonesia – Australia, kerja sama tersebut berupa joint research, capacity development dan transfer technology atau knowledge serta menyampaikan rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang dapat ditindaklanjuti, khususnya mengenai Blue Carbon pada ekosistem Lamun.

Gambar 3. Pengelolaan rehabilitasi lamun di Papua Barat

Terkait contoh praktik pengelolaan ekosistem lamun yang pernah dilakukan di Kepulauan Sangkarang, Sulawesi Selatan, terhadap padang lamun seluas 600 meter persegi yang menelan anggaran USD 100 ribu (Rp1,5 miliar) untuk perencanaan, penanaman, dan pemantauan selama tiga tahun. Program yang dimulai sejak 2016 ini menggunakan metode transplantasi, yakni pengambilan tanaman lamun yang sehat untuk ditanam di lokasi tujuan. Setelah tujuh tahun dilaksanakan, usaha restorasi menuai hasil positif. Padang lamun yang pulih memancing satwa perairan untuk hidup di dalamnya, melindungi pantai dari erosi.

 

Kegiatan ini juga memberikan dampak yang sangat baik terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pesisir sebesar 3 kali lipat berupa tangkapan ikan dan juga memanfaatkan sebagai sumber pupuk organik. Selain itu, restorasi lamun dinilai lebih murah dibandingkan restorasi terumbu karang. Berdasarkan kajian BRIN pemulihan lamun yang mencakup perencanaan, penanaman, sampai pemantauan menurut perhitungan mereka memakan biaya sekitar US$700 ribu (Rp10,8 miliar) untuk tiap hektar. Sedangkan restorasi karang mencapai US$3 juta (Rp45 miliar) per ha. Sehingga lebih menguntungkan dan mudah diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia.

 

Saat ini keberlanjutan pengelolaan ekosistem lamun di Indonesia terus ditindaklanjuti secara lebih masif, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Archipelagic and Island State (AIS) Forum Bulan Oktober 2023 di Bali, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia meluncurkan Profil Aksi Mitigasi Karbon Biru Lamun. Dokumen ini akan menjadi bagian peningkatan target Kontribusi Nasional (NDC) Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dan menjadi peta jalan untuk menentukan langkah menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan tangguh. Pada Profil Aksi Mitigasi Karbon Biru Lamun, akan fokus intervensi regulasi pemanfaatan ruang laut dan melakukan restorasi padang lamun. Hasilnya, diproyeksikan adanya penurunan emisi karbon secara signifikan pada 2030. Kedepannya diperlukan pengelolaan ekosistem lamun yang lebih berkelanjutan sehingga peluang besar pemanfaatan lamun sebagai salah satu solusi mengatasi perubahan iklim.

Strategi Pengelolaan Ekosistem Lamun Berkelanjutan

  1. Pemantauan Ekosistem Lamun:
  • Melakukan pemantauan rutin terhadap ekosistem lamun untuk memahami perubahan yang terjadi.
  • Menggunakan teknologi seperti pemetaan satelit, foto udara, dan survei bawah air untuk memantau perubahan area dan kesehatan lamun.
  1. Perlindungan Hukum dan Zonasi:
  • Mendukung pembentukan undang-undang dan regulasi yang melindungi ekosistem lamun.
  • Mendirikan zona-zona perlindungan di sekitar ekosistem lamun yang melarang aktivitas manusia yang merusak, seperti penggalian pasir, penggunaan jaring trawl, atau pemotongan lamun.
  1. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan:
  • Memastikan pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem lamun.
  • Mengimplementasikan kuota penangkapan ikan dan larangan alat tangkap yang merusak lamun.
  1. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat:
  • Melakukan kampanye edukasi kepada masyarakat lokal tentang pentingnya ekosistem lamun dan dampak negatif aktivitas manusia.
  • Meningkatkan kesadaran akan perlindungan lamun dan peran pentingnya dalam ekosistem pesisir.
  1. Praktik Konservasi:
  • Melakukan upaya rehabilitasi dan restorasi ekosistem lamun yang rusak, seperti dengan menanam bibit lamun atau mengurangi polusi.
  • Mengurangi pemindahan tanah dan penggalian pasir yang dapat merusak lamun.
  1. Pengendalian Pencemaran:
  • Memantau dan mengendalikan sumber pencemaran seperti limbah industri, pertanian, dan pembuangan sampah yang dapat merusak lamun dan perairan laut.
  1. Kajian dan Riset:
  • Melakukan penelitian ilmiah untuk memahami ekologi lamun dan perubahan iklim yang mempengaruhi ekosistem tersebut.
  • Menyusun data ilmiah yang dapat digunakan dalam perencanaan pengelolaan.
  1. Kemitraan dan Kerja Sama:
  • Berkolaborasi dengan pemerintah, LSM, dan sektor swasta untuk pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan.
  • Melibatkan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan strategi pengelolaan.

Pengelolaan ekosistem lamun yang efektif memerlukan kerja sama antara berbagai pihak dan perencanaan jangka panjang yang berkelanjutan untuk menjaga kelestarian ekosistem ini sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim serta dapat meningkatkan ketahanan ekonomi bagi masyarakat di kawasan pesisir.

Penutup

Menilik dari manfaat, keberadaan dan potensi pengembangan ekosistem lamun di pesisir Indonesia, sudah seharusnya pengelolaan ekosistem lamun mendapatkan posisi yang kuat sama halnya dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang menjadi aset tidak hanya dalam mengatasi dampak degradasi kawasan pesisir juga dalam penguatan aspek ekonomi (blue economy) yang telah menjadi piranti kesatuan yang sangat menjanjikan di masa mendatang. Pengembangan ekosistem lamun dalam mengurangi dampak perubahan iklim menjadi salah satu intervensi untuk ancaman bencana di wilayah pesisir. Selain itu optimalisasi peran ekosistem padang lamun perlunya pengelolaan secara berkelanjutan. Upaya yang bisa dilakukan dengan pengembangan inovasi, pemanfaatan dan perlindungan lamun, pelibatan masyarakat, kolaborasi, peningkatan persentase tutupan dan variasi spesies lamun. Harapan kedepan ekosistem lamun dapat memberikan manfaat yang besar dari aspek lingkungan, sosial dan ekonomi khususnya bagi masyarakat pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

 

Dirmansyah (2007) An economic valuation of seagrass ecosystem in East Bintan, Riau Archipelago, Indonesia. Oseanologi dan Limnologi, 33, pp. 257-270

Badan Pusat Statistik, 2020. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir. Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir. BPS Republik Indonesia Press.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka. Utama. Jakarta

Gufron & Kordi, 2011. Ekosistem Padang Lamun, Fungsi Potensi dan Pengelolaan. Rineka Cipta Jakarta

Simamora, S. 2010. Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Alam Terpadu. Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2003

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan. 2018. Arah Kebijakan dan Sasaran Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2019. Masyarakat Pesisir: Adaptasi Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Puslit Oseanografi – LIPI. Jakarta.

 

United States Agency for International Development (USAID), 2016. Indonesia: Coasts of Climate Change 2050. Brief Policy

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

View landscape seascape and fishing boat ship floating

Penataan Pemukiman Nelayan Dalam Upaya Pengurangan Dampak Krisis Iklim

Penataan Pemukiman Nelayan Dalam Upaya Pengurangan Dampak Krisis Iklim

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki julukan sebagai negara maritim. Julukan ini sesuai dengan kenyataan bahwa 70 persen wilayah Indonesia berupa perairan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 22 persen dari total jumlah penduduk Indonesia mendiami wilayah pesisir, hal tersebut menyebakan banyak ditemukan permukiman yang terbentuk tidak baik dan menimbulkan berbagai macam masalah (Jamal, 2019).

Gambar 1. Potret Permukiman Nelayan di Kawasan Pesisir (sumber : detik.com)

Kawasan pemukiman nelayan pada umumnya terletak di dekat atau sepanjang pantai, tepi laut, sungai besar, dan wilayah-wilayah air lainnya. Keadaan pemukiman nelayan di Indonesia memiliki karakteristik yang beragam dan dan kerap kali menimbulkan permasalahan diberbagai aspek, seperti kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, dan budaya. Beberapa permasalahan umum yang dihadapi oleh permukiman pesisir seperti:

  1. Erosi pantai: Permukiman pesisir sering kali mengalami kerusakan akibat erosi pantai yang disebabkan oleh gelombang laut, arus air, dan faktor-faktor lainnya. Erosi dapat mengancam struktur bangunan, infrastruktur, dan lahan pertanian.
  2. Kenaikan permukaan air laut: Perubahan iklim menyebabkan kenaikan permukaan air laut, yang dapat mengakibatkan banjir pesisir yang lebih sering dan lebih parah. Hal ini dapat merusak rumah, mengganggu kehidupan sehari-hari, dan memaksa orang untuk pindah.
  3. Pencemaran laut: Aktivitas manusia, seperti pembuangan limbah industri dan domestik, dapat menyebabkan pencemaran laut di sekitar permukiman pesisir. Hal ini dapat merusak ekosistem laut dan mengancam kesehatan masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut.
  4. Ketidakstabilan sosial dan ekonomi: Ketidakpastian yang disebabkan oleh perubahan iklim, bencana alam, atau masalah ekonomi dapat mengancam stabilitas sosial dan ekonomi komunitas pesisir.
  5. Kekurangan akses ke layanan dasar: Beberapa permukiman pesisir mungkin memiliki akses yang terbatas ke layanan dasar seperti air bersih, sanitasi, dan perawatan kesehatan.         

Untuk mengatasi tantangan permasalahan di pemukiman nelayan, penting untuk mengadopsi pendekatan yang berkelanjutan dan berkoordinasi, melibatkan pemerintah, masyarakat lokal, dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan pesisir yang baik dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Termasuk penataan infrastruktur tahan bencana, pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan, dan upaya mitigasi perubahan iklim.

Konsep Livability Settlement

Konsep livable settlement merupakan konsep yang telah lama diterapkan dalam pengembangan kampung nelayan sebagai sebuah perencanaan strategis pembangunan nasional, sebab berdasarkan historis saja, Indonesia merupakan Negara bahari selain juga Negara agraris. Kebaharian Indonesia bisa dilihat dari luas wilayah laut Indonesia merupakan 2/3 dari seluruh luas wilayah Indonesia dengan luas sekitar 5.8 juta kilometer persegi. Oleh sebab itu, perencanaan dan pengembangan wilayah pantai dan pesisir dengan potensi laut dan hayati harus bisa dikelola dengan dengan baik dan semua pihak harus bisa menjadi all around player dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat kampung nelayan.

Doxiadis (dalam Evan, 2002) menyebut settlement sebagai sebuah sistem yang minimal harus terdiri dari lima unsur sebagai komponen pengembangan dan pembangunannya yaitu:

  1. Alam (nature), sebagai potensi yang akan dilihat prospek dan modal dasar dari pembangunan wilayah dan kekayaan sumber daya alam hayati sebagai pengembangan dasarnya.
  2. Manusia (man), merupakan subyek pembangunan yang merupakan aktor pengembangan dari konsep pemukiman dan kewilayahan yang memiliki peranan vital akan keberlangsungan kehidupan.
  3. Kehidupan Sosial (society), merupakan bentuk sosial kemasyarakatan yang didasarkan pada realita, kebiasaan, mata pencaharian dan berbagai hal mengenai tata hidup yang berkembang di tengah masyarakat berdasarkan kekhasan.
  4. Ruang (shell), merupakan lingkup kehidupan dengan segala potensi pemukiman sebagai sebuah tempat tinggal dan keberlangsungan kehidupan.
  5. Jaringan (network), merupakan pemahaman dasar bahwa implementasi dasar livable settlement percaya bahwa mengacu pada penyediaan aksesibilitas dalam berbagai bentuk kehidupan yang lebih konkrit, yaitu tersedianya lapangan kerja dan permukiman yang memperhatikan prospek lingkungan, sebab pembangunan yang abai terhadap kontinuitas lingkungan akan terjadi degradasi lingkungan laut bagi kampung nelayan dan kerusakan permanen yang akan merugikan .

Jika komponen diatas tidak terpenuhi dan berjalan dengan baik, maka akan sangat mengganggu kegiatan masyarakat di dalamnya, terutama dalam kegiatan bekerja di laut sebagai sumber utama mata pencaharian masyarakat kampung nelayan.

Implementasi Kampung Nelayan Maju (Kalaju) 

Sebagai upaya mengatasi tantangan permasalahan di pemukiman nelayan diperlukan penataan secara fisik dan non fisik. Salah satu usaha yang dapat dilakukan dalam perbaikan adalah penataan kampung nelayan maju (Kalaju) dapat menjadi salah satu inisiasi guna mengurangi permasalahan kampung nelayan baik aspek sosial, ekonomi dan lingkungan di kawasan pesisir.

Kampung nelayan maju (Kalaju) adalah perwujudan sinergi beragam kegiatan kampung nelayan yang tertata, maju, bersih, sehat, dan nyaman, serta mampu meningkatkan kualitas dan produktivitas kehidupan nelayan dan keluarganya (Permen KKP No. 34 Tahun 2022) Implementasi kegiatan  ini dilakukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat mulai dari peningkatan hasil perikanan serta pengolahannya, pengelolaan  pariwisata, pengembangan koperasi nelayan, termasuk juga peningkatan konservasi dan lingkungan.

Implementasi kegiatan kalaju bertujuan untuk mendukung aktivitas ekonomi yang lebih baik,  pengurangan kesenjangan sosial di wilayah pesisir dan juga ketahanan  iklim yang akan sangat mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat pesisir. Penataan kampung nelayan maju (kalaju) yang mencakup pengembangan struktural dan non struktural dapat mengurangi dan menumbuhkan daya resiliensi dampak yang merugikan akibat perubahan iklim. Saat ini implementasi kegiatan ini masih memiliki kendala dalam beberapa aspek khususnya pada pendanaan, peningkatan kapasitas dan kapabilitas masyarakat dan juga keberlanjutan implementasi. Untuk itu dibutuhkan peran aktif multi pihak yang tidak terbatas hanya pada program temporal dan tidak tepat guna.

Kampung Nelayan Tomalou Sebagai Contoh Program KALAJU

Kampung Nelayan Tomalou terletak di Kabupaten Tidore, Maluku Utara adalah salah satu menjadi kampung nelayan maju (Kalaju). Kampung Nelayan Tomalou menjadi satu dari 120 lokasi Kalaju yang akan dikembangkan pada tahun 2022 yang merupakan sinergi berbagai kegiatan lintas kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Beberapa hal yang dilakukan  disana diantaranya adalah pembangunan dinding tepi pantai, talud tepi pantai, dan bronjong sebagai upaya perubahan iklim.

Selain itu, membantu memperbaiki jembatan/dermaga yang dapat digunakan masyarakat sebagai tempat aktivitas bongkar muat barang dan pengangkutan penumpang dari dan antar pulau-pulau kecil, serta ditambahkan beberapa lampu. Kegiatan lainnya juga telah dilaksanakan di Kampung Nelayan Tomalou, diantaranya bimbingan teknis alat penangkapan ikan pancing ulur penangkap ikan pelagis kecil, diversifikasi usaha nelayan pembuatan nugget, pempek ikan, teri krispi, otak-otak ikan goreng, dan teknik anyaman pembuatan tas dengan menggunakan limbah plastik.

Gambar 3. Kampung Nelayan Tomalou (Source : Dok.KKP)

Dalam rangka mendukung Kalaju, Pemerintah Daerah setempat melalui Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara pada tahun 2022 juga berencana akan membangun kawasan sentra perikanan terpadu di Kampung Nelayan Tomalou. Pembangunan tersebut berupa dermaga mini, cold storage, pabrik es, bak air bersih, BBM, tangki BBM, pelelangan Ikan, pemasaran ikan, kios nelayan, sumur dan menara air dengan total anggaran yang disediakan sebesar Rp 10 miliar (KKP, 2022)

Strategi Penataan Pemukiman Nelayan

Saat ini di butuhkan pengembangan kampung nelayan yang berkelanjutan serta adaptif terhadap tantangan dimasa mendatang, termasuk perubahan iklim. Pendekatan beberapa penguatan aksi yang dapat dilakukan  melalui beberapa pendekatan seperti :

  1. Pembangunan dan penataan kawasan kampung pesisir dengan penerapan grey dan green infrastruktur, termasuk penerapan teknologi dan inovasi berdasarkan analisis karakteristik dan situasi wilayah.
  2. Diperlukan kerja sama antar stakeholder untuk bersama-sama mendukung program kampung nelayan maju baik secara struktural maupun non struktural, seperti pembuatan tanggul sederhana, pendampingan masyarakat ataupun penguatan usaha diversifikasi produk olahan masyarakat pesisir.
  3. Meningkatkan dukungan Bank dan atau lembaga keuangan lainnya dalam memberikan pendanaan ringan untuk meningkatkan produksi dan kualitas pengelolaan hasil laut, yang dilakukan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
  4. Membangun sistem agribisnis perikanan yang secara terintegrasi dari hulu sampai hilir dan membangun jaringan distribusi yang baik serta meningkatkan kualitas produk pengolahan perikanan untuk menghadapi persaingan dengan produk pengolahan perikanan dari daerah lain.

Penataan kampung nelayan maju (kalaju) menjadi salah satu kegiatan yang tidak hanya berfokus kepada aspek tertentu. Kesuksesan kegiatan ini akan berdampak secara signifikan pada aspek lingkungan, sosial dan ekonomi di kawasan pesisir. Untuk itu diperlukan kolaborasi aktif antar pihak dalam implementasi kegiatan pembangunan adaptif di kawasan pesisir.

DAFTAR PUSTAKA

 

Badan Pusat Statistik, 2020. Statistik Sumber Daya Laut
dan Pesisir. Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir. BPS Republik Indonesia Press.

 

Evans, Peter. 2002. Livable Cities. Urban Struggles for
Livelihood and Sustainability. California:University of California Press

 

JAMAL, F. 2019 “Peran
Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir”, Rechtsregel : Jurnal Ilmu Hukum,
Vol.2.

 

Kusnadi. (2009). Keberdayaan Nelayan dalam dinamika ekonomi pesisir.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Peraturan Menteri Kelautan dan Pesisir Nomor
34 Tahun 2022 Tentang Kampung Nelayan Maju.

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2006

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2019. Masyarakat Pesisir: Adaptasi Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Puslit
Oseanografi – LIPI. Jakarta.

 

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2022. Kampung Nelayan Tomalou Jadi
Bukti Program Kalaju. Jakarta.

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

fishing-boat-sunset-village-traditional-boat

Loss and Damage Akibat Dampak Perubahan Iklim di Sektor Pesisir

Konteks dan Isu

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Merujuk data (BPS, 2020) sekitar 42 juta orang tinggal pada daerah kurang dari 10 meter diatas permukaan laut. Padahal kajian proyeksi (USAID, 2016) menyebutkan kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada tahun 2050 yang berarti terdapat 42 juta penduduk berisiko kehilangan tempat tinggalnya. Dahuri (2006) juga menyatakan sebanyak 75% kota besar Indonesia terletak di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Bagi nelayan, dampak langsung perubahan iklim di daerah pesisir, yaitu semakin tingginya risiko melaut di tengah ketidakpastian cuaca sehingga dapat menyebabkan nelayan tidak lagi dapat melaut dan kehilangan mata pencaharian. Ditambah lagi dengan adanya banjir dan erosi pantai yang berpotensi merusak mangrove, tambak ikan, udang serta ladang garam di pantai sehingga menurunkan produktivitas masyarakat pesisir. Kondisi ini membuat kehidupan ekonomi masyarakat pesisir semakin terpuruk. Berdasarkan kajian Bappenas (2021), nilai potensial ekonomi rentang tahun 2020 – 2024 yang hilang akibat perubahan iklim dari sektor pesisir dan laut rerata mencapai Rp.81,53 Triliun yang menjadikan sektor ini paling terdampak akibat perubahan iklim dengan pesisir Pulau Jawa dan Sulawesi yang paling berpotensi tinggi.

Situasi dan Kondisi

Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim khususnya di wilayah pesisir. Hasil kajian Bappenas (2021) terkait dengan Coastal Vulnerability Index (CVI) yang mengklasifikasikan tingkat kerentanan berdasarkan parameter fisik dan oseanografi menunjukan bahwa panjang garis pantai terdampak dengan kategori CVI tertinggi (indeks 5) sepanjang 1819 km . Adapun Pulau Sulawesi memiliki indeks kerentanan tertinggi dengan 904.51 km. Sedangkan untuk Pulau Kalimantan dan Papua tidak memiliki indeks kerentanan pesisir dengan kategori kelas indeks 5.

Tabel 1. Tingkat Kerentanan Bahaya Pesisir di Indonesia
Sumber : Bappenas, 2021

Kondisi tersebut berdampak akan ancaman berupa berkurangnya luas daratan akibat tenggelam oleh air laut, rusaknya kawasan ekosistem pesisir akibat gelombang pasang, berubahnya mata pencaharian masyarakat, berkurangnya areal persawahan dataran rendah di dekat pantai, gangguan transportasi antar pulau, hilangnya objek wisata pulau, hingga menurunnya biodiversitas yang merupakan aset yang tidak ternilai.

Loss and Damage

Kerugian dan kerusakan atau loss and damage dapat disebabkan oleh efek buruk dari perubahan iklim baik peristiwa cuaca ekstrim atau peristiwa onset lambat (Cutter, 2019) Dalam perhitungan kerugian dampak perubahan iklim pada sektor laut dan pesisir, loss and damage tertinggi terjadi akibat adanya dampak perubahan iklim terhadap properti dan kegiatan perekonomian di kawasan pesisir dan laut (USAID, 2016).

Dampak perubahan iklim yang lebih besar terjadi di lokasi pusat pertumbuhan ekonomi yang memiliki atribut pembangunan wilayah yang lebih kompleks. Hal ini ditunjukan oleh studi yang dilakukan oleh USAID (2016) yang mendapati perbedaan yang signifikan dampak loss and damage di wilayah pusat perekonomian yang divisualisasikan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Proyeksi nilai ekonomi hilang dampak kenaikan air laut

Berdasarkan klasifikasi pusat perekonomian yang berada di kawasan pesisir, yang ditampilkan pada grafik di atas, Provinsi DKI Jakarta diproyeksikan akan mengalami kerugian ekonomi yang paling tinggi sebesar Rp. 13 miliar per tahun akibat dampak perubahan iklim pada sektor properti di kawasan pesisir. . Besaran nilai loss and damage yang tinggi di Jakarta ini disebabkan tingginya nilai properti dan investasi yang berada di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim di wilayah pesisir seperti abrasi, kenaikan permukaan air laut dan banjir. Kebalikan dengan tingginya kerugian ekonomi di Jakarta pada sektor properti, Provinsi Aceh dengan pusat pertumbuhan yang lebih sedikit dibandingkan dengan DKI Jakarta diproyeksikan mengalami kerugian sebesar 4,7 miliar per tahun sebagai dampak perubahan iklim. Proyeksi loss and damage yang diperhitungkan menitikberatkan pada besaran investasi properti di kedua lokasi berbeda yang akan berdampak langsung pada dampak perubahan iklim di wilayah pesisir.

Aksi Pengurangan Loss and Damage

Untuk mengurangi dampak negatif berupa degradasi biofisik, ekonomi dan sosial akibat loss and damage pada wilayah pesisir diperlukan upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi, yang merupakan proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak bencana yang diantisipasi akan terjadi dimasa yang akan datang (Diposaptono, 2003) Sedangkan adaptasi yang merupakan langkah penyesuaian yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang lebih buruk dari kejadian bencana (KLHK, 2018). 

Dalam konteks perubahan iklim, aksi pengurangan loss and damage berarti memodifikasi sistem sosial ekologi (SES) untuk mengakomodir dampak aktual, presisi serta prediksi (Barnet, 2001). Aksi ini perlu dilakukan dalam jangka waktu yang cepat dan terus dikembangkan terutama dalam menghadapi bahaya perubahan iklim pada tingkat unavoidable nature seperti yang digambarkan pada Gambar 2. (Cutter, 2019)

Gambar 2. Skenario kejadian pengurangan kerugian dan kerusakan bencana (Cutter,2019)

Konsep Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang merupakan konsep kegiatan terencana untuk meningkatkan kapasitas dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi dampak terhadap perubahan iklim juga perlu dilakukan sebagai upaya yang lebih dari adaptasi (beyond adaptation). Di dalam menangani dampak perubahan iklim di pesisir dan laut, konsep ini dapat dilakukan dengan pelaksanaan penataan tata ruang yang mempertimbangkan aspek perubahan iklim, penguatan instrumen pengendali iklim, penguatan kapasitas stakeholder, community-based development, koordinasi, dan pelaksanaan perlindungan sosial terhadap masyarakat yang terdampak. Aksi pengurangan dampak loss and damage yang telah dilakukan di wilayah pesisir Probolinggo dapat menjadi percontohan bagi wilayah rawan lainnya, yaitu melalui kegiatan seperti :

  • Berpindah Tempat Tinggal

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kalibuntu dalam menghadapi bencana banjir pasang air laut (rob) secara permanen dilakukan dengan cara berpindah tempat tinggal ke wilayah lain yang lebih tinggi dan aman 

  • Peninggian Pondasi Rumah

Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Probolinggo meninggikan pondasi rumah (0,5 – 1,0 meter) menyesuaikan dengan kondisi rob yang terjadi dan meningkat setiap tahunnya 

  • Membangun Tanggul Pantai (sea-wall)

Dalam penanggulangan kerusakan dan hilangnya lahan produktif (tambak, sawah dan perumahan) telah dilakukan dengan pembangunan dinding/tanggul pantai dan penanaman mangrove.

Gambar 3. Pembuatan Tanggul di wilayah pesisir (LIPI, 2019)
  • Inovasi Produksi Garam

Kabupaten Probolinggo terkenal dengan lahan tambak udang, bandeng, kepiting dan garam. Namun, dengan fenomena perubahan iklim yang sulit diprediksi, terdapat perpindahan kegiatan usaha masyarakat dari semula tambak udang, bandeng, kepiting yang lebih berisiko tinggi terhadap perubahan iklim beralih ke kegiatan tambak garam dengan inovasi yang mengantisipasi perubahan iklim.

Gambar 4. Pengembangan inovasi produksi garam (LIPI, 2019)

Inovasi tersebut dilakukan dengan sistem kerja buka tutup dilakukan mengikuti cuaca. Pada saat turun hujan dilakukan penutupan media penjemuran sedangkan pada saat cuaca panas tambak garam kembali dibuka. Dengan adanya inovasi ini, produksi garam yang telah dihasilkan sejak 2014-2018 berkisar antara 1,5-3,0 ton/10 hari dan menaikan  pendapatan petani garam  senilai sekitar 9 – 10 juta rupiah per bulan (LIPI, 2019)

Arah Kebijakan dan Strategi

Akselerasi pelaksanaan pengurangan loss and damage akibat dampak perubahan iklim sejatinya memerlukan kebijakan dan strategi yang kuat. Untuk mencapai hal tersebut terdapat beberapa strategi yang dilakukan seperti :

  1. Implementasi aksi ketahanan iklim yang berfokus pada peningkatan permukiman pesisir dan kawasan budidaya;
  2. Penguatan kestabilan masyarakat wilayah pesisir dengan pendampingan yang komprehensif dan holistik dalam bentuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas pengurangan dampak bencana iklim ;
  3. Penguatan regulasi penanggulangan bencana yang efektif dan efisien;
  4. Peningkatan integrasi kebijakan tingkat regional dan nasional berdasarkan kebutuhan komunitas pesisir;
  5. Penguatan investasi pengelolaan risiko bencana sesuai proyeksi dan prioritas lokasi;
  6. Penguatan tata kelola adaptasi dan mitigasi bencana perubahan iklim yang adaptif;
  7. Membangun ketahanan ekologi, ekonomi dan sosial khususnya daerah dengan tingkat risiko tinggi.


Semua strategi tersebut tentunya dijalankan dengan keterlibatan dan kolaborasi multi pihak yang mencakup lintas sektor sehingga dampak dari loss and damage akibat bencana iklim dapat diminimalkan untuk mencapai Indonesia yang lebih tangguh.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2020. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir. Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir. BPS Republik Indonesia Press. 

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2021. Climate Resilience Development Policy 2020-2045. Jakarta.

Barnett, J. 2001. Adapting to Climate Change in Pacific Island Countries: The Problem of Uncertainty. World Development 29(6): 977–93.

Cutter, Susan L. (2009). Measuring and Mapping Social Vulnerability dalam Cities at Risk. Bangkok.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka. Utama. Jakarta

Diposaptono, S. 2003. Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Alam Terpadu. Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2003

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan. 2018. Arah Kebijakan dan Sasaran Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Dirjen Pengendalian Perubah Iklim. Jakarta 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2019. Masyarakat Pesisir: Adaptasi Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Puslit Oseanografi – LIPI. Jakarta.

United States Agency for International Development (USAID), 2016. Indonesia: Coasts of Climate Change 2050. Brief Policy

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti