1

Potensi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari untuk Mendukung Transformasi Ekonomi Hijau dan Pembangunan Rendah Karbon

Kawasan Hutan di Indonesia dan Kaitannya dengan Produksi Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu

Kawasan Hutan Produksi Indonesia memiliki luas total 68,8 juta hektar. Seluas 34,18 juta hektar dari kawasan tersebut telah diberikan izin untuk berbagai jenis hasil hutan, sedangkan 34,62 juta hektar sisanya tidak memiliki izin[1]. Kawasan hutan produksi Indonesia berizin kemudian dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan hasil hutannya. Sebanyak 55 persen (18,8 juta hektar) dari kawasan tersebut berada di bawah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 33 persen (11,27 juta hektar) berada di bawah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Jenis hasil hutan yang ketiga adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), yang mencapai 2 persen (0,62 juta hektar) dari hutan produksi nasional. Terakhir, sebanyak 10 persen (3,49 juta hektar) dari kawasan berizin dikhususkan untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK), izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), dan skema perhutanan sosial (Tabel 1).

Tabel 1 Jumlah dan luas izin usaha kehutanan pada Kawasan Hutan Produksi tahun 2011-2020

Sumber: KLHK (2020)

Kawasan hutan yang telah diberikan IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT merupakan kawasan yang menjadi produsen utama kayu bulat di Indonesia. Hingga saat ini, kayu bulat masih menjadi komoditas komersial unggulan di Indonesia, meskipun telah banyak dorongan untuk turut memfokuskan daya jual dan pasar produk hasil hutan bukan kayu dan jasa ekosistem. Gambar 1 menunjukkan bahwa produksi kayu bulat dari tahun 2013-2020 dari hutan alam berada di bawah target tahunan, sedangkan produksi kayu bulat dari HTI berada di bawah target tahunan pada tahun 2013-2017 dan berada di atas target tahunan pada tahun 2018-2019[2]. Akan tetapi, masih terdapat kesenjangan antara produksi kayu yang ditargetkan dengan produksi aktual yang disebabkan oleh beberapa masalah di lapangan. Produksi kayu bulat yang rendah dengan biaya produksi yang tinggi telah menurunkan profit bisnis konsesi hutan alam. Menurunnya profitabilitas ini menjadi salah satu penyebab sebanyak 28,8 persen pemegang konsesi hutan alam tidak memiliki sistem pengelolaan yang baik di lapangan. Saat ini, pemerintah sedang mengevaluasi kinerja pengusahaan kayu hutan alam dan mendorong komitmen perusahaan dalam mengelola hutan produksi secara lestari.

Gambar 1. Target dan realisasi produksi kayu bulat dari hutan alam dan HTI

Kontribusi Produksi Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat

Dari segi fungsi ekonominya, hutan merupakan sumber daya alam yang dapat menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa yang bernilai ekonomis. Hutan juga dapat berperan sebagai sumber pendapatan negara, lapangan pekerjaan, dan penunjang mata pencaharian masyarakat. Namun, hutan tidak dapat dilihat hanya dari segi manfaat ekonomi yang diberikan secara langsung, tetapi juga harus dilihat dari segi fungsi lingkungan dan sosial (Tabel 2). Pada tahun 2015, total nilai penerimaan negara bukan pajak (fee dan royalti) yang berasal dari sektor kehutanan sebesar USD 266 juta. Selain itu, sejak tahun 2015 hingga 2020, sektor industri produksi kayu dan HHBK secara langsung telah menciptakan lapangan pekerjaan sekitar 400.000 orang[3].

Tabel 2 Kontribusi Hutan Produksi terhadap perekonomian nasional pada tahun 2015-2020

Sejak tahun 2011 hingga 2020, sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kehutanan meliputi pembayaran ke Dana Reboisasi (DR), Penerimaan Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH), Iuran Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Denda Pelanggaran Eksploitasi Hutan dan Ganti Rugi Nilai Tegakan (GRNT), yang mensyaratkan bahwa pohon yang ditebang secara ilegal oleh pemegang konsesi kayu akan dikenakan royalti sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat normal yang diatur[4]. Sepanjang tahun 2011-2020, total PNBP sektor kehutanan hanya mencapai USD 2,24 miliar, lebih rendah dari target sebesar USD 2,6 miliar[5] (Gambar 4). Dalam rangka meningkatkan PNBP, pemerintah telah mengambil langkah-langkah sebagai berikut: (1) intervensi regulasi (pengembangan regulasi yang melibatkan banyak pihak, dan berdasarkan prinsip bahwa regulasi harus sederhana, implementatif dan terukur), (2) membangun sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, (3) memperkuat sistem pemungutan PNBP (melalui Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak/SIPNBP dan sistem komputerisasi pemungutan PNBP), dan (4) optimalisasi PNBP dari hasil hutan bukan kayu.

Gambar 2. Target dan realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari hasil hutan kayu
Gambar 3. Produk kayu yang sudah terverifikasi di tempat penampungan log sementara di PT PT. Sumalindo Lestari Jaya 2, Kecamatan Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Barat (Sumber: CIFOR, 2011)

Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri LHK No. 77 tahun 2019 tentang Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Produksi dan Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu pada Hutan Negara, pemegang hak pengusahaan hutan kini dapat memanfaatkan HHBK tanpa mengajukan izin selama mencantumkan pemanfaatan HHBK dalam laporan tahunannya. Selain memperoleh sertifikat atau izin pengusahaan, pemungutan dan pemanfaatan HHBK dapat dilakukan melalui kerja sama dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). KPH diharapkan dapat menjalin kerja sama dengan investor, seperti BUMN, swasta, koperasi, dan lain-lain. Jenis HHBK yang menjadi komoditas usaha antara lain berupa komoditas hasil panen, seperti getah pinus, rotan, dan lain-lain, dan juga mencakup pemanfaatan jasa lingkungan.

Way Forward: Optimalisasi Hutan Produksi Lestari untuk Mendukung Transformasi Ekonomi Hijau

Prinsip-prinsip terkait ekonomi hijau pada sektor kehutanan sangat berkaitan erat dengan pengelolaan hutan berkelanjutan, pembayaran berbasis jasa ekosistem, pengurangan konsumsi energi, produksi biofuel, peningkatan produk olahan sumber daya hutan, penciptaan lapangan kerja hijau, pengembangan ekowisata, dan rantai pasok berkelanjutan. Terdapat 4 (empat) prinsip “hijau” yang dapat diadopsi di dalam sektor kehutanan, meliputi: 1) produksi dan konsumsi sumber daya hutan berkelanjutan, 2) pengelolaan, perlindungan, dan pemulihan hutan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, 3) peningkatan standar kesejahteraan masyarakat melalui lapangan kerja hijau, dan 4) pengembangan skema pembayaran jasa ekosistem hutan berdasarkan kriteria pengelolaan hutan berkelanjutan. Keempat prinsip “hijau” tersebut saling terintegrasi satu sama lain dan berkontribusi terhadap pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau pada sektor kehutanan.

Mekanisme pengarusutamaan prinsip-prinsip “hijau” pada sektor kehutanan utamanya berkaitan dengan pengembangan dan peningkatan perangkat institusional. Sebagai sumber daya alam yang memiliki berbagai peran dan jasa ekosistem, pengelolaan hutan produksi lestari sangat bergantung pada kerangka kebijakan dan institusional dari berbagai pemangku kepentingan lintas sektor. Kebijakan penyelenggaraan kehutanan merupakan hasil perumusan kesepakatan dan dialog multi-stakeholder dan tujuan yang dicanangkan untuk menuju sumber daya dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Kebijakan penyelenggaraan kehutanan tersebut disusun berdasarkan norma perundang-undangan, serta mempertimbangkan prinsip dan norma hukum internasional dan perjanjian internasional yang diakui secara umum.

 

Mengatasi tantangan krisis iklim pada sektor kehutanan memerlukan penggunaan seperangkat alat dan instrumen pendanaan. Beberapa contoh instrumen pendanaan yang dapat diterapkan yaitu mengembangkan program investasi hutan untuk memobilisasi lebih banyak dana untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan, serta mempromosikan pengelolaan hutan lestari untuk mencegah penurunan cadangan karbon melalui memperkuat investasi di sektor kehutanan. Kerangka regulasi dan struktur pengelolaan dan kelembagaan yang efektif terkait dengan intensifikasi kehutanan perlu untuk diperkenalkan dan diperkuat dalam upaya pengelolaan hutan produksi lestari.

[1] SK.10199/MENLHK-PHPL/KPHP/HPL.0/12/2019, 16 December 2019

[2] [KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2020. Statistik Direktorat Jenderal PHPL 2020. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

[3] [MoEF] Ministry of Environment and Forestry. 2021. The State of Indonesia’s Forests 2020. Jakarta (ID): Ministry of Environment and Forestry

[4] Surat Edaran Dirjen PHPL Nomor: SE.7/PHPL/IPHH/HPL.4/10/2019 tentang Kewajiban Melakukan Pembayaran Melalui Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online (SI-PNBP)

[5] [KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2021. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari 2020. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Editor:

Caroline Aretha M, Anna Amalia, Susan Lusiana

Ardi Nur Armanto

Comments are closed.