batik

Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Pewarna dalam Industri Tekstil

Sebagai negara dengan ekosistem mangrove yang luas, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam pemanfaatan mangrove sebagai salah satu sumber daya alam (Rizal et al., 2018). Ekosistem mangrove di Indonesia tersebar di setiap provinsi dengan perkiraan luas pada tahun 2021 adalah 3,36 juta hektar (Direktorat Konservasi Tanah dan Air, 2021). Ekosistem mangrove diketahui memiliki berbagai macam manfaat ekonomi, salah satunya adalah sebagai bahan dasar pembuat warna dalam industri  tekstil (Ilman et al., 2011). Kulit dari pohon mangrove kaya akan tanin yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuat warna, salah satunya warna coklat kemerahan (Duke and Allen, 2006; Chapman, 1970). Pemanfaatan mangrove yang bernilai ekonomi tersebut akan memberikan kontribusi terhadap ekonomi hijau sekaligus memberikan jasa ekosistem sebagai penyerap karbon yang tinggi, sehingga berpengaruh terhadap pembangunan rendah karbon. Lebih jauh, pelestarian mangrove dapat turut mendukung pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia.

Ancaman di Balik Pewarna Sintetis

Dalam beberapa dekade terakhir, batik telah mengalami peningkatan popularitas di kalangan penduduk lokal maupun asing. Batik merupakan produk tekstil yang menjadi identitas budaya masyarakat Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, batik didefinisikan sebagai kain bergambar yang pembuatannya dilakukan secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain. Meningkatnya permintaan produk batik juga menyebabkan meningkatnya permintaan dan penggunaan pewarna sintetis. Hal ini dikarenakan pewarna sintetis dipasarkan dengan harga yang lebih rendah dan memiliki retensi warna yang lebih baik daripada pewarna alami. Selain itu, pewarna sintetis diketahui bersifat karsinogenik karena mengandung logam berat dalam kadar tinggi, seperti kromium, seng, dan tembaga. Dengan sifat mutagenik dan ketidakmampuan untuk terurai, limbah hasil produksi pewarna sintetis juga dapat menimbulkan pencemaran bagi lingkungan maupun masyarakat di sekitar pabrik.
 

Namun, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap isu lingkungan, pembuatan batik dengan bahan pewarna alami semakin digemari masyarakat dan memiliki nilai komersial yang tinggi, salah satu contohnya adalah Batik Zie yang berlokasi di Kota Semarang. Dengan memanfaatkan mangrove sebagai salah satu pewarna alami dalam pembuatan batiknya, Batik Zie dapat menghasilkan omset rata-rata Rp. 20 juta per bulan (Martuti et al., 2017).

Solusi Pewarna Alami

Penggunaan pewarna alami dalam industri tekstil tentunya dapat mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan. Sisa air dari proses pewarnaan kain secara alami tidak mencemari lingkungan. Hal, ini sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular dalam membangun sistem yang regeneratif. Sayangnya, dibandingkan dengan stok pewarna sintetis, ketersediaan pewarna alami lebih terbatas. Pasalnya, pewarna buatan dapat diproduksi secara massal dan memiliki rantai distribusi yang lebih baik.

 
Pewarna alami sering kali memiliki jumlah produksi terbatas dan harus bersumber langsung dari daerah asalnya, meski tidak semua pewarna sintetis yang ada di pasar Indonesia diproduksi di dalam negeri.

Untuk itu, perlu dikembangkan suatu sumber pewarna alami yang potensial dalam mengatasi masalah jumlah produksi. Salah satu spesies mangrove yang berpotensi untuk dikembangkan pemanfaatannya sebagai pewarna natural adalah Rhizopohora mucronata atau juga biasa disebut sebagai “Bakau Hitam”, “Bakau Korap”, Bakau Merah”, “Angka Hitam”, “Belukap”, “Dongah Korap”, “Jankar”, “Lenggayong”, dan “Laloro” oleh masyarakat lokal.

R. mucronata merupakan bahan pewarna alami yang dapat digunakan dalam industri tekstil dan dapat menghasilkan berbagai variasi warna (Lacasse and Baumann, 2012). R. mucronata memiliki potensi unik dalam kandungan pigmen yang dimilikinya. Kandungan pigmen tersebut dapat menjadi aset melalui pemanfaatan efektif dan efisien sehingga dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat di sekitar ekosistem mangrove. Secara umum, hasil ekstraksi dari daun, kulit kayu, dan propagul dapat menghasilkan warna coklat dengan variasi kerapatan warna yang berbeda-beda., Wwarna coklat tersebut menunjukkan bahwa terdapat kandungan tanin di dalamnya (Musman, 2010, Pringgenies, 2018).
 

Contoh pemanfaatan mangrove dalam industri tekstil adalah sebagai motif pada batik yang kemudian dikenal sebagai batik mangrove. Batik mangrove merupakan salah satu bentuk perkembangan motif dan corak batik yang cukup digemari oleh masyarakat (Martuti et al., 2017). Pemanfaatan mangrove sebagai motif dan bahan pewarna dalam batik dianggap memiliki sentuhan artistik yang menawan, memiliki warna yang unik, dan menawarkan keberlanjutan terhadap lingkungan. Selain itu, warna alami dari batik mangrove memberikan impresi terhadap  kehidupan masyarakat pesisir dan eksklusivitas yang dimilikinya (Pringgenies et al., 2021). Berdasarkan Utama (2019), R. mucronata sebagai bahan pewarna alami dalam industri batik diperkirakan memiliki nilai ekonomi senilai Rp11.522,80/kg.

Gambar 1. Proses pemanfaatan ekstrak kulit mangrove sebagai pewarna (Sumber: Batik TV)

Pengembangan Kapasitas untuk Pemanfaatan Mangrove yang Berkelanjutan

Berbagai daerah di Indonesia, seperti Papua, Takisung (Kalimantan Selatan), Surabaya (Jawa Timur), dan Medan (Sumatera Utara) telah memanfaatkan mangrove sebagai pewarna dalam industri tekstil, meskipun belum dalam skala yang besar. Walaupun telah diaplikasikan di beberapa daerah, pemanfaatan mangrove yang berkelanjutan masih belum banyak dilakukan di Indonesia, padahal ekosistem mangrove tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Biasanya, pemanfaatan mangrove sebagai bahan dasar pewarna dalam industri tekstil dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas. Salah satu gerakan pengembangan kapasitas masyarakat tersebut dilakukan di Surabaya oleh Lulut Sri Yuliani, pemilik dari Batik Seru dan pencetus Koperasi Usaha Kecil Menengah (UKM) Griya Karya Tiara Kusuma. Kegiatan pengembangan kapasitas ini bertujuan untuk mempromosikan dan mendistribusikan produk-produk mangrove yang dihasilkan oleh warga setempat, termasuk batik mangrove. Berawal dari keresahannya terhadap kerusakan ekosistem mangrove, Lulut bersama masyarakat memulai gerakan penyelamatan mangrove dengan melakukan berbagai kegiatan rehabilitasi mangrove dan pengenalan manfaat mangrove sebagai pewarna alami batik yang ramah lingkungan. Melalui  kegiatan tersebut, Lulut berhasil memberdayakan banyak orang untuk terlibat dalam upaya konservasi dan pelestarian lingkungan. Selain itu, sejak 2007 hingga saat ini, setidaknya sudah terdapat 2.017 ragam motif batik mangrove, seperti bunga, daun, untaian buah, serta makhluk hidup yang tinggal di dalamnya, seperti ikan, kepiting, dan udang, yang telah dikembangkan oleh Lulut (Kurniawati, 2015).

Gambar 2. Proses pembuatan batik tulis bertema mangrove oleh pengrajin dan kader lingkungan di Kecamatan Rungkut, Surabaya. Foto: Pertrus Riski

Mangrove dengan potensi pemanfaatannya sebagai bahan pewarna dapat ditemukan di seluruh Indonesia. Sayangnya, pemanfaatannya secara komersial masih terbatas. Berbagai kajian dan gerakan peningkatan masyarakat terkait pemanfaatan mangrove sebagai bahan pewarna kain batik diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pemanfaatan mangrove sebagai alternatif sumber pewarna dalam industri tekstil batik atau bahkan lebih jauh lagi, misalnya untuk keseluruhan industri tekstil. Nantinya, upaya-upaya pemanfaatan mangrove yang berkelanjutan ini akan dapat mendukung Indonesia dalam mencapai Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau yang telah dicita-citakan.

DAFTAR PUSTAKA

CHAPMAN, V. 1970. Mangrove phytosociology. Tropical Ecology, 11, 1-19.

DIREKTORAT KONSERVASI TANAH DAN AIR, D. P. 2021. PETA MANGROVE NASIONAL.

DUKE, N. C. & ALLEN, J. A. 2006. Rhizophora mangle, R. samoensis, R. racemosa, R.× harrisonii (Atlantic–East Pacific red mangrove). Species profiles for pacific island agroforestry, 10, 1-18.

ILMAN, M., WIBISONO, I. T. C. & SURYADIPUTRA, I. N. N. 2011. State of the art information on mangrove ecosystems in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme, Bogor.

KURNIAWATI, E. 2015. Batik mangrove rungkut Surabaya. Jurnal Tata Busana, 4.

LACASSE, K. & BAUMANN, W. 2012. Textile Chemicals: Environmental data and facts, Springer Science & Business Media.

MARTUTI, N. K. T., SOESILOWATI, E. & NA’AM, M. F. 2017. Pemberdayaan masyarakat pesisir melalui penciptaan batik mangrove. Jurnal Abdimas, 21, 65-74.

MUSMAN, M. 2010. Tanin Rhizophora Mucronata Sebagai Moluskosida Keong Mas (Pomacea canaliculata). Bionatura, 12.

PRINGGENIES, D. 2018. Bakteri Konsorsium dari Serasah Mangrove untuk Produksi Kompos (Organic Compost Production from Bacterial Consortium of Mangrove Leaf Litter). Jurnal Pengelolaan Perairan, 1, 19-26.

PRINGGENIES, D., RIDLO, A., DEWI, L. F. & DJUNAEDI, A. 2021. The Commercial Value of Mangrove-Based Pigments as Natural Dye for Batik Textiles.

RIZAL, A., SAHIDIN, A. & HERAWATI, H. 2018. Economic Value Estimation of Mangrove Ecosystem in Indonesia. Biodiversity International Journal, 2.

UTAMA, A. A. 2019. ESTIMASI NILAI EKONOMI HUTAN MANGROVE SEBAGAI PENGHASIL BAHAN PEWARNA ALAMI BATIK DI KELURAHAN MANGUNHARJO, KECAMATAN TUGU, KOTA SEMARANG. Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Anna Amalia, Anggi Pertiwi Putri, Caroline Aretha Merylla, Adhitya Yusuf, Dian Septa Rianti

M. Ikram Nasution

Comments are closed.