batik

Pemanfaatan Mangrove sebagai Bahan Pewarna dalam Industri Tekstil

Sebagai negara dengan ekosistem mangrove yang luas, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam pemanfaatan mangrove sebagai salah satu sumber daya alam (Rizal et al., 2018). Ekosistem mangrove di Indonesia tersebar di setiap provinsi dengan perkiraan luas pada tahun 2021 adalah 3,36 juta hektar (Direktorat Konservasi Tanah dan Air, 2021). Ekosistem mangrove diketahui memiliki berbagai macam manfaat ekonomi, salah satunya adalah sebagai bahan dasar pembuat warna dalam industri  tekstil (Ilman et al., 2011). Kulit dari pohon mangrove kaya akan tanin yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuat warna, salah satunya warna coklat kemerahan (Duke and Allen, 2006; Chapman, 1970). Pemanfaatan mangrove yang bernilai ekonomi tersebut akan memberikan kontribusi terhadap ekonomi hijau sekaligus memberikan jasa ekosistem sebagai penyerap karbon yang tinggi, sehingga berpengaruh terhadap pembangunan rendah karbon. Lebih jauh, pelestarian mangrove dapat turut mendukung pelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia.

Ancaman di Balik Pewarna Sintetis

Dalam beberapa dekade terakhir, batik telah mengalami peningkatan popularitas di kalangan penduduk lokal maupun asing. Batik merupakan produk tekstil yang menjadi identitas budaya masyarakat Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia, batik didefinisikan sebagai kain bergambar yang pembuatannya dilakukan secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain. Meningkatnya permintaan produk batik juga menyebabkan meningkatnya permintaan dan penggunaan pewarna sintetis. Hal ini dikarenakan pewarna sintetis dipasarkan dengan harga yang lebih rendah dan memiliki retensi warna yang lebih baik daripada pewarna alami. Selain itu, pewarna sintetis diketahui bersifat karsinogenik karena mengandung logam berat dalam kadar tinggi, seperti kromium, seng, dan tembaga. Dengan sifat mutagenik dan ketidakmampuan untuk terurai, limbah hasil produksi pewarna sintetis juga dapat menimbulkan pencemaran bagi lingkungan maupun masyarakat di sekitar pabrik.
 

Namun, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap isu lingkungan, pembuatan batik dengan bahan pewarna alami semakin digemari masyarakat dan memiliki nilai komersial yang tinggi, salah satu contohnya adalah Batik Zie yang berlokasi di Kota Semarang. Dengan memanfaatkan mangrove sebagai salah satu pewarna alami dalam pembuatan batiknya, Batik Zie dapat menghasilkan omset rata-rata Rp. 20 juta per bulan (Martuti et al., 2017).

Solusi Pewarna Alami

Penggunaan pewarna alami dalam industri tekstil tentunya dapat mengurangi dampak negatifnya terhadap lingkungan. Sisa air dari proses pewarnaan kain secara alami tidak mencemari lingkungan. Hal, ini sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular dalam membangun sistem yang regeneratif. Sayangnya, dibandingkan dengan stok pewarna sintetis, ketersediaan pewarna alami lebih terbatas. Pasalnya, pewarna buatan dapat diproduksi secara massal dan memiliki rantai distribusi yang lebih baik.

 
Pewarna alami sering kali memiliki jumlah produksi terbatas dan harus bersumber langsung dari daerah asalnya, meski tidak semua pewarna sintetis yang ada di pasar Indonesia diproduksi di dalam negeri.

Untuk itu, perlu dikembangkan suatu sumber pewarna alami yang potensial dalam mengatasi masalah jumlah produksi. Salah satu spesies mangrove yang berpotensi untuk dikembangkan pemanfaatannya sebagai pewarna natural adalah Rhizopohora mucronata atau juga biasa disebut sebagai “Bakau Hitam”, “Bakau Korap”, Bakau Merah”, “Angka Hitam”, “Belukap”, “Dongah Korap”, “Jankar”, “Lenggayong”, dan “Laloro” oleh masyarakat lokal.

R. mucronata merupakan bahan pewarna alami yang dapat digunakan dalam industri tekstil dan dapat menghasilkan berbagai variasi warna (Lacasse and Baumann, 2012). R. mucronata memiliki potensi unik dalam kandungan pigmen yang dimilikinya. Kandungan pigmen tersebut dapat menjadi aset melalui pemanfaatan efektif dan efisien sehingga dapat memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat di sekitar ekosistem mangrove. Secara umum, hasil ekstraksi dari daun, kulit kayu, dan propagul dapat menghasilkan warna coklat dengan variasi kerapatan warna yang berbeda-beda., Wwarna coklat tersebut menunjukkan bahwa terdapat kandungan tanin di dalamnya (Musman, 2010, Pringgenies, 2018).
 

Contoh pemanfaatan mangrove dalam industri tekstil adalah sebagai motif pada batik yang kemudian dikenal sebagai batik mangrove. Batik mangrove merupakan salah satu bentuk perkembangan motif dan corak batik yang cukup digemari oleh masyarakat (Martuti et al., 2017). Pemanfaatan mangrove sebagai motif dan bahan pewarna dalam batik dianggap memiliki sentuhan artistik yang menawan, memiliki warna yang unik, dan menawarkan keberlanjutan terhadap lingkungan. Selain itu, warna alami dari batik mangrove memberikan impresi terhadap  kehidupan masyarakat pesisir dan eksklusivitas yang dimilikinya (Pringgenies et al., 2021). Berdasarkan Utama (2019), R. mucronata sebagai bahan pewarna alami dalam industri batik diperkirakan memiliki nilai ekonomi senilai Rp11.522,80/kg.

Gambar 1. Proses pemanfaatan ekstrak kulit mangrove sebagai pewarna (Sumber: Batik TV)

Pengembangan Kapasitas untuk Pemanfaatan Mangrove yang Berkelanjutan

Berbagai daerah di Indonesia, seperti Papua, Takisung (Kalimantan Selatan), Surabaya (Jawa Timur), dan Medan (Sumatera Utara) telah memanfaatkan mangrove sebagai pewarna dalam industri tekstil, meskipun belum dalam skala yang besar. Walaupun telah diaplikasikan di beberapa daerah, pemanfaatan mangrove yang berkelanjutan masih belum banyak dilakukan di Indonesia, padahal ekosistem mangrove tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Biasanya, pemanfaatan mangrove sebagai bahan dasar pewarna dalam industri tekstil dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas. Salah satu gerakan pengembangan kapasitas masyarakat tersebut dilakukan di Surabaya oleh Lulut Sri Yuliani, pemilik dari Batik Seru dan pencetus Koperasi Usaha Kecil Menengah (UKM) Griya Karya Tiara Kusuma. Kegiatan pengembangan kapasitas ini bertujuan untuk mempromosikan dan mendistribusikan produk-produk mangrove yang dihasilkan oleh warga setempat, termasuk batik mangrove. Berawal dari keresahannya terhadap kerusakan ekosistem mangrove, Lulut bersama masyarakat memulai gerakan penyelamatan mangrove dengan melakukan berbagai kegiatan rehabilitasi mangrove dan pengenalan manfaat mangrove sebagai pewarna alami batik yang ramah lingkungan. Melalui  kegiatan tersebut, Lulut berhasil memberdayakan banyak orang untuk terlibat dalam upaya konservasi dan pelestarian lingkungan. Selain itu, sejak 2007 hingga saat ini, setidaknya sudah terdapat 2.017 ragam motif batik mangrove, seperti bunga, daun, untaian buah, serta makhluk hidup yang tinggal di dalamnya, seperti ikan, kepiting, dan udang, yang telah dikembangkan oleh Lulut (Kurniawati, 2015).

Gambar 2. Proses pembuatan batik tulis bertema mangrove oleh pengrajin dan kader lingkungan di Kecamatan Rungkut, Surabaya. Foto: Pertrus Riski

Mangrove dengan potensi pemanfaatannya sebagai bahan pewarna dapat ditemukan di seluruh Indonesia. Sayangnya, pemanfaatannya secara komersial masih terbatas. Berbagai kajian dan gerakan peningkatan masyarakat terkait pemanfaatan mangrove sebagai bahan pewarna kain batik diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pemanfaatan mangrove sebagai alternatif sumber pewarna dalam industri tekstil batik atau bahkan lebih jauh lagi, misalnya untuk keseluruhan industri tekstil. Nantinya, upaya-upaya pemanfaatan mangrove yang berkelanjutan ini akan dapat mendukung Indonesia dalam mencapai Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau yang telah dicita-citakan.

DAFTAR PUSTAKA

CHAPMAN, V. 1970. Mangrove phytosociology. Tropical Ecology, 11, 1-19.

DIREKTORAT KONSERVASI TANAH DAN AIR, D. P. 2021. PETA MANGROVE NASIONAL.

DUKE, N. C. & ALLEN, J. A. 2006. Rhizophora mangle, R. samoensis, R. racemosa, R.× harrisonii (Atlantic–East Pacific red mangrove). Species profiles for pacific island agroforestry, 10, 1-18.

ILMAN, M., WIBISONO, I. T. C. & SURYADIPUTRA, I. N. N. 2011. State of the art information on mangrove ecosystems in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme, Bogor.

KURNIAWATI, E. 2015. Batik mangrove rungkut Surabaya. Jurnal Tata Busana, 4.

LACASSE, K. & BAUMANN, W. 2012. Textile Chemicals: Environmental data and facts, Springer Science & Business Media.

MARTUTI, N. K. T., SOESILOWATI, E. & NA’AM, M. F. 2017. Pemberdayaan masyarakat pesisir melalui penciptaan batik mangrove. Jurnal Abdimas, 21, 65-74.

MUSMAN, M. 2010. Tanin Rhizophora Mucronata Sebagai Moluskosida Keong Mas (Pomacea canaliculata). Bionatura, 12.

PRINGGENIES, D. 2018. Bakteri Konsorsium dari Serasah Mangrove untuk Produksi Kompos (Organic Compost Production from Bacterial Consortium of Mangrove Leaf Litter). Jurnal Pengelolaan Perairan, 1, 19-26.

PRINGGENIES, D., RIDLO, A., DEWI, L. F. & DJUNAEDI, A. 2021. The Commercial Value of Mangrove-Based Pigments as Natural Dye for Batik Textiles.

RIZAL, A., SAHIDIN, A. & HERAWATI, H. 2018. Economic Value Estimation of Mangrove Ecosystem in Indonesia. Biodiversity International Journal, 2.

UTAMA, A. A. 2019. ESTIMASI NILAI EKONOMI HUTAN MANGROVE SEBAGAI PENGHASIL BAHAN PEWARNA ALAMI BATIK DI KELURAHAN MANGUNHARJO, KECAMATAN TUGU, KOTA SEMARANG. Universitas Gadjah Mada.

Editor:

Anna Amalia, Anggi Pertiwi Putri, Caroline Aretha Merylla, Adhitya Yusuf, Dian Septa Rianti

WhatsApp Image 2022-03-07 at 19.04.32

Associated Mangrove Aquaculture dan Low External Inputs Sustainable Aquaculture, Integrasi Metode Alternatif yang Efektif dalam Rehabilitasi Mangrove pada Tambak

Alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak, khususnya tambak udang, merupakan salah satu faktor menurunnya tutupan hutan mangrove di dunia (Boyd, 2002). Secara global, tutupan tambak udang mengokupasi 3.490 juta hektar (Mha) lahan dengan 1.804 Mha (76%) diantaranya merupakan tambak ekstensif yang hanya memproduksi 11,4% dari produksi udang dunia (Boyd dkk., 2021). Di Indonesia sendiri, penelitian terbaru oleh Arifanti dkk. (2021) menunjukkan bahwa pembukaan tambak berkontribusi besar terhadap aktivitas deforestasi mangrove. Sejak tahun 2009 – 2019, ekspansi tambak berkontribusi sebesar 80.696 Ha atau 36% terhadap total deforestasi mangrove di Indonesia. Adapun drivers lainnya adalah alih fungsi mangrove menjadi tumbuhan dengan vegetasi rendah (82.072 Ha), ekspansi pertanian (50.834 Ha) dan pengembangan infrastruktur (8,295 Ha). Alih fungsi mangrove menjadi tumbuhan dengan vegetasi rendah sendiri disinyalir sebagai  transisi tutupan lahan sebelum area tersebut diubah menjadi tambak.

Gambar 1. Penyebab deforestasi mangrove di Indonesia dari tahun 2009-2019 (Arifanti dkk., 2021)

Luasnya alih fungsi ekosistem mangrove menjadi tambak menyebabkan area tambak menjadi area paling ideal untuk direhabilitasi. Secara ekologis, area tambak lebih mudah untuk direhabilitasi karena hanya membutuhkan pemulihan siklus hidrologi dengan cara memecah tanggul tambak, kemudian rekrutmen dan suksesi mangrove dapat mengikuti secara alami karena propagul sudah tersedia di sekitar tambak (Primavera dkk., 2011). Beberapa negara seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand telah melakukan rehabilitasi mangrove pada tambak (Stevenson dkk., 1999, Powel dkk., 2011, Primavera dkk., 2011). Namun, rehabilitasi mangrove di seluruh area tambak dapat menjadi tindakan yang kurang bijak apabila tidak dipertimbangan secara matang, mengingat tambak merupakan salah satu kontributor besar dalam perekonomian Indonesia, khususnya dari sektor perikanan. 

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, nilai ekspor produk perikanan Indonesia tahun 2020 mencapai USD 5,2 miliar atau tumbuh positif sebesar USD5,7 miliar dibandingkan tahun 2019. Laporan ITC Trade Map tersebut juga menunjukkan bahwa komoditas udang yang merupakan hasil budi daya merupakan komoditas unggulan utama dari hasil ekspor Indonesia. Nilai ekspor udang selama tahun 2020 mencapai USD 2,04 miliar atau 8,8% terhadap nilai impor total udang dunia dengan volume ekspor udang pada tahun 2020 mencapai 239,3 juta kg, sedangkan komoditas budi daya lainnya, seperti rajungan dan kepiting, memiliki nilai ekspor sebesar USD 368 juta atau 6,8% dari total impor rajungan dan kepiting dunia dengan nilai volume ekspor sebesar 27,6 juta kg. Hal ini menunjukkan bahwa sektor perikanan budi daya merupakan salah satu tonggak perekonomian Indonesia.

Associated Mangrove Aquaculture

Untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove yang selama ini telah terdegradasi akibat pembukaan lahan tambak, Indonesia perlu menerapkan teknik rehabilitasi mangrove yang juga dapat memberikan dampak win-win solution bagi lingkungan, sosial, dan ekonomi Indonesia. Budi daya tambak yang ramah lingkungan dengan pendekatan Associated Mangrove Aquaculture (AMA). Selain itu, salah satu latar belakang pengaplikasian sistem AMA adalah adanya penurunan muka tanah yang disebabkan oleh penggunaan air tanah dan penebangan ekosistem mangrove yang mengakibatkan terjadinya abrasi sehingga merubah morfologi pantai dan berdampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Pengaplikasian AMA dapat menjadi alternatif penyelesaian masalah kompleksitas lanskap di kawasan tambak secara holistik yang tidak hanya melihat kegiatan rehabilitasi sebagai solusi dari permasalahan lingkungan, tetapi juga memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Associated Mangrove Aquaculture (AMA) menerapkan konsep Mangrove Green Belt atau sabuk hijau mangrove yang sebelumnya pernah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Surat Edaran No. 507/IV-BPHH/1990. Dalam surat tersebut, terdapat ketentuan terkait lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu selebar 200 meter dari bibir pantai dan 50 meter dari pinggir sungai. Sistem AMA menciptakan habitat bagi ekosistem mangrove untuk tumbuh secara alami sehingga mampu memulihkan sabuk hijau mangrove di sepanjang saluran air pada area estuary. Sabuk hijau pada pinggiran sungai dan pantai tersebut berkontribusi pada konservasi keanekaragaman hayati dan sedimentasi, memberikan perlindungan pada kolam-kolam tambak yang berada di belakangnya, serta berperan sebagai filter air alami yang dapat meningkatkan kualitas air yang digunakan untuk tambak (Bosma dkk., 2020). 

AMA sendiri merupakan salah satu jenis teknik silvofishery, namun sistem ini berbeda dengan sistem yang biasa digunakan di Indonesia, di mana mangrove ditanam di tanggul dan di dalam kolam. Mangrove pada sistem AMA berada di luar kolam sehingga memiliki fungsi ekosistem yang lebih banyak. Selain itu, pemisahan mangrove dari kolam memungkinkan pengelolaan kualitas air yang lebih baik untuk spesies yang dibudidayakan. Secara keseluruhan, lanskap mangrove yang dipulihkan dengan konektivitas yang baik antara habitat pesisir dan sungai juga dapat meningkatkan hasil tangkapan perikanan. Selain itu, dengan kondisi tambak di Indonesia yang sebagian besar terletak di sekitar muara sungai, sistem tambak AMA dapat memberikan proteksi bagi kolam dan ikan dari gelombang atau arus yang berasal dari sungai atau laut.

Gambar 2. Tambak AMA (Bosma dkk., 2020)

Sistem AMA merupakan terobosan metode untuk menghindari penurunan produktivitas yang terjadi apabila tanaman mangrove sudah tumbuh besar pada tambak silvofishery dengan model penanaman pada tanggul. Ketika sudah tumbuh, dedaunan yang jatuh ke kolam tambak akan terdekomposisi dan memberikan sumber makanan bagi komoditas yang dibudidayakan dalam kolam. Namun apabila sirkulasi air pada kolam tidak dialirkan dengan baik, serasah dari dedaunan yang jatuh terlalu banyak akan meningkatkan kadar amonia dalam kolam dan menurunkan tingkat oksigen terlarut di dalamnya. Hal ini dapat menurunkan tingkat produktivitas tambak atau bahkan dapat menyebabkan kematian bagi komoditas yang dibudidayakan. Penerapan sistem AMA dapat mencegah dampak tersebut, mengingat mangrove tidak berada di satu kolam yang sama dengan komoditas budi daya, melainkan berada di depan atau di sampingnya.

Secara finansial, sistem AMA dapat memberikan keuntungan  yang sangat signifikan bila dikelola dengan benar. Dalam sistem AMA, kolam-kolam tambak dapat dikelola secara lebih intensif karena kualitas air tidak terbatas pada dedaunan mangrove yang jatuh pada kolam tambak sehingga hasil tambak dengan sistem AMA dapat menyamai hasil tambak intensif normal.

Tabel 1. Perbandingan hasil produksi tambak ekstensif dengan luas 12 Ha dengan Tambak AMA dengan luas kolam tambak 5 Ha dan luas mangrove 7 Ha

Penerapan Associated Mangrove Aquaculture di Indonesia

Sistem Associated Mangrove Aquaculture sebenarnya telah diaplikasikan di Indonesia, tepatnya di Demak, Jawa tengah, sebagai upaya untuk melestarikan ekosistem mangrove dan menunjang perekonomian masyarakat melalui program Building with Nature Indonesia yang dikoordinasikan oleh Wetlands International, Ecoshape, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan (PUPR).  Namun, penerapan AMA belum dilakukan secara masif di Indonesia. Keberhasilan penerapan AMA di Demak dapat menjadi modal kuat Indonesia untuk menerapkan AMA di seluruh Indonesia. Selain dapat meningkatkan kualitas lingkungan, penerapan AMA juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Gambar 2. Perbandingan hasil panen pembudidaya yang menerapkan LEISA dengan yang tidak menerapkan LEISA (Bosma et al., 2020)

Penerapan AMA di Demak juga didukung dengan kegiatan-kegiatan pendukung sebelum eksekusi dilakukan. Sebagai contoh, di sepuluh desa pesisir Kabupaten Demak, petambak diarahkan untuk mengikuti Sekolah Lapangan Pesisir untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya ekosistem mangrove bagi kelestarian alam dan peningkatan ekonomi masyarakat. Kegiatan Sekolah Lapangan Pesisir tersebut menyadarkan para petambak bahwa mereka membutuhkan lebih banyak ekosistem mangrove dalam bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai, muara, sungai, dan kanal. Hasilnya, lebih dari 24 petambak menyerahkan kolam mereka yang telah rusak untuk pemulihan jalur hijau pesisir yang luasnya mencapai 50 Ha. Sisanya, sebanyak 48 petambak memundurkan sebagian tambaknya dari bibir sungai dan mengaplikasikan sistem AMA dengan luas hingga 10 ha. 

Sekolah Lapangan Pesisir juga mengajarkan masyarakat untuk mengadaptasi Low External Input Sustainable Aquaculture (LEISA). LEISA sebenarnya merupakan metode budi daya pertanian yang dikembangkan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia yang dapat mencemari dan membahayakan lingkungan di kemudian hari (Kessler and Moolhuijzen, 1994). Kemudian, LEISA diadaptasi dan diimplementasikan di industri budi daya perikanan dengan menggunakan sumber daya alam yang tersedia secara lokal. Berbagai manfaat yang didapat pembudi daya dengan menerapkan metode LEISA, antara lain mampu merangsang daur ulang bahan organik di kolam dengan kompos cair,  mengendalikan hama dan penyakit melalui pencegahan dan pengobatan yang aman, serta menghasilkan hasil budi daya yang baik tanpa adanya input bahan kimia berbahaya. Secara umum, petambak dengan kolam yang lebih kecil karena sistem AMA juga memiliki hasil panen yang lebih tinggi sebesar 13-21% daripada yang memiliki kolam lebih besar. Sebagai hasil kombinasi antara penerapan AMA dan LEISA, rata-rata pembudi daya yang menerapkan LEISA memiliki hasil panen yang lebih tinggi dari pada yang tidak menerapkan LEISA. 

Gambar 3. Perbandingan hasil panen pembudidaya yang menerapkan LEISA dengan yang tidak menerapkan LEISA (Bosma et al., 2020)

Tak hanya memberikan hasil yang lebih baik, program penerapan AMA dan LEISA di Demak telah memberikan harapan untuk meningkatkan kualitas ekosistem mangrove sekaligus meningkatkan hasil budi daya. Penerapan program tersebut juga menunjukkan bahwa berkurangnya luas kolam pada konversi tambak ekstensif ke tambak AMA tidak mengurangi keuntungan hasil panen, mengingat luas kolam yang lebih kecil justru memiliki lebih banyak hasil panen. Selain itu, praktik AMA juga memberi keuntungan bagi petambak, seperti meningkatkan tambahan tangkapan dari udang dan ikan yang terjebak pada pintu air dan tangkapan di sekitar kolam. 

Melalui penerapan sistem AMA jangka panjang, pembudi daya akan mampu mendapatkan tangkapan ekstra di sekitar estuari. Selain itu potensi bencana alam seperti banjir juga akan semakin menurun. Hal ini disebabkan kemampuan mangrove dalam meningkatkan kapasitas penyerapan air tanah di sekitarnya yang mempengaruhi sedimentasi akibat mangrove pada sabuk hijau serta mengurangi kemungkinan penurunan permukaan tanah. Berbagai hal tersebut menjadikan AMA  dan LEISA sebagai alat yang efektif untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam aksi pembangunan rendah karbon dan meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia di sektor perikanan.

Arifanti, V., Novita, N., Subarno & Tosiani, A. 2021. Mangrove deforestation and CO 2 emissions in Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 874, 012006.

Bosma, R., Debrot, A., Rejeki, S., Tonneljck, F., Priyanto, E. B., Susanto, A., Yunlati, W. & Sihombing, W. 2020. Associated Mangrove Aquaculture Farms; Building with Nature to restore eroding tropical muddy coasts. Ecoshape.

Boyd, C. E. 2002. Mangroves and Coastal. Responsible marine aquaculture, 145.

Boyd, C. E., Davis, R. P. & McNevin, A. A. 2021. Perspectives on the mangrove conundrum, land use, and benefits of yield intensification in farmed shrimp production: A review. Journal of the World Aquaculture Society.

Kessler, J. & Moolhuijzen, M. 1994. Low external input sustainable agriculture: expectations and realities. Netherlands journal of agricultural science, 42, 181-194.

Powell, N., Osbeck, M., Tan, S. B., & Toan, V. C. (2011). Mangrove restoration and rehabilitation for climate change adaptation in Vietnam. World Resources Report Case Study. World Resources Report, Washington DC. URL: http://www. worldresourcesreport. org.

Primavera, J. H., R. N. Rollon, and M. S. Samson. “10.10 The Pressing Challenges of Mangrove Rehabilitation: Pond Reversion and Coastal Protection.” Biologica 50 (2011): 232.

Stevenson, N. J., Lewis, R. R., & Burbridge, P. R. (1999). Disused shrimp ponds and mangrove rehabilitation. In An international perspective on wetland rehabilitation (pp. 277-297). Springer, Dordrecht.

Editor:

Anna Amalia, Anggi Pertiwi Putri, Caroline Aretha Merylla, Kemal Pramayuda