471A7225

Bersama UNDP dan Kerajaan Denmark, Bappenas Bukukan 36 Inisiator Ekonomi Sirkular

JAKARTA – Kementerian PPN/Bappenas bersama United Nations Development Programme Indonesia dan didukung Pemerintah Kerajaan Denmark meluncurkan “The Future is Circular: Langkah Nyata Inisiatif Ekonomi Sirkular di Indonesia”. Buku tersebut menjadi bagian dari langkah awal penyusunan Peta Jalan Kebijakan Ekonomi Sirkular di Indonesia, dalam konteks Pembangunan Rendah Karbon, menuju ekonomi hijau. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menerapkan ekonomi sirkular sebagai model ekonomi yang mengoptimalkan penggunaan sumber daya, mendesain produk agar memiliki daya guna selama mungkin, dan mengembalikan sisa proses produksi dan konsumsi ke dalam siklus produksi.

Ekonomi sirkular tak hanya mengenai pengelolaan limbah melalui praktik daur ulang, tetapi juga tentang efisiensi sumber daya, mencakup serangkaian intervensi di seluruh rantai pasok. Oleh karena itu, ekonomi sirkular diharapkan dapat menggantikan ekonomi linear yang menggunakan cara ‘ambil-pakai-buang’ yang tidak berkelanjutan untuk jangka panjang. “Kami ingin memulai gerakan ekonomi sirkular untuk pembangunan Indonesia ke depan, dimulai dengan pemahaman yang sama di antara kita semua, dimulai dari kementerian/lembaga, perwakilan usaha, media. Harapannya, saat kita mengatakan ekonomi sirkular, yang dibahas itu sama. Kami sudah melakukan studi di Bandung dengan UNDP dan Denmark, kalau ekonomi sirkular diimplementasikan, memiliki manfaat sangat banyak bagi Indonesia,” tutur Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam saat peluncuran buku di Jakarta, Kamis (18/8).

Buku ini memuat inisiatif penerapan konsep ekonomi sirkular dari 36 inisiator pada berbagai sektor dan aktor seperti pemerintah, pelaku usaha, dan Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia. Secara akumulatif, manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan yang diperoleh dari 36 inisiatif ini antara lain penghematan biaya operasional lebih dari Rp431,9 miliar, penciptaan lapangan pekerjaan bagi 14.270 pekerja, pengurangan emisi lebih dari 1,4 juta ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e), penghematan energi lebih dari 4,8 juta megawatt hour, penurunan konsumsi air lebih dari 252 ribu miliar meter kubik, dan pengurangan sampah lebih dari 827 ribu ton.

Penerapan ekonomi sirkular di Indonesia difokuskan pada lima sektor, yakni sektor makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan besar dan eceran, dan sektor elektronik, yang berpotensi meningkatkan Produk Domestik Bruto sebesar Rp593-638 triliun pada 2030, menciptakan penghematan rumah tangga tahunan hampir 9 persen dari anggaran, setara dengan Rp 4,9 juta atau USD 344 per tahun, dan menciptakan 4,4 juta pekerjaan dengan 75 persen di antaranya diperuntukkan bagi perempuan. Penerapan ekonomi sirkular di Indonesia juga dapat mengurangi emisi CO2e sebesar 126 juta ton dan penggunaan air sebesar 6,3 miliar meter kubik di 2030.

Jakarta, 18 Agustus 2022

Parulian Silalahi                                                                        

Kepala Biro Humas, Kearsipan, dan Tata Usaha Pimpinan

Kementerian PPN/Bappenas

humas@bappenas.go.id

KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Bappenas Luncurkan Indeks Ekonomi Hijau Untuk Mendukung Transformasi Ekonomi Indonesia

Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau atau Green Economy Index (GEI) pertama di Indonesia pada 3rd G20 Development Working Group (DWG) Side Event: “Towards Implementation and Beyond: Measuring the Progress of Low Carbon and Green Economy di Bali, Selasa (9/8). Indeks Ekonomi Hijau menjadi alat ukur tangible, representatif, dan akurat untuk mengevaluasi capaian dan efektivitas transformasi ekonomi Indonesia menuju Ekonomi Hijau, salah satu dari enam strategi transformasi ekonomi yang ditetapkan Kementerian PPN/Bappenas. Transformasi ekonomi merupakan ‘game-changers’ pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi Covid-19, sekaligus upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan tinggi, sesuai Visi Indonesia 2045.

“Prinsip utama Ekonomi Hijau adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seiring mendorong kesejahteraan sosial dan menjaga kualitas dan daya dukung lingkungan, dengan berfokus pada peningkatan investasi hijau, mengelola aset dan infrastruktur yang berkelanjutan, memastikan transisi yang adil dan terjangkau, serta memberdayakan sumber daya manusia,” ungkap Menteri Suharso. Indeks Ekonomi Hijau juga bertujuan menjaga arah capaian tujuan pembangunan jangka panjang serta mempercepat penerapan program Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim yang telah terintegrasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024, sebagai tulang punggung dalam proses transisi menuju Ekonomi Hijau. Indonesia mengusung sinergi keberlanjutan dalam pembangunan sekaligus menciptakan peluang signifikan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs), target Net-Zero Emissions pada 2060 atau lebih cepat, dan visi “Living Harmony with Nature” pada 2050.

Laporan Indeks Ekonomi Hijau menyebutkan, upaya transisi menuju Ekonomi Hijau dapat memberikan beragam manfaat bagi Indonesia, di antaranya pertumbuhan PDB rata-rata di angka 6,1-6,5 persen per tahun hingga 2050, 87-96 miliar ton emisi Gas Rumah Kaca yang diselamatkan pada rentang 2021-2060, hingga 68 persen penurunan intensitas emisi di 2045, Pendapatan Nasional Bruto (PNB) lebih tinggi di rentang 25-34 persen, setara USD 13.890-14.975 per kapita pada 2045. Selain itu, ekonomi hijau juga menghasilkan tambahan 1,8 juta tenaga kerja di sektor green jobs pada 2030 yang tersebar di sektor energi, kendaraan elektronik, restorasi lahan, dan sektor limbah. Di sektor lingkungan, 40.000 jiwa terselamatkan dari pengurangan polusi udara di 2045, restorasi jasa ekosistem bernilai USD 4,75 triliun per tahun pada 2060, 3,2 juta hektar hutan primer terlindungi pada 2060, penambahan tutupan hutan 4,1 juta hektar pada 2060, peningkatan luas hutan mangrove menjadi 3,6 juta hektar pada 2060, dan peningkatan ketahanan iklim perekonomian.

Indeks Ekonomi Hijau terdiri atas 15 indikator yang mencakup tiga pilar keberlanjutan, yakni lingkungan, ekonomi, dan sosial. “Indeks Ekonomi Hijau adalah wujud nyata Indonesia dalam mengukur efektivitas transformasi ekonomi yang berkelanjutan dan rendah karbon dengan metodologi akurat. Untuk itu, peningkatan indeks secara berkesinambungan tentu akan dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan terkini. Ke depannya, pemerintah akan menjadikan Indeks Ekonomi Hijau sebagai salah satu sasaran makro pembangunan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional jangka menengah dan jangka panjang berikutnya,” jelas Perencana Ahli Utama Kementerian PPN/Bappenas Arifin Rudiyanto.

Peluncuran Indeks Ekonomi Hijau menjadi bukti komitmen Kementerian PPN/Bappenas untuk menguatkan posisi Indonesia sebagai negara yang berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. “Sebagai focal point dari G20 Development Working Group, Bappenas telah menunjukkan kepemimpinan yang kuat dalam menerapkan kebijakan Pembangunan Rendah Karbon ke dalam pemulihan ekonomi hijau, sebuah contoh luar biasa yang sejalan dengan tema Kepresidenan G20 2022, ‘Recover Together, Recover Stronger’,” ujar Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor-Leste Owen Jenkins.

Peluncuran Indeks Ekonomi Hijau yang diselenggarakan Kementerian PPN/Bappenas bersama United Kingdom Foreign, Commonwealth & Development Office, Germany’s Federal Ministry for Economic Affairs and Climate Actions, United Nations Partnership for Action on Green Economy, WRI Indonesia, GIZ, dan GGGI. “Saya percaya, acara hari ini dapat berfungsi sebagai instrumen penting untuk berbagi ide, pengalaman, dan pengetahuan dalam upaya transformasi ekonomi menjadi ekonomi hijau, yang sangat dibutuhkan, terlebih di masa pemulihan pascapandemi Covid-19,” urai Duta Besar Jerman untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor-Leste Ina Lepel.

Tentang Development Working Group

Development Working Group (DWG) merupakan salah satu kelompok kerja dari Presidensi G20 Indonesia 2022 yang bertujuan untuk membahas isu-isu pembangunan di negara berkembang, negara tertinggal (Least Developed Countries/LDC) dan negara kepulauan (Small Island Developing States/SIDS). DWG pertama kali dibentuk melalui Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Toronto, Kanada pada 2010, dengan tugas utama untuk membahas agenda prioritas G20 dalam bidang pembangunan. DWG mengidentifikasi tantangan-tantangan pembangunan, untuk kemudian merumuskan solusi-solusi terbaik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di negara berkembang dan berpendapatan rendah sebagai upaya mitigasi krisis finansial global. 

Di bawah Presidensi G20 Indonesia 2022, DWG mengangkat empat isu prioritas, yaitu (1) Memperkuat Pemulihan dari Pandemi COVID-19 dan Memastikan Resiliensi di Negara Berkembang, Negara Tertinggal, dan Negara Kepulauan melalui tiga pilar kunci UMKM,  Perlindungan Sosial Adaptif dan Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru melalui Pembangunan Rendah Karbon; (2) Meningkatkan Pembiayaan Swasta dan Campuran dalam Mendanai Pembangunan Berkelanjutan di Negara Berkembang, Negara Tertinggal, dan Negara Kepulauan; (3) Memperbarui Komitmen Global terhadap Multilateralisme untuk Pembangunan Berkelanjutan; dan (4) Mengoordinasikan Kemajuan Pencapaian SDGs di G20 dan Pemutakhiran Komitmen Pembangunan G20.

Sebagai focal point DWG, Kementerian PPN/Bappenas telah menyelenggarakan 1st  DWG Meeting di Jakarta pada 24-25 Februari 2022 dan 2nd Development Working Group Meeting di Yogyakarta pada 24-25 Mei 2022 secara hybrid. Agenda ketiga, 3rd Development Working Group Meeting diagendakan berlangsung di Bali pada 10-12 Agustus 2022. Presidensi G20 Indonesia 2022 juga akan menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Menteri Pembangunan G20 di Belitung pada 7-9 September 2022.

Bali, 9 Agustus 2022

Parulian Silalahi

Kepala Biro Humas, Kearsipan, dan TU Pimpinan

Kementerian PPN/Bappenas

humas@bappenas.go.id

badan-meteorologi-klimatologi-dan-geofisika-bmkg-memperkirakan-terjadinya-hujan-di-kalimantan-selatan-kalsel-dalam-3-hari-ke-d_169

Quo Vadis Ekonomi Hijau Indonesia?

Medrilzam, CNBC Indonesia – Code Red for Humanity atau Kode Merah untuk Kemanusiaan merupakan sinyal jelas dan penuh kecemasan yang disampaikan dalam laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Laporan itu adalah sebuah kajian mendalam mengenai perubahan iklim dalam tiga tahun terakhir berdasar 14.000 studi ilmiah oleh 234 pengamat dari 66 negara. Laporan IPCC tahun 2021 ini juga menekankan penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah akibat aktivitas manusia.

Sementara itu, diskursus mengenai megatrend 2050 mengindikasi akan terjadi perubahan besar di masa depan dengan adanya pergeseran kekuatan ekonomi global, perubahan demografis, percepatan urbanisasi, terobosan teknologi, serta perubahan iklim dan kelangkaan sumber daya. Beragam kajian memprediksi terjadinya eksodus akibat pemanasan global seperti yang terjadi di Filipina dan Guatemala. Jika perubahan iklim akibat aktivitas manusia terus berlanjut seperti saat ini, Bank Dunia memperingatkan pada tahun 2050 jumlah pengungsi iklim akan lebih tinggi daripada akibat perang. Sebanyak 180 juta orang akan menjadi pengungsi iklim karena kehilangan tempat tinggal, kelaparan, atau mencari tempat yang lebih layak dengan sumber daya yang masih tersedia.

Di Indonesia, menurut data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), selama tahun 2021 telah terjadi 5.402 kejadian bencana di mana 98%-99% merupakan bencana hidrometeorologi, yakni banjir besar, tanah longsor, puting beliung, kekeringan dan sebagainya. Bencana hidrometeorologi ini diperkirakan akan semakin intens dan semakin besar di masa mendatang sebagai akibat dari perubahan iklim. Kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menunjukan akibat perubahan iklim, di tahun 2020-2024 Indonesia dihadapkan pada konsekuensi potensi kerugian sebesar Rp 544 triliun dari empat sektor prioritas dan dapat menahan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 4%-5% per tahun, sehingga mencegah Indonesia keluar dari middle-income trap.

Bersamaan dengan itu, kita masih tetap perlu menghadapi dampak krisis akibat pandemi Covid-19. Krisis akibat penyakit itu merupakan krisis multidimensi yang secara fundamental mempengaruhi stabilitas makroekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir, mengakibatkan kontraksi ekonomi sebesar 2,07% pada tahun 2020 serta meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Isu perubahan iklim dan dampak pandemi Covid-19 ini telah membuat Indonesia tidak lagi sama seperti sebelumnya, sehingga diperlukan langkah “luar biasa” untuk mengembalikan trajectory pertumbuhan ekonomi Indonesia ke posisi sebelum terjadinya pandemi.

Untuk menjawab kedua tantangan tersebut, pemerintah Indonesia mendorong proses transformasi ekonomi secara struktural, yang salah satu strateginya adalah penerapan pemulihan ekonomi menuju Ekonomi Hijau yang lebih berkelanjutan. Kita menyadari pemulihan ekonomi secara business as usual tidak akan dapat mengatasi tantangan yang kita hadapi. Untuk itu, Ekonomi Hijau akan didorong sebagai game changer dalam proses transformasi ekonomi Indonesia.

Sejalan dengan kebijakan transformasi ekonomi tersebut, pemerintah Indonesia telah menetapkan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebagai backbone strategi pemulihan yang akan mengantarkan Indonesia menuju Ekonomi Hijau. Kebijakan PRK bahkan telah ditetapkan sebagai program prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Melalui PRK, trade-off antara pembangunan ekonomi dan isu-isu lingkungan yang terkait dengan dampak perubahan iklim dapat diminimalkan sehingga tujuan pembangunan ekonomi nasional dan perbaikan lingkungan dapat berjalan beriringan. Ada lima sektor atau strategi prioritas utama dalam program PRK, yaitu: 1) Pemulihan lahan berkelanjutan; 2) Pengembangan energi berkelanjutan; 3) Pengelolaan sampah dan ekonomi sirkular; 4) Pengembangan industri hijau; serta 5) Rendah karbon pesisir dan laut.

Dengan menerapkan strategi tersebut, Indonesia diharapkan dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga tahun 2045 dan sekaligus mendukung tercapainya target Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih cepat lagi. Indikator keberhasilan PRK, yaitu Intensitas Emisi Gas Rumah Kaca (Emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan per satuan output ekonomi) diharapkan turun secara bertahap melalui proses transisi energi dari berbasis fossil fuel ke energi bersih (energi baru terbarukan), peningkatan efisiensi energi, dan penggunaan kendaraan listrik secara lebih luas. Tidak ketinggalan, penurunan Intensitas emisi GRK juga dihasilkan dari berbagai program di sektor lahan seperti restorasi hutan dan lahan gambut, konservasi mangrove, dan juga peningkatan produktivitas di lahan perkebunan dan pertanian.

Kebijakan PRK juga diarahkan pada pengelolaan limbah dengan penerapan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dan menurunkan produksi limbah cair hingga mendekati 100% pada tahun 2060 serta mendukung penghapusan subsidi energi secara penuh di tahun 2030 dan implementasi pajak karbon. Simulasi yang dilakukan Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan pertumbuhan ekonomi rata-rata Indonesia 6% bila skema ini diterapkan, dan target NZE dapat dicapai pada tahun 2060. Di satu sisi, Indonesia dapat keluar dari middle income trap dan menjadi sejajar dengan negara maju lainnya pada tahun 2045 (100 tahun kemerdekaan Indonesia/Indonesia Emas).

Kementerian PPN/Bappenas mencatat selama kurun waktu 2010-2020, terdapat 19.143 aksi PRK yang telah dilakukan oleh daerah dan kementerian/lembaga. Melalui sejumlah aksi tersebut, Indonesia berhasilkan menurunkan emisi GRK secara akumulatif sebesar 26,45% hingga tahun 2020 dan menurunkan intensitas emisi GRK sebesar 38,05% di tahun 2020. Hal itu sejalan dengan target pemerintah sebelumnya yang menargetkan terjadi penurunan Emisi GRK sebesar 26% di bawah baseline di tahun 2020.

Terlepas dari berbagai keberhasilan yang dilakukan melalui PRK, muncul pertanyaan sederhana: bagaimana mengukur arah pembangunan kita sudah on track menuju Ekonomi Hijau atau seberapa jauh kita masih harus berusaha? Pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/Bappenas saat ini sedang merumuskan Green Economy Index/GEI atau Indeks Ekonomi Hijau Indonesia sebagai pendekatan dan juga alat untuk mengukur efektivitas transformasi ekonomi menuju Ekonomi Hijau yang tangible, representatif, dan akurat. Kementerian PPN/Bappenas mengindikasikan GEI Indonesia, yang akan diumumkan pada saat acara G20 Development Working Group (DWG) di Bali pada bulan Agustus 2022, akan menjadi tolok ukur keberhasilan pencapaian Ekonomi Hijau Indonesia hingga 2045 dan menjadi bagian salah satu Indikator Keberhasilan Kunci Pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. GEI akan diukur setiap tahun dan kinerja GEI tahunan akan menjadi acuan bagi para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan pembangunan yang lebih hijau, rendah karbon dan berketahanan iklim untuk menghasilkan ekonomi yang hijau dan rendah karbon di Indonesia.

Sebagai focal point dari DWG G20, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian PPN/Bappenas juga telah mendorong agar penerapan Kebijakan Ekonomi Hijau akan menjadi salah satu keputusan strategis dari G20 di tahun 2022. Saat itu, Ekonomi Hijau telah masuk ke dalam draft keputusan DWG G20 yang tentunya perlu mendapat dukungan dari seluruh negara anggota G20. Diharapkan Kebijakan Ekonomi Hijau yang disepakati juga memberikan angin segar dan indikasi yang jelas kepada COP 27 UNFCCC di Mesir pada akhir 2022 bahwa seluruh negara anggota G20 mendukung terintegrasi nya aksi-aksi dalam mengatasi perubahan iklim menjadi bagian utuh dari program pembangunan nasional setiap negara untuk menghasilkan kondisi ekonomi yang rendah karbon dan ramah iklim di masa yang akan datang.

Peluncuran Indeks Ekonomi Hijau Indonesia pada rangkaian side event DWG G20 menjadi relevan dan strategis sesuai dengan tema Presidensi G20 2022 “Recover together, recover stronger”. Harapannya Indonesia dapat menjadi pemrakarsa utama dan contoh bagi negara lainnya dalam mengimplementasikan Kebijakan Ekonomi Hijau. Sudah saatnya semua negara bersatu padu untuk mewujudkan Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon demi masa depan umat manusia yang lebih baik lagi.

3S4A9899

Workshop and Capacity Building Ekonomi Sirkular: Memperkuat Implementasi Ekonomi Sirkular di Indonesia

Kementerian PPN/Bappenas melalui Direktorat Lingkungan Hidup (Dit. LH) menyelenggarakan workshop dan capacity building ekonomi sirkular kepada key stakeholder tingkat nasional dengan tema ‘Memperkuat Implementasi Ekonomi Sirkular di Indonesia’ di Bekasi (28/3).

Workshop ini dilaksanakan pada 28-30 Maret 2022 dan dihadiri oleh 56 peserta dari berbagai sektor, antara lain kementerian dan lembaga, pelaku usaha, organisasi, dan media. Tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan pemahaman pemangku kepentingan dan menggali potensi penerapan ekonomi sirkular dalam mendukung Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau di Indonesia. Penyelenggaraan workshop ini bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP), didukung oleh Pemerintah Kerajaan Denmark dan Greeneration Foundation melalui Indonesia Circular Economy Forum (ICEF). Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari laporan “Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan Ekonomi Sirkular di Indonesia” dan menjadi tahapan awal dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular.

Turut hadir memberi sambutan pembuka, Plt. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto, Environment Counselor Danish Embassy for Indonesia, Julie Bulow A., dan Head of Environment Unit UNDP Indonesia, Agus Prabowo. Setting The Context dipaparkan oleh Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam. Selain itu, kegiatan diisi oleh pembelajaran oleh berbagai ahli dalam bidang Ekonomi Sirkular, antara lain:

  • Sustainability Expert: PFAN Country Coordinator for Indonesia, Hari Yuwono
  • Training Expert: CSR and Sustainability Management Expert, Maria Dian Nurani
  • Circular Economy Expert: CEO and Founder Waste4Change, Bijaksana Junerosano
  • Circular Economy Business Expert: Consultant for PR3 Project, ReSOLVE
  • Circular Economy Policy Expert: Consulting Manager Waste4Change, Annisa Ratna Putri

Kegiatan ini diisi pula oleh kuliah tamu penerapan ekonomi sirkular, antara lain:

  • Circular Economy Best Practices from Denmark

Circular Economy Specialist at Danish Environmental Protection Agency (DEPA)

  • Creating Enabling Systems to Achieve a Holistic Circular Business Model

Integration and Communication Head, Great Giant Foods (Gunung Sewu Group)

  • Implementation of Innovative Business Models to Achieve Circularity in Technology Industry

Director of Environment and Sustainability, Schneider Electric Indonesia

Dari kegiatan ini, ditekankan pentingnya strategi dan action plan dalam penerapan ekonomi sirkular melalui diskusi perencanaan aktivitas ekonomi sirkular untuk organisasi dan instansi masing-masing peserta. Kerjasama antar sektor juga menjadi langkah awal untuk mengimplementasikan ekonomi sirkular di Indonesia, yang nantinya Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular diharapkan akan menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045.

3944028821

Penerapan Ekonomi Sirkular pada Industri Elektronik Bisa Tingkatkan PDB Rp 12,2 triliun pada 2030

JAKARTA, KOMPAS.com – Dalam beberapa tahun terakhir gaya hidup masyarakat kian lekat dengan perangkat digital dan akses virtual. Apalagi dengan adanya pandemi Covid-19 yang membatasi interaksi langsung di masyarakat menambah tinggi intensitas kegiatan virtual dengan menggunakan gawai.

Kebutuhan akan perangkat digital pun mengakibatkan praktik industri dan masyarakat yang berlebihan yang kemudian berdampak pada peningkatan timbulan limbah elektronik (e-waste) dan terbuangnya sumber daya elektronik tanpa ada kesempatan untuk diolah kembali.

Pada tahun 2021, masyarakat dunia diperkirakan telah membuang e-waste sebesar 57,4 juta ton, atau yang melebihi berat total dari Tembok Raksasa China. Lalu, bagaimana solusi pengelolaan limbah elektronik ini, agar tidak mencemari lingkungan, dan memiliki manfaat ekonomi?

Menurut Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto, salah satu solusi dari pengelolaan e-waste adalah melalui penerapan ekonomi sirkular dengan pengelolaan produk yang baik dan optimalisasi masa pakai produk.

“Kedua cara ini dapat meningkatkan penggunaan sumber daya alat elektronik yang lebih efisien dan mengurangi jumlah timbulan e-waste yang berdampak negatif pada lingkungan. Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma ekonomi dari linear (ambil-pakai-buang) menjadi sirkular yang manfaatnya lebih panjang,” kata Arifin dalam siaran pers, Selasa (7/6/2022).

Sepanjang tahun 2021, jumlah timbulan e-waste di Indonesia mencapai 2 juta ton. Jumlah tersebut akan semakin meningkat dengan semakin pendeknya usia barang elektronik dan menimbulkan dampak jangka panjang, seperti racun pada tanah dan air yang berpotensi membahayakan rantai makanan dan berujung pada gangguan kesehatan manusia.

Salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi e-waste, misalnya, dilakukan melalui pengesahan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kebijakan tersebut memuat tahapan pengolahan e-waste yang dilakukan melalui proses pembersihan dan penghilangan seluruh cairan dan gas, pembongkaran komponen secara manual, pemilahan dan pemisahan komponen yang dicopot, proses pemecahan dan pemotongan, dan pemrosesan lanjutan yang digunakan sebagai bahan baku serta bahan elektronik.

Kebijakan tentang pengelolaan e-waste juga dimandatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik yang fokus kepada tahapan penanganan menyeluruh, mulai dari proses pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, sampai pengolahan akhir sampah spesifik.

Arifin mengatakan, penerapan ekonomi sirkular mencakup pengelolaan sumber daya alam pada lima sektor prioritas (Elektronik, Makanan dan Minuman, Tekstil, Konstruksi, dan Retail), yang berfokus pada kemasan plastik) berpotensi meningkatkan PDB pada kisaran Rp 593 triliun hingga Rp 638 triliun, menciptakan 4,4 juta lapangan pekerjaan, dan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 126 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030.

“Penerapan ekonomi sirkular pada industri elektronik berpotensi meningkatkan PDB Rp 12,2 triliun pada 2030. Pada aspek lingkungan, penerapan ekonomi sirkular pada industri elektronik diprediksi dapat membantu Indonesia menghindari hampir 0,4 juta ton emisi CO2 dan menghemat 0,6 miliar meter kubik air pada 2030,” ujar Arifin.

Dari sisi sosial, sirkularitas di sektor elektronik juga dapat menghasilkan penghematan rumah tangga tahunan senilai sekitar Rp 88.000 atau 0,2 persen dari rata-rata pengeluaran rumah tangga tahunan saat ini.

Vanessa Letizia, Direktur Eksekutif dari Greeneration Foundation mengatakan, alat elektronik multifungsi dengan daya pakai yang pendek membuat banyak pihak, perlu memikirkan solusi yang efisien agar e-waste di Indonesia bisa lebih terkendali.

“Kami percaya bahwa penerapan ekonomi sirkular tidak hanya dapat mengurangi timbulan e-waste, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap aspek ekonomi dan sosial. Dengan ekonomi sirkular, alur industri elektronik tidak lagi terdiri atas produksi, konsumsi, dan buang, melainkan produksi, konsumsi, dan kelola dengan bijak,” jelas Vanessa.

Adapun prinsip 9R dalam ekonomi sirkular yakni, RefuseRethinkReduceReuseRepairRefurbishRemanufactureRepurposeRecycle menjadi kunci dalam penggunaan barang elektronik yang lebih berkelanjutan. Beberapa prinsip 9R yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi atau mengganti penggunaan bahan dasar alat elektronik berbahaya (refuse). Contohnya, produsen alat elektronik dapat mengganti refrigeran halokarbon pada pendingin udara dengan refrigeran berbahan hydrocarbon (HC) yang hemat energi.

“Penerapan prinsip ekonomi sirkular 9R di masyarakat dapat menjadi langkah awal transisi ekonomi sirkular di Indonesia sebagai upaya meningkatkan efisiensi sumber daya dan pengelolaan e-waste. Upaya tersebut tidak hanya akan berkontribusi terhadap lingkungan, tetapi juga pada pembangunan ekonomi negara yang lebih hijau dan berkelanjutan,” tegas Vanessa.

Muslim family having a Ramadan feast

Mubazir Pangan Selama Ramadhan dan Ekonomi Sirkular

Jakarta (KOMPAS) – Indonesia menghasilkan timbulan food loss and waste atau mubazir pangan yang cukup besar, yaitu 23-48 juta ton per tahun dalam dua dekade terakhir (2000-2019). Jumlah ini diperkirakan meningkat secara substansial selama bulan Ramadhan.

Strategi pengelolaan mubazir pangan dalam kerangka ekonomi sirkular dibutuhkan untuk mewujudkan efisiensi pangan yang lebih berkelanjutan.

Permasalahan mubazir pangan memang sulit dihindari. Jumlah penduduk Indonesia yang besar berpotensi menghasilkan kemubaziran pangan yang juga besar dan diperkirakan akan terus bertambah setiap tahun. Read more…

PBI

Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) di Jawa Barat Mengandalkan Sektor Pertanian untuk Kurangi Potensi Kerugian Ekonomi

# Dalam rangka mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 khususnya Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim, Menteri PPN/Kepala Bappenas telah meluncurkan kebijakan PBI.

# Kebijakan PBI adalah upaya antisipasi bahaya dan risiko perubahan iklim melalui aksi ketahanan iklim. Hal ini guna mencapai Ketahanan Iklim Nasional dengan target berupa potensi penurunan kerugian ekonomi.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) bersama Direktorat Lingkungan Hidup/Dit. LH Bappenas dan Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon/LCDI mengadakan pertemuan bertema Diseminasi Pembangunan Berketahanan Iklim di Provinsi Jawa Barat dan Pemaparan JICA Project di Bandung, Jawa Barat  pada Rabu (20/4). Perubahan iklim yang terjadi dewasa ini, baik cuaca ekstrem maupun kejadian slow-onset, menyebabkan terjadinya kerugian dan kerusakan (Loss and Damage/L&D) sumber daya. Menurut Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/UNFCCC, L&D merujuk kepada efek negatif variabilitas (fluktuasi yang tiba-tiba) dan perubahan iklim yang tidak dapat diatasi atau diadaptasi oleh manusia.

Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim/PBI yang didorong oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunan Nasional Kemen BPN/Bappenas telah menunjukkan hasil kajian ilmiah terhadap proyeksi iklim, potensi bahaya perubahan iklim, serta potensi kerugian ekonomi. Kebijakan PBI di Indonesia juga telah selaras dengan isi Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Working Group II (WGII) Sixth Assessment Report, yaitu dengan memasukkan Peningkatan Ketahanan Iklim sebagai salah satu Prioritas Nasional dalam RPJMN 2020-2024.

Berdasarkan Rancangan Aksi Nasional – Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API), terdapat 4 (empat) sektor yang diprioritaskan yaitu kelautan dan pesisir, air, pertanian, serta kesehatan. Potensi kerugian ekonomi di empat sektor tersebut diprediksi dapat mencapai Rp 544,9 Triliun pada tahun 2020-2024 dan dapat ditekan menjadi 262,9 Triliun dengan beragam aksi intervensi. Namun, usaha pengurangan dampak perubahan iklim tidak akan mengurangi potensi kerugian yang timbul tanpa adanya perlindungan terhadap wilayah miskin melalui perlindungan sosial adaptif.

Oleh sebab itu, strategi dan lokasi prioritas menjadi kunci untuk melakukan intervensi aksi ketahanan iklim yang tepat. Aksi tersebut dapat dilakukan secara langsung melalui pengurangan kerentanan dan risiko yang meliputi iklim, ekosistem, dan kehidupan masyarakat ataupun pemberian dukungan dalam mekanisme pemantauan, evaluasi, dan pelaporan berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

“Penentuan lokasi prioritas kegiatan aksi PBI menjadi sangat penting dilakukan untuk memimalkan dampak Loss and Damage yang semakin tinggi intensitas kejadiannya karena perubahan iklim, termasuk di Provinsi Jawa Barat,” ujar Irfan Darliazi, SE, M.Env.Rsc.Ec, sebagai perwakilan dari Dit. LH Bappenas.

Jawa Barat adalah contoh provinsi yang dihadapkan dengan potensi bahaya perubahan iklim tinggi. Meskipun Jawa Barat memiliki sekitar 912 ribu hektar sawah dan menghasilkan sekitar 9,5 juta ton padi pada tahun 2018, tetapi potensi kerugian ekonomi dari sektor pertanian diprediksi dapat mencapai 12 Triliun di tahun 2020-2024. Hal ini dikarenakan di tahun 2020, bencana alam didominasi oleh banjir dan tanah longsor sebesar 50%.

“Jawa Barat memiliki potensi kerugian ekonomi tertinggi di sektor pertanian dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya,” tambah Asri Hadiyanti Giastuti, ST., staf Dit. LH Bappenas.

PBI di Jawa Barat diharapkan dapat mengurangi potensi kerugian ekonomi tersebut. Dalam mengusung konsep pembangunan yang lebih luas, mitra pembangunan Japan International Cooperation Agency (JICA) membawa Jawa Barat dalam pilot project untuk meningkatkan resiliensi dan ketahanan iklim. JICA membantu dalam penyusunan kebijakan, dengan tetap menyesuaikan dengan kondisi prioritas di Jawa Barat dan memperhatikan outcome yang jelas dan terukur.

“Harapannya, provinsi Jawa Barat dapat mendukung PBI dengan partisipasi aktif dan koordinasi lintas sektor untuk memperoleh masukan konstruktif di  tingkat kebijakan dan intervensi di lapangan,” ujar Atik Nurwanda, PhD., perwakilan dari JICA.

Penguatan implementasi pembangunan berketahanan iklim selanjutnya dilakukan melalui pengembangan kapasitas dan kebijakan di empat sektor sebagai pendukung utama. Kajian terhadap resiko saat ini tengah dilakukan untuk menjaring masukan sebagai pengayaan berharga untuk pemerintah. Harapannya, berbagai Kementerian dan lembaga dapat bekerjasama untuk aksi ketahanan iklim melalui PBI di Provinsi Jawa Barat.

gbr2

Provinsi Jawa Barat Tetapkan Lima Sektor Prioritas Dalam RPRKD

Direktorat Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon Indonesia/LCDI, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jawa Barat menggelar Workshop Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Bandung, Jawa Barat pada Rabu (20/4). Kegiatan ini bertujuan menjaring masukan terhadap skenario kebijakan yang sudah tersusun dalam Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Provinsi Jawa Barat.

Menurut perhitungan trajektori besaran emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Provinsi Jawa Barat akan mencapai 134.212.470 ton CO2eq di tahun 2030. Sektor energi memberikan kontribusi paling tinggi sebesar 40%, disusul sektor transportasi sebesar 31%. Tingginya besaran emisi tersebut berakar dari masalah overpopulasi, karena sebanyak 49,9 juta jiwa mendiami provinsi Jawa Barat pada tahun 2021. Hal ini, menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi paling padat penduduknya di Indonesia. Sehingga, tantangan daya dukung dan daya tampung lingkungan muncul seiring bertambahnya pemukiman penduduk yang memengaruhi kondisi tutupan lahan (hutan) dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Disebabkan berkurangnya lahan hutan, perkebunan, dan pertanian yang beralih fungsi menjadi hunian.

Provinsi Jawa Barat, sebagai salah satu provinsi percontohan PRK, telah menandatangani Nota Kesepahaman PRK dengan Bappenas pada 2 April 2019. Dalam implementasinya, Jawa Barat membutuhkan dukungan dalam penyusunan RPRKD dan peningkatan kapasitas bagi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk melakukan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) aksi PRK melalui Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Aksi Pembangunan Rendah Karbon Indonesia/AKSARA sebagai bentuk kontribusi mencapai target penurunan emisi Provinsi Jawa Barat.

“Bappenas siap memberikan dukungan kepada Provinsi, Kabupaten/Kota serta mitra pembangunan sebagaimana disepakati dalam Nota Kesepahaman PRK yang telah ditandatangani. Kami mendorong pemanfaatan sumber daya yang ada untuk perencanaan, pematangan, dan pemantauan serta evaluasi pembangunan rendah karbon,” ujar Direktur LH Kementerian Bappenas, Medrilzam.

Lebih lanjut, Medrilzam mengatakan bahwa diperlukan transformasi besar di bidang ekonomi. Untuk itu, perlu didorong navigasi ekonomi hijau melalui PRK di Provinsi Jawa Barat. Ekonomi Hijau ditempatkan sebagai salah satu game changer yang tidak hanya mendorong pemulihan hijau, tetapi dalam jangka panjang juga mampu mereformasi sistem perekonomian nasional menjadi lebih berkelanjutan.

(dari kiri) Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Medrilzam; Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Setiawan Wangsaatmaja; dan Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat, Sumasna.

Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Prioritas Nasional (PN), khususnya agenda pembangunan 6 memfokuskan pada program membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim. Maka, guna meningkatkan pencapaian penurunan besaran emisi sesuai PN 6 PP 3, Jawa Barat memfokuskan aksi PRK-nya pada lima sektor prioritas. Yaitu pengembangan industri hijau, pengelolaan limbah, pembangunan energi berkelanjutan, aksi rendah karbon pesisir dan laut, serta pemulihan lahan berkelanjutan.

“Apa yang kita rencanakan dan lakukan saat ini adalah menguraikan aksi pembangunan industri hijau, pengelolaan limbah, pembangunan energi berkelanjutan, aksi rendah karbon pesisir dan laut, serta pemulihan lahan berkelanjutan,” ujar Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, Setiawan Wangsaatmaja.

Sementara itu, Kepala Bappeda Provinsi Jawa Barat, Sumasna, menekankan agar target dan capaian PRK dapat dikawal dengan baik. Inisiasi PRK yang melibatkan masyarakat perlu didukung dengan memasukkannya ke dalam RPJMD serta membangun dan mengubah paradigma masyarakat menuju ekonomi hijau.

“Kami memiliki komitmen tinggi untuk mendorong PRK ke depan, mulai dari pengelolaan TPA untuk pengelolaan sampah dengan budidaya maggot hingga menurunkan besaran emisi melalui sistem transportasi massal MRT dan LRT,” ujar Sumasna.

Sumasna mengatakan bahwa hal tersebut menjadi Pekerjaan Rumah/PR besar yang tidak bisa diselesaikan oleh satu sektor saja. Setiap sektor perlu saling mendukung dan berperan dalam pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) untuk menyukseskan implementasi aksi PRK di Jawa Barat (AR).

Kegiatan Workshop Pemantauan, Evaluasi, dan Pelaporan (PEP) Aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Bandung, Jawa Barat
WhatsApp Image 2022-03-07 at 10.38.44

Mengenal fesyen sirkular, siklus yang mengubah dinamika dunia mode

Jakarta (ANTARA) – Fesyen yang terus berputar mempengaruhi konsumen untuk membeli produk-produk baru agar mereka terlihat mengikuti tren, tidak ketinggalan zaman, dan memiliki gaya tersendiri.

Padahal, Yves Saint Laurent, legenda fesyen dunia, pernah berkata: fashion fades, style is eternal. Artinya, gaya adalah sesuatu yang kita bawa di dalam diri kita, bukan sekadar memakai pakaian keluaran terkini.

Prinsip Yves Saint Laurent dapat dikatakan sejalan dengan konsep fesyen sirkular atau circular fashion yang mendorong masyarakat untuk lebih berkesadaran dalam mengonsumsi produk-produk fesyen.

Dengan lebih memperhatikan fungsi, mengutamakan kualitas, dan memilih desain yang mudah dipadupadankan, kita bisa berkreasi dalam gaya pakaian yang lebih universal dan abadi. Secara tidak langsung, kita telah berkontribusi untuk mengurangi sampah dan limbah tekstil.

Secara sederhana, fesyen sirkular (circular fashion) didefinisikan sebagai produk mode yang dirancang, bersumber, diproduksi, dan dilengkapi dengan tujuan memperpanjang manfaat dari sebuah rantai produksi dan konsumsi sehingga bisa menggunakan sumber daya dengan lebih efisien (resource efficiency).

Lebih jauh lagi, fesyen sirkular memastikan daya guna sebuah garmen tetap berputar, mulai dari rancangan pakaian, berapa lama daya pakainya, pemilihan bahan pakaian yang berkelanjutan, sampai proses produksi yang mendukung kesejahteraan pekerja. Dengan kata lain, penerapan fesyen sirkular mampu meminimalkan limbah dan polusi dari industri tekstil.

Selama dua tahun terakhir, pandemi COVID-19 telah menjadi titik balik industri fesyen nasional. Pandemi menghambat proses produksi dan supply chain ritel sehingga industri fesyen tidak hanya mengalami perubahan drastis dalam kebiasaan berbelanja, tetapi juga menyesuaikan desain pakaian yang lebih mengedepankan fungsi serta keberlanjutan agar tetap bertahan di masa pandemi.

Pada saat yang sama, konsumen juga mulai aktif menyuarakan kepedulian mereka atas dampak industri fesyen terhadap lingkungan. Mau tidak mau, para pelaku industri fesyen beradaptasi dan berupaya menerapkan fesyen sirkular secara bertahap.

Limbah tekstil di balik fast fashion

Fesyen cepat (fast fashion) merupakan metode desain, pembuatan, dan pemasaran yang fokus pada pakaian yang diproduksi secara massal.

Istilah itu digunakan oleh industri tekstil yang memiliki model bisnis dengan meniru dan memperbanyak desain fesyen kelas atas sehingga menimbulkan berbagai masalah, seperti sumber daya yang menipis, sampai penumpukan limbah berbahaya.

Penumpukan limbah tekstil yang diakibatkan oleh rendahnya kualitas material menjadikan industri ini sebagai polutan kedua terbesar di dunia. Bahkan produsen fesyen cepat kini tidak hanya merilis tren fesyen untuk dua musim dalam setahun, tetapi juga merilis hingga 52 koleksi mikro per tahun.

Dengan adanya pembaruan micro collection, konsumen akan lebih sering membeli pakaian agar tetap mengikuti tren. Padahal, tiap helai pakaian hanya digunakan rata-rata tujuh kali sebelum akhirnya tak lagi dikeluarkan dari lemari pakaian.

Di Amerika Serikat, setiap orang rata-rata menyumbang limbah tekstil hingga 35 kg per tahun. Indonesia sendiri menghasilkan 2,3 juta ton limbah tekstil atau setara dengan 12 persen dari limbah rumah tangga, yang mana menurut data dari SIPSN KLHK per tahun 2021, kontribusi limbah rumah tangga terhadap komposisi sampah keseluruhan mencapai 42,12 persen. Namun dari keseluruhan limbah tekstil tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah tekstil yang didaur ulang .

Selain menimbulkan limbah, tingginya produksi pakaian dalam waktu singkat juga berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan.

Pengolahan dan pewarnaan tekstil mencemari 20 persen air di kawasan industri, di mana limbah pada air mengandung bahan-bahan berbahaya seperti merkuri dan arsenik, tetapi juga limbah rumah tangga lainnya seperti sampah organik dari sisa-sisa makanan, sampah anorganik seperti plastik dan kaleng, serta bahan kimia dari deterjen dan batu baterai yang membahayakan kehidupan makhluk hidup dalam air maupun masyarakat yang tinggal di sekitar aliran air.

Berpacu dalam laju slow fashion yang berkelanjutan

Sadar akan dampak negatif fesyen cepat yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup, kini semakin banyak pihak yang tergerak untuk memperlambat laju limbah tekstil melalui fesyen lambat (slow fashion) yang mengutamakan pemilihan bahan dan proses produksi yang ramah lingkungan, dan menggunakan material berkualitas tinggi.

Hal-hal sederhana itu mampu memperpanjang usia pakai pakaian. Konsep fesyen lambat akan membuat industri fesyen berjalan selaras dengan konsep ekonomi sirkular.

“Ekonomi sirkular merupakan kerangka ekonomi yang berupaya untuk memperpanjang siklus hidup dari suatu produk, bahan baku dan sumber daya yang ada, sehingga bisa dipakai selama mungkin,” jelas Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto, dikutip Kamis.

Dalam studi yang dilakukan Bappenas dijelaskan bahwa ekonomi sirkular lebih dari sekadar pengelolaan limbah melalui daur ulang, tetapi juga meliputi pengelolaan sumber daya alam yang mencakup keseluruhan proses produksi, distribusi, dan konsumsi dari hulu hingga ke hilir rantai pasok.

Apabila ekonomi sirkular dapat diterapkan dalam industri tekstil yang berkaitan erat dengan fesyen di Indonesia, limbah tekstil akan berkurang sebanyak 14 persen dan meningkatkan daur ulang limbah tekstil sebanyak 8 persen.

Sebagai salah satu upaya mengurangi dampak negatif dari produksi tekstil, hasil penelitian McKinsey menunjukkan bahwa pakaian yang digunakan dua kali lipat lebih lama akan mengurangi 44 persen emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh industri tekstil.

Hal itu diikuti para produsen fesyen yang mulai mengambil langkah dalam melanggengkan penggunaan pakaian sebagai upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.

Brand SukkhaCitta, misalnya, berkomitmen untuk menerapkan konsep farm-to-closet, yaitu sistem rantai pasokan yang melibatkan pengolahan bahan baku dari hasil pertanian regeneratif dan penggunaan bahan berkualitas dengan daya pakai yang tinggi.

Dengan begitu, konsumen akan mendapatkan produk fesyen yang berkualitas dan lebih menghargai prosesnya yang dapat mengurangi penebangan pohon, polusi udara, dan penggunaan listrik sebagai penyebab pemanasan global.

Kini, siklus daur ulang pengelolaan sampah yang awalnya dikenal dengan 3R (reducereuserecycle), dalam ekonomi Sirkular telah diuraikan lebih jauh menjadi 9R, yaitu RefuseRethinkReduceReuseRepairRefurbishRemanufactureRepurposeRecycleRecovery, yang penerapannya dicontohkan sebagai berikut:

Refuse: Memaksimalkan padu padan setiap helai pakaian yang ada di lemari tanpa membeli pakaian baru. Konsep ini dikenal dengan istilah capsule wardrobe.

Rethink: Menyewakan pakaian yang masih sangat layak atau jarang digunakan, misalnya baju pengantin, gaun pesta, setelan tuksedo, dan sebagainya. Situs www.styletheory.co misalnya, menghadirkan layanan berlangganan sewa berbagai jenis pakaian untuk memperpanjang daya guna pakaian.

Reduce: Memilih produk fesyen dengan bahan alami untuk mengurangi kandungan bahan kimia berbahaya pada limbah tekstil yang dihasilkan dalam proses produksi.

Reuse: Memilih barang-barang secondhand dengan thrifting.

Repair: Memperbaiki kondisi pakaian yang kita miliki, misal memasang kembali kancing yang lepas, mengganti resleting yang rusak, atau memperbaiki jahitan yang terlepas.

Refurbished: Memanfaatkan pakaian-pakaian yang sudah usang atau kotor dengan menambahkan bordir atau sulaman untuk menutupi noda yang tidak bisa hilang dan menisik celana jeans yang sobek.

Remanufacture: Memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari suatu pakaian yang masih layak dan memadukannya dengan pakaian lain untuk mendapatkan gaya yang benar-benar baru, misalnya kerah baju tartan dijahitkan pada bagian leher kaos putih polos.

Repurpose: Mengubah fungsi suatu pakaian, misalnya mengubah celana jeans menjadi rok, membuat selimut patchwork dari potongan-potongan pakaian, dan membuat boneka-boneka kecil dari kaos kaki.

Recycle: Memilah pakaian secara berkala kemudian pakaian yang sudah dipilah didonasikan ke recycle box

Recovery: Memulihkan energi dari limbah dan material pakaian yang tersisa menggunakan berbagai macam teknologi waste-to-energy

“Penerapan 9R dalam industri tekstil dan penggunaan produk tekstil merupakan sebuah siklus kebiasaan untuk tampil gaya yang sejalan dengan tanggung jawab kita untuk merawat bumi, atau dapat kita istilahkan dengan fesyen Sirkular,” kata Vanessa Letizia, Direktur Eksekutif Greeneration Foundation, yang berpartner dengan Kementerian PPN/BAPPENAS dan Pemerintah Kerajaan Denmark untuk mengkomunikasikan ekonomi Sirkular kepada masyarakat Indonesia.

“Konsumen akan menyadari bahwa tampilan produk yang sepintas terlihat tidak mengikuti tren, ternyata memiliki daya guna dan nilai lingkungan yang istimewa sehingga mendukung fesyen Sirkular,” kata Vanessa.

“Dengan melihat kedua faktor tersebut, konsumen juga harus semakin jeli meneliti produk yang dibelinya, terbiasa mengkritik produsen yang belum mendukung lingkungan, berusaha sebisa mungkin memperpanjang daya guna tekstil, dan bahkan memahami kandungan bahan baku tekstil yang tidak berbahaya untuk menghindari pencemaran oleh limbah tekstil,” jelas Vanessa.

Geliat fesyen sirkular dalam melanggengkan ekonomi

Inisiatif produsen dan masukan dari konsumen terkait produk fesyen dapat mendorong industri tekstil untuk menjadi lebih baik, terutama komitmen dalam memilih bahan-bahan yang ramah lingkungan dan bisa diperbarui.

Selain itu, diharapkan produsen dapat menetapkan rancangan yang lebih tahan lama dan memperhatikan efisiensi sumber daya sehingga dapat memastikan produk tersebut dapat digunakan kembali untuk tahapan siklus selanjutnya. Dorongan bagi produsen ini lambat laun akan menciptakan ekosistem ekonomi sirkular yang mendukung penerapan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) di Indonesia.

Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam upaya penanggulangan permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan melalui ekonomi sirkular dan pembangunan rendah karbon (PRK).

Komitmen itu merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) serta pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). PRK merupakan program prioritas pembangunan yang strategi penerapannya berkaitan erat dengan ekonomi sirkular, yaitu pembangunan energi berkelanjutan, penanganan limbah, dan pengembangan industri hijau.

Penerapan ekonomi sirkular sendiri menaungi lima sektor prioritas, yaitu makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, grosir dan perdagangan eceran/retail (terfokus pada kemasan plastik), serta peralatan listrik dan elektronik. Ekonomi sirkular akan mendorong pembangunan ekonomi dan pola industri yang lebih berkelanjutan.

Langkah-langkah ekonomi sirkular yang diterapkan pada industri tekstil bukanlah sekadar manajemen pengelolaan limbah, melainkan manajemen pengelolaan sumber daya.

Produksi tidak lagi mengambil bahan mentah dari alam, tetapi mendaur ulang materi yang sudah pernah diolah sehingga apabila diakumulasikan, akan terjadi penghematan modal dan sumber daya. Penerapan ekonomi sirkular pada produk fesyen sebagai bagian dari sektor tekstil bersama dengan penerapan pada 4 sektor prioritas lainnya berpotensi menghasilkan produk domestik bruto sebesar Rp 593 – 638 triliun pada tahun 2030.

Lebih jauh lagi, penerapan ekonomi sirkular dalam industri tekstil berpotensi meningkatkan pemberdayaan perempuan secara signifikan, mengingat sekitar 58% perempuan di Indonesia terlibat dalam industri ini.

Oleh karena itu, industri fesyen harus terus berkomitmen untuk menghadirkan produk-produk yang tidak hanya memperkaya penampilan, tapi juga merombak tampilan bumi menjadi lebih layak huni. Selain itu, konsumen juga diharapkan agar semakin konsisten memilih produk-produk yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga seluruh pihak yang terlibat bisa mendukung pertumbuhan ekonomi yang berwawasan lingkungan.

Puluhan rumah yang berdiri di dinding tanah yang tergerus longsor masih berdiri di tepi Kali Pesanggrahan, tepatnya di Jalan Usman Bontong RT 003 RW 002, Pasir Putih, Sawangan, Depok, Senin, 6 Desember 2021. Bencana longsor secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi perubahan iklim. TEMPO/Subekti.

Bappenas Prediksi Kerugian Akibat Perubahan Iklim Rp 544 T, Begini Rinciannya

TEMPO.COJakarta -Hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun.

Hasil kajian dari Kementerian PPN/Bappenas yang dimaksud berfokus pada potensi kerugian ekonomi di Indonesia sebagai dampak dari perubahan iklim.

Hasilnya menunjukkan Indonesia berpotensi mengalami kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim, jika intervensi kebijakan tidak dilakukan atau business as usual.

“Potensi kerugiannya sudah dihitung sampai 2024, dan diperkirakan kerugian ekonomi akibat berbagai [yang dipicu oleh] perubahan iklim cukup besar. Ini yang harus kita antisipasi bagaimana kita mengurangi potensi kerugian,” kata Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam pada webinar, Kamis, 6 Januari 2022.

Secara rinci, empat sektor prioritas diperkirakan bisa mengalami kerugian yang cukup signifikan. Pertama, dampak terhadap pesisir dan laut yang diperkirakan memiliki tingkat kerugian di sisi ekonomi paling tinggi. Misalnya, kecelakaan kapal dan genangan pantai. Bappenas memperkirakan kerugian akibat dampak perubahan iklim pada sektor ini mencapai Rp 408 triliun.

Kedua, sektor pertanian. Contoh kerugian ekonomi yang bisa ditimbulkan akibat perubahan iklim adalah penurunan produksi beras. Total kerugian diperkirakan sebesar Rp 78 triliun.

Ketiga, sektor kesehatan, dimana contoh kerugian yang diperkirakan oleh Bappenas yaitu peningkatan kasus demam berdarah dengan total kerugian di sisi ekonomi mencapai Rp 31 triliun.

Keempat, sektor perairan. Bappenas memperkirakan dampak perubahan iklim bisa memicu penurunan ketersediaan air hingga mencapai Rp 28 triliun.

Medrilzam menyampaikan bahwa Indonesia saat ini sudah menghadapi ancaman bencana akibat perubahan iklim. Dalam paparannya, dia menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir bencana yang kerap terjadi didominasi oleh bencana hirometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB mencatat bahwa bencana hidrometeorologi pada 2020, tahun pertama pandemi Covid-19, mencapai 4.842 kejadian, atau meningkat 2,4 kali dibandingkan dengan 2010.

Selain itu, selama periode 2010-2020, rata-rata kerugian ekonomi yang dialami oleh Indonesia akibat bencana hidrometeorologi setiap tahunnya yaitu sebesar Rp 22,8 triliun.

“Catatan dari BNPB, tahun 2020 hampir 99 persen bencana yang terjadi di Indonesia adalah yang terkait dengan hidrometeorologi yang relatif mendominasi. Tentunya, ini sangat terkait dengan perubahan iklim,” terang Medrilzam.