GAP08222

Bappenas dan Pemerintah Jerman Rekomendasikan Reformasi Pengelolaan Sampah

JAKARTA – Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan Kementerian Federal Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ) Pemerintah Republik Federal Jerman melalui GIZ melakukan Dialog Reformasi Pengelolaan Sampah untuk menyampaikan langkah prioritas perbaikan pengelolaan sampah yang perlu dijalankan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, media, dan masyarakat. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati menjelaskan komitmen Indonesia dalam pengelolaan sampah. “Pengelolaan sampah ini sudah menjadi dua agenda pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 saat ini, yaitu dalam Prioritas Nasional 5 dan 6. Ke depannya, Reformasi Pengelolaan Sampah yang terintegrasi dari hulu ke hilir ini juga akan menjadi salah satu dari 20 upaya transformasi super prioritas atau game changer di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045,” kata Deputi Vivi, Selasa (30/1).

Terdapat enam faktor pengungkit reformasi pengelolaan sampah, yaitu perencanaan berkualitas, data persampahan aktual dan akurat, kapasitas pemangku kepentingan, kelembagaan pengelolaan sampah inklusif, pendanaan kuat, dan binding mechanism. Enam faktor pengungkit dirumuskan berdasarkan analisis dan upaya perbaikan di tingkat nasional dan daerah yang telah dilaksanakan dalam Proyek Pengurangan Emisi di Perkotaan melalui Peningkatan Pengelolaan Sampah (ERiC DKTI). Proyek kerja sama Indonesia-Jerman yang dimulai sejak 2020 ini didukung komite pengarah K/L, yaitu Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian PUPR, Kementerian LHK, dan Kementerian Dalam Negeri, untuk memperkuat aspek non teknis persampahan, mulai dari perencanaan, pendanaan, kelembagaan, hingga pengelolaan data.

Fokus intervensi proyek kerja sama adalah di 6 kabupaten/kota pilot, yaitu Kabupaten Bogor, Kota Bukittinggi, Kota Jambi, Kota Cirebon, Kota Malang, dan Kota Denpasar. Beberapa hasil yang telah dihasilkan selama proyek berlangsung adalah enam laporan analisis rekomendasi kebijakan, tiga peraturan daerah tentang penyesuaian angka retribusi pengelolaan sampah di Kabupaten Bogor, Kota Bukittinggi, dan Kota Cirebon, pendampingan pemilahan sampah di lebih dari 558 kepala keluarga di 6 kabupaten/kota pilot, pembangunan Kalkulator Digital Perhitungan Biaya Retribusi Pengelolaan Sampah, serta penguatan interoperabilitas data persampahan lintas K/L.

Acara Dialog Reformasi Pengelolaan Sampah ini turut dihadiri perwakilan Pemerintah Jerman, salah satunya Deputy Head of Mission of the German Embassy to Indonesia Thomas Graf. “Pemerintah Jerman mengapresiasi dan akan terus mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam mereformasi pengelolaan sampah. Semoga rekomendasi yang dihasilkan dari proyek ini dapat segera diimplementasikan sehingga pengelolaan sampah di Indonesia dapat lebih terintegrasi dan berkelanjutan,” ungkap Thomas.

Texture of landfill with burning trash piles

The Unsung Heroes of Indonesia’s Waste Management

Medrilzam, The Jakarta Post – Informal waste collectors bridge the gap between public waste management systems and the recycling industries in Indonesia, taking on the crucial role of collecting, sorting, and trading the waste material for recycling. This is not only reducing environmental pollution but also generating more income opportunities for the community, especially the poor. However, despite contributing more than 80% of the material to the recycling industry and therefore being a driving force towards a circular economy, the informal waste collectors are often marginalized in society, worsening their vulnerable situation. Read more...

Aerial top drone view of large garbage pile, trash dump, landfill, waste from household dumping site, excavator machine is working on a mountain of garbage. Consumerism and contamination concept

Darurat Sampah di Indonesia

Sistem pengelolaan sampah membuat timbulan sampah makanan dan plastik membeludak di TPA. Memicu pencemaran lingkungan

 

Medrilzam, Koran Tempo – Pengelolaan sampah saat ini masih mengandalkan pembuangan langsung ke TPA yang menyebabkan masa pakai TPA menjadi lebih singkat dibanding jangka waktu rencana. Hal itu juga menyebabkan kenaikan tingkat pencemaran lingkungan air, udara, tanah, dan laut.

 

Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan dengan Pemerintah Jerman untuk menangani masalah sampah. Program Pengurangan Emisi di Perkotaan melalui Peningkatan Pengelolaan Sampah, bagian adri Prakasa Iklim dan Teknologi Jerman (DKTI) itu dijalankan di Kota Cirebon, Malang, Bukittinggi, Jambi, dan Denpasar, serta Kabupaten Bogor.

 

Pengkajian mereka menemukan rata-rata 72 persen sampah berakhir di TPA dan 17 persen bocor ke lingkungan. Salah satu TPA akan segera penuh dan harus ditutup tahun ini. Sedangkan TPA di kelima kota/kabupaten lainnya diperkirakan menghadapi hal yang sama dalam 2-4 tahun ke depan, bila tidak tersedia lahan untuk perluasan TPA. Sementara itu, tingkat daur ulang sampah hanya mencapai 11 persen, angka yang jauh dari kebutuhan ideal untuk mengurangi sampah ke TPA.

 

Timbunan sampah di TPA menggunung karena peningkatan laju timbulan dan perubahan komposisi sampah seiring dengan pertumbuhan ekonomi, perubahan gaya hidup, serta pola konsumsi masyarakat yang meningkat. Kajian data persampahan di enam kota/kabupaten wilayah proyek, menunjukkan bahwa laju timbulan sampah pada akhir 2021 berkisar pada rentang 0,5-1,2 kg/orang/hari dengan rata-rata mencapai 0,8 kg/orang/hari. Angka ini hampir menyusul kota metropolitan di Jepang dengan timbulan sampah sebesar 0,92 kg/orang/hari dan Singapura mencapai 1,2 kg/orang /hari.

 

Di sisi lain, budaya konsumsi yang serba cepat dan instan juga mendorong kenaikan komposisi sampah plastik. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), timbulan sampah plastik terus naik dari 11 persen di 2010 menjadi 17 persen pada 2021. Sementara itu, Kementerian PPN/Bappenas menemukan komposisi timbulan sampah dominan terdiri dari sampah makanan (48 persen), plastik (16 persen), dan taman (13 persen), yang didapatkan dari berbagai survei yang diadakan di enam kota/kabupaten wilayah proyek.

 

Pelaksanaan sistem pengelolaan sampah saat ini masih didominasi pembangunan fisik tanpa disertai tata kelola yang mumpuni. Padahal secara teknis, sistem pengelolaan sampah yang bergantung pada ketersediaan lahan yang tidak bisa menjadi opsi lagi. Keterbatasan lahan menjadikan TPA menjadi objek vital yang perlu “dilestarikan” dengan hanya menampung seminim mungkin sampah residu dan memanfaatkan kembali semaksimal mungkin sampah yang bisa didaur ulang.

 

Sayangnya, tidak ada formulasi kerangka kerja kelembagaan yang jelas antara peran aktif dari sektor informal,
masyarakat serta pihak swasta. Masing-masing bergerak sendiri tanpa sinergi untuk saling menguatkan fungsi dan peran. Dengan prinsip mendorong sinergitas antara pelayanan pengelolaan sampah dan pemulihan nilai sampah, pendekatan kolaboratif antara semua pihak diyakini menjadi kunci untuk kelembagaan pengelolaan sampah yang baik dan terintegrasi.

 

Alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah saat ini hanya berkisar di angka rata-rata 0,5 persen dari total APBD daerah dan rata-rata tidak cukup untuk menutup biaya pengelolaan sampah secara optimal. Sementara itu, retribusi persampahan juga belum bisa diandalkan untuk menutup operasional sistem pengelolaan sampah yang baik.

 

Tarif retribusi pengelolaan sampah di kota/ kabupaten di Indonesia saat ini belum diperhitungkan sesuai dengan kaidah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 tahun 2021 tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan penanganan sampah. Padahal Permendagri 7/2021 dapat menghitungkan biaya penanganan sampah dan tarif retribusi yang ideal.

 

Perubahan mendasar dan gebrakan inovasi dalam pengelolaan sampah mencakup semua aspek pengelolaan sampah seperti aspek kelembagaan, pendanaan, hukum, teknis dan partisipasi masyarakat harus segera diupayakan bersama oleh semua pemangku kepentingan.

Strategi reformasi ini tentunya perlu didukung penguatan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Enam hal yang menjadi pengungkit dalam pengelolaan sampah yaitu, peningkatan kualitas perencanaan, partisipasi pemangku kepentingan, peningkatan kapasitas, fleksibilitas kelembagaan, binding mechanism serta pendanaan. Pada akhirnya, kita semua selaku pemangku kepentingan perlu turut serta bertindak dan mengawal reformasi pengelolaan sampah yang terintegrasi dari rumah sampai ke TPA.

Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan Proyek DKTI di Kota Malang, 11 Mei 2022

Bappenas dan Program Kerjasama Jerman dukung Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau melalui Pengelolaan Sampah Berkelanjutan: Implementasi di Level Kota/Kabupaten Jadi Kunci

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab perubahan iklim, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim. Salah satu penyebab tingginya emisi GRK adalah dikarenakan adanya dekomposisi sampah yang tidak terkelola dengan baik sehingga menghasilkan emisi gas buang yang terlepas ke lingkungan. Indonesia sebagai negara keempat dengan populasi terpadat di dunia[1] diestimasikan memproduksi hingga 105.000 ton limbah padat setiap harinya,[2] menempatkan sektor limbah menjadi penyumbang emisi terbesar ketiga di Indonesia setelah sektor kehutanan dan energi,[3] yaitu sekitar 5% dari total emisi di dunia.[4] Implementasi kebijakan pengelolaan sampah berkelanjutan dari hulu ke hilir, baik di tingkat nasional maupun Kota/Kabupaten, dapat mengurangi total emisi GRK sebesar 10-15%.[5] Oleh karena itu, sistem pengelolaan sampah terpadu di pusat dan daerah dapat berkontribusi secara signifikan terhadap aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.

 

Pemerintah Indonesia telah menggagas konsep PRK yang terdiri dari 5 (lima) sektor prioritas, diantaranya adalah Penanganan Limbah dan Ekonomi Sirkular. Kebijakan PRK sektor limbah diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dan pengelolaan limbah hingga mencapai 100% pada tahun 2060. Implementasi dari ekonomi sirkular yang mampu mengurangi timbulan limbah yang dihasilkan dan dibuang, mengutamakan penggunaan energi terbarukan, dan mendukung efisiensi penggunaan sumber daya alam, produk yang dihasilkan, serta proses yang digunakan pada industri sehingga lebih ramah lingkungan. Telah banyak kebijakan dan strategi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai turunan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, diantaranya PP No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,Perpres No. 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (JAKSTRNAS), Peraturan Menteri LHK no. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, Peraturan Menteri LHK No. 14/2021 tentang Pengelolaan Sampah di Bank Sampah, dll. Kementerian PPN/Bappenas juga mendorong berbagai Kabupaten/Kota agar mengimplementasikan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dengan menerapkan konsep ekonomi sirkular untuk mendukung prinsip ekonomi hijau. Implementasi tersebut juga perlu didukung oleh penguatan data yang menunjang perumusan kebijakan, pengembangan kapasitas teknis dalam penggunaan teknologi pengelolaan sampah yang relevan dengan strategi pengurangan emisi, dan pendanaan untuk biaya operasional pengelolaan sampah di daerah.

Dalam rangka memperkuat implementasi RPJMN 2020-2024 khususnya terkait Pembangunan Rendah Karbon di sektor limbah dan  ekonomi sirkular Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas didukung oleh Program Kerjasama Jerman yang diimplementasikan oleh GIZ melaksanakan Proyek Pengurangan Emisi di Perkotaan melalui Peningkatan Pengelolaan Sampah (DKTI) yang bertujuan untuk mendukung perencanaan dan pengembangan pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir dengan memperbaiki enabling condition di tingkat nasional dan di Kabupaten/Kota piloting. Pelaksanaan Proyek DKTI diawali di Bulan April-Mei 2021 dengan seleksi lokasi piloting project berdasarkan 5 (lima) faktor penilaian (Readiness/ Kesiapan, Sustainability/ Keberlanjutan, Relevance/ Keterkaitan,  Replicability/ Kemampuan Replikasi, dan Need of Technical Assistance/ Kebutuhan Bantuan Teknis). Enam Kabupaten/Kota yang terpilih sebagai pilot project DKTI dalam sistem pengelolaan sampah. Ke-enam Kabupaten/Kota tersebut yakni Kota Cirebon, Kota Malang, Kota Bukittinggi, Kota Jambi, Kota Denpasar, dan Kabupaten Bogor. Komitmen dari Kab/Kota untuk implementasi project DKTI tertuang dalam surat komitmen dari 6 ( enam) kepala daerah.

Pada Bulan April-Juni 2022 dilakukan kegiatan kunjungan dan pertemuan dengan Badan Perencanaan Daerah, Dinas Lingkungan Hidup, dan dinas terkait lainnya di 6 (enam) Kota/Kabupaten tersebut. Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan komitmen dan memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sampah, mendiseminasikan kegiatan DKTI kepada pemangku kepentingan terkait, dan menerima masukan serta informasi terbaru berkaitan dengan manajemen persampahan, serta dukungan yang dibutuhkan dari berbagai Kota/Kabupaten terkait. Dalam pertemuan tersebut, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas juga menyampaikan pentingnya Reformasi Sistem Tata Kelola Persampahan di Kota/Kabupaten untuk mendukung pengelolaan sampah berkelanjutan, dilanjutkan pemaparan masing-masing profil pengelolaan sampah dan diskusi dengan pemangku kepentingan yang hadir.

 Secara umum, ke-enam Kabupaten/Kota memerlukan pembaharuan dokumen perencanaan atau Master Plan pengelolaan sampah agar sesuai dengan kondisi riil di wilayahnya. Sebagai contoh, Kota Malang yang pada tahun 2021 angka timbulan sampahnya sebesar 718,44 ton/hari memiliki Master Plan persampahan tahun 2020 yang belum sesuai dengan JAKSTRADA (Kebijakan dan Strategi Daerah terkait Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga). Selain itu, Kabupaten Bogor dengan Master Plan tahun 2014 membutuhkan adanya pembaruan yang tidak sekedar berpusat pada aspek infrastruktur namun juga terdapat aspek seperti partisipasi dan penguatan masyarakat serta terkait dengan isu zonasi. Oleh karena itu, intervensi berupa bantuan teknis dibutuhkan untuk menyusun Master Plan baru dan merevisi dokumen kebijakan dengan mempertimbangkan kebutuhan pengembangan sistem pengelolaan sampah jangka Panjang yang holistik mencakup seluruh aspek perencanaan pengelolaan sampah.

Tantangan lain yang ditemukan di salah satu Kabupaten/Kota pilot adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah, termasuk adanya penambahan timbulan sampah ‘kiriman’ dari luar wilayah dan aktivitas tertentu seperti pariwisata dan komutasi penduduk keluar-masuk wilayah Kabupaten/Kota. Lebih dari 75% sampah di ke-enam daerah tersebut berujung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), menyebabkan TPA penuh lebih cepat sementara rata-rata pemerintah daerah tidak memiliki lahan untuk membangun TPA baru. Untuk itu, diperlukan implementasi proyek pilot dalam hal peningkatan kesadaran publik untuk dapat mengurangi timbulan sampah, diantaranya melalui kolaborasi dengan masyarakat sebagai aktor kunci dalam sistem pengumpulan sampah terpilah dan terjadwal, serta dialog dengan pemangku kepentingan terkait di level Kecamatan dan Kelurahan. Di Bukittinggi, penanganan sampah telah disisipkan dalam agenda agama berupa sedekah sampah. Selain itu untuk meningkatkan jumlah sampah terkelola, diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat, antara lain bantuan teknis untuk optimalisasi Tempat Pengolahan Sampah – Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) berkelanjutan seperti di Jambi, serta dukungan teknologi di TPS3R berupa Black Fly Soldier (BSF)/Lalat Tentara Hitam dan Plastic Extruder.

Sementara itu, pendanaan juga merupakan isu yang selalu menjadi perhatian di ke-enam Kabupaten/Kota pilot. Hal ini disebabkan karena alokasi anggaran pengelolaan sampah sangat minim dan tarif retribusi di daerah belum merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 (Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah). Oleh karenanya diperlukan peningkatan kapasitas dalam perhitungan biaya persampahan dan retribusi, eksplorasi opsi terkait akses pendanaan lainnya, pengembangan inovasi sistem penarikan retribusi sampah yang optimal, serta pengembangan model pembiayaan pengelolaan sampah.

Harapannya, melalui implementasi pendekatan berbasis sistem di tingkat Kota/Kabupaten pilot, aksi intervensi yang tengah dijalankan melalui proyek DKTI dapat mengakselerasi terwujudnya reformasi pengelolaan sampah berkelanjutan di berbagai daerah untuk mendukung pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau di Indonesia.

Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Cirebon, 8 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Jambi, 12 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Bukittinggi, 14 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Malang, 11 Mei 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kabupaten Bogor, 23 Juni 2022

[1] Worldometers. 2020. https://www.worldometers.info/world-population/#top20 diakses 29 Agustus 2022

[3] Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV Nasional 2017. http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/3150-kontribusi-penurunan-emisi-grk-nasional,-menuju-ndc-2030.html diakses 29 Agustus 2022

[4] Kristianto, G.A. & W. Koven. 2019. Estimating greenhouse gas emissions from municipal solid waste management in Depok, Indonesia. City and Environment Interactions: 4.

[5] Oates, L. et al. 2019. Supporting decent livelihoods through sustainable service provision: Lessons on solid waste management from Kampala, Uganda. Coalition for Urban Transitions.