A modern factory in an industrial zone under a blue sky - a cool picture for presentations

Pemanfaatan DME Batu Bara: Ancaman terhadap Ekonomi Hijau?

Pada 24 Januari 2022 yang lalu, telah diresmikan peletakan batu pertama atau groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Proyek yang digarap oleh PT Bukit Asam (PTBA) ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan energi nasional serta mengurangi beban keuangan negara akibat impor liquefied petroleum gas (LPG).

 

Berdasarkan data Kementerian ESDM, tren konsumsi LPG dari tahun 2016-2020 terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 5,07 persen per tahun, seiring dengan meningkatnya jumlah impor LPG. Dalam penggunaannya, LPG umumnya dipakai sebagai bahan bakar untuk memasak. Secara proporsi, mayoritas LPG dikonsumsi oleh sektor rumah tangga (96%), sementara sisanya dikonsumsi oleh sektor komersial (2,5%) dan industri (1,5%) [1]. Dalam kondisi skenario business as usual (BAU) di mana tingkat pertumbuhan konsumsi LPG rata-rata 5 persen, konsumsi LPG pada 2030 diproyeksikan mencapai lebih dari 2 kali lipat dibandingkan konsumsi pada tahun 2016. Dari sisi ketahanan energi, kondisi tersebut ancaman karena ketersediaan LPG dari sumber domestik belum mampu memenuhi konsumsi dalam negeri. Padahal, sektor rumah tangga dan komersial sangat bergantung kepada LPG sebagai bahan bakar memasak.

Gambar 1. Realisasi dan Proyeksi Konsumsi LPG Indonesia

Hal lain yang menjadi perhatian pemerintah adalah tingginya biaya impor LPG yang harus dikeluarkan Pertamina akibat terus naiknya jumlah LPG yang diimpor. Tercatat pada tahun 2020 lalu, 78% konsumsi LPG atau 4,5 juta SBM dipenuhi dari impor. Pada tahun 2020, beban anggaran untuk impor LPG diperkirakan mencapai USD 5,56 miliar atau sekitar Rp 80 triliun [2].

Untuk mengatasi permasalahan ini, intervensi terhadap opportunity loss untuk meningkatkan perekonomian domestik perlu menjadi fokus utama. Uang yang digunakan untuk impor dapat dialihkan dan diinvestasikan untuk mengembangkan sumber energi lokal yang dapat menjadi substituen penggunaan LPG.

Dengan adanya investasi domestik, akan muncul multiplier effect yang dapat menstimulasi ekonomi domestik dibandingkan dengan hanya melakukan impor LPG. Berdasarkan studi IESR & IIEE (2019), angka rata-rata multiplier effect sektor migas di Indonesia adalah sebesar 1,6 [3]. Sebagai gambaran, setiap investasi sebesar USD 1 juta akan menghasilkan total kegiatan ekonomi domestik sebesar USD 1,6 juta. Selain itu, berdasarkan pernyataan Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, aktivitas produksi DME di Tanjung Enim akan membuka lapangan pekerjaan baru untuk sekitar 12.000 orang [4]. Kesempatan-kesempatan inilah yang akan hilang jika Indonesia tetap melakukan impor secara penuh.

Mengenal Proses Pembentukan DME Batu Bara

Sebagaimana diketahui, DME diproyeksikan dapat menjadi pengganti bahan bakar LPG yang pasokannya bergantung pada impor dalam beberapa tahun terakhir. DME adalah jenis gas turunan yang dapat diproduksi dari berbagai bahan baku, seperti batu bara, gas alam, bahkan biomassa. Proses pembentukan DME batu bara, dikutip dari AEER (2020) [5], dilakukan melalui beberapa tahap yaitu:

  1. Gasifikasi Batu Bara

Proses ini mengubah batu bara (karbon) dari bentuk padatan menjadi synthesis gas (syngas) dengan metode pemberian tekanan tinggi serta reaksi dengan air sehingga didapat produk syngas. Pada proses ini, dihasilkan pula beberapa zat pengotor berbentuk padat seperti abu dan kerak sisa pembakaran yang merupakan produk limbah dari proses gasifikasi. Formula reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

C+H2O → H2+CO (syngas)

2. Pembuangan Gas Sulfur

Syngas yang dihasilkan dari proses gasifikasi juga memiliki zat pengotor dalam bentuk gas seperti CO2, H2S, dan lain-lain. Gas pengotor ini perlu dibuang agar kualitas syngas meningkat. Pada proses ini, gas pengotor yang dibuang adalah gas yang mengandung sulfur, yaitu H2S dengan cara pembakaran langsung melalui proses flaring.

3. Pengondisian Syngas

Pada tahap ini, syngas dikondisikan agar komposisi H2 dan CO mencapai rasio yang tepat. Pada tahap ini pula gas CO2 yang masih tertinggal dalam syngas akan diserap dengan menggunakan diethanolamine (DEA) untuk memurnikan syngas. Setelah melalui proses ini, syngas siap untuk disintesis menjadi DME.

4. Sintesis DME

Proses sintesis syngas menjadi DME dilakukan dalam sebuah reaktor dan kembali menghasilkan zat pengotor seperti CO2, CO, H2, gas-gas inert (CH2 dan N2), serta H20. Adapun reaksi sintesis DME adalah sebagai berikut:

3H2 + 3CO → DME+CO2

5. Pemurnian DME

Pada tahap ini, DME yang telah dihasilkan akan dimurnikan kembali dari zat-zat pengotor seperti yang telah disebutkan di atas untuk mendapatkan DME dengan kualitas tinggi.

Sumber: AEER (2020)

Dengan cadangan sumber daya batu bara yang melimpah, Indonesia memiliki potensi tinggi untuk mengembangkan DME berbasis batu bara. Terlebih, bahan baku DME batu bara dapat menggunakan low-rank coal yang memiliki nilai kalor relatif rendah yang tidak terserap oleh PLTU batu bara. Dengan mengembangkan DME yang berasal dari sumber daya batu bara domestik, jumlah dan beban biaya impor LPG dapat ditekan secara bertahap. Pemanfaatan DME juga telah dipertimbangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang memproyeksikan, DME untuk dapat menggantikan 12 persen dari total konsumsi LPG mulai dari tahun 2025 sampai dengan 2030, atau bertahap dari 10,5 juta SBM di 2025 hingga 13,4 juta SBM di 2030.

DME Batu Bara: Energi Baru, tapi Tetap Fosil

Dari sisi ketahanan energi nasional dan pengurangan impor energi, pemanfaatan DME memang memberikan keuntungan. Akan tetapi, DME yang diproduksi dari batu bara memiliki potensi dampak negatif yang penting untuk diperhatikan: dampak emisi gas rumah kaca (GRK).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, proses produksi DME berpotensi menghasilkan peningkatan emisi GRK dengan adanya gas CO2 yang dihasilkan di beberapa proses. Seperti yang kita tahu, Indonesia telah menegaskan komitmen untuk menurunkan emisi GRK sesuai Paris Agreement sebesar 29% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri, atau sebesar 41% dengan bantuan internasional. Tentu komitmen ini harus tetap dijaga beriringan dengan upaya untuk meningkatkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan energi negeri. Dampak dari pemanfaatan DME juga harus dihitung secara detail dan diikuti oleh implementasi aksi mitigasi yang tepat.

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Joint Research Center European Comission (JRC EC) [6], proses produksi DME dari batu bara menghasilkan emisi sebesar 153 kg CO2/SBM dan proses pembakaran DME menghasilkan emisi sebesar 412 kg CO2/SBM. Emisi pembakaran DME tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan emisi pembakaran LPG 386 kg CO2/SBM [7]. Dengan proyeksi pasokan dan utilisasi DME berdasarkan RUEN seperti yang telah disebutkan sebelumnya, setidaknya terdapat potensi peningkatan emisi GRK sebesar 1,9 juta ton COdi tahun 2025 dan 2,4 juta ton CO2 di tahun 2030 dibandingkan dengan utilisasi LPG.

Merencanakan Aksi Rendah Karbon untuk DME Batu bara

Menimbang dampak positif dan negatif dari pemanfaatan DME batu bara, jika Indonesia berencana memanfaatkan energi tersebut Indonesia perlu mempertimbangkan upaya-upaya penetralan emisi yang dihasilkan dari pemanfaatan DME. Setidaknya, terdapat dua aksi rendah karbon yang dapat dijadikan alternatif.

1. Memasang teknologi carbon capture and storage (CCS) pada fasilitas DME

Implementasi teknologi CCS pada fasilitas DME memungkinkan proses produksi DME menjadi zero carbon emission. Merujuk pada proses pembuatan DME, CCS akan dipasang untuk menangkap gas buangan karbon pasca proses flaring dan pemurnian DME. Menurut rencana, teknologi CCS akan dipasang pada fasilitas DME batu bara di Tanjung Enim [4]. Keuntungan dari penggunaan teknologi CCS adalah kemampuannya dapat menghilangkan potensi emisi lokal yang terjadi. Namun, pemasangan teknologi CCS akan menambah biaya produksi dari DME batu bara. Hal ini perlu dicermati agar harga DME yang dihasilkan tetap memenuhi nilai keekonomian dan meminimalkan jumlah subsidi pemerintah jika memang diperlukan.

 

2. Memanfaatkan skema carbon offset

Aksi rendah karbon lain yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan skema offset melalui kegiatan lain. Skema offset dapat dilakukan sendiri oleh Indonesia dengan melaksanakan proyek terkait (baik langsung dari Pemerintah maupun BUMN) ataupun dengan membeli karbon dari penyedia cadangan karbon yang ada. Sebagai gambaran alternatif, agar jumlah emisi dari DME dapat dinetralkan, Indonesia (melalui PLN) harus membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang setara dengan 1.300 MW PLTS, yang kemudian disertifikasi agar layak untuk mengikuti perdagangan karbon sebagai dasar skema offset.

Contoh kegiatan lain yang dapat dilakukan melalui skema carbon offset di sektor kehutanan ialah dengan melakukan penanaman kawasan hutan baru seluas 24.000 hektar untuk menambah sekuestrasi karbon. Jika digarap secara mandiri, alternatif aksi-aksi tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu dari 2025 hingga tahun 2030. Dengan keterbatasan waktu yang ada, salah satu opsi yang dapat dilakukan pemerintah ialah menugaskan PTBA sebagai pemilik fasilitas DME untuk membeli cadangan karbon. Selain itu, skema carbon offset dapat dijadikan pilihan jika ternyata harga pasar karbon lebih ekonomis daripada biaya pemasangan fasilitas CCS. Namun, berkebalikan dengan opsi pemasangan CCS, mengambil alternatif carbon offset akan berpotensi untuk meningkatkan emisi karbon lokal di daerah Tanjung Enim.

 

Setiap alternatif kebijakan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika pengelolaan produksi DME batu bara dilakukan secara tepat, proyek ini dapat dijadikan acuan praktik baik dalam pembangunan rendah karbon. Apa pun alternatif yang akan diambil, perlu diingat kembali bahwa tujuan besar Indonesia adalah untuk menciptakan transformasi ekonomi nasional menuju ekonomi hijau dan berkelanjutan agar kita maupun generasi selanjutnya tetap bisa menikmati pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA

 

[1] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2021). Handbook Of Energy & Economic Statistics Of Indonesia. https://www.esdm.go.id/id/publikasi/handbook-of-energy-economic-statistics-of-indonesia

[2] Taher, Andrian Pratama (2021). “Jokowi Ingin Impor LPG Disetop karena Anggaran Boros Rp80 Triliun”. https://tirto.id/gn57

[3] IESR &IIEE (2019). Kebutuhan Investasi Energi di Indonesia – Studi Kasus: Rencana Umum Energi Nasional. Jakarta: Institute for Essential Services Reform (IESR) & Indonesian Institute for Energy Economics (IIEE).

[4] Khoirunnissa, Jihaan (2021). “Pertamina Mulai Proyek DME Pengganti LPG di Tanjung Enim”. https://finance.detik.com/energi/d-5913330/pertamina-mulai-proyek-dme-pengganti-lpg-di-tanjung-enim

[5] AEER (2020). Coal Downstreaming in the Form of Dimethyl Ether (DME) Will Increase Greenhouse Gas Emissions.

[6] Prussi, M., Yugo, M., De Prada, L., Padella, M., Edwards, R., Lonza, L. JEC Well-to-Tank report v5, EUR 30269 EN, Publications Office of the European Union, Luxembourg, 2020, ISBN 978-92-76-19926-7, doi:10.2760/959137, JRC119036.

[7] IPCC 2006, 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T., and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.

Editor:

Anggi Pertiwi Putri, Caroline Aretha Merylla

President Joko "Jokowi" Widodo gave speech at World Leaders Summit on Forest and Land Use, held in Glasgow, Scotland on Tuesday, November 2 2021.(President Secretariat/BPMI Setpres/Lukas)

The more ambitious climate action the better for Indonesia’s economy

The Jakarta Post. Indonesia, like many other economies across the world, is gradually recovering from multiple waves of COVID-19 infection. Meanwhile, we are at a pivotal juncture in dealing with climate change, as the cost of climate impacts begins to mount and our window for action narrows.

Climate change has many dangerous implications for Indonesia. Indonesia’s gross domestic product (GDP) could shrink by 16.7 to 30.2 percent because of the impacts of climate change if the world is 2 to 2.6 degrees Celsius warmer by mid-century, according to recent analysis by the insurer Swiss Re. Indonesia also ranks as the most vulnerable to climate change impacts among the 48 countries analyzed.

Yet, climate action is also a huge opportunity. With system-changing green interventions in key economic systems, Indonesia could reach net-zero emissions by as early as 2045, while achieving strong, resilient growth. Read more…

presenting-the-future-of-carbon-market-indonesia_169

Hadapi Transisi Karbon, Bappenas Siapkan 3 Hal Penting

Jakarta, CNBC Indonesia – Dalam beberapa tahun terakhir, cuaca ekstrem di berbagai negara semakin meningkat seiring dengan pemanasan suhu yang sudah mencapai 1,1 derajat Celcius. Dampak kerugian yang ditimbulkan bukan hanya sekadar kerusakan lingkungan tetapi juga kehilangan dari sisi ekonomi, termasuk banyak lapangan kerja yang terdampak oleh karena isu atau bencana hidrometeorologi.
Hasil studi Bappenas menunjukkan, energi demand diproyeksikan meningkat 3 kali lipat pada 2060. Dalam komitmen yang diambil dalam COP26, pembangunan yang dilaksanakan di setiap negara Indonesia juga cukup banyak berkolaborasi dengan negara lain dan multilateral agency perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam berbagai potensi dan diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengejar berbagai target yang sudah dijalankan dalam kebijakan pembangunan berupa karbon.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/BAPPENAS Medrilzam, mengatakan pihaknya telah menyiapkan 3 hal penting dalam transisi rendah karbon melalui konteks pembangunan.

“Pertama, kami melakukan Exercise Net Zero Emission, tentunya terkait dengan penurunan intensitas energi Indonesia dalam rangka untuk menjajaki komitmen yang sifatnya yang lebih serius,” ujar Medrilzam dalam acara Presenting The Future of Carbon Market Indonesia, ICF 2021, Rabu (1/12/2021).

Intensitas emisi gas rumah kaca ini tentunya nanti akan diturunkan lagi menjadi kebijakan yang strategis terutama di 3 sektor, yakni energi, lahan, dan juga limbah. Dia menambahkan, perkiraan penurunan beberapa kebijakan seperti rekonstruksi dan rehabilitasi mangrove diperkirakan mampu berkontribusi 24,9 % untuk menurunkan emisi karbon.
Kedua, Medrilzam menuturkan Penerapan Ekonomi Sirkuler dalam Pola Bisnis Perusahaan menjadi hal penting selanjutnya. Adapun sektor yang diperhatikan dalam hal ini yakni ekonomi, sosial, dan Lingkungan. Sedangkan yang ketiga yakni Transfer Teknologi Rendah Karbon dan Pengembangan SDM.

“Dalam kaitannya dengan sumber daya manusia untuk mendukung implementasi dari praktisi rendah karbon melalui berbagai kegiatan dan sektor terkait, tentunya teknologi sangat erat kaitannya. Jangan sampai ketinggalan dari sisi teknologi dan kemampuan kita dalam mengekspor berbagai potensi inovasi dan teknologi yang bisa kita kembangkan,” jelasnya.
Sementara itu, Coordinating Vice Chairwoman KADIN Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani, mengungkapkan sejumlah skenario telah disiapkan Pemerintah untuk mencapai pembangunan rendah karbon. Hal ini telah tertuang dalam Low Carbon Development Initiative 219 yang berisikan strategi pembangunan Indonesia dalam pembangunan rendah karbon sampai dengan 2050 yang juga memprioritaskan kualitas lingkungan penanggulangan bencana dan perubahan iklim.

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga telah mengesahkan Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional, serta pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.
Pengesahan peraturan ini juga telah disampaikan oleh Jokowi dalam pertemuan COP26 yang di dalamnya mencakup nilai ekonomi karbon atau karbon pricing yang dilaksanakan melalui 4 mekanisme, yaitu perdagangan karbon, offset karbon, pembayaran berbasis kinerja dan pungutan atas karbon.

“Target penurunan emisi gas rumah kaca merupakan tanggung jawab negara namun sektor swasta memegang peranan penting. Dalam mewujudkan percepatan target tersebut, pemerintah di tingkat nasional mulai berkolaborasi dengan pihak swasta, pemerintah daerah, dan pihak-pihak lainnya untuk mencapai target iklim yang lebih ambisius,” tutur Shinta.

Menurutnya, keterlibatan sektor swasta merupakan suatu hal yang krusial, salah satu diantaranya dalam pengembangan solusi dan inovasi teknologi pengembangan inovasi dan terobosan energi yang diluncurkan pada 2021 dan masih menjadi pembahasan pada COP26, yang berfokus kepada percepatan adopsi teknologi untuk pembangkit energi terbarukan pada negara berkembang.

Hal ini ditujukan untuk mengurangi profil risiko untuk investasi sektor ini, yang juga membutuhkan keterlibatan dari sektor swasta. Upaya penurunan emisi gas rumah kaca juga dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar yang mendasarkan pada aspek Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Shinta menambahkan, kebijakan NEK ini memerlukan kerjasama dan kolaborasi berbagai pihak, termasuk swasta dalam upaya penanggulangan perubahan iklim dan penurunan emisi karbon untuk mencapai ekonomi yang berkelanjutan.

“Dengan ini, diharapkan nantinya investasi hijau global juga akan berlomba datang ke Indonesia, dan kesempatan ini akan menjadikan Indonesia sebagai acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor, terutama sektor energi transportasi dan juga industri manufaktur,” pungkas Shinta.