Aerial top drone view of large garbage pile, trash dump, landfill, waste from household dumping site, excavator machine is working on a mountain of garbage. Consumerism and contamination concept

Darurat Sampah di Indonesia

Sistem pengelolaan sampah membuat timbulan sampah makanan dan plastik membeludak di TPA. Memicu pencemaran lingkungan

 

Medrilzam, Koran Tempo – Pengelolaan sampah saat ini masih mengandalkan pembuangan langsung ke TPA yang menyebabkan masa pakai TPA menjadi lebih singkat dibanding jangka waktu rencana. Hal itu juga menyebabkan kenaikan tingkat pencemaran lingkungan air, udara, tanah, dan laut.

 

Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan dengan Pemerintah Jerman untuk menangani masalah sampah. Program Pengurangan Emisi di Perkotaan melalui Peningkatan Pengelolaan Sampah, bagian adri Prakasa Iklim dan Teknologi Jerman (DKTI) itu dijalankan di Kota Cirebon, Malang, Bukittinggi, Jambi, dan Denpasar, serta Kabupaten Bogor.

 

Pengkajian mereka menemukan rata-rata 72 persen sampah berakhir di TPA dan 17 persen bocor ke lingkungan. Salah satu TPA akan segera penuh dan harus ditutup tahun ini. Sedangkan TPA di kelima kota/kabupaten lainnya diperkirakan menghadapi hal yang sama dalam 2-4 tahun ke depan, bila tidak tersedia lahan untuk perluasan TPA. Sementara itu, tingkat daur ulang sampah hanya mencapai 11 persen, angka yang jauh dari kebutuhan ideal untuk mengurangi sampah ke TPA.

 

Timbunan sampah di TPA menggunung karena peningkatan laju timbulan dan perubahan komposisi sampah seiring dengan pertumbuhan ekonomi, perubahan gaya hidup, serta pola konsumsi masyarakat yang meningkat. Kajian data persampahan di enam kota/kabupaten wilayah proyek, menunjukkan bahwa laju timbulan sampah pada akhir 2021 berkisar pada rentang 0,5-1,2 kg/orang/hari dengan rata-rata mencapai 0,8 kg/orang/hari. Angka ini hampir menyusul kota metropolitan di Jepang dengan timbulan sampah sebesar 0,92 kg/orang/hari dan Singapura mencapai 1,2 kg/orang /hari.

 

Di sisi lain, budaya konsumsi yang serba cepat dan instan juga mendorong kenaikan komposisi sampah plastik. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), timbulan sampah plastik terus naik dari 11 persen di 2010 menjadi 17 persen pada 2021. Sementara itu, Kementerian PPN/Bappenas menemukan komposisi timbulan sampah dominan terdiri dari sampah makanan (48 persen), plastik (16 persen), dan taman (13 persen), yang didapatkan dari berbagai survei yang diadakan di enam kota/kabupaten wilayah proyek.

 

Pelaksanaan sistem pengelolaan sampah saat ini masih didominasi pembangunan fisik tanpa disertai tata kelola yang mumpuni. Padahal secara teknis, sistem pengelolaan sampah yang bergantung pada ketersediaan lahan yang tidak bisa menjadi opsi lagi. Keterbatasan lahan menjadikan TPA menjadi objek vital yang perlu “dilestarikan” dengan hanya menampung seminim mungkin sampah residu dan memanfaatkan kembali semaksimal mungkin sampah yang bisa didaur ulang.

 

Sayangnya, tidak ada formulasi kerangka kerja kelembagaan yang jelas antara peran aktif dari sektor informal,
masyarakat serta pihak swasta. Masing-masing bergerak sendiri tanpa sinergi untuk saling menguatkan fungsi dan peran. Dengan prinsip mendorong sinergitas antara pelayanan pengelolaan sampah dan pemulihan nilai sampah, pendekatan kolaboratif antara semua pihak diyakini menjadi kunci untuk kelembagaan pengelolaan sampah yang baik dan terintegrasi.

 

Alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah saat ini hanya berkisar di angka rata-rata 0,5 persen dari total APBD daerah dan rata-rata tidak cukup untuk menutup biaya pengelolaan sampah secara optimal. Sementara itu, retribusi persampahan juga belum bisa diandalkan untuk menutup operasional sistem pengelolaan sampah yang baik.

 

Tarif retribusi pengelolaan sampah di kota/ kabupaten di Indonesia saat ini belum diperhitungkan sesuai dengan kaidah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 tahun 2021 tentang Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan penanganan sampah. Padahal Permendagri 7/2021 dapat menghitungkan biaya penanganan sampah dan tarif retribusi yang ideal.

 

Perubahan mendasar dan gebrakan inovasi dalam pengelolaan sampah mencakup semua aspek pengelolaan sampah seperti aspek kelembagaan, pendanaan, hukum, teknis dan partisipasi masyarakat harus segera diupayakan bersama oleh semua pemangku kepentingan.

Strategi reformasi ini tentunya perlu didukung penguatan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Enam hal yang menjadi pengungkit dalam pengelolaan sampah yaitu, peningkatan kualitas perencanaan, partisipasi pemangku kepentingan, peningkatan kapasitas, fleksibilitas kelembagaan, binding mechanism serta pendanaan. Pada akhirnya, kita semua selaku pemangku kepentingan perlu turut serta bertindak dan mengawal reformasi pengelolaan sampah yang terintegrasi dari rumah sampai ke TPA.

Solar energy panel and light bulb, green energy concept

Indonesia Butuh Akses Energi yang Berkeadilan

Jakarta, Investor.id – Di tengah ancaman krisis energi yang melanda dunia akibat dampak perang Rusia-Ukraina, transisi energi menjadi salah satu perbincangan penting dalam gelaran KTT G20 2022 lalu. Transisi energi yang ramah lingkungan dan energi baru terbarukan diharapkan dapat menjadi solusi masalah energi ke depan.

Energi memegang peran vital dalam mendorong pertumbuhan sosial, ekonomi namun tidak merugikan atau menghilangkan daya dukung dan daya tampung lingkunan. Indonesia terus berjuang mewujudkan akses energi yang berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik di tingkat nasional, daerah, hingga pedesaan.

Komisioner Low Carbon Development Indonesia (LCDI) Dyah Roro Esti mengatakan, saat ini, sebagian besar sumber energi yang ada di Indonesia masih dihasilkan dari bahan bakar fosil (batubara, minyak, dan gas). “Dengan proporsi energi fosil mencapai lebih dari 80% dalam bauran energi primer, urgensi untuk melakukan dekarbonisasi semakin tinggi. Upaya-upaya pengembangan ke energi baru dan energi terbarukan (EBET) atau transisi energi perlu mendapat dukungan dari semua pihak,” ujar Dyah yang juga merupakan anggota Komisi VI DPR RI ini.

Keputusan Pemerintah Indonesia yang meningkatkan target mengurangi emisi GRK dari 29% menjadi 31.89% (dengan upaya sendiri) dan dari 41% menjadi 43,20% (dengan bantuan internasional) pada 2030 masih sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai net zero emissions (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Karenanya, kata Dyah, peran sektor energi menjadi sangat penting untuk mencapai NZE.

Berdasarkan hasil proyeksi yang dilakukan Kementerian PPN/Bappenas, permintaan energi diperkirakan akan meningkat sebesar tiga kali lipat dari 9,3 terajoule di 2021 ke 31,9 terajoule di 2060 seiring dengan laju pembangunan dan perekonomian yang terus tumbuh. “Jika seluruh permintaan energi tersebut tetap dipenuhi oleh bahan bakar fosil, dampak dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan polusi udara pasti akan sangat merusak iklim dan kesehatan manusia,” imbuhnya.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/RPJMN 2020-2024 yang disusun Kementerian PPN/Bappenas mengenali tantangan tersebut dan bertujuan menurunkan intensitas energi dari perekonomian nasional sebanyak 1% per tahun dan meningkatkan EBET pada bauran energi primer sebanyak 23% di tahun 2025. Sedangkan skenario net-zero emission memperkuat ambisi pada kedua sisi dalam jangka yang lebih panjang, yaitu dengan menurunkan intensitas energi terhadap PDB secara bertahap hingga 2% per tahun dan memaksimalkan penggunaan EBET hingga mendekati 100% di tahun 2060.

Dijelaskan Dyah, pemanfaatan EBET sangat penting dalam mendukung tercapainya target penurunan emisi dalam platform Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sekaligus memenuhi permintaan energi dan menyediakan suplai energi di seluruh wilayah Indonesia demi membantu meraih kesejahteraan masyarakat. Khususnya, bagi mereka yang tinggal di luar pulau-pulau besar dan memiliki akses dan daya beli yang terbatas untuk energi.

Sumber EBET yang dimaksud untuk mendukung terciptanya kesejahteraan masyarakat adalah panas bumi, angin, biomassa, sinar matahari, aliran dan terjunan air, sampah, limbah produk pertanian dan perkebunan, limbah atau kotoran hewan ternak, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan Sumber Energi Terbarukan lainnya yang ada pada daerah setempat sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 draft RUU EBET.

Hal di atas juga didukung dalam draft RUU EBET pasal 26 yang menyebutkan bahwa penyediaan Energi Baru oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah diutamakan di daerah yang belum berkembang, daerah terpencil, dan daerah pedesaan dengan menggunakan Sumber Energi Baru setempat. Daerah penghasil Sumber Energi Baru mendapat prioritas untuk memperoleh Energi Baru dari Sumber Energi Baru setempat. Penyediaan Energi Baru nantinya akan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, koperasi, badan usaha milik swasta; dan badan usaha lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Ke depannya, potensi penyediaan sumber kelistrikan EBET didorong untuk dapat dimanfaatkan oleh kalangan usaha guna mendukung pembangunan dan pengadaan perangkat EBET dengan dukungan kebijakan yang kondusif dari Pemerintah Daerah dan Pusat. Hal ini agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar atau konsumen perangkat EBET, tetapi juga menjadi produsen sekaligus pengembang teknologi EBET yang dapat meningkatkan ekonomi nasional.

Komisi VI DPR bersama Pemerintah terus memperbarui masukan dan regulasi yang paling tepat untuk mematangkan Rancangan Undang Undang (RUU) EBET menjadi Undang-Undang (UU) EBET dalam waktu dekat. Diharapkan dengan lahirnya UU EBET nanti akan menciptakan ekosistem baru industri EBET untuk dapat mendorong penggunaan EBET di Indonesia.

Dengan kemudahan akses ke sumber EBET, bangsa Indonesia dapat meningkatkan tingkat kehidupannya, baik di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, dan berperan secara signifikan dalam mengurangi besaran emisi GRK global. Karena itu, akses ke energi menjadi salah satu faktor kunci yang harus disediakan untuk dapat meraih tujuan-tujuan tersebut. “Tentu saja, energi yang dimaksud adalah energi yang bersih, terjangkau, terdistribusi dengan adil, handal, berkualitas, dan ramah lingkungan. Sehingga keadilan di bidang energi dapat segera dihadirkan dan dinikmati bersama,” jelasnya.

UNFCC

Accelerating circularity as a holistic response to the triple planetary crisis: The Economic Case

High-level side event (9 November 2022) – Acara Konferensi Anggota (Conference of Parties/COP) Badan PBB untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) ke-27 atau biasa disingkat COP27 kembali berlangsung pada 6-18 November 2022. Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas kembali hadir dalam beberapa side event, seminar dan diskusi dalam rangkaian acara ini. Salah satunya adalah high-level side event yang bertemakan “Accelerating circularity as a holistic response to the triple planetary crisis: The Economic Case” pada tanggal 9 November 2022

Dalam high-level side event ini, UN PAGE dan mitra global UN lainnya membahas strategi untuk mempercepat transisi global menuju ekonomi sirkular dalam konteks meningginya level utang dan permasalahan krisis pangan dan energi yang mengancam kemajuan pembangunan berkelanjutan, terutama bagi negara-negara berkembang yang mungkin tertinggal.

Pada kesempatan ini, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam menjelaskan tantangan yang terjadi di Indonesia dalam konteks konsep ekonomi sirkular seperti perbedaan pandangan dan pemahaman tentang ekonomi sirkular itu sendiri dan masih minimnya peluang untuk investasi dan pembiayaan transisi menuju ekonomi sirkular di Indonesia. Beliau juga memaparkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia seperti memutakhirkan kebijakan dengan mengintegrasikan ekonomi sirkular dalam RPJMN 2020-2024, membangun skema pembiayaan dan insentif untuk mendukung transisi ekonomi sirkular, dan membangun platform ekonomi sirkular yang kolaboratif dengan para pemangku kepentingan.

Selain Dr. Medrilzam, para panelis dalam diskusi global ini adalah Dr. Jeanne d’Arc Mujawamariya, Menteri Lingkungan Hidup Republik Rwanda, Mashael bint Saud AlShalan, Co-Founder Aeon Collective, Kerajaan Arab Saudi, Xuan Zihan, YOUNGO Cities and Green Jobs Working Groups representative dan Robert Marinkovic, Adviser, Climate Change, IOE. Miranda Schnitger, Climate Lead dari Ellen MacArthur Foundation berperan sebagai moderator.

 

Baca artikel lengkapnya: https://bit.ly/Circularity-COP27Egypt

Tonton panel diskusinya: Accelerating circularity as a holistic response to the triple planetary crisis: The Economic Case

3S4A8472

Provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah Dukung Tujuan Pembangunan Rendah Karbon dengan Lakukan Kick-Off Meeting dan Workshop Penyusunan Dokumen RPRKD

Kementerian PPN/Bappenas terus mengembangkan kebijakan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) untuk menjaga daya dukung dan daya tampung SDA dan lingkungan termasuk tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang ditimbulkan dari kegiatan pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, Tiga provinsi di Kalimantan, yaituKalimantan Utara, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah siap mengikuti jejak tujuh provinsi yang sebelumnya telah melaksanakan penyusunan Dokumen Pembangunan Rendah Karbon sesuai dengan RPJMN 2020-2024. 

 

Untuk mendukung langkah ketiga provinsi tersebut, Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas bersama Global Green Growth Institute (GGGI), Sekretariat Nasional Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (LCDI) dan Pemerintah Provinsi dimaksud mengadakan kick-off meeting dan workshop tentang penyusunan dokumen Rencana Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim Daerah (RPRKBID) pada 25-26 Oktober 2022 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. 

 

Acara kick-off meeting dibuka dengan sambutan oleh Bapak Dr. Ir. Ariadi Noor, M.Si selaku Kepala Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan, Bapak Ir. Medrilzam, M.Prof.Econ, Ph.D selaku Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, dan Bapak Hendrik Segah, perwakilan dari GGGI sebagai development partner LCDI. 

 

Acara dilanjutkan dengan Diskusi Perencanaan Rendah Karbon di Daerah dengan beberapa narasumber seperti Erna Dewi Falina, ST, M.URP sebagai Analis Perencanaan pada Sub Bidang Kehutanan dan Lingkungan  Hidup, Bappeda Prov. Kalimantan Selatan, Tri Minarni, ST, M.Si sebagai Subkoordinator Lingkungan Hidup, Kehutanan dan ESDM, Bappedalitbang Provinsi Kalimantan Tengah, Yatno Supriadi, SE sebagai Perencana Ahli Muda, Subkoordinator Pengembangan Pariwisata dan Lingkungan Hidup, Bappedalitbang Provinsi Kalimantan Utara, Novarina, SP sebagai Subkoordinator Pertanian, Ketahanan Pangan, dan Kelautan Perikanan, Bappedalitbang Provinsi Kalimantan Tengah dan Irfan D. Yananto sebagai Perencana Pertama Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas. Sesi diskusi yang berlangsung menjadi wadah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk  menyamakan persepsi dan pemahaman tentang perencanaan dokumen RPRKBID. Acara dilanjutkan dengan penyampaian dan penjelasan logframe penyusunan RPRKBID, kebutuhan data untuk PRK dan PBI, serta outline dokumen RPRKBID.

 

Pada hari kedua, acara difokuskan pada workshop mengenai konsep PRK dan PBI. Kemudian acara dilanjutkan dengan pembagian kelompok berdasarkan sektor. Di sesi ini OPD di tiap sektor mendapat arahan dan dapat berdiskusi dengan para analis dari Sekretariat LCDI. Hal-hal yang dibahas termasuk sosialisasi mengenai sistematika, skema, tahapan dan model analisis Perencanaan PRKBI serta diskusi mengenai kebutuhan dan pemanfaatan data untuk penyusunan Sistem Dinamis provinsi guna menyusun dokumen RPRKBID.

 

Dengan diselenggarakannya acara kick-off meeting dan workshop ini, diharapkan para OPD ketiga provinsi telah memiliki persepsi dan pengetahuan yang sama agar penyusunan dokumen RPRKBID untuk Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan jangka waktu yang sudah disepakati sebelumnya.

SUPRIYANTO Ilustrasi

Peran Dunia Bisnis dalam Transisi Menuju Ekonomi Hijau

Presidensi Business 20 mendorong percepatan transisi energi menuju ekonomi hijau berkelanjutan, khususnya pada pendanaan dan investasi. Indonesia butuh investasi sekitar 25 miliar dollar AS per tahun menuju target NZE.

Jakarta (KOMPAS). Indonesia terus berupaya menempuh langkah strategis guna mengatasi dampak perubahan iklim. Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah adalah menerapkan ekonomi hijau dalam kerangka transformasi ekonomi karena kemajuannya tidak meningkatkan pertumbuhan PDB semata, tetapi juga memberi kontribusi signifikan bagi kelestarian lingkungan, efisiensi sumber daya, serta keadilan sosial.

Transformasi ekonomi melalui strategi ekonomi hijau memungkinkan terjadinya pergeseran struktur ekonomi dari sektor kurang produktif ke lebih produktif (industrialisasi) seiring dengan upaya mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Strategi ekonomi hijau yang mengusung kebijakan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim adalah fondasi krusial dalam implementasinya.

Usaha pemerintah untuk menggulirkan ekonomi hijau di berbagai sektor bertujuan mendorong Indonesia terbebas dari middle-income trap, sesuai Visi Indonesia 2045. Hal tersebut menjadi kebijakan strategis yang tepat karena Indonesia harus segera bangkit dari pandemi Covid-19 yang telah menggerus kekuatan ekonomi selama dua setengah tahun terakhir. Situasi geopolitik akibat perang Ukraina Rusia juga menyumbang perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.

Untuk tetap menggerakkan roda perekonomian di tengah ancaman dan tantangan tersebut, paradigma ekonomi hijau perlu terus diciptakan di berbagai lini sebagai game changer. Perwujudan hal tersebut dapat dimulai untuk menumbuhkan iklim investasi di sektor rendah karbon, mulai dari pengembangan energi bersih hingga pengelolaan lahan berkelanjutan.

Upaya ini perlu disambut baik oleh kalangan bisnis mengingat dinamika perubahan iklim telah berdampak ke berbagai aspek mendasar kehidupan dengan ancaman yang akan semakin besar pada masa mendatang. Termasuk rantai pasok, kerusakan aset, ketenagakerjaan, hingga perubahan demand dari konsumen. Karena itu, hal ini bukan hanya memerlukan komitmen pemerintah semata, tetapi juga memerlukan komitmen investor dan pelaku usaha untuk beralih pada praktik bisnis berkelanjutan.

B20-G20 dan transisi energi berkelanjutan

Pada 2022, Indonesia selain memegang Presidensi G20, juga mengemban amanah Presidensi Business 20 (B20) – business engagement group negara G20. Presidensi B20 mendorong tiga agenda prioritas, yaitu arsitektur kesehatan global, transisi energi hijau, serta pertumbuhan ekonomi yang inklusif. B20 berperan penting menghasilkan rekomendasi kebijakan kepada G20, melalui 6 Task Force dan 1 Action Council.

Terkait agenda transisi energi, B20 mendorong percepatan transisi menuju ekonomi hijau berkelanjutan, khususnya pada pendanaan dan investasi. B20 memandang penting key action yang mencakup collective action-kolaborasi negara maju dan berkembang dalam mengembangkan infrastruktur energi yang hijau, inovatif, dan terjangkau.

Selain itu B20 juga memastikan akselerasi percepatan transisi penggunaan energi berkelanjutan untuk mendorong percepatan pencapaian target low carbon development. Inklusivitas juga menjadi salah satu prinsip utama B20 Indonesia dengan mengembangkan rekomendasi kebijakan yang memastikan akses energi terjangkau bagi masyarakat miskin.

Upaya-upaya negara G20 sebagai kerja sama multilateral akan mendorong percepatan akselerasi upaya elektrifikasi berbasis energi baru terbarukan (EBT) yang sangat tepat dengan karakter negara kepulauan seperti Indonesia sehingga akses pendidikan, akses informasi, literasi digital, serta peningkatan taraf kehidupan masyarakat melalui kegiatan ekonomi produktif dapat terwujud secara inklusif.

Dengan melihat kondisi saat ini, beberapa hal dapat ditempuh untuk memperbarui alternatif sumber energi. Salah satunya adalah dengan berlangganan listrik layanan sertifikat EBT atau Renewable Energy Certificate (REC) yang telah disediakan PLN atau membangun mandiri fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap on grid pada fasilitas produksi.

Kedua pilihan tersebut memang masih menemui kendala, antara lain belum ada regulasi yang menyokong peralihan ke sumber EBT, biaya investasi mahal karena lamanya proses balik modal, instrumen finansial yang belum mendukung, serta langkanya stimulus pemerintah untuk mendorong transisi.

Dalam setiap kesempatan diskusi dan tukar pikiran terhadap arah transisi energi, perwakilan non state actors/NSA, khususnya dunia industri, terus berupaya mendorong implementasi regulasi dan pemberian insentif yang berkeadilan. Tentu saja dengan harapan mendorong gairah dunia industri berpartisipasi dalam mengurangi dampak negatif perubahan iklim, khususnya pengurangan intensitas emisi gas rumah kaca (GRK).

Percepatan kebijakan dan investasi

Kalangan industri mengapresiasi peta jalan transisi energi berkelanjutan yang disiapkan pemerintah untuk mencapai target Net Zero Emissions (NZE) di tahun 2060. Namun, percepatan implementasi kebijakan pemerintah yang mendorong proses transisi energi menuju NZE jauh lebih penting. Dalam hal ini termasuk mendorong lahirnya rangkaian kebijakan dan insentif investasi agar upaya pemerintah dapat dilakukan simultan bersama pelaku bisnis dan NSA lainnya untuk mewujudkan tujuan bersama tersebut.

Momentum ini juga harus dimanfaatkan untuk menarik peluang investasi dari forum B20 yang mengumpulkan para pelaku di sektor bisnis dan usaha yang merepresentasikan 80 persen PDB dunia. Pasalnya, Indonesia masih membutuhkan investasi sekitar 25 miliar dollar AS per tahun menuju target NZE tahun 2060 atau lebih cepat.

Lebih jauh, transisi energi tentu harus bisa memberi peluang besar untuk membuka lapangan kerja hijau (green jobs) dalam bingkai ekonomi hijau. Sebagaimana dilansir dari Laporan Green Economy Index 2022 yang dikeluarkan Bappenas, diproyeksikan terdapat 1,8 juta green jobs yang bakal tercipta di sektor energi, kendaraan listrik, restorasi lahan, dan sektor limbah di tahun 2030.

Untuk itu, ekonomi hijau harus dijadikan intervensi prioritas melalui serangkaian kebijakan yang mampu mendukung dan mendorong secara adil, terbuka, dan kolaboratif. Hal ini agar apa yang menjadi tujuan bersama untuk mewujudkan masa depan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan dapat tercapai.

Shinta Widjaja Kamdani, Komisioner Low Carbon Development Indonesia (LCDI); Chair B20 Indonesia

KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)

Shinta Widjdja Kamdani

Rice fields, prepared for rice. Bali, Indonesia

Pembangunan Rendah Karbon Sektor Pertanian: Konseptual, Implementasi dan Strategi ke depan

Pertanian merupakan tonggak utama dalam kebudayaan manusia. Sejak ribuan tahun yang lalu, tanaman yang dapat dibudidayakan dan ternak yang dapat didomestikasi mengarahkan manusia untuk mencukupi pangannya dari zaman ke zaman. Perkembangan sektor pertanian tersebut juga dipengaruhi  kemunculan industri pertanian/agroindustri di Eropa dan Amerika dengan basis monokultur pada awal abad ke-20 yang memprakarsai era pertanian modern.

Pertanian modern merupakan kombinasi dari prinsip agronomi modern, pemuliaan tanaman, agrochemicals (seperti pestisida dan pupuk), dan perkembangan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas pangan secara signifikan. Namun, penerapan pertanian modern rupanya berdampak pada kerusakan lingkungan dan ekologi. Beberapa isu lingkungan dan ekologi yang dihadapi sektor pertanian adalah (1) degradasi lingkungan karena penggunaan bahan kimia yang masif, (2) kehilangan biodiversitas karena budidaya pertanian monokultur, (3) deforestasi karena pembukaan lahan pertanian pada lahan hutan dan gambut, dan (4) penggurunan/desertification karena penggunaan lahan yang tidak direstorasi kembali. Isu-isu tersebut berkontribusi terhadap pemanasan global karena pelepasan karbon ke atmosfer yang masif serta cadangan karbon yang hilang dari tanah. 

Saat ini, pemanasan global menjadi isu utama yang dialami dan diperbincangkan di seluruh dunia.  Menyikapi hal tersebut,  pemerintah negara-negara di dunia pun menyepakati Paris Agreement pada 2015 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), termasuk Indonesia. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penyumbang emisi GRK yang cukup signifikan. Menurut penelitian yang dirilis oleh Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC (2016), sektor pertanian menyumbang 10-12% dari total gas rumah kaca antropogenik, yang terdiri dari gas N2O dan CH4, sedangkan sektor peternakan menyumbang sekitar 18-51% gas rumah kaca antropogenik, yang sebagian besar terdiri dari gas CH4. Emisi GRK dari sektor pertanian diprediksi akan terus bertambah pada masa mendatang, seiring dengan meningkatnya kebutuhan pangan yang disebabkan oleh penggunaan lahan marginal dan peningkatan konsumsi daging.

Kebijakan Pemerintah untuk Menurunkan Emisi GRK

Sejak tahun 2011, Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional, yakni kegiatan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi GRK secara berkala dari berbagai sumber emisi (source) dan penyerapannya (sink/sequestration), termasuk simpanan karbon (carbon stock). Berdasarkan Perpres 71 Tahun 2011 tersebut, sektor pertanian harus menurunkan tingkat emisinya sebesar 8 Gg CO2eq. Emisi GRK utama dari sektor pertanian adalah metana (CH4), dengan persentase 67%, diikuti dengan  dinitrogen monoksida (N2O) sebesar 30% dan karbon dioksida (CO2 ) sebesar 3%. Pada tahun 2000, total emisi gas rumah kaca dalam sektor pertanian mencapai 75.419,73 Gg CO2eq. Sumber utama dari emisi gas rumah kaca ini adalah lahan sawah (69%) dan enterik ternak (28%). 

Sebagai komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi GRK dan menghilangkan trade-off antara ekonomi dan lingkungan dalam rangka pembangunan berkelanjutan menuju green economy, sejak tahun 2017, Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Platform Pembangunan Rendah Karbon/Low Carbon Development. Pembangunan Rendah Karbon (PRK) merupakan platform pengembangan yang bertujuan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui aktivitas yang menghasilkan  emisi dan intensitas emisi GRK rendah, serta mengurangi penggunaan sumber daya alam.

Pembangunan Rendah Karbon pada sektor pertanian dapat diidentifikasi menjadi beberapa kategori, yaitu pengelolaan lahan sawah, penggunaan pupuk organik dan biogas untuk menyerap emisi GRK, dan perbaikan pakan ternak melalui pakan hijau dan konsentrat. Serapan GRK pada kegiatan di sektor pertanian adalah melalui penggunaan pupuk organik dan biogas. Dalam mengelola lahan sawah, penggunaan  air irigasi dengan penggenangan areal pertanaman padi secara terus-menerus akan mengemisikan jumlah gas metana (CH4) yang lebih tinggi ke atmosfer, jika dibandingkan dengan penggunaan air irigasi secara intermitten atau berselang. Sementara itu, emisi dari pupuk dihitung berdasarkan pupuk yang diaplikasikan ke lapangan yang akan mengemisikan GRK berupa N2O dan CO2. Pada subsektor peternakan, emisi disumbangkan dari fermentasi enterik dan juga pengelolaan dari kotoran ternak.

Kontribusi Pencapaian Pembangunan Rendah Karbon di Sektor Pertanian

Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap emisi GRK. Sejak 2010 hingga 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah merilis inventarisasi emisi GRK untuk memantau perkembangan emisi GRK di seluruh sektor, termasuk di dalamnya yaitu sektor pertanian.

Dalam perkembangannya, emisi GRK sektor pertanian mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sejak tahun 2015 hingga 2018, sebagai dampak dari diterapkannya program UPSUS Pajale yang menyebabkan peningkatan luas (tambah) tanam dan serta peningkatan durasi penggenangan lahan sawah (lihat Gambar 1).

Gambar 1. Perkembangan Emisi GRK Sektor Pertanian 2010-2020 (Sumber: KLHK, 2020)

Beberapa upaya mitigasi pada subsektor tanaman pangan, khususnya sawah, adalah dengan menerapkan upaya pengairan berselang (program SRI dan PTT), penggunaan varietas padi rendah emisi CH4, penyiapan lahan tanpa bakar, dan pemupukan berimbang. Selanjutnya, upaya yang dapat diterapkan untuk subsektor peternakan dapat dilakukan melalui program Biogas Asal Ternak Bersama Masyarakat (BATAMAS), Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO), serta perbaikan pakan ternak, baik pakan hijau/leguminosae maupun konsentrat.

Dalam menyukseskan kerangka Pembangunan Rendah Karbon, diperlukan sebuah tools untuk melakukan monitoring, evaluation, and reporting (MER), yang telah dikembangkan melalui Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon (AKSARA) sejak diluncurkannya RAN-GRK pada tahun 2011 lalu. Upaya mitigasi yang telah dipantau melalui AKSARA sejak tahun 2011-2020 rupanya memberikan hasil yang cukup signifikan. Di sektor pertanian, pencapaian kegiatan-kegiatan aksi mitigasi disumbang oleh subsektor tanaman pangan dan subsektor peternakan, yakni dari lahan sawah yang menggunakan varietas rendah emisi dan penerapan program UPPO dan BATAMAS.  Sebelumnya, terdapat kegiatan lain yang dikategorikan sebagai aksi mitigasi sektor pertanian, seperti pengaturan air melalui metode System of Rice Intensification (SRI) dan Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Namun, kegiatan tersebut tidak lagi diprioritaskan oleh Kementerian Pertanian. 

Hingga tahun 2020, kontribusi sektor pertanian dalam upaya penurunan emisi GRK di realisasikan dalam angka capaian potensi penurunan emisi GRK kumulatif sebesar 11.676,74 Gg CO2-eq. Capaian potensi penurunan emisi GRK hingga tahun 2020 berkisar antara 11-16.000 Gg CO2-eq.

Gambar 2. Grafik Potensi Penurunan Emisi GRK Sektor Pertanian (Sumber: AKSARA, 2021)

Pada tahun 2015, capaian potensi penurunan emisi GRK menurun drastis. Salah satu penyebabnya adalah kebakaran lahan.  Dampak kebakaran lahan tidak hanya berpengaruh ke hutan, tetapi juga pertanian sebagai bagian bidang berbasis lahan. Potensi penurunan emisi GRK bidang pertanian sejak tahun 2014-2020 juga semakin menurun. Meskipun demikian, jumlah kegiatan pada tahun 2020 adalah yang terbanyak 344 aksi kegiatan sejak tahun 2010. Total kegiatan kumulatif sampai tahun 2020 sebanyak 1.780 dengan kontribusi potensi penurunan emisi GRK sebesar 23.188 Gg CO2-eq.

Potensi Subsektor Perkebunan dalam Mencapai Pembangunan Rendah Karbon

Di sektor pertanian, perkebunan merupakan salah satu subsektor yang perlu mendapatkan perhatian penuh. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perkebunan besar di Indonesia didominasi oleh tanaman kelapa sawit pada 2020. Jumlahnya mencapai 14,4 juta ha. Komoditas lain yang mendominasi luasan perkebunan Indonesia adalah tanaman karet  (3,6 juta ha), diikuti kelapa (3,4 juta ha), kakao (1,5 juta ha), kopi (1,2 juta ha), dan tebu (411 ribu ha). Sisanya, komoditas tanaman perkebunan lainnya memiliki luas gabungan sebesar 1,6 juta ha.

Berdasarkan hasil identifikasi pada subsektor Perkebunan, sumber emisi GRK pada perkebunan, utamanya kelapa sawit, berasal dari kegiatan pemupukan, perawatan, pemanenan, serta pengangkutan buah hingga ke pabrik pengolahan. Emisi GRK juga dihasilkan oleh beberapa jenis agroinput, seperti pupuk dan pestisida. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa emisi GRK pada subsektor perkebunan, cukup tinggi, yaitu rata-rata emisi sebesar 0,08 Ton CO2eq/Ton TBS/Tahun. Emisi ini didominasi oleh kelapa sawit.

Bicara tentang perkebunan, penanaman di lahan gambut juga memerlukan perhatian serius, mengingat lahan gambut merupakan kontributor emisi GRK. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya khusus untuk menekan laju emisi GRK dari subsektor perkebunan, seperti penggunaan pupuk organik untuk substitusi pupuk kimiawi, penambahan tandan kosong pada lahan,  serta intensifikasi pengelolaan pintu air pada lahan gambut. Sebagai pertimbangan ke depan, subsektor perkebunan berkaitan erat dengan pabrik pengolahan yang termasuk ke dalam kategori Industrial Processes and Product Use (IPPU) dan energi. Artinya, pengelolaan subsektor perkebunan perlu dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik.

Strategi Sektor Pertanian Indonesia ke Depan dalam Pembangunan Rendah Karbon

Sektor Pertanian merupakan sektor penopang terbesar kedua bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) lapangan usaha pertanian atas dasar harga berlaku (ADHB) mencapai Rp2,24 kuadriliun sepanjang 2021. Nilai tersebut kontribusi sebesar 13,28% terhadap PDB nasional. Selain itu, sektor pertanian juga merupakan sektor strategis nasional dalam perspektif lingkungan dan sosial. Pembangunan Rendah Karbon dalam sektor pertanian sangat berperan agar pertumbuhan PDB sektor pertanian tetap positif dan meminimalisasi trade-off antara ekonomi dan lingkungan melalui aktivitas pertanian yang rendah karbon dan meminimalkan eksploitasi sumber daya alam pertanian, seperti lahan, agroinput dan sarana prasarana pertanian.

Agar Pembangunan Rendah Karbon dapat berjalan secara efektif dan efisien pada sektor pertanian beberapa strategi kebijakan dikembangkan sebagai berikut.

Pertama, kesadaran bersama para pemangku kepentingan pertanian. Strategi ini berfokus pada 1) penyadartahuan seluruh pemangku kepentingan pertanian, baik pada tingkat pemerintahan nasional hingga daerah, para pelaku usaha pertanian dan petani; 2) mengoptimalisasi peran litbang pertanian untuk mendiseminasi hasil-hasil penelitian dan kajian terkait pembangunan rendah karbon sektor pertanian kepada seluruh pemangku kepentingan pertanian melalui jurnal ilmiah nasional, media publikasi nasional dan media sosial; dan 3) sosialisasi kepada para petani secara berkala baik melalui penyuluh pertanian, lembaga swadaya masyarakat dan NGO nasional/internasional. Penyadartahuan ini merupakan langkah awal agar pembangunan rendah karbon dapat diinformasikan secara utuh dan dirasakan manfaatnya oleh para pemangku kepentingan pertanian.

Kedua, integrasi Pembangunan Rendah Karbon sektor pertanian dalam sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah. Strategi ini berfokus pada 1) harmonisasi RPJMN dan RPJMD terkait strategi dan kebijakan Pembangunan Rendah Karbon sektor pertanian dalam batang tubuh, narasi, proyek prioritas strategis, matriks pembangunan dan arah pembangunan nasional/daerah; 2) pembentukan tim Pokja nasional dan daerah khusus Pembangunan Rendah Karbon sektor pertanian melalui surat keputusan (SK) pada tingkat nasional (Bappenas) dan daerah (Bappeda); 3) perencanaan baseline dan aksi mitigasi pertanian tingkat nasional dan daerah berbasis data dan terintegrasi melalui pemodelan spesifik kewilayahan/regional based melalui target-target nasional dan daerah yang sudah ditetapkan. Integrasi Pembangunan Rendah Karbon sektor pertanian akan berjalan secara efisien jika perencanaan bersifat “government driven commitment”  dan didukung oleh aktor non-pemerintah/non-state actor, dalam hal ini adalah filantropis, NGO nasional/internasional yang mempunyai peran cukup strategis dalam implementasi pembangunan rendah karbon dalam kerangka pembangunan nasional dan daerah yang terintegrasi.

Ketiga, penerapan sistem monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Strategi ini berfokus pada 1) pembentukan sistem monitoring, evaluasi, dan pelaporan pada tingkat nasional dan daerah; 2) Decision Support System untuk perbaikan kebijakan berkelanjutan dan rencana kegiatan dan anggaran tahunan berbasis bukti/evidence based; 3) pengembangan model sistem Pembangunan Rendah Karbon yang fluid dan dinamis. Sistem monitoring evaluasi dan pelaporan akan sangat berperan dalam pengambilan keputusan ke depan berbasis bukti dan menjadi acuan/benchmarking dalam perumusan pengembangan kebijakan ke depan.

Untuk menyukseskan ketiga strategi di atas dan mendorong implementasi Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon sektor pertanian, Pemerintah Indonesia tidak bisa bergerak sendiri. Kolaborasi aktif pemangku kepentingan pertanian yang terlibat sangat diperlukan untuk memberikan hasil yang bermakna dan konkret untuk Indonesia. Nantinya, tentu akan ada berbagai tantangan dan peluang yang perlu dihadapi.  Namun, kita perlu optimis bahwa melalui kolaborasi seluruh pemangku kepentingan dari hulu hingga hilir serta serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan.

Editor:

Caroline Aretha Merylla

3S4A8322

Penghargaan Pembangunan Daerah 2022: Sulawesi Selatan Raih Penghargaan Khusus di Bidang Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon, Bali di Bidang Ekonomi Sirkular

Sebagai tindaklanjut penyampaian Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) dan penghargaan khusus yang dilaksanakan secara virtual pada April lalu, Kementerian PPN/Bappenas mengadakan Penyerahan Piala PPD dan Penghargaan Khusus Tahun 2022 di Menteng, Jakarta Pusat (29/9). Capaian ini merupakan bentuk perbaikan perencanaan, pencapaian, dan inovasi dari daerah-daerah terbaik berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi pembangunan daerah.

Rangkaian acara diawali dengan penyampaian laporan PPD oleh Deputi Bidang Pemantauan, Evaluasi, dan Pengendalian Pembangunan, Kementerian PPN/Bappenas, Bapak Rudy S. Prawiradinata. Kemudian disusul dengan pengumuman pemenang PPD, dan dilanjutkan dengan pidato singkat oleh Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa. Beliau menekankan bahwa standardisasi pendidikan perlu menjadi perhatian penting bagi pemerintah daerah untuk membentuk generasi yang tidak takut untuk berinovasi. Selain itu, beliau juga menyebutkan bahwa target Net Zero Emissions untuk dicapai di tahun 2060 menjadi pekerjaan rumah yang paling sulit di Pulau Jawa, karena 85% listriknya masih menggunakan batu bara yang menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca penyebab perubahan iklim. Perubahan iklim dapat diatasi melalui transisi ke energi terbarukan.

Melalui kesempatan ini, peraih penghargaan Provinsi Terbaik secara berurutan diraih oleh Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Bengkulu. Kemudian, kabupaten terbaik diraih oleh Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Wonogiri. Kota terbaik diraih oleh Kota Yogyakarta, Kota Pagar Alam, dan Kota Malang. Selain itu, Kabupaten Hulu Sungai Selatan meraih Penghargaan Khusus Penanggulangan Kemiskinan pada Masa Pandemi Covid-19. Terdapat juga Penghargaan Khusus di Bidang Ekonomi Hijau dan Rendah Karbon yang diraih oleh Provinsi Sulawesi Selatan, dan juga bagi provinsi yang memulai Inisiasi Awal untuk Ekonomi Sirkular yang diraih oleh Provinsi Bali.

Provinsi Sulawesi Selatan menjadi percontohan sebagai provinsi pertama yang meneken kesepakatan dengan Bappenas dalam hal Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah. Provinsi ini telah menerapkan transisi menuju energi terbarukan dengan pembangunan PLTB Jeneponto dan Sidrap. Selain itu Sulawesi Selatan menjadi inisiator TAPE-TAKE, yaitu mekanisme transfer anggaran kabupaten berbasis ekologi. Adapun Pemerintah Provinsi Bali telah menerapkan beragam inisiatif pengelolaan sampah, diantaranya Tempat Olah Sampah Sementara (TOSS) di Klungkung.

 

Harapannya, momen ini menjadi pembakar semangat bagi pemerintah daerah lain untuk mereplikasi inisiatif-inisiatif terbaik dari berbagai daerah, khususnya seperti Bali dan Sulawesi Selatan, yaitu di bidang ekonomi sirkular, ekonomi hijau, dan pembangunan rendah karbon.

Penghargaan Pembangunan Daerah
Penghargaan Pembangunan Daerah
Penghargaan Pembangunan Daerah
Penghargaan Pembangunan Daerah
Penghargaan Pembangunan Daerah
Penghargaan Pembangunan Daerah
3S4A0668

Sosialiasi Pemodelan Ekonomi Hijau Untuk Samakan Visi dan Pandangan tentang Ekonomi Hijau

Sebagai bentuk akselerasi upaya perwujudan Ekonomi Hijau dan tindak lanjut dari Green Economy Index (GEI) atau Indeks Ekonomi Hijau, Bappenas melalui Sekretariat LCDI menyelenggarakan Sosialisasi Pemodelan Ekonomi Hijau pada Tim Terpadu Ekonomi Hijau (Green Economy Task Force/GETF) Kementerian PPN/Bappenas pada tanggal 14 September 2022. Acara ini bertujuan untuk meningkatan kapasistas serta penyamaan visi dan misi terkait perencanaan dan pelaksanaan Ekonomi Hijau untuk para pembuat kebijakan di Kementerian PPN/Bappenas.

Dalam acara ini, Tim Terpadu Ekonomi Hijau yang terdiri dari direktorat-direktorat yang terlibat di Bappenas berdiskusi tentang model Ekonomi Hijau yang sedang dikembangkan oleh Sekretariat LCDI. Adapun model ekonomi yang sedang dikembangkan dengan menggunakan metodologi dinamika sistem atau system dynamics yang memiliki karakter holistik, integratif, tematik, dan spasial untuk menghilangkan silo. Model Ekonomi Hijau ini ditujukan untuk mengintegrasikan hubungan masing-masing indikator yang terdapat dalam GEI. Lebih lanjutnya, model Ekonomi Hijau ini akan digunakan sebagai alat untuk melakukan exercise kebijakan dalam proses perumusan RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029.

Kementerian PPN/Bappenas sebelumnya telah meluncurkan Green Economy Index pada pertemuan ketiga G20 Development Working Group (DWG), pada 9 Agustus 2022 lalu. GEI diluncurkan untuk mengukur progres, efektivitas, dan capaian transformasi ekonomi hijau secara tangible (nyata), representatif, dan akurat.

Ekonomi hijau merupakan salah satu strategi yang menjadi game changer transformasi ekonomi sebagai respon dari tantangan perubahan iklim dan pandemi Covid-19 serta terdiri dari 15 indikator di bawah pilar lingkungan, ekonomi, dan sosial. Ekonomi hijau diusung guna mentransformasi perekonomian nasional menjadi lebih berkelanjutan dan mendorong pemulihan hijau, melalui Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim.

Sesi pagi acara Sosialisasi Pemodelan Ekonomi Hijau dibuka oleh perwakilan dari Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Anna Amalia, dengan penjelasan singkat tentang GEI yang sudah diluncurkan beserta indikator-indikator didalamnya. Acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu oleh Sekretariat LCDI untuk menjaring masukan  para peserta  untuk penyempurnaan dan pemutakhiran data model dinamika sistem Ekonomi Hijau.

Kegiatan Sosialiasi Pemodelan Ekonomi Hijau, Serpong 14 September 2022
Kegiatan Sosialiasi Pemodelan Ekonomi Hijau, Serpong 14 September 2022
Kegiatan Sosialiasi Pemodelan Ekonomi Hijau, Serpong 14 September 2022
Kegiatan Sosialiasi Pemodelan Ekonomi Hijau, Serpong 14 September 2022
Kegiatan Sosialiasi Pemodelan Ekonomi Hijau, Serpong 14 September 2022
Kegiatan Sosialiasi Pemodelan Ekonomi Hijau, Serpong 14 September 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 6 Agustus 2022
Kegiatan Sosialiasi Pemodelan Ekonomi Hijau, Serpong 14 September 2022
3S4A0507

Green Economy Championship Program, Upaya Perkuat Pemahaman dan Implementasi Ekonomi Hijau 10 Provinsi

Green Economy Championship Program telah diselenggarakan di Bekasi, Jawa Barat, 5-6 September 2022. Acara ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas sekaligus menyamakan paradigma dan pemahaman terkait Ekonomi Hijau, khususnya kepada local champions 7 pemerintah provinsi pilot Pembangunan Rendah Karbon/PRK (Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Papua, dan Papua Barat) ditambah 3 pemerintah provinsi Sumatera Utara, DKI Jakarta, dan Maluku.  Termasuk perwakilan universitas dan mitra pembangunan.

Melalui program ini, para local champions diharapkan dapat memahami secara lebih mendalam tentang Green Economy Index (Indeks Ekonomi Hijau) yang baru saja diluncurkan dan penggunaan pemodelan system dynamics untuk membangun konsep terintegrasi dari Ekonomi Hijau.

Kementerian PPN/Bappenas sebelumnya telah meluncurkan Indeks Ekonomi Hijau atau Green Economy Index (GEI) pada pertemuan ketiga G20 Development Working Group, pada 9 Agustus 2022. GEI diluncurkan guna mengukur progres, efektivitas, dan capaian transformasi ekonomi hijau secara tangible (nyata), representatif, dan akurat.

Ekonomi hijau merupakan salah satu strategi yang menjadi game changer transformasi ekonomi sebagai respon dari tantangan perubahan iklim dan pandemi Covid-19 serta terdiri dari 15 indikator di bawah pilar lingkungan, ekonomi, dan sosial. Ekonomi hijau diusung guna mentransformasi perekonomian nasional menjadi lebih berkelanjutan dan mendorong pemulihan hijau, melalui Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim.

Direktur Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas, Dr. Medrilzam, menjelaskan asal usul ekonomi hijau yaitu environmental economics dan ecological economics, kemudian menyampaikan bahwa Ekonomi hijau merupakan tool untuk menyusun perencanaan di daerah guna mencapai target nasional yang dicanangkan dengan pendekatan sistem.

Untuk itu, pemerintah pusat tidak dapat berjalan sendiri. Perencanaan kebijakan Ekonomi Hijau perlu terintegrasi antar sektor dan harus dibantu dengan pemerintah daerah. “Isu perubahan iklim adalah isu pembangunan. Sektor lingkungan memang terdampak, namun perubahan iklim merupakan hasil dari aktivitas semua sektor. Hal ini tidak bisa ditangani sendiri, perlu ada prime mover di daerah masing-masing sebagai local champion, dan juga peneliti dari universitas-universitas serta peran media sebagai sarana untuk merubah perilaku dan menyebarkan informasi terkait ekonomi hijau,” ujar Medrilzam.

Sesi kedua diisi dengan Workshop Green Economy Index sebagai Alat Ukur Pertumbuhan Ekonomi Hijau yang disampaikan oleh Program & Policy (PRK) Team Leader, Egi Suarga. Peserta didampingi untuk mendiskusikan indikator-indikator GEI yang perlu dipertimbangkan guna menyusun RPRK Daerah.

 

Agenda di hari kedua adalah Workshop Pemodelan Dinamika Sistem untuk Mendukung Perencanaan Kebijakan Ekonomi Hijau yang disampaikan oleh Ahli Pemodelan ITB, Dr. Muhammad Tasrif. Beliau menjelaskan logika berpikir pemodelan dengan menggunakan pendekatan system dynamics. Peserta kemudian diajak menggunakan software Vensim sebagai alat bantu untuk keperluan penyusunan dokumen kebijakan perencanaan daerah. Harapannya, dari agenda ini, peserta dapat memahami konsep dasar dan strategi utama Ekonomi Hijau dan GEI sebagai alat bantu pengukuran keberhasilan pertumbuhan Ekonomi Hijau, serta dapat menggunakan pemodelan system dynamics Ekonomi Hijau untuk melakukan exercise kebijakan dalam perumusan dokumen kebijakan daerah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional dan Daerah.

Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 5 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 6 Agustus 2022
Kegiatan Green Economy Championship Program, Bekasi 6 Agustus 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan Proyek DKTI di Kota Malang, 11 Mei 2022

Bappenas dan Program Kerjasama Jerman dukung Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Hijau melalui Pengelolaan Sampah Berkelanjutan: Implementasi di Level Kota/Kabupaten Jadi Kunci

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab perubahan iklim, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim. Salah satu penyebab tingginya emisi GRK adalah dikarenakan adanya dekomposisi sampah yang tidak terkelola dengan baik sehingga menghasilkan emisi gas buang yang terlepas ke lingkungan. Indonesia sebagai negara keempat dengan populasi terpadat di dunia[1] diestimasikan memproduksi hingga 105.000 ton limbah padat setiap harinya,[2] menempatkan sektor limbah menjadi penyumbang emisi terbesar ketiga di Indonesia setelah sektor kehutanan dan energi,[3] yaitu sekitar 5% dari total emisi di dunia.[4] Implementasi kebijakan pengelolaan sampah berkelanjutan dari hulu ke hilir, baik di tingkat nasional maupun Kota/Kabupaten, dapat mengurangi total emisi GRK sebesar 10-15%.[5] Oleh karena itu, sistem pengelolaan sampah terpadu di pusat dan daerah dapat berkontribusi secara signifikan terhadap aksi Pembangunan Rendah Karbon (PRK) untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.

 

Pemerintah Indonesia telah menggagas konsep PRK yang terdiri dari 5 (lima) sektor prioritas, diantaranya adalah Penanganan Limbah dan Ekonomi Sirkular. Kebijakan PRK sektor limbah diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip ekonomi sirkular dan pengelolaan limbah hingga mencapai 100% pada tahun 2060. Implementasi dari ekonomi sirkular yang mampu mengurangi timbulan limbah yang dihasilkan dan dibuang, mengutamakan penggunaan energi terbarukan, dan mendukung efisiensi penggunaan sumber daya alam, produk yang dihasilkan, serta proses yang digunakan pada industri sehingga lebih ramah lingkungan. Telah banyak kebijakan dan strategi yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai turunan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, diantaranya PP No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga,Perpres No. 97/2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (JAKSTRNAS), Peraturan Menteri LHK no. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, Peraturan Menteri LHK No. 14/2021 tentang Pengelolaan Sampah di Bank Sampah, dll. Kementerian PPN/Bappenas juga mendorong berbagai Kabupaten/Kota agar mengimplementasikan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dengan menerapkan konsep ekonomi sirkular untuk mendukung prinsip ekonomi hijau. Implementasi tersebut juga perlu didukung oleh penguatan data yang menunjang perumusan kebijakan, pengembangan kapasitas teknis dalam penggunaan teknologi pengelolaan sampah yang relevan dengan strategi pengurangan emisi, dan pendanaan untuk biaya operasional pengelolaan sampah di daerah.

Dalam rangka memperkuat implementasi RPJMN 2020-2024 khususnya terkait Pembangunan Rendah Karbon di sektor limbah dan  ekonomi sirkular Direktorat Lingkungan Hidup, Kementerian PPN/Bappenas didukung oleh Program Kerjasama Jerman yang diimplementasikan oleh GIZ melaksanakan Proyek Pengurangan Emisi di Perkotaan melalui Peningkatan Pengelolaan Sampah (DKTI) yang bertujuan untuk mendukung perencanaan dan pengembangan pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir dengan memperbaiki enabling condition di tingkat nasional dan di Kabupaten/Kota piloting. Pelaksanaan Proyek DKTI diawali di Bulan April-Mei 2021 dengan seleksi lokasi piloting project berdasarkan 5 (lima) faktor penilaian (Readiness/ Kesiapan, Sustainability/ Keberlanjutan, Relevance/ Keterkaitan,  Replicability/ Kemampuan Replikasi, dan Need of Technical Assistance/ Kebutuhan Bantuan Teknis). Enam Kabupaten/Kota yang terpilih sebagai pilot project DKTI dalam sistem pengelolaan sampah. Ke-enam Kabupaten/Kota tersebut yakni Kota Cirebon, Kota Malang, Kota Bukittinggi, Kota Jambi, Kota Denpasar, dan Kabupaten Bogor. Komitmen dari Kab/Kota untuk implementasi project DKTI tertuang dalam surat komitmen dari 6 ( enam) kepala daerah.

Pada Bulan April-Juni 2022 dilakukan kegiatan kunjungan dan pertemuan dengan Badan Perencanaan Daerah, Dinas Lingkungan Hidup, dan dinas terkait lainnya di 6 (enam) Kota/Kabupaten tersebut. Kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan komitmen dan memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sampah, mendiseminasikan kegiatan DKTI kepada pemangku kepentingan terkait, dan menerima masukan serta informasi terbaru berkaitan dengan manajemen persampahan, serta dukungan yang dibutuhkan dari berbagai Kota/Kabupaten terkait. Dalam pertemuan tersebut, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas juga menyampaikan pentingnya Reformasi Sistem Tata Kelola Persampahan di Kota/Kabupaten untuk mendukung pengelolaan sampah berkelanjutan, dilanjutkan pemaparan masing-masing profil pengelolaan sampah dan diskusi dengan pemangku kepentingan yang hadir.

 Secara umum, ke-enam Kabupaten/Kota memerlukan pembaharuan dokumen perencanaan atau Master Plan pengelolaan sampah agar sesuai dengan kondisi riil di wilayahnya. Sebagai contoh, Kota Malang yang pada tahun 2021 angka timbulan sampahnya sebesar 718,44 ton/hari memiliki Master Plan persampahan tahun 2020 yang belum sesuai dengan JAKSTRADA (Kebijakan dan Strategi Daerah terkait Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga). Selain itu, Kabupaten Bogor dengan Master Plan tahun 2014 membutuhkan adanya pembaruan yang tidak sekedar berpusat pada aspek infrastruktur namun juga terdapat aspek seperti partisipasi dan penguatan masyarakat serta terkait dengan isu zonasi. Oleh karena itu, intervensi berupa bantuan teknis dibutuhkan untuk menyusun Master Plan baru dan merevisi dokumen kebijakan dengan mempertimbangkan kebutuhan pengembangan sistem pengelolaan sampah jangka Panjang yang holistik mencakup seluruh aspek perencanaan pengelolaan sampah.

Tantangan lain yang ditemukan di salah satu Kabupaten/Kota pilot adalah rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sampah, termasuk adanya penambahan timbulan sampah ‘kiriman’ dari luar wilayah dan aktivitas tertentu seperti pariwisata dan komutasi penduduk keluar-masuk wilayah Kabupaten/Kota. Lebih dari 75% sampah di ke-enam daerah tersebut berujung ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), menyebabkan TPA penuh lebih cepat sementara rata-rata pemerintah daerah tidak memiliki lahan untuk membangun TPA baru. Untuk itu, diperlukan implementasi proyek pilot dalam hal peningkatan kesadaran publik untuk dapat mengurangi timbulan sampah, diantaranya melalui kolaborasi dengan masyarakat sebagai aktor kunci dalam sistem pengumpulan sampah terpilah dan terjadwal, serta dialog dengan pemangku kepentingan terkait di level Kecamatan dan Kelurahan. Di Bukittinggi, penanganan sampah telah disisipkan dalam agenda agama berupa sedekah sampah. Selain itu untuk meningkatkan jumlah sampah terkelola, diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat, antara lain bantuan teknis untuk optimalisasi Tempat Pengolahan Sampah – Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) berkelanjutan seperti di Jambi, serta dukungan teknologi di TPS3R berupa Black Fly Soldier (BSF)/Lalat Tentara Hitam dan Plastic Extruder.

Sementara itu, pendanaan juga merupakan isu yang selalu menjadi perhatian di ke-enam Kabupaten/Kota pilot. Hal ini disebabkan karena alokasi anggaran pengelolaan sampah sangat minim dan tarif retribusi di daerah belum merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2021 (Tata Cara Perhitungan Tarif Retribusi dalam Penyelenggaraan Penanganan Sampah). Oleh karenanya diperlukan peningkatan kapasitas dalam perhitungan biaya persampahan dan retribusi, eksplorasi opsi terkait akses pendanaan lainnya, pengembangan inovasi sistem penarikan retribusi sampah yang optimal, serta pengembangan model pembiayaan pengelolaan sampah.

Harapannya, melalui implementasi pendekatan berbasis sistem di tingkat Kota/Kabupaten pilot, aksi intervensi yang tengah dijalankan melalui proyek DKTI dapat mengakselerasi terwujudnya reformasi pengelolaan sampah berkelanjutan di berbagai daerah untuk mendukung pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau di Indonesia.

Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Cirebon, 8 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Jambi, 12 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Bukittinggi, 14 April 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kota Malang, 11 Mei 2022
Kegiatan Kunjungan dan Pertemuan di Kabupaten Bogor, 23 Juni 2022

[1] Worldometers. 2020. https://www.worldometers.info/world-population/#top20 diakses 29 Agustus 2022

[3] Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV Nasional 2017. http://ditjenppi.menlhk.go.id/berita-ppi/3150-kontribusi-penurunan-emisi-grk-nasional,-menuju-ndc-2030.html diakses 29 Agustus 2022

[4] Kristianto, G.A. & W. Koven. 2019. Estimating greenhouse gas emissions from municipal solid waste management in Depok, Indonesia. City and Environment Interactions: 4.

[5] Oates, L. et al. 2019. Supporting decent livelihoods through sustainable service provision: Lessons on solid waste management from Kampala, Uganda. Coalition for Urban Transitions.