Sejak bulan April, media massa kita dipenuhi dengan berita-berita seputar Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Tidak bisa dimungkiri bahwa kini masyarakat dunia tengah menghadapi ancaman besar dari virus tersebut. Berbagai antisipasi pun dilakukan, dari mulai cuci tangan, penggunaan hand sanitizer, penyemprotan desinfektan, penggunaan masker, hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Isu terkait lingkungan pun secara tidak langsung ikut terangkat di tengah pemberitaan di masyarakat. Berdasarkan hasil monitoring, pemberitaan dengan kata kunci Pengelolaan Limbah dan sampah, serta emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mendominasi beberapa pekan terakhir. Apakah hal tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat mulai peduli dengan masalah pengelolaan limbah dan emisi GRK?
Limbah plastik dan medis tenyata adalah dua isu yang paling sering dibahas di dalam pemberitaan media saat ini. Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dr.Ir. Novrizal Tahar pernah menyatakan dalam salah satu pidatonya bahwa kepedulian masyarakat akan pengelolaan limbah plastik masih sangat rendah. Masyarakat peduli sampah, namun minim aksi.
Pembangunan Rendah Karbon (PRK) yang merupakan upaya pemerintah dalam menghadapi dampak ekstrim perubahan iklim, memang tidak bisa terlaksana dengan baik tanpa adanya kerjasama dari berbagai pihak. Pengelolaan limbah yang dimulai dari lingkungan terkecil (rumah tangga) adalah salah satu bentuk dari aksi rendah karbon yang secara tidak langsung turut mendukung upaya pemerintah dalam keberhasilan Pembangunan Rendah Karbon. Bagaimana usaha masyarakat untuk turut andil?
LCDI Talk Bahas Masalah Iklim Bersama Generasi Muda
#Program LCDI Talk dari Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon Indonesia atau Low Carbon Development Indonesia (LCDI) membahas peran generasi muda (khususnya mahasiswa) dalam memerangi perubahan iklim.
#Webinar mengetengahkan pentingnya aksi nyata generasi muda di lapangan dalam mempraktikan gaya hidup rendah karbon yang ramah lingkungan dalam menghadapi dampak langsung perubahan iklim.
Jakarta, 22 Juli, 2020 – Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon atau LCDI (Low Carbon Development Indonesia membahas peran aksi generasi muda dalam memerangi perubahan iklim dengan membumikan dan mempopulerkan gaya hidup rendah karbon.
Sebagaimana diketahui, krisis iklim yang telah hadir di depan mata adalah akibat langsung dari pola atau gaya hidup yang tidak berkelanjutan dan cenderung eksploitatif dan tinggi emisi. Khususnya yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan pembukaan dan pengalihan lahan menjadi kawasan industri, pertanian, perkebunan dan hunian. Ditambah kegiatan-kegiatan industri, produksi energi berbahan bakar fosil, limbah dan sampah, transportasi, dan kerusakan ekosistem laut untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang berlebih.
Timbulnya kerentanan dan dampak langsung dari perubahan iklim dapat dikurangi melalui tindakan-tindakan pencegahan (mitigasi) dan adaptasi agar masyarakat ketahanan terhadap perubahan iklim yang terjadi (climate resilience).
“Generasi muda adalah pemilik masa depan, namun demikian perubahan iklim bisa menyebabkan kesulitan dan kerentanan kehidupan, karena faktanya emisi karbon dan perubahan iklim telah berdampak pada terjadinya bencana dan penurunan kualitas lingkungan di Indonesia,” ujar Irfan Darliazi, SE, MEPE, staf perencana Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas dalam keynote speech-nya.
Senada dengan Irfan, Dr. Hendricus Andy Simarmata, Ketua Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAPI) yang juga ahli perencanaan kota, mitigasi dan perubahan iklim, serta staf pengajar di Sekolah Kajian Strategic dan Global (SKSG) mengatakan: “Dampak perubahan iklim harus dilihat sebagai peluang momentum titik balik menata gaya hidup rendah karbon, bukan menganggapnya sebagai tambahan persoalan baru.”
Dr. Andy juga menyoroti untuk menumbuhkan rasa krisis atau sense crisis perubahan iklim bagi semua pihak, baik pemerintah, kelompok masyarakat, atau kalangan dunia usaha. Sehingga dalam aksi di tingkat lapangan dan tatanan berkegiatan sehari-hari akan timbul dorongan untuk mengatasi krisis perubahan iklim secara bersama-sama. Khusus untuk generasi muda, Dr. Andy mendorong generasi muda untuk mengambil bagian dengan memanfaatkan bonus teknologi dan kemudahan berkomunikasi di era ultra modern ini dengan membangun narasi intelektual dan memasyarakatkan gaya hidup rendah karbon.
Sementara itu, Priyaji Agung Pambudi, S.Pd, M.Si, Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (Himpasiling UI) menekankan pentingnya generasi muda membangun aliansi strategis dalam bentuk kelompok-kelompok kajian dan aksi memerangi perubahan iklim.
“Generasi muda harus segera bergerak dan lebih banyak mengambil keputusan bersama mengatasi permasalahan yang timbul akibat perubahan iklim – termasuk pemasyarakatan dampak perubahan iklim dan aksi nyata untuk memeranginya di kehidupan sehari-hari.”
Di bagian akhir, Irfan menambahkan bahwa arah kebijakan pembangunan jangka menengah dan panjang yang dianjurkan pemerintah harus dapat memenuhi tujuan pembangunan ekonomi, sistem kesehatan, ketahanan pangan, serta penanganan bencana lingkungan yang lebih tangguh di masa depan dimana komponen generasi muda diharapkan dapat berperan lebih proaktif dan aktif.
-selesai-
Narahubung:
Kevin Simon
Sekretariat LCDI
communication@lcdi-indonesia.id
082258565533
Kajian Dampak COVID-19 terhadap Implementasi Pembangunan Rendah Karbon
Kementerian PPN/ Bappenas tengah menyusun studi/kajian mengenai COVID-19, salah satunya adalah kajian yang dilakukan Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas, yaitu studi dampak COVID-19 terhadap pelaksanaan Green Economy dan Pembangunan Rendah Karbon.
Berdasarkan hasil sementara kajian tersebut, dengan asumsi kondisi ekonomi mulai pulih dan membaik di tahun 2021, maka emisi diperkirakan akan kembali meningkat dan berisiko menimbulkan lonjakan seiring dengan laju aktivitas perekonomian yang meningkat. Pada fase new-normal dan pemulihan, Pemerintah masih memfokuskan pembangunan pada upaya recovery ekonomi, sistem kesehatan, sosial dan bencana, sehingga upaya Pembangunan Rendah Karbon belum menjadi fokus utama. Hal tersebut kemudian berdampak pada kinerja upaya penurunan emisi GRK pada tahun 2021 yang diperkirakan berada pada level 23,5% – 24,05% dibandingkan baseline emisi GRK di tahun 2021 atau kinerja menurun sekitar 1,8% dibandingkan dengan 2020.
Berkaitan dengan hal tersebut, anggaran pemerintah akan lebih banyak difokuskan untuk penanganan pandemi, dan menyebabkan aksi pembangunan rendah karbon tidak bisa diimplementasikan secara optimal. Di sisi lain, penurunan emisi telah ditetapkan sebagai salah satu sasaran dalam Kerangka Ekonomi Makro, sehingga untuk mewujudkan target penurunan emisi dalam RPJMN 2020-2024 (sekitar 27% pada tahun 2024), maka implementasi pembangunan rendah karbon perlu dilakukan secara full recovery mulai tahun 2022, dan perlu adanya upaya carryover dari target tahun 2020 dan 2021.
Hasil sementara kajian tersebut masih perlu dielaborasi lebih lanjut melalui kajian yang lebih komprehensif, dan nantinya diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mendesain kebijakan pembangunan jangka menengah dan jangka panjang untuk menciptakan lapangan kerja, mengeskalasi sistem kesehatan, menjamin sistem ketahanan pangan dan meningkatkan ketahanan terhadap bencana di masa mendatang. Dengan demikian, strategi untuk membangun kembali di masa pandemi akan sangat bergantung pada implementasi kebijakan di berbagai sektor, termasuk pada sektor energi, sektor transportasi, sektor kehutanan, sektor pertanian, sektor pesisir dan laut, dan sektor limbah.
Bappenas Dorong Pembangunan Rendah Karbon Masuki New Normal dan Pasca Pandemi Covid-19
#Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/ Bappenas yang diwakili oleh Direktorat Lingkungan Hidup, Sekretariat Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (LCDI), dan UK Climate Change Unit, British Embassy Jakarta menyelenggarakan webinar bertajuk “Build Back Better: Pemulihan Ekonomi dan Sosial pasca Covid-19 melalui Pembangunan Rendah Karbon”
#Webinar yang dihadiri lebih dari 2,500 peserta dari seluruh Indonesia mengetengahkan pentingnya pemulihan ekonomi dan sosial secara berkelanjutan melalui pembangunan rendah karbon untuk meningkatkan ketangguhan dan membangun kembali masa depan yang lebih baik.
Jakarta, 28 Mei, 2020 – Direktorat Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas mendorong pembangunan kembali lebih baik (Build Back Better) di masa New Normal Covid-19 melalui Pembangunan Rendah Karbon (Low Carbon Development Initiative/ LCDI). Hal ini sangat penting untuk menghindari terjadinya kondisi kerentanan semula dan menjadikan proses pemulihan sebagai transformasi sosial, ekonomi dan lingkungan menuju arah yang lebih baik, sekaligus meningkatkan ketangguhan terhadap dampak perubahan iklim di masa mendatang.
“Diperlukan upaya pemulihan ekonomi dan sosial berbasis strategi kebijakan berkelanjutan, terutama implementasi pembangunan rendah karbon untuk mengantisipasi pulihnya perekonomian nasional dan dunia yang tinggi emisi (carbon intensive industries),” ujar Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Ph.D, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas dalam pembukaan webinar.
Arifin menambahkan bahwa pemerintah menyadari perlunya ditempuh unprecedented policies atau kebijakan yang belum pernah dilakukan sebelumnya untuk mengatasi keadaan krisis yang dihadapi Indonesia saat ini. Yaitu memutus rantai penularan virus Covid-19, sambil melakukan tindakan pengamanan sosial dan kesehatan secara simultan serta intervensi ekonomi secara maksimal, maka perekonomian dan kehidupan sosial Indonesia akan lebih cepat pulih dan kembali normal.
Krisis ekonomi dan sosial yang disebabkan Covid-19 telah membawa perubahan mendasar pada prioritas pembangunan Indonesia. Dimana sepanjang tahun 2020 akan berfokus pada penanggulangan pandemi, jaring pengaman sosial, dan menjaga stabilitas ekonomi. Sedangkan pada tahun 2021 akan berfokus pada percepatan pemulihan ekonomi dan reformasi sosial.
Sementara itu, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor-Leste, H.E. Owen Jenkins, menyatakan: “Pemerintah Inggris melalui UK Climate Change Unit mendukung usaha bersama pemerintah Indonesia dan para pihak termasuk dunia usaha dan sektor swasta untuk bersama-sama menanggulangi ancaman global terhadap kehidupan dan generasi kita yaitu pandemic Covid-19 dan disaat yang sama juga menanggulangi ancaman sangat mendesak atas lingkungan dan perubahan iklim.”
“Hal penting lainnya, Pemerintah Inggris memahami bahwa pemulihan paska Covid-19 memerlukan dukungan nasional dan internasional, tidak hanya dari sisi keuangan namun juga dari sisi pilihan -pilihan kebijakan yang akan mendukung stimulasi pemulihan. Pembangunan rendah karbon sebagai bagian dari build back better memberikan peluang investasi dan pilihan-pilihan kebijakan yang dapat membantu untuk menuju kepada masa depan lingkungan yang lebih bersih, hijau dan berkelanjutan,” Owen menambahkan.
Menurut Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Dr. Ir. Medrilzam, MPE yang menjadi pembicara utama diperlukan kebijakan komprehensif yang bersifat jangka menengah dan jangka panjang, tidak sekedar adopsi Normal Baru (New Normal), tetapi sekaligus mengatasi ancaman bencana yang ada di hadapan mata yaitu perubahan iklim.
“Diperlukan Normal Baru dengan membangun kembali Indonesia yang lebih baik (build back better) dengan mempertahankan momentum agenda pembangunan berkelanjutan 2030,” tambah Medrilzam.
Direktorat Lingkungan Hidup Bappenas menyampaikan beberapa solusi pemulihan build back better dalam Normal Baru, yaitu: Stimulus ekonomi jangka panjang harus di desain untuk membangun ekonomi yang lebih kuat, menjamin kesehatan dalam jangka panjang, menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih baik (green jobs), menanggulangi perubahan iklim, sekaligus membangun masyarakat yang tangguh di masa mendatang
Kemudian mendorong stimulus fiskal ekonomi hijau yang inklusif untuk menciptakan model bisnis yang rendah karbon dan berkelanjutan; Pemanfaatan dana publik untuk investasi di sektor yang mendukung perekonomian sekaligus rendah emisi dan berkelanjutan; Mengintegrasikan risiko dan peluang iklim ke dalam sistem keuangan serta aspek-aspek penyusunan kebijakan publik dan infrastruktur. Dan Transisi dari pola business as usual yang tinggi emisi menuju pembangunan yang berkelanjutan dan rendah karbon.
Di bagian akhir, Medrilzam mengatakan: “Indonesia memiliki platform build back better untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta mengintegrasikan dengan kebijakan penanggulangan perubahan iklim melalui Pembangunan Rendah Karbon.”
Dalam diskusi webinar ini diketengahkan 5 (lima) sektor yang dapat menopang proses pemulihan ekonomi dan sosial berbasis pembangunan rendah karbon, masing-masing dari pengelolaan sektor energi, transportasi umum, hutan, pertanian, dan limbah.
Hadir sebagai keynote speaker adalah Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Ph.D, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam, Bappenas dan H.E. Owen Jenkins, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor-Leste. Sedangkan sebagai penanggap materi menghadirkan Prof. Dr. Arif Satria, SP, MSi, Rektor IPB; Paul Butarbutar, Direktur Eksekutif, METI (Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia); Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE (Center Of Reform On Economics) Indonesia; dan Brigitta Isworo Laksmi, Wartawan Senior dan Pegiat Lingkungan.
-selesai-
Narahubung:
Kevin Simon
Sekretariat LCDI
communication@lcdi-indonesia.id
082258565533
Pembahasan Finalisasi Logframe Pelaksanaan PPRK
# Di masa depan, Pembangunan Rendah Karbon (PRK) diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui pertumbuhan rendah emisi yang meminimalkan eksploitasi sumber daya alam.
Tahap awal pelaksanaan inisiatif Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) yang dimulai pada pertengahan tahun 2019 mendapat tanggapan yang sangat positif dari seluruh 34 pemerintah provinsi di Indonesia. Terlebih, pembangunan rendah karbon menjadi salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Sebanyak 7 (tujuh) Pemerintah Provinsi (Pemprov) telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Kementerian PPN/Bappenas RI untuk mengimplementasikan pembangunan rendah karbon. Tujuh Pemprov yang dimaksud adalah Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua Barat, Papua, Bali, dan Riau. Dalam kondisi pandemi Covid-19, ke-7 Pemrov tersebut telah melakukan tahap akhir pembahasan rencana kerja (logframe) pelaksanaan PPRK bersama dengan Bappenas RI, Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) dan Mitra Pembangunan dari organisasi sosial kemasyarakatan lainnya. Pembahasan dilakukan melalui fasilitas temu online yang dipandu langsung oleh Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Ir. Medrilzam, M. Prof. Econ, Ph.D.
Sebagaimana diketahui, pembangunan rendah karbon memiliki lima kebijakan utama: 1. Transisi menuju Energi Baru Terbarukan dan efisiensi energi; 2. Perlindungan hutan, moratorium gambut, dan meningkatkan reforestasi; 3. Pengelolaan sampah industri dan sampah rumah tangga; 4. Peningkatan produktivitas pertanian; dan 5. Perbaikan kelembagaan maupun tata kelola.
Dalam rangka mewujudkan kelima kebijakan PRK di atas, berikut disampaikan perkembangan secara umum tentang pembahasan finalisasi rencana kerja pelaksanaan PPRK di daerah yang berlangsung pada bulan April hingga awal Mei 2020, yang terdiri dari 5 Komponen:
Komponen 1 – Penyusunan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Provinsi
Input: Pokja PPRKD
Output: Tersusunnya Dokumen Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Provinsi
Kegiatan:
- Penyusunan dan Penetapan SK Gubernur tentang Tim Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon Provinsi
- Sosialisasi Kebijakan Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) Nasional
- Peningkatan Kapasitas Kelompok Kerja RPRKD dalam penyusunan dokumen RPRKD Provinsi
- Penyusunan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Provinsi dan Penetapan Peraturan Gubernur
Komponen 2 – Peningkatan Sistem Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD)
Input: AKSARA atau Aplikasi Perencanaan-Pemantauan Pembangunan Rendah Karbon Indonesia
Output: Tersusunnya laporan pelaksanaan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) dan capaian penurunan emisi dan intensitas emisi Provinsi dan Kabupaten/Kota
Kegiatan :
- Pengenalan dan Peningkatan Kapasitas dalam Sistem Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) AKSARA
- Penyediaan basis data kegiatan mitigasi lingkup provinsi dan kabupaten/kota pada Sistem AKSARA
- Pengembangan Sistem Budget Tagging RPRKD pada Sistem e-planning dan e-Monev
Komponen 3 – Persiapan dan Implementasi Pembangunan Rendah Karbon dengan Dukungan BUMD/Swasta/Donor
Input: Keterlibatan Non State Actor (NSA) dalam pilot implementasi PPRK
Output: Terlaksananya persiapan dan kegiatan percontohan implementasi RPRKD di Provinsi Melibatkan Peran Serta Swasta
Kegiatan:
- Pemetaan Sektor Swasta/Non State Actor (NSA) Pendukung Pelaksanaan Pembangunan Rendah Karbon di Provinsi
- Penandatanganan Kesepakatan Implementasi Pembangunan Rendah Karbon antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota Percontohan dan Pihak Swasta/LSM
- Pelaksanaan Kegiatan Percontohan RPRKD Provinsi
Komponen 4 – Komunikasi dan Sosialisasi Pembangunan Rendah Karbon
Output: Terkomunikasikannya Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) di Provinsi secara luas kepada berbagai lapisan masyarakat
Kegiatan:
- Penyusunan dan Penguatan Strategi Komunikasi terkait PPRK
- Media Engagement dan Pembuatan Media Publikasi
- Kampanye Pembangunan Rendah Karbon
- Penyusunan Policy Brief tentang PPRK
- Sosialisasi Peraturan Gubernur tentang RPRKD Provinsi
Komponen 5 – Integrasi Kebijakan RPRKD ke dalam Revisi RPJMD Provinsi
Input: Pokja KLHS Evaluasi RPJMD
Output: Terintegrasikannya Kebijakan Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah ke dalam Dokumen Revisi RPJMD Provinsi
Kegiatan:
- Penyusunan dan Penetapan SK Gubernur tentang Pokja KLHS Evaluasi RPJMD Provinsi
- Penyusunan KLHS Revisi RPJMD Provinsi yang sudah menerapkan Model Sistem Dinamik Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon
Dalam implementasi PRK, masing-masing provinsi pilot memiliki perbedaan karakteristik satu sama lain, diantaranya adalah:
- Penyelarasan agenda revisi RPJMD pada masing-masing provinsi tidak berbarengan dengan revisi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sudah menerapkan Model Sistem Dinamik Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon.
- Provinsi Riau fokus pada kerjasama dalam perumusan kebijakan pengelolaan lahan gambut dan penanganan sampah; Provinsi Jawa Barat fokus pada kegiatan penanganan limbah; Provinsi Jawa Tengah fokus pada rehabilitasi kawasan mangrove di Pantai Utara Jawa; dan Provinsi Sulawesi Selatan dalam Energi Baru Terbarukan.
- Keterlibatan LSM/swasta dalam pelaksanaan program memegang peranan yang cukup penting, sebagai contoh Provinsi Riau akan menggandeng pihak swasta yang selama ini sudah aktif terlibat dalam usaha yang intensif selama kurun waktu yang lama.
Mitra Pembangunan yang mendukung program PRK yang tersebar di 7 provinsi diantaranya adalah:
WRI Indonesia, Yayasan Econusa, GGGI, TAF, CIFOR, UNPAGE, GIZ MRV-MMI, TFA, JICA, dan GIZ VICLIM.
Penyusunan Rencana Kerja Tim Mitigasi dan Adaptasi Bencana Iklim Pokja Perubahan Iklim DKI Jakarta
Jakarta, 24 Februari 2020 Bertempat di Ruang Command Center Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Bencana Iklim DKI Jakarta mengundang Sekretariat LCDI untuk berdiskusi mengenai penyusunan rencana kerja mitigasi dan adaptasi bencana iklim yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Rapat dibuka oleh Ibu Fitri selaku Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Kebersihan mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan dihadiri oleh OPD terkait lingkungan Provinsi DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 30% dan telah didukung melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.96 tanggal 30 Januari 2020 tentang Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Bencana Iklim.
Dalam merencanakan penurunan emisi gas rumah kaca, salah satu hal yang penting adalah adanya sistem monitoring dan pelaporan terpadu secara realtime, sehingga capaian penurunan emisi untuk kebutuhan evaluasi dan perencanaan program penurunan emisi tiap tahunnya dapat terdokumentasi. Pada rapat ini disampaikan juga bahwa pada tingkat nasional telah diluncurkan platform pelaporan online yaitu AKSARA sebagai sistem monitoring, pelaporan dan verifikasi secara online dari penurunan emisi gas rumah kaca di lingkungan Kementerian dan Lembaga, serta 34 provinsi di Indonesia. Melalui platform AKSARA tersebut, data dari para OPD yang sebelumnya tersebar dan dilaporkan secara manual, dapat dikumpulkan dengan lebih efektif dan efisien. Validasi data pada platform pelaporan emisi juga menjadi hal penting yang tak terpisahkan untuk peningkatan kinerja penurunan emisi.
Terkait fenomena banjir di Jakarta akibat salah satu dampak perubahan iklim, Sekretariat LCDI memaparkan bahwa di daerah perkotaan seperti DKI Jakarta, aksi mitigasi dan adaptasi dapat dilakukan dalam bentuk penanaman pohon, taman kota, dan urban farming di sekitar perumahan dan jalan untuk menjaga debit air sekaligus sebagai penangkap emisi gas rumah kaca dan penggunaan setu atau embung sebagai sumber air bersih. Upaya adaptasi penanggulangan bencana banjir dan kekeringan, serta pemberdayaan masyarakat juga dapat dimaksimalkan melalui dukungan CSR. Provinsi DKI Jakarta yang seringkali menerima debit air yang tinggi (banjir kiriman) dari daerah hulu di Bogor, hal ini dapat mendorong perusahaan-perusahaan yang berada di Jakarta untuk melakukan CSR berupa pengembangan kapasitas, reboisasi, rehabilitasi, membangun sumur resapan di daerah hulu guna meningkatkan infitrasi air dan mengurangi debit banjir kiriman, sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat di daerah hulu sungai.
Demi mendukung komitmen pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mitigasi dan adaptasi bencana iklim, kedepan Pemprov DKI Jakarta akan membangun sistem digital bekerjasama dengan C-40 dalam mengembangkan portal database untuk pelaporan aksi mitigasi. Hasil pelaporan tersebut diharapkan dapat berhubungan dengan aplikasi AKSARA.