c. Dampak Sosial FLW: Kehilangan Kandungan Zat Gizi
Timbulan FLW di Indonesia sebesar 23–48 juta ton/tahun pada tahun 2000-2019 menyebabkan terjadinya kehilangan kandungan zat gizi, yakni kehilangan kandungan energi, protein, vitamin A, dan zat besi. Kehilangan energi akibat FLW pada tahun 2000-2019 sebesar 618 – 989 kkal/kapita/hari setara dengan porsi makan 61 – 125 juta orang per tahun. Kandungan protein yang hilang dari FLW adalah sebesar 18 – 32 gram/kapita/hari atau setara dengan kebutuhan protein 68 – 149 juta rata-rata orang per tahun. Angka ini mencakup kebutuhan 30-50% populasi Indonesia). Sementara itu, kehilangan vitamin A akibat FLW adalah sebesar 360 – 953 Ug RE/kapita/hari yang setara dengan kebutuhan vitamin A 134 – 441 juta orang per tahun (63-166% populasi Indonesia). Terakhir, kandungan zat besi yang hilang dari FLW yaitu sebesar 4 – 7 mg/kapita/hari atau setara dengan kebutuhan zat besi 96 – 189 juta orang per tahun (46 – 72% populasi Indonesia).
Strategi Pengelolaan Food Loss and Waste di Indonesia
Apabila dampak multidimensi dari timbulan FLW ke depannya tidak dikendalikan, berdasarkan proyeksi 25 tahun ke depan, timbulan FLW Indonesia pada tahun 2045 diestimasi dapat mencapai 112 juta ton/tahun (setara dengan 344 kg/kapita/tahun). Untuk itu, dalam rangka mendukung penerapan Ekonomi Sirkular dan Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia, Kajian Food Loss and Waste di Indonesia telah mengidentifikasi strategi pengelolaan FLW yang dikelompokkan dalam 5 arah kebijakan.
Pertama, Perubahan Perilaku. Strategi ini dapat berfokus pada 1) pengembangan Lembaga Penyuluhan di setiap daerah untuk dapat memberikan sosialisasi serta penyuluhan dan pendampingan kepada pekerja pangan terkait pencegahan dan pengelolaan potensi mubazir pangan; 2) peningkatan kapasitas pekerja pangan dengan memberikan pelatihan dan pemantauan secara berkala; dan (3) edukasi kepada konsumen untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pencegahan, pengurangan, dan pengelolaan FLW. Edukasi bisa dimulai dari pemberian pemahaman arti label pangan ‘baik sebelum’ dan ‘kedaluwarsa’ dan edukasi perubahan perilaku menyimpan, menyiapkan, dan mengonsumsi makanan secara bijak, seperti menerapkan metode first in first out, yakni mengolah dan mengkonsumsi pangan yang telah dibeli terlebih dahulu dan menyimpan makanan menggunakan wadah/kemasan yang tepat.
Kedua, Pembenahan Penunjang Sistem Pangan. Strategi ini berfokus pada 1) pengembangan korporasi petani yang melibatkan tengkulak, offtaker dan pelaku pangan secara kemitraan untuk untuk dapat memperpendek rantai pasok, memberikan transparansi harga dan melakukan penanganan pangan yang terbuang dan 2) penyediaan infrastruktur dan sarana prasarana, seperti air bersih, listrik, jalan, gudang pendingin, platform sistem pangan dan akses/bantuan ICT (informasi, komunikasi dan teknologi) yang dapat mendukung efisiensi proses produksi pangan. Hal ini juga juga dapat berkontribusi pada pengurangan FLW di tingkat nasional regional serta menguatkan koordinasi antara lembaga terkait isu FLW.
Ketiga, Penguatan regulasi dan optimalisasi pendanaan. Strategi ini berfokus pada 1) optimalisasi pendanaan tepat guna dan tepat sasaran untuk perbaikan infrastruktur pangan; 2) pengembangan regulasi FLW di tingkat nasional terkait peningkatan efisiensi proses produksi pangan, regulasi terkait food bank, pengelolaan sampah makanan oleh pelaku usaha, serta sistem insentif dan disinsentif pelaku pangan; 3) pengembangan kebijakan, panduan dan program level regional terkait strategi pencegahan dan pemanfaatan FLW dengan mempertimbangkan hotspot FLW di masing-masing daerah, dan usaha mengurangi sampah makanan ke TPA atau bocor ke lingkungan; dan 4) penguatan koordinasi antara kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait isu FLW.
Keempat, Pemanfaatan FLW. Strategi ini berupaya untuk mendorong pengembangan platform penyaluran pangan berlebih/ugly food/sisa makanan dalam mencegah terjadinya FLW dan pengelolaan FLW yang mendukung ekonomi sirkular dan pengembangan percontohan pemanfaatan FLW skala kota/kabupaten dengan penerapan pemilahan sampah di sumber. Untuk menjaga agar bahan pangan layak konsumsi tersebut tidak terbuang percuma, beberapa organisasi di Indonesia telah berinisiatif untuk wadahi penyaluran ugly food dan sisa pangan kepada pihak yang membutuhkan, seperti Foodbank of Indonesia (FOI), Garda Pangan dan Food Bank Bandung (FBB) Di sisi lain, pengelolaan FLW yang optimal di skala kota/kabupaten dapat diupayakan dengan berbagai pilihan teknologi pengolahan FLW, seperti biopori, pengomposan, budidaya black soldier fly (BSF), eco-enzyme, biogas, biodigester, biokonversi dan teknologi alternatif lainnya. Selain itu, FLW juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak.
Kelima, Pengembangan Kajian dan Pendataan FLW. Strategi ini menyoroti perlunya pendanaan timbulan FLW yang terintegrasi dari hulu ke hilir melalui sensus serta pengembangan kajian untuk melengkapi data FLW di Indonesia.
Untuk menyukseskan kelima strategi di atas dan mendorong implementasi Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon dan Ekonomi Sirkular melalui pengelolaan food loss and waste, Pemerintah Indonesia tidak bisa bergerak sendiri. Kolaborasi aktif dari seluruh pihak yang terlibat sangat diperlukan untuk memberikan hasil yang bermakna dan konkret untuk Indonesia. Nantinya, tentu akan ada berbagai tantangan dan peluang yang perlu dihadapi. Namun, kita perlu optimis bahwa melalui kolaborasi seluruh stakeholders dari hulu hingga hilir rantai pasok pangan serta perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi pangan, Indonesia dapat mencapai kedaulatan pangan serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat mengakses kajian FLW di Indonesia disini.
Editor:
Anggi Pertiwi Putri, Caroline Aretha Merylla, Asri Hadiyanti Giastuti