presenting-the-future-of-carbon-market-indonesia_169

Hadapi Transisi Karbon, Bappenas Siapkan 3 Hal Penting

Jakarta, CNBC Indonesia – Dalam beberapa tahun terakhir, cuaca ekstrem di berbagai negara semakin meningkat seiring dengan pemanasan suhu yang sudah mencapai 1,1 derajat Celcius. Dampak kerugian yang ditimbulkan bukan hanya sekadar kerusakan lingkungan tetapi juga kehilangan dari sisi ekonomi, termasuk banyak lapangan kerja yang terdampak oleh karena isu atau bencana hidrometeorologi.
Hasil studi Bappenas menunjukkan, energi demand diproyeksikan meningkat 3 kali lipat pada 2060. Dalam komitmen yang diambil dalam COP26, pembangunan yang dilaksanakan di setiap negara Indonesia juga cukup banyak berkolaborasi dengan negara lain dan multilateral agency perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam berbagai potensi dan diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengejar berbagai target yang sudah dijalankan dalam kebijakan pembangunan berupa karbon.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/BAPPENAS Medrilzam, mengatakan pihaknya telah menyiapkan 3 hal penting dalam transisi rendah karbon melalui konteks pembangunan.

“Pertama, kami melakukan Exercise Net Zero Emission, tentunya terkait dengan penurunan intensitas energi Indonesia dalam rangka untuk menjajaki komitmen yang sifatnya yang lebih serius,” ujar Medrilzam dalam acara Presenting The Future of Carbon Market Indonesia, ICF 2021, Rabu (1/12/2021).

Intensitas emisi gas rumah kaca ini tentunya nanti akan diturunkan lagi menjadi kebijakan yang strategis terutama di 3 sektor, yakni energi, lahan, dan juga limbah. Dia menambahkan, perkiraan penurunan beberapa kebijakan seperti rekonstruksi dan rehabilitasi mangrove diperkirakan mampu berkontribusi 24,9 % untuk menurunkan emisi karbon.
Kedua, Medrilzam menuturkan Penerapan Ekonomi Sirkuler dalam Pola Bisnis Perusahaan menjadi hal penting selanjutnya. Adapun sektor yang diperhatikan dalam hal ini yakni ekonomi, sosial, dan Lingkungan. Sedangkan yang ketiga yakni Transfer Teknologi Rendah Karbon dan Pengembangan SDM.

“Dalam kaitannya dengan sumber daya manusia untuk mendukung implementasi dari praktisi rendah karbon melalui berbagai kegiatan dan sektor terkait, tentunya teknologi sangat erat kaitannya. Jangan sampai ketinggalan dari sisi teknologi dan kemampuan kita dalam mengekspor berbagai potensi inovasi dan teknologi yang bisa kita kembangkan,” jelasnya.
Sementara itu, Coordinating Vice Chairwoman KADIN Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani, mengungkapkan sejumlah skenario telah disiapkan Pemerintah untuk mencapai pembangunan rendah karbon. Hal ini telah tertuang dalam Low Carbon Development Initiative 219 yang berisikan strategi pembangunan Indonesia dalam pembangunan rendah karbon sampai dengan 2050 yang juga memprioritaskan kualitas lingkungan penanggulangan bencana dan perubahan iklim.

Selain itu, Presiden Joko Widodo juga telah mengesahkan Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional, serta pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.
Pengesahan peraturan ini juga telah disampaikan oleh Jokowi dalam pertemuan COP26 yang di dalamnya mencakup nilai ekonomi karbon atau karbon pricing yang dilaksanakan melalui 4 mekanisme, yaitu perdagangan karbon, offset karbon, pembayaran berbasis kinerja dan pungutan atas karbon.

“Target penurunan emisi gas rumah kaca merupakan tanggung jawab negara namun sektor swasta memegang peranan penting. Dalam mewujudkan percepatan target tersebut, pemerintah di tingkat nasional mulai berkolaborasi dengan pihak swasta, pemerintah daerah, dan pihak-pihak lainnya untuk mencapai target iklim yang lebih ambisius,” tutur Shinta.

Menurutnya, keterlibatan sektor swasta merupakan suatu hal yang krusial, salah satu diantaranya dalam pengembangan solusi dan inovasi teknologi pengembangan inovasi dan terobosan energi yang diluncurkan pada 2021 dan masih menjadi pembahasan pada COP26, yang berfokus kepada percepatan adopsi teknologi untuk pembangkit energi terbarukan pada negara berkembang.

Hal ini ditujukan untuk mengurangi profil risiko untuk investasi sektor ini, yang juga membutuhkan keterlibatan dari sektor swasta. Upaya penurunan emisi gas rumah kaca juga dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar yang mendasarkan pada aspek Nilai Ekonomi Karbon (NEK).

Shinta menambahkan, kebijakan NEK ini memerlukan kerjasama dan kolaborasi berbagai pihak, termasuk swasta dalam upaya penanggulangan perubahan iklim dan penurunan emisi karbon untuk mencapai ekonomi yang berkelanjutan.

“Dengan ini, diharapkan nantinya investasi hijau global juga akan berlomba datang ke Indonesia, dan kesempatan ini akan menjadikan Indonesia sebagai acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor, terutama sektor energi transportasi dan juga industri manufaktur,” pungkas Shinta.

WhatsApp-Image-2021-10-31-at-17.30.56

Indonesia-Inggris perkuat komitmen ekonomi hijau melalui rendah karbon

Jakarta (ANTARA) – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas
Suharso Monoarfa menegaskan komitmen Indonesia dan Inggris untuk implementasi ekonomi
hijau serta menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, melalui program
pembangunan rendah karbon.

Suharso menegaskan hal tersebut usai bertemu Menteri Pasifik dan Lingkungan Hidup Inggris
Lord Zac Goldsmith dalam kunjungan kerja ke London, Inggris.

“Kolaborasi Pemerintah Indonesia dan Inggris telah memberikan landasan yang kokoh bagi
Indonesia untuk bergerak menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan melalui berbagai studi
kebijakan,” kata Suharso dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Minggu.

Selama ini, studi kebijakan mengenai pembangunan ekonomi hijau yang berkelanjutan
mencakup food loss and waste, carbon tax, carbon pricing, efisiensi energi, serta keterkaitan
antara keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Kerja sama Indonesia-Inggris dalam kerangka pembangunan rendah karbon yang telah dimulai
sejak 2017, kini memasuki fase transisi ke tahap kedua yang akan dimulai 2022 hingga 2025,
dengan target lebih strategis dan berdampak jangka panjang.

Pada 2019, Kementerian PPN/Bappenas bersama konsorsium penelitian dan mitra
pembangunan mengembangkan laporan berjudul “Perubahan Paradigma Menuju Perekonomian
Hijau di Indonesia”.

Laporan itu memiliki temuan kunci meliputi pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan dapat
menghasilkan tingkat pertumbuhan PDB rata-rata enam persen per tahun, hingga strategi
penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 43 persen pada 2030.

Kemudian, Kementerian PPN/Bappenas mengintegrasikan temuan tersebut ke dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, salah satunya dengan menjadikan
pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai indikator pembangunan ekonomi makro.

Pada 2021, bersama UK-Foreign, Commonwealth & Development Office dan didukung New
Climate Economy serta World Resources Institute, Kementerian PPN/Bappenas juga telah
menyusun laporan “Ekonomi Hijau untuk Menuju Net-Zero Emissions di Masa Mendatang”.
Laporan tersebut membahas pentingnya Build Back Better, atau komitmen untuk bangkit dari
COVID-19, menuju ekonomi hijau dan untuk mencapai net-zero emissions paling lambat pada
2060.

“Berdasarkan Laporan Ekonomi Hijau yang Bappenas terbitkan bulan ini, skenario net-zero akan
membawa manfaat tambahan dalam hal ekonomi, sosial, dan lingkungan, sebagai upaya yang
tidak terpisahkan dari langkah-langkah pemulihan COVID-19, sekaligus berkontribusi dalam
menjaga suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius yang turut menjadi tujuan bersama Indonesia-Inggris,” kata Suharso

BAPPENAS KAMPANYEKAN PEMBANGUNAN BERKETAHANAN IKLIM (PBI)

JAKARTA Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas kembali meluncurkan dokumen kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) berbahasa Inggris sebagai pedoman penanganan perubahan iklim di Indonesia dan sebagai referensi untuk negara-negara lain di dunia.  Diharapkan publik internasional dapat memahami proses penerapan PBI di Indonesia maupun global.

Implementasi Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan PBI berkontribusi dari tingkat desa ke tingkat global. Dampak perubahan iklim sangat spesifik lokal, sehingga upaya penanganan perubahan iklim harus mampu mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptif masyarakat. PBI secara paralel juga berkontribusi pada pencapaian target-target yang telah ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan (Goal) 13, yaitu Penanganan Perubahan Iklim (Climate Action). Di sisi lain, upaya penanganan perubahan iklim berkontribusi pada pencapaian target global yaitu Paris Agreement dan Sendai Framework.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto dalam paparannya menyampaikan: “Ketahanan iklim nasional adalah salah satu hal terpenting yang terus diupayakan oleh Pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim global yang dampaknya sangat mempengaruhi kehidupan, khususnya pada empat sektor prioritas: kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan – karena kontribusinya yang sangat besar terhadap pendapatan sektor PDB.”

Sementara itu, Kepala Badan Meterologi, Geofisika dan Klimatologi (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa 99% bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi terutama akibat curah hujan yang ekstrem dan lebat. Akibatnya banyak terjadi banjir, puting beliung, dan tanah longsor.

Menteri Bappenas periode 2016 – 2019, Bambang Brodjonegoro menggarisbawahi mengenai  sisa makanan (food waste) yang dapat menimbulkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang sangat serius.

“Sisa makanan kira-kira membentuk 50% timbulan sampah. Jika terurai di landfill bisa menghasilkan gas metana dan menimbulkan emisi GRK,” tegas Bambang dalam paparannya.

Ketahanan iklim menjadi sangat penting karena Indonesia terletak pada garis ekuator dan diapit dua samudera sehingga  tercipta pola iklim dinamis, baik  yang berlangsung cepat (rapid onset) maupun dalam waktu yang relatif panjang (slow onset). Selain kerugian fisik dan material, masyarakat juga berpeluang kehilangan mata pencaharian sebagai dampak negatif dari pola iklim tersebut.

Berdasarkan kajian Bappenas 2019, kerugian ekonomi total untuk empat sektor prioritas ketahanan iklim dalam RPJMN 2020-2024 diperkirakan sebesar Rp 544 triliun, dengan peningkatan 12,8% dari 2020 ke 2024.  Nilai ini belum mempertimbangkan konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah sebagai variabel antara yang menghubungkan antara perubahan iklim dengan kondisi makro ekonomi di level nasional maupun provinsi.

Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2020, Pembangunan Berketahanan Iklim telah menjadi salah satu prioritas nasional (PN) ke 6 (enam) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.

Serial buku PBI ditujukan sebagai rujukan bagi para pihak dalam melaksanakan Prioritas Nasional (PN) ke-6  RPJMN 2020-2024 dan kerangka perencanaan pembangunan nasional berikutnya, yaitu dalam (i) Menyusun perencanaan program dan kegiatan ketahanan iklim; (ii) Panduan pembagian kewenangan bagi Kementerian dan Lembaga (K/L) untuk menghindari duplikasi terkait upaya ketahanan iklim pada sektor prioritas; (iii) Referensi bagi pelaksanaan fungsi monitoring dan evaluasi K/L dalam menilai kontribusi capaian ketahanan iklim terhadap target yang telah ditetapkan dalam RPJMN dan (iv) Panduan penandaan kegiatan ketahanan iklim pada sistem perencanaan, penganggaran dan informasi kinerja (KRISNA).

Dokumen PBI berbahasa Inggris yang diluncurkan oleh Bappenas terdiri dari 6 (enam) serial buku: (i) List of Priority Locations & Climate Resilience Actions; (ii) Institutional Arrangement for Climate Resilience; (iii) The Roles of Non-state Actors in Climate Resilience; (iv) Climate Resilience Funding; (v) Monitoring, Evaluation,& Reporting of Climate Resilience Actions in The Framework of National Development Planning; dan (vi) Summary Executive of Climate Resilience Development Policy.

Untuk proses pemantauan aksi PBI secara nasional, Bappenas mengembangkan sebuah platform/aplikasi berbasis online yaitu AKSARA Pembangunan Berketahanan Iklim. Aplikasi berbasis web ini merupakan sebuah alat bantu bagi pelaku aksi PBI, khususnya untuk Kementerian/Lembaga. AKSARA akan membantu proses perekaman aksi dan perhitungan nilai pengurangan kerugian ekonomi secara otomatis berdasarkan metodologi yang telah disepakati. Dari hasil pelaporan Tahun 2020 pada aplikasi AKSARA, aksi PBI di Indonesia mampu mengurangi kerugian ekonomi sebesar 33,96 triliun rupiah dari target 52,91 triliun rupiah atau sebesar 64,18%. Capaian pengurangan potensi kerugian tersebut merupakan total pencapaian dari empat (4) sektor PBI yaitu Kelautan dan Pesisir sebesar Rp 18,31T, Sektor Air sebesar Rp 0,75T, Sektor Pertanian sebesar Rp 8,38T, dan Sektor Kesehatan sebesar Rp 0,39T. Ke depan, aplikasi ini akan terus dikembangkan dengan sistem dynamic tagging dan diharapkan dapat akan bisa menjadi trend setter dan merekam seluruh aksi PBI hingga level Provinsi, Kabupaten, dan Kota di seluruh Indonesia.

#Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang diluncurkan Kementerian PPN/ Bappenas diharapkan mampu menjadi pedoman pembangunan ketahanan iklim nasional.

#Aksi Ketahanan Iklim adalah tindakan antisipasi  terencana maupun spontan untuk mengurangi nilai potensi kerugian akibat ancaman bahaya, kerentanan, dampak, dan risiko perubahan iklim pada kehidupan masyarakat di wilayah terdampak perubahan iklim.

A62D341B-0C9E-425E-9D5F-AD7B38D47A2C

Ekonomi sirkular berpotensi dongkrak PDB hingga Rp642 triliun

“Implementasi ekonomi sirkular diharapkan dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dan terobosan untuk membangun kembali Indonesia yang lebih tangguh pasca COVID-19”

Jakarta (ANTARA) – Laporan terbaru Kementerian PPN/Bappenas berjudul The Economic, Social and Environmental Benefits of A Circular Economy in Indonesia mengungkap potensi penerapan ekonomi sirkular di lima sektor industri mampu menambah Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp642 triliun.

Studi yang dikerjakan bersama dengan UNDP Indonesia serta didukung Pemerintah Kerajaan Denmark tersebut berfokus pada lima sektor utama, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil, perdagangan grosir dan eceran (dengan fokus pada kemasan plastik), konstruksi, dan elektronik. Berdasarkan hasil studi tersebut, implementasi konsep ekonomi sirkular di lima sektor tersebut dapat menciptakan sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru hingga tahun 2030.

“Implementasi ekonomi sirkular diharapkan dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dan terobosan untuk membangun kembali Indonesia yang lebih tangguh pasca COVID-19, melalui penciptaan lapangan pekerjaan hijau (green jobs) dan peningkatan efisiensi proses dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya,” ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pada peluncuran laporan itu secara daring di Jakarta, Senin.

Model ekonomi sirkular membuka peluang bagi para pelaku ekonomi untuk mengurangi konsumsi bahan, produksi limbah, dan emisi sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Cara tersebut sudah berhasil diterapkan pada beberapa negara, termasuk Denmark.

“Keberlanjutan adalah inti dari filosofi produksi negara Denmark. Kami siap untuk berbagi praktik terbaik tentang penerapan ekonomi sirkular dan berharap Indonesia dapat mengadopsi proses yang sama seiring dengan upaya pembangunan berkelanjutan,” kata Menteri Lingkungan Hidup Denmark Lea Wermelin.

Sedangkan Kepala Perwakilan UNDP di Indonesia Norimasa Shimomura menekankan Indonesia bisa mendapat manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang sangat besar dari penerapan ekonomi sirkular.

Selain dampak ekonomi sirkular juga signifikan pada lingkungan. Salah satunya, terdapat potensi untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang bisa membantu Indonesia mencapai target penurunan emisi.

“Berdasarkan analisis kami, ekonomi sirkular bisa membantu Indonesia mencapai penurunan emisi GRK sebesar 126 juta ton CO2 ekuivalen pada tahun 2030, yang didorong oleh beberapa faktor, termasuk produksi limbah yang lebih rendah, penggunaan alternatif yang lebih hemat energi, dan perpanjangan umur sumber daya,” ujar Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Arifin Rudiyanto.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Risbiani Fardaniah
COPYRIGHT © ANTARA 2021

akurat_20201129021118_5Z43Nr

Ekonomi Sirkular 5 Sektor Industri Dorong PDB hingga Rp642 Triliun

AKURAT.CO Laporan terbaru Kementerian PPN/Bappenas berjudul The Economic, Social and Environmental Benefits of A Circular Economy in Indonesia mengungkap potensi penerapan ekonomi sirkular di lima sektor industri mampu menambah Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp642 triliun.

Studi yang dikerjakan bersama dengan UNDP Indonesia serta didukung Pemerintah Kerajaan Denmark tersebut berfokus pada lima sektor utama, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil, perdagangan grosir dan eceran (dengan fokus pada kemasan plastik), konstruksi, dan elektronik. Berdasarkan hasil studi tersebut, implementasi konsep ekonomi sirkular di lima sektor tersebut dapat menciptakan sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru hingga tahun 2030.

“Implementasi ekonomi sirkular diharapkan dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dan terobosan untuk membangun kembali Indonesia yang lebih tangguh pasca COVID-19, melalui penciptaan lapangan pekerjaan hijau (green jobs) dan peningkatan efisiensi proses dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya,” ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa pada peluncuran laporan itu secara daring di Jakarta, kemarin, dilansir dari Antara, Selasa (26/1/2021).

Kelima sektor tersebut mewakili hampir sepertiga PDB Indonesia dan mempekerjakan lebih dari 43 juta tenaga kerja pada 2019. Jika ekonomi sirkular dijalankan di sana maka berpotensi menghasilkan tambahan PDB secara keseluruhan pada kisaran Rp593 triliun sampai dengan Rp642 triliun.

Model ekonomi sirkular membuka peluang bagi para pelaku ekonomi untuk mengurangi konsumsi bahan, produksi limbah, dan emisi sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Cara tersebut sudah berhasil diterapkan pada beberapa negara, termasuk Denmark.

Oleh: Dhera Arizona Pratiwi

Publikasi Akurat.co.id

027002300_1611042410-20210119-Tekstil-2 (1)

5 Sektor Prioritas Pemerintah dalam Terapkan Ekonomi Sirkular

Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah mendorong konsep ekonomi berkelanjutan atau ekonomi sirkular. Model ekonomi ini mempertahankan nilai produk, bahan baku, dan sumber daya semaksimal mungkin.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto, mengungkapkan ada lima sektor prioritas dalam implementasi ekonomi sirkular. Lima sektor terpilih itu adalah makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, ritel yang fokus pada kemasan plastik, dan elektronik.

“Dalam sektor prioritas ini ada tiga kriteria yaitu potensi ekonomi, potensi sirkularitas, dan aspek hubungan pemangku kepentingan di setiap sektornya,” jelas Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto, dalam acara virtual peluncuran laporan studi “The Economic, Social, and Environmental Benefits of Circular Economy in Indonesia” pada Senin (25/1/2021).

Analisis potensi ekonomi sirkular dalam studi ini difokuskan pada lima sektor industri tersebut. Arifin mengungkapkan, kelima sektor diperkirakan berkontribusi hingga 33 persen dari produk domestik bruto (PDB), dengan mempekerjakan lebih dari 43 juta orang pada 2019.

Berdasarkan hasil studi, ekonomi sirkular dampak memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Hal ini bisa dicapai dari kombinasi peningkatan pendapatan dengan penerapan ekonomi sirkular, serta turunnya biaya produksi melalui optimasi sumber daya alam (SDA).

“Ekonomi sirkular dapat meningkatkan PDB kita pada kisaran Rp 539 triliun hingga 638 triliun pada 2030,” tutur Arifin

Indonesia telah mengadopsi konsep ekonomi sirkular ke dalam Visi Indonesia 2045, dan telah mengintegrasikannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024. Pendekatan ini diharapkan mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional dan mendorong kelestarian lingkungan hidup.

Oleh: Andina Librianty

Dipublikasi Liputan6.com

geothermal

Implementasi Pembangunan Rendah Karbon Butuh Dana Fantastis

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah telah mencanangkan pembangunan rendah karbon dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024.

Namun, untuk menguatkan komitmen terhadap rencana pembangunan tersebut, masih terdapat gap pendanaan yang cukup besar.

Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Medrilzam mengatakan bahwa kebutuhan pendanaan pembangunan rendah karbon mencapai sekitar Rp306 triliun.  

Menurut kajian Bappenas, dari total tersebut sebesar 24 persen atau Rp72,22 triliun merupakan proporsi pendanaan oleh pemerintah dan 76 persen atau Rp232,56 triliun merupakan proporsi dana dari dunia usaha.

“Sekitar 2018—2020, alokasi pemerintah sebenarnya masih di level Rp35 triliun untuk alokasi yang disediakan pemerintah. Ini mudah-mudahan masih ada ruang fiskal yang dialokasikan ke depan untuk penuhi target pendanaan Rp72 triliun,” ujarnya dalam webinar Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Dalam Rangka Pemulihan Covid-19 Dengan Pembangunan Rendah Karbon, Senin (14/12/2020).

Dia mengakui bahwa saat ini implementasi pembangunan rendah karbon masih tersendat. 

Bappenas kini mulai menyusun roadmap implementasi pengembangan pendanaan pembangunan rendah karbon dalam bentuk stimulus untuk green recovery. Stimulus ini diharapkan bisa dialokasikan pada 2022 sehingga dapat mendorong program-program terkait pembangunan rendah karbon lebih kuat.

“Mudah-mudahan setelah Covid-19, pada 2022 kami bisa beri dorongan lebih kuat lagi dan juga kami harus dorong porsinya temen-temen di dunia usaha untuk lebih kuat lagi mendukung upaya menuju ekonomi hijau,” katanya.

Medrilzam menambahkan bahwa terdapat cukup banyak potensi yang bisa didorong untuk pembangunan rendah karbon salah satunya terkait sektor energi baru terbarukan (EBT).

Beberapa kebijakan stimulus yang bisa didorong di sektor EBT antara lain, pembiayaan pemerintah untuk perbaikan mutu dokumen pengembangan proyek EBT, penjaminan pinjaman untuk pengembangan EBT, dan dana bergulir untuk pemasangan PLTS atap.

Dia menuturkan bahwa pemerintah dapat menyediakan dana untuk pemasangan PLTS atap kepada konsumen PLN di daerah dengan biaya pokok penyediaan tinggi.  

Selain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, implementasi pembangunan rendah karbon melalui EBT juga dinilai mampu menciptakan potensi lapangan kerja yang cukup besar.  Contohnya, pemasangan solar home system (SHS) di Bangladesh mampu menciptakan 15.000 lapangan pekerjaan di bidang penjualan, pemasangan, dan perbaikan SHS.

Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Implementasi Pembangunan Rendah Karbon Butuh Dana Fantastis

831439467702

Pandemi Momentum Beralih ke Pembangunan Rendah Karbon

Jakarta, Beritsatu.com – Deputi Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Arifin Rudiyanto menyampaikan, di masa krisis akibat pandemi Covid-19, pemerintah memiliki pekerjaan besar untuk tetap menjaga agar berbagai kebijakan pembangunan rendah karbon tetap menjadi bagian utuh dari program pemulihan ekonomi.

Ia juga mengatakan, kondisi saat ini hendaknya dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk beralih dari pendekatan business as usual yang intensif karbon menuju ke pembangunan rendah karbon yang dapat membangkitkan kembali ekonomi, serta menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan atau green job, dan secara bersamaan menekan laju emisi gas rumah kaca.

"Pemerintah memastikan strategi yang disusun dalam menangani dampak pandemi tidak semata-mata memacu pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi juga harus memiliki tujuan untuk membangun kembali Indonesia yang lebih baik, tangguh, dan berkelanjutan di masa mendatang,” kata Arifin Rudiyanto dalam webinar Build Back Better, Senin (14/12/2020).

Menurut Arifin, ada tiga strategi kunci untuk mendorong pemulihan ekonomi hijau yang berkelanjutan, sekaligus mewujudkan build back better.

Pertama, mendorong agar stimulus fiskal hijau menjadi bagian dari kebijakan pemulihan ekonomi yang diimplementasikan pada tahun 2021 dan 2022. Hal ini telah dimulai dengan penyusunan roadmap pembangunan rendah karbon yang saat ini telah mendapat dukungan dari berbagai mitra pembangunan.

“Dengan mendorong pemulihan ekonomi hijau, maka kesempatan lapangan kerja hijau diharapkan dapat semakin terbuka. Berbagai inovasi juga dikembangkan, antara lain pengembagan energi baru terbarukan, penerapan ekonomi sirkular, dan inovasi pembiayaan hijau melalui carbon price,” paparnya.

Strategi kedua, membangun ketahanan melalui penyusunan kebijakan-kebijakan untuk mengantisipasi guncangan tidak terduga atau shock di masa mendatang. Aktivitas yang dilakukan antara lain bantuan sosial untuk masyarakat, asuransi petani, dan aktivitas adaptasi yang mendukung ketahanan masyarakat. "Kemampuan beradaptasi terhadap ancaman di masa datang, salah satunya adalah perubahan iklim perlu semakin diperkuat,” tegasnya.

Ketiga, perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati perlu menjadi isu prioritas. Dikatakan Arifin, pemerintah menyadari, pandemi Covid-19 bukan satu-satunya kejadian yang dapat menimbulkan gejolak. Ketidakseimbangan ekosistem dan terganggunya keanekaragaman hayati juga dapat menjadi akar permasalahan yang dapat memicu terjadinya krisis multidimensi.

Arifin menambahkan, penanganan Covid-19 juga tidak dapat terpisahkan dari penanggulangan perubahan iklim, termasuk dengan menjaga keanekaragaman hayati. Karenanya, upaya kolektif dan kolaborasi multipihak dan lintas sektor perlu dijalankan bersama-sama untuk membangun Indonesia yang lebih baik, tangguh dan berkelanjutan.


Artikel ini telah tayang di Beritasatu.com dengan judul "Pandemi Momentum Beralih ke Pembangunan Rendah Karbon"

15152429842

Chatib Basri: Isu Lingkungan Masih Dianggap sebagai Barang Mewah

JAKARTA, KOMPAS.com – Berbagai negara di dunia tengah melaksanakan rencana pembangunan rendah karbon, tidak terkecuali di Indonesia. Namun sampai saat ini rencana pembangunan yang menyandingkan pertumbuhan ekonomi dan isu lingkungan itu masih diabaikan oleh banyak pihak.

Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, menilai, dengan masih banyaknya isu mendasar, seperti kemiskinan dan ketahanan pangan, membuat isu lingkungan diabaikan oleh sejumlah pihak.

“Kesulitan dari pembangunan low carbon initiative di dalam banyak kasus seringkali isu lingkungan adalah isu yang dianggap sebagai barang mewah,” katanya dalam webinar Membangun Indonesia Lebih Hijau dan Tangguh Dalam Rangka Pemulihan Covid-10 Dengan Pembangunan Rendah Karbon, Senin (14/12/2020).

Padahal, menurut pria yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Mandiri itu, isu lingkungan akan berimplikasi terhadap isu-isu lainnya.

“Jangan lupa, persoalan climate change akan berpengaruh kepada sektor pertanian misalkan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Chatib menjelaskan, ke depan isu lingkungan juga menjadi sangat penting bagi suatu negara untuk mendapatkan suatu pembiayaan. Pasalnya, tren pembiayaan hijau atau green financing tengah ramai dilakukan oleh lembaga keuangan.

“Jadi saya bisa meyampaikan misalnya sebuah negara perekonomiannya masih berbasis ekstraktif dengan mengeksploitas SDA, investment bank di selurh dunia akan memberikan penalty yang lebih tinggi dalam financig,” tuturnya.

Oleh karenanya, pemerintah dinilai perlu mengimplementasikan insentif bagi pelaku usaha yang mulai mengembangkan teknologi berbasis ramah lingkungan seperti rendah karbon.

“Mungkin perlu diberikan insentif fiskaln bagi yang melakukan pembiayaan melalui green bond,” ucapnya.

 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Chatib Basri: Isu Lingkungan Masih Dianggap sebagai Barang Mewah”

Penulis : Rully R. Ramli
Editor : Bambang P. Jatmiko

 

 

sekda-prov-sulsel-abdul-hayat-gani-foto-dok-for-jpnn-86

Sulawesi Selatan Berkomitmen Dukung Penerapan Teknologi Rendah Karbon

jpnn.com, JAKARTA – Sulawesi Selatan menjadi provinsi percontohan pertama yang menandatangani nota kesepahaman pembangunan rendah karbon dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas pada Tahun 2019.

Nota kesepahaman tersebut menunjukkan komitmen Provinsi Sulawesi Selatan menjaga kelestarian lingkungan tetapi tidak mengabaikan pembangunan.

Komitmen tersebut juga dibuktikan dengan ditetapkannya Peraturan Gubernur No. 11 tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Gubernur No. 59 tahun 2012 mengenai Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca.

Menindaklanjuti hal tersebut, Pemprov Sulsel mengadakan kegiatan sosialisasi peraturan gubernur dengan mengundang seluruh kabupaten/kota yang telah berkomitmen mendukung kegiatan “Pembangunan Rendah Karbon” di Sulawesi Selatan.

Sekda Provinsi Sulawesi Selatan Abdul Hayat Gani berpesan kepada Bappeda kabupaten/kota untuk berkomunikasi dengan provinsi.

“Kami ingin apakah peraturan gubernur ini sudah efektif sudah efisien. Kalau ada hal-hal menghambat di lapangan, atau ada yang perlu perbaikan, jangan ragu teman-teman dari Bappeda kabupaten/kota silakan menyampaikan ide, gambaran dan inovasinya ke kami (pemprov),” katanya dalam siaran pers di Jakarta.

Ia juga mengajak seluruh aspek masyarakat untuk dapat ikut serta mengawal pelaksanaan peraturan gubernur tersebut.

“Tugas kami dari sisi aspek manajemen sumber daya manusia untuk memastikan pergub-pergub yang dibuat oleh Pak Gubernur dibuat oleh kami semua akan kami kawal dengan baik,” kata Abdul Hayat Gani.

Artikel ini telah tayang di www.jpnn.com dengan judul “Sulawesi Selatan Berkomitmen Dukung Penerapan Teknologi Rendah Karbon”