Aedes egypti mosquito bites humans and sucking blood. Then spreads disease call Yellow Fever and Dengeu Fever.

BAKTERI WOLBACHIA: UPAYA UNTUK MENEKAN PENULARAN DBD MELLUI VEKTOR PENYAKIT

Bakteri Wolbachia: Upaya Untuk Menekan Penularan DBD Melalui Vektor Penyakit

Pendahuluan

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti, aedes albopictus, dan aedes scutellaris. DBD merupakan penyakit menular yang menyebar dengan cepat dan penularannya antar manusia melalui nyamuk dari genus Aedes. Diperkirakan 400 juta orang terinfeksi demam berdarah per tahun di seluruh dunia. Sampai saat ini, belum ada vaksin atau obat antivirus yang efektif untuk mencegah atau mengobati DBD.

Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius karena peningkatan kasus yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Untuk mengatasi masalah ini, berbagai upaya telah dilakukan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan bakteri Wolbachia. Bakteri ini dikenal dapat mengurangi kemampuan nyamuk untuk mentransmisikan virus dengue, sehingga berpotensi menekan penularan penyakit DBD. Oleh sebab itulah, pengendalian vektor menjadi solusi penting sebagai alat utama dalam intervensi.

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memberikan informasi tentang bagaimana bakteri Wolbachia dapat digunakan sebagai upaya untuk menekan penularan penyakit DBD. Artikel ini akan membahas tentang apa itu bakteri Wolbachia, bagaimana cara kerjanya dalam mengurangi penularan virus dengue, dan bagaimana penerapannya di Indonesia. Diharapkan, melalui artikel ini, pembaca dapat memahami lebih lanjut tentang potensi bakteri Wolbachia dalam upaya penanggulangan DBD.

Vektor Penyakit DBD

Vektor penyakit
diartikan sebagai organisme yang berperan dalam penularan penyakit. Biasanya, vektor ini adalah arthropoda, seperti nyamuk, yang membawa patogen penyakit dan menularkannya ke manusia atau hewan lain. Dalam konteks ini, vektor bukan hanya sekedar pengangkut, tetapi juga tempat di mana patogen tersebut dapat berkembang atau berkembang biak.

Vektor penyakit digolongkan menjadi dua jenis, yaitu:

  1. Vektor Mekanik

Hewan avertebrata yang berperan dalam penularan penyakit, namun tanpa melibatkan perubahan siklus, perkembangan, atau perbanyakan agen penyakit tersebut di dalam tubuhnya. Dalam hal ini, vektor mekanik dapat menyebarkan agen infeksi secara langsung, misalnya melalui gigitan, menghisap, atau menempel pada inangnya. Penting untuk dicatat bahwa sebagian besar siklus hidup parasit tidak terjadi di dalam tubuh inang. Sebagai contoh, lalat dapat bertindak sebagai vektor mekanik dalam penyebaran penyakit diare.

2. Vektor Biologis

Organisme yang tidak hanya membawa patogen penyakit, tetapi juga menjadi tempat di mana patogen tersebut mengalami perkembangbiakan atau perubahan siklus, dikenal sebagai vektor biologi. Dalam konteks ini, patogen menjalani proses perkembangan, siklus, atau perbanyakan sebelum ditularkan ke inang lain. Sebagai contoh, nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus bertindak sebagai vektor biologi dalam penyebaran demam berdarah dengue. 

Selanjutnya, dalam artikel ini fokus pada bahasan mengenai nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus yang bertindak sebagai vektor biologi.

Indonesia memiliki beragam spesies nyamuk terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Dalam publikasi Nugroho dkk (2019), jumlah spesies nyamuk tercatat sebanyak 439 dan diantaranya terdapat 123 spesies genus Aedes. Selanjutnya, terdapat 2 spesies Aedes yang berperan dalam penyebaran penyakit DBD, yaitu Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Selain itu, keduanya juga memiliki kemampuan untuk menularkan berbagai penyakit yang disebabkan oleh arbovirus, seperti chikungunya dan demam zika.

Nyamuk Aedes Aegypti memiliki ciri-ciri saat dewasa berwarna hitam kecokelatan. Tubuh dan kakinya ditutupi oleh sisik berwarna putih keperakan yang membentuk garis-garis. Dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan punggung mereka adalah ciri khas spesies ini. Sisik-sisik ini mudah rontok, yang bisa membuat identifikasi nyamuk tua menjadi sulit. Ukuran dan warna nyamuk ini bisa berbeda-beda tergantung pada lingkungan dan nutrisi yang diterima selama perkembangan. Nyamuk jantan biasanya lebih kecil dari betina dan memiliki rambut tebal pada antenanya, dua ciri yang bisa dilihat dengan mata telanjang.

Nyamuk Aedes Albopictus memiliki ciri-ciri fisik yang khas. Orang asing mengenal nyamuk ini sebagai nyamuk harimau Asia karena penampilan bergarisnya menyerupai harimau. Selain itu, masyarakat lokal juga mengenalnya sebagai sebagai nyamuk kebun karena menyukai tempat untuk tinggal di lahan kering dan rimbun, seperti di area kebun dan hutan. Berkebalikan dengan nyamuk Aedes Aegypti yang menyukai tempat untuk hidup di tempat basah, seperti lahan basah, rawa, dan kolam. Meskipun secara makroskopis nyamuk ini terlihat mirip dengan Aedes Aegypti, perbedaannya terletak pada morfologi kepala (mesonotum). Aedes Albopictus hanya memiliki satu garis putih di mesonotum. Sedangkan Aedes Aegypti memiliki gambaran mesonotum berbentuk garis seperti alat musik lira dengan dua garing melengkung dan dua garis lurus putih.

Gambar 1. Nyamuk Aedes Albopictus (Kiri) dan Nyamuk Aedes Aegypti (Kanan)

Selain itu, perubahan iklim memiliki dampak signifikan terhadap siklus hidup dan penyebaran nyamuk. Perubahan suhu, kelembaban udara, dan curah hujan yang disebabkan oleh perubahan iklim dapat memengaruhi biologi dan ekologi nyamuk, termasuk penyebaran penyakit. Misalnya, peningkatan suhu dapat mempercepat proses perkembangan larva menjadi nyamuk dewasa dan mempercepat proses pencernaan darah yang dihisap oleh nyamuk betina dewasa, sehingga intensitas penghisapannya menjadi lebih tinggi. Hal ini dapat meningkatkan peluang penularan penyakit pada populasi.

Vektor dan Agen Penyakit DBD

Penularan virus dengue kepada manusia terjadi melalui gigitan nyamuk betina Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus yang telah menghisap darah penderita terinfeksi virus dengue. Nyamuk tersebut berperan sebagai perantara dalam penyebaran virus dengue dari satu individu ke individu lainnya. Peranan ini disebut sebagai vektor pembawa penyakit dimana nyamuk ini menjadi pembawa virus dengue setelah menggigit seseorang yang terinfeksi virus tersebut. Setelah itu, nyamuk tersebut menularkan virus dengue kepada orang lain melalui gigitannya.

Nyamuk betina memerlukan darah yang memiliki protein tinggi untuk memproduksi telur. Darah ini biasanya diperoleh dari manusia atau hewan melalui gigitan nyamuk. Tanpa nutrisi dari darah, nyamuk betina tidak dapat bereproduksi. Darah yang telah dihisap kemudian digunakan untuk memproduksi telur dalam tubuh nyamuk. Setelah telur matang, nyamuk betina akan mencari tempat yang aman dan lembab untuk meletakkan telurnya. Tempat ini biasanya berupa genangan air atau tempat lain yang lembab dan terlindung.

Penyebab penyakit DBD adalah virus dengue yang disebut sebagai agen penyakit. Virus ini memiliki empat serotipe yang berbeda, yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Setiap serotipe memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit. Infeksi dari satu serotipe tidak memberikan kekebalan terhadap serotipe lainnya.

Bakteri Wolbachia

Perkembangan penemuan dan penggunaan bakteri Wolbachia pada nyamuk dijelaskan dalam laman World Mosquito Program. (n.d.). Dijelaskan bahwa Marshall Hertig dan Simeon Burt Wolbach adalah ilmuwan pertama kali yang mengidentifikasi bakteri Wolbachia dalam nyamuk culex pipiens di Amerika Serikat pada tahun 1924. Organisme ini digambarkan sebagai organisme intraseluler pleomorfik, berbentuk batang, dan gram-negatif yang hanya menginfeksi ovarium dan testis. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, Hertig kemudian memberi nama bakteri tersebut Wolbachia pipientis pada tahun 1936. Penelitian tentang Wolbachia meningkat setelah tahun 1971, ketika Janice Yen dan A. Ralph Barr dari University of California, Los Angeles (UCLA) menemukan bahwa telur nyamuk Culex dibunuh oleh ketidakcocokan sitoplasma ketika sperma laki-laki yang terinfeksi Wolbachia membuahi telur yang bebas infeksi. Selanjutnya pada tahun 1991, Scott O’Neill, ilmuwan asal Australia, melakukan penelitian bakteri Wolbachia dengan dengue. Saat ini, Wolbachia menjadi topik menarik karena memiliki potensi sebagai metode alternatif untuk pengendalian penyakit dengan memanfaatkan makhluk hidup (agen biokontrol).

Wolbachia merupakan bakteri yang secara alami ada dalam sebagian besar jenis serangga, termasuk pada beberapa spesies nyamuk. Bakteri ini memiliki kemampuan untuk menghambat replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes. Akibatnya, nyamuk tersebut menjadi tidak mampu menularkan virus dengue ke manusia. Spesies nyamuk Aedes Albopictus yang menjadi vektor utama penyakit, secara alami membawa Wolbachia (Ding, Yeo, & Puniamoorthy. 2020). Oleh sebab itu, bakteri Wolbachia secara umum diintroduksi ke dalam nyamuk Aedes aegypti.

Wolbachia bersaing untuk memperoleh sumber daya yang diperlukan virus dengue untuk berkembang biak. Secara umum, bakteri Wolbachia memanjangkan periode inkubasi ekstrinsik (EIP), yaitu waktu yang diperlukan virus untuk tiba di air liur nyamuk setelah mengkonsumsi darah yang mengandung virus dengue (Ye dkk., 2015). EIP adalah penentu utama kemampuan nyamuk untuk mentransmisikan virus dengue. Semakin awal virus muncul di air liur, semakin banyak kesempatan nyamuk menginfeksi manusia pada gigitan berikutnya (Scienceline.org, 2020). Dengan demikian, bakteri Wolbachia merupakan salah satu cara yang efektif dan inovatif untuk mengurangi penularan penyakit DBD.

Bakteri Wolbachia dapat diintroduksi ke dalam nyamuk Aedes dengan tahapan sebelum dilepas ke lingkungan, sebagai berikut:

1.    Mikroinjeksi

Bakteri Wolbachia diintroduksi ke dalam telur nyamuk betina Aedes melalui proses mikroinjeksi.

2.    Pembiakan

Dari telur nyamuk yang telah disuntikan bakteri Wolbachia didapatkan nyamuk baru yang telah terinfeksi Wolbachia yang kemudian dibesarkan. Nyamuk ini diproduksi secara masal di fasilitas pembiakan.

3.    Pemisahan

Nyamuk jantan dan betina dengan Wolbachia dipisahkan. Hanya jantan yang dipertahankan, sementara betina tidak dilepaskan tetapi digunakan untuk pembiakan di laboratorium atau di fasilitas pembiakan.

4.    Pelepasan

Nyamuk jantan dengan Wolbachia dilepaskan secara teratur ke lingkungan oleh profesional pengendalian nyamuk. Ketika nyamuk jantan dengan Wolbachia kawin dengan nyamuk betina liar yang tidak memiliki Wolbachia, telurnya tidak akan menetas. Dengan demikian, jumlah nyamuk Aedes akan berkurang.

Penerapan dan Intervensi Nyamuk Wolbachia di Lingkungan

Sejak tahun 2011, metode pengendalian penyakit menggunakan Wolbachia telah diterapkan di 14 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, implementasi bakteri Wolbachia metode Wolbachia telah dilakukan melalui program di Yogyakarta dan mampu mengurangi jumlah kasus DBD. Selain itu, pada tahun 2023, World Mosquito Program memulai kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Bali melalui Save The Children untuk menggunakan teknologi Wolbachia dalam upaya “Bali Bebas Dengue”. Program ini didukung oleh Pemerintah Australia dan Gillespie Family Foundation.

Intervensi Nyamuk dengan bakteri Wolbachia dapat diterapkan dalam pengendalian DBD melalui berbagai cara yang diantaranya sebagai berikut:

1.      Pelepasan nyamuk terinfeksi Wolbachia ke lingkungan

Nyamuk Aedes yang telah terinfeksi Wolbachia dilepas ke lingkungan dan terbukti dapat mengurangi penularan dengue. Hal tersebut dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh O’Reilly dkk. (2019) di Yogyakarta, nyamuk yang terinfeksi Wolbachia dilepaskan ke beberapa kluster tertentu sebagai bagian dari uji coba terkontrol. Hasilnya, insiden demam berdarah dengue turun sebesar 77% di kluster yang mendapat perlakukan nyamuk terinfeksi Wolbachia dan jumlah pasien demam berdarah dengue yang memerlukan perawatan rumah sakit turun sebesar 86%.

2.      Pelepasan nyamuk terinfeksi Wolbachia di wilayah perkotaan padat penduduk

Penelitian yang dilakukan oleh Bardy dkk. (2020) menunjukkan bahwa pelepasan Wolbachia dapat menjadi intervensi yang efektif secara biaya saat diterapkan di wilayah perkotaan yang padat penduduk. Bahkan, intervensi ini dapat menghemat biaya dalam jangka waktu 10 tahun dengan rasio cost-benefit dari 1,35 hingga 3,40.

3.      Pendekatan berkelanjutan

Pelepasan Wolbachia dapat dilakukan secara berkelanjutan selama 10 tahun untuk mengurangi biaya intervensi sekitar 38% dibandingkan dengan pelepasan secara simultan di mana-mana Bardy dkk. (2020). Tindakan ini baru dapat dirasakan manfaatnya dalam jangka panjang, namun menjadi intervensi yang hemat biaya meski terdapat tantangan tak terduga selama penyebarannya.

Perlu diingat bahwa bahwa penggunaan nyamuk dengan Wolbachia perlu pengaturan. Di Amerika Serikat, penggunaan nyamuk ber-Wolbachia diatur oleh Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA). Sebelum pelepasan nyamuk ber-Wolbachia ke suatu area, EPA harus memberikan Izin Penggunaan Eksperimental (EUP). Harapannya, dengan adanya pengaturan tersebut dapat dilakukan evaluasi keefektifannya dalam mengurangi jumlah nyamuk Aedes. Jadi, meskipun bakteri Wolbachia dapat memberikan peluang dan manfaat dalam upaya pengendalian penyakit DBD, penelitian dan peraturan lebih lanjut masih diperlukan sebelum penggunaannya dapat dilakukan secara lebih luas.

Daftar Pustaka

Brady, O.J., Kharisma, D.D., Wilastonegoro, N.N. et al. (2020). The cost-effectiveness of controlling dengue in Indonesia using wMel Wolbachia released at scale: a modelling study. BMC Med 18, 186. https://doi.org/10.1186/s12916-020-01638-2

Ding, H., Yeo, H., & Puniamoorthy, N. (2020). Wolbachia Infection in Wild Mosquitoes (Diptera: Culicidae): Implications for Transmission Modes and Host-endosymbiont Associations in Singapore. Parasites Vectors 13, 612. https://doi.org/10.1186/s13071-020-04466-8

Madigan, M. T., & Martinko, J. M. (2000). Brock Biology of Microorganisms (hal. 358-359). New Jersey: Prentice Hall.

O’Reilly, K.M., Hendrickx, E., Kharisma, D. et al. (2019). Estimating The Burden of Dengue and The Impact of Release of wMel Wolbachia-infected Mosquitoes in Indonesia: A Modelling Study. BMC Med 17, 172. https://doi.org/10.1186/s12916-019-1396-4

Scienceline. (2020). Wolbachia: Bacteria that are saving lives. Diakses pada 5 November 2023, dari https://scienceline.org/2020/09/wolbachia-bacteria-that-are-saving-lives/

World Mosquito Program. (n.d.). Our story. Diakses pada 31 Oktober 2023, dari https://www.worldmosquitoprogram.org/en/about-us/our-story

Ye, Y. H., Carrasco, A. M., Frentiu, F. D., Chenoweth, S. F., Beebe, N. W., van den Hurk, A. F., … McGraw, E. A. (2015). Wolbachia Reduces the Transmission Potential of Dengue-Infected Aedes aegypti. PLoS Neglected Tropical Diseases, 9(6), 1–19. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0003894

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

Ridcho Andrian

Comments are closed.