Urban Farming sebagai Alternatif Ketahanan Iklim Perkotaan Sektor Pertanian
Latar Belakang
Sekitar 55% populasi dunia saat ini bertempat tinggal di wilayah perkotaan dan di masa mendatang jumlah penduduk perkotaan diproyeksikan akan terus meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan diprediksikan proporsi penduduk perkotaan dapat mencapai 70% di tahun 2035. Besarnya proporsi jumlah penduduk perkotaan akan menuntut permintaan pangan di perkotaan juga meningkat sementara lahan yang dapat digunakan untuk memproduksi pertanian sangat terbatas. Lahan perkotaan seringkali dimanfaatkan untuk industri, perkantoran, dan pemukiman sehingga lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk perkotaan. Alhasil, suplai pangan perkotaan banyak didukung dari wilayah pedesaan sekitar kota. Data Food and Agriculture Organization (FAO) membuktikan 70% dari semua makanan yang diproduksi secara global ditujukan untuk konsumsi penduduk perkotaan.
Disisi lain, produksi pertanian berpotensi mengalami penurunan akibat dampak perubahan iklim. Kejadian variasi iklim (seperti El Nino dan La Nina) yang semakin sering akibat perubahan iklim dapat menurunkan produksi padi di Indonesia hingga 1,13 juta ton-1,89 juta ton menurut data FAO (Tumangguang 2023). Selain melalui bencana kekeringan dan banjir di lahan pertanian, penurunan produksi pertanian akibat perubahan iklim juga dapat disebabkan oleh peningkatan suhu sehingga mempersempit area pertanian yang sesuai atau cocok untuk fisiologis pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Oleh karena itu, di tengah desakan yang ada saat ini, alternatif langkah yang dapat dilakukan untuk dapat meningkatkan ketahanan produksi pertanian dan mempertahankan suplai pangan perkotaan adalah penerapan urban farming. Urban farming atau urban agriculture (pertanian perkotaan) adalah upaya membudidayakan tanaman dan memelihara binatang ternak dalam lahan terbatas pada kawasan perkotaan. Artikel ini bertujuan untuk membahas kontribusi urban farming terhadap ketahanan iklim serta alternatif penerapan dan potensi urban farming khususnya dalam budidaya tanaman.
Urban Farming untuk Ketahanan Iklim
Ketika dampak perubahan iklim meningkat, ketahanan pangan akan dipengaruhi oleh kekeringan, banjir, kebakaran, serta bencana hidrometeorologi lainnya. Pertanian perkotaan memiliki potensi untuk membangun ketahanan lokal dengan menyediakan akses terhadap pangan pangan lokal meskipun tidak sepenuhnya dapat menyuplai kebutuhan pangan perkotaan dalam waktu instan namun dapat menjadi alternatif utama untuk dikembangkan secara bertahap dan menyeluruh di wilayah perkotaan. Pertanian perkotaan pada dasarnya beragam, mulai dari pertanian individu yang menanam berbagai jenis tanaman, menanam varietas yang berbeda dari tanaman yang sama, hingga menanam varietas berbeda dari berbagai jenis tanaman yang berbeda. Oleh karena itu, ketika cuaca ekstrem terjadi secara lokal beberapa tanaman akan berdampak rusak namun beberapa tanaman lainnya mungkin dapat bertahan dengan kondisi cuaca ekstrim tersebut bergantung dengan ketahanan masing-masing tanaman. Pada intinya, kegiatan urban farming ini menjadi pertanda mendukung ketahanan iklim sektor pertanian.
Ketahanan iklim sektor pertanian tidak hanya berupaya menjaga kestabilan produktivitas pangan utama tetapi juga meningkatkan produktivitas pangan lainnya melalui tindakan budidaya keberagaman pangan. Konsumsi pangan yang tidak monoton akan cenderung membuat masyarakat wilayah tersebut resiliensi terhadap perubahan iklim. Upaya urban farming ini menjadi salah satu cara untuk meningkatkan keberagaman pangan dan mendorong masyarakat urban lebih adaptif terhadap ketersediaan pangan yang ada di tengah ancaman krisis pangan sekaligus perubahan iklim. Pertanian perkotaan dapat menjadi bagian dari sistem pangan berkelanjutan dengan melokalisasi perekonomian pangan dan meningkatkan ketahanan iklim. Dengan memproduksi pangan di lahan yang tidak terpakai di perkotaan, pertanian perkotaan dapat mengurangi jumlah lahan yang dibutuhkan untuk pertanian pedesaan.
Sistem urban farming melekat pada konsep pemanfaatan lahan yang terbatas yang dapat mendorong masyarakat memiliki kebun individu maupun gabungan yang dikelola bersama sehingga mampu menyediakan perkebunan yang dapat memenuhi kebutuhan pangan kelompok tersebut. Dengan adanya urban farming ini, maka individu/keluarga dapat menghemat uang yang digunakan untuk membeli bahan pangan. Disisi lain, urban farming memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga melalui pengembangan hasil produksinya. Jika pengelolaan urban farming tersebut menghasilkan produksi yang lebih tinggi maka tentu dapat memperluas basis ekonomi perkotaan melalui peningkatan aktivitas kewirausahaan dan menambah jumlah wiraswasta serta lapangan pekerjaan melalui proses produksi hingga pemasaran produk pangan hasil urban farming. Pendeknya rantai pasokan pangan karena dekatnya jarak produsen dan konsumen akan mampu mengurangi harga bahan pangan tersebut. Secara keseluruhan, apabila dikaitkan dengan dampak kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat perubahan iklim, maka upaya urban farming akan berkontribusi menekan dampak kerugian ekonomi tersebut.
Selain berkontribusi untuk ketahanan iklim, urban farming juga mendukung pembangunan rendah karbon perkotaan. Ketika pertanian memanfaatkan ruang yang tidak terpakai di perkotaan, maka secara langsung mengurangi emisi karbon karena pangan yang ditanam di dalam perkotaan menempuh jarak yang lebih pendek untuk disuplai ke konsumen sehingga mengurangi aktivitas distribusi dan emisi terkait transportasi. Secara tidak langsung, urban farming juga menyediakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dapat menjadi ladang penyerapan emisi dan penyimpanan karbon baik di tanah maupun tumbuh-tumbuhan. Hal ini tentu berkontribusi terhadap peningkatan kualitas lingkungan dan pencegahan perubahan iklim. Secara bersamaan urban farming juga dapat mendukung upaya global untuk mewujudkan 30 persen dari luas bumi menjadi daerah proteksi untuk menjaga keanekaragaman hayati.
Implementasi Sistem Budidaya Urban Farming
Kegiatan urban farming terdiri dari berbagai metode budidaya, dimana implementasi metode budidaya tersebut akan bergantung pada ketersediaan lahan dan ketersediaan air bersih, serta kebutuhan dominan masyarakat. Setiap metode juga akan memiliki kecocokan komoditas yang dapat tumbuh dan berproduksi. Umumnya, urban farming membudidaya tanaman yang mudah tumbuh dan berproduksi. Oleh karena itu, kombinasi kebutuhan masyarakat perlu disesuaikan dengan ketersediaan lahan dan pasokan air wilayah tersebut dan didorong untuk menerapkan good management practices yang mendukung aspek berkelanjutan. Praktik good management practises dapat diterapkan diantaranya melalui pemilihan media tanam yang berkelanjutan, penggunaan bibit unggul, dan menggunakan pupuk organik. Metode sistem budidaya yang sederhana untuk dilakukan sebagai permulaan masyarakat umumnya adalah metode vertikultur yang menanam secara vertikal, metode hidroponik yang memanfaatkan air sebagai bahan utama, serta wall gardening yang memanfaatkan area dinding. Alternatif metode tersebut dirincikan pada Tabel (1).
Bert Practice Urban Farming di Indonesia
Salah satu kota yang telah menerapkan urban farming di beberapa wilayahnya adalah Kota Bandung. Program urban farming yang terintegrasi dan digalakan oleh Dinas Pangan dan Pertanian Kota Bandung disebut sebagai Buruan SAE (Sehat, Aman, Ekonomis). Program ini bertujuan untuk menanggulangi ketimpangan dan permasalahan pangan keluarga di Kota Bandung melalui pemanfaatan pekarangan atau lahan yang tersedia. Program Buruan SAE menghasilkan kecukupan pangan keluarga dan kemandirian pangan, perputaran rantai pangan yang berlanjut mulai dari menanam, memanen hingga mengkonsumsi, serta bahan pangan menjadi lebih sehat dan terkontrol dengan baik oleh masyarakat secara langsung. Program ini mendukung kuat ketahanan kota di tengah rawannya ketersediaan pangan, rawannya kualitas pangan serta potensi inflasi dan kenaikan harga.
Berdasarkan hasil perhitungan Neraca Bahan Makanan (NBM) terjadi penurunan neraca angka kebutuhan pangan Kota Bandung yang diperoleh dari daerah lain yaitu, semula di tahun 2020, sebanyak 96,42 persen kemudian di tahun 2022 sebesar 90,16 persen. Persentase untuk pemenuhan kebutuhan pangan di Kota Bandung masih sedikit mengingat jumlah penduduk yang cukup besar dan program baru dilaksanakan di beberapa kelurahan, namun terdapat pengurangan pengeluaran rumah tangga sekitar 15% dari biaya konsumsi sayur kebutuhan rumah tangga. Jika implementasi urban farming diperluas dari setiap rumah tangga melalui pemanfaatan lahan yang tersedia, maka ketahanan pangan perkotaan akan semakin optimal meskipun di tengah isu perubahan iklim.
Salah satu metode yang diterapkan dari Program Buruan SAE adalah hidroponik model Nutrient Film Technique (NFT) dengan tanaman yang ditanam berupa selada merah, sawi pakcoy, dan kangkung. Dalam sistem NFT ini, air atau larutan nutrisi bersirkulasi ke seluruh sistem dan memasuki baki pertumbuhan melalui pompa air tanpa pengatur waktu. Sistemnya sedikit miring sehingga larutan nutrisi mengalir melalui akar dan turun kembali ke dalam reservoir. Tanaman ditempatkan pada saluran atau tabung dengan akar menjuntai dalam larutan hidroponik. Hasil dari Buruan SAE hidroponik ini selain dimanfaatkan untuk kebutuhan individu juga dijual ke masyarakat guna melaksanakan prinsip Ekonomis dalam SAE dapat terlaksana.
Potensi Pengembangan Urban Farming dengan Manfaat Finansial yang Optimal
Salah satu contoh kota yang memanfaatkan ruang terbuka perkotaan untuk melakukan urban farming adalah Kota Kumasi. Desakan suplai produksi sayuran yang cenderung tidak maksimal ketika musim kemarau ditambah dengan proses transfer produksi sayuran dari pedesaan ke perkotaan yang menurunkan kualitas produksi sayur membuat penduduk perkotaan melakukan urban farming. Disisi lain, penduduk juga menilai adanya peluang ekonomi untuk menghasilkan pendapatan tambahan. Hal ini membuat produksi sayuran di wilayah Kota Kumasi merupakan hal umum terutama di dataran rendah yang memiliki akses air yang cukup.
Pemanfaatan ruang terbuka di dataran rendah atau dasar panen sepanjang tahun untuk usahatani sayuran dapat memperoleh tingkat pendapatan US $400 hingga $800 (Tabel 1). Apabila dibandingkan dengan hasil pendapatan pertanian pedesaan di sekitar Kumasi atau di wilayah Ghana lainnya, pendapatan petani perkotaan dapat mencapai 2-3 lipatnya. Urban farming di Kumasi membuktikan pertanian sayuran perkotaan dapat mengambil langkah luar biasa dalam mengatasi garis kemiskinan yang semula sekelompok masyarakat tidak mencukupi untuk memenuhi konsumsi makanan pokok, memenuhi kebutuhan kalori. Dengan peluang memanfaatkan ketersediaan lahan, para petani sayuran di kota dapat melipatgandakan pendapatan pokok mereka dari hasil panen dan juga berhasil melampaui garis kemiskinan. Praktik urban farming bila dilihat dari sisi keuntungan finansial akan memerlukan pengamatan yang cermat terhadap permintaan pasar dan setiap kota perlu melihat banyak ruang untuk sistem intensif urban farming yang maksimal. Meskipun dengan banyak upaya, penerapan urban farming di Kota Kumasi membuktikan dapat berkontribusi kuat dari sisi ekonomi dan peningkatan produksi pertanian perkotaan.
Kesimpulan
Urban farming dapat menjadi salah satu alternatif untuk menyediakan dan meningkatkan suplai pangan perkotaan di tengah keterbatasan lahan dan tingginya jumlah penduduk perkotaan. Upaya urban farming juga menjadi salah satu cara untuk meningkatkan keberagaman pangan dan mendorong masyarakat urban lebih adaptif terhadap ketersediaan pangan yang ada di tengah ancaman krisis pangan sekaligus perubahan iklim. Tidak hanya itu, urban farming juga memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga melalui pengembangan hasil produksinya meskipun memerlukan pengamatan yang cermat agar manfaat finansial optimal. Selain mendorong peningkatan ketahanan iklim perkotaan dan membantu menekan kerugian ekonomi akibat perubahan iklim, co-benefit dari urban farming ini berupa kontribusi terhadap kualitas lingkungan dengan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang lebih luas sehingga menjadi ladang penyerapan emisi dan mendukung pembangunan rendah karbon. implementasi metode budidaya urban farming bergantung pada ketersediaan lahan dan ketersediaan air bersih, serta kebutuhan dominan masyarakat. Salah satu penerapan urban farming di Indonesia adalah metode hidroponik model NFT yang berhasil diterapkan di Kota Bandung melalui Program Buruan SAE. Apabila dimaksimalkan maka dapat berkontribusi kuat dari sisi ekonomi dan peningkatan produksi pertanian perkotaan meskipun di tengah ancaman perubahan iklim.
Daftar Pustaka
George Danso, Lesley Hope and Pay Drechsel. (2012). Financial and Economic Aspects of Urban Vegetable Farming. AgEconSearch
Food and Agriculture Organization (FAO). (2023). Urban Food Agenda.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2015). Penduduk Indonesia: Hasil survei penduduk antar sensus 2015. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). Persentase Penduduk Daerah Perkotaan menurut Provinsi, 2010-2035. Badan Pusat Statistik Indonesia.
Tumangguang (2023). Ancaman El Nino dan Produksi Padi. Repository Pertanian Kompas.
Raihan Oktareza. (2022). KKN Tematik UPI 2022: Meningkatkan Pemanfaatan Lahan Pekarangan untuk Buruan SAE dan Hidroponik. Kompasiana.com
Editor:
Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim