Firefly rainwater harvesting system 79634 copy

Pemanenan Air Hujan (PAH) sebagai Alternatif Sumber Air untuk Masyarakat Perkotaan

Pemanenan Air Hujan (PAH) sebagai Alternatif Sumber Air untuk Masyarakat Perkotaan

Pendahuluan

Air merupakan kebutuhan utama bagi semua makhluk hidup di bumi. Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 19-6728.1-2002 mengemukakan bahwa kebutuhan air harian masyarakat di Indonesia, baik di pedesaan maupun perkotaan, berkisar antara 100-250 liter per orang. World Health Organization (WHO) memiliki diagram yang memandu dalam memperkirakan kebutuhan air per individu, dimulai dari kebutuhan minum, kebersihan pribadi, memasak, hingga sanitasi dengan kebutuhan paling sedikit sebanyak 10 L. Hal ini menekankan krusialnya ketersediaan air untuk kebutuhan dasar manusia sehari-hari. 

Saat ini, dampak perubahan iklim berakibat pada perubahan periode musim hujan dan musim kemarau. Pada akhirnya, perubahan iklim menyebabkan pasokan air yang tidak teratur dan variasi setiap tahunnya. Cuaca yang terus-menerus berubah mempengaruhi hal-hal sensitif terkait sumber daya air, yaitu air permukaan, air tanah, banjir dan kekeringan, serta kualitas dan ketersediaan air (IPCC, 2007). Selama musim hujan, curah hujan relatif tinggi dan risiko banjir meningkat karena hanya sekitar 30% air hujan yang dapat terserap ke dalam tanah dan diakomodasi oleh sistem penyimpanan air buatan seperti bendungan. Sementara itu, aliran air hujan yang tersisa akan menyebabkan banjir jika tidak diakomodasi oleh sistem drainase. Di sisi lain, kenaikan suhu bumi menyebabkan evapotranspirasi tinggi, terutama selama musim kemarau yang mengurangi jumlah sumber air bersih, khususnya air permukaan. Dengan demikian, pasokan air bersih berkurang selama musim kemarau (Muller, 2007).

Dengan pertumbuhan populasi yang pesat dan urbanisasi terutama di perkotaan, permintaan akan air bersih terus meningkat. Pada tahun 2019, Kota Lampung mengalami kekeringan yang cukup parah. Musim kemarau panjang yang melanda sebagian wilayah Lampung telah menyulitkan warga dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bandar Lampung mencatat krisis air di delapan kecamatan, mengangkat kekeringan sebagai bencana darurat hingga September 2019. Hampir seluruh wilayah kota, termasuk Rajabasa, merasakan kesulitan mencari air bersih. BPBD terpaksa harus menggunakan sembilan mobil tangki dengan kapasitas 5.000 liter setiap harinya untuk memenuhi permintaan warga yang terdampak kekeringan. Tetapi, masih banyak warga yang harus menunggu giliran karena jumlah mobil tangki yang terbatas dan luasnya wilayah yang harus dijangkau. Meskipun ada upaya dari pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi krisis air bersih, termasuk rencana dan langkah-langkah yang telah diambil, permasalahan ketersediaan air bersih di Bandar Lampung masih berlangsung dan belum sepenuhnya terpecahkan. Pemenuhan kebutuhan air dari PDAM masih jauh dari memadai karena pasokan air yang tidak stabil.

Pemanenan Air Hujan (PAH) dapat menjadi solusi dan alternatif untuk mengatasi kekurangan air di masa sekarang dan mendatang. Sejak tahun 2009 telah ada upaya mendorong kegiatan Pemanenan Air Hujan (PAH) melalui terbitnya Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pemanfaatan Air Hujan (Permenlh 12/2009). Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 11/PRT/M/2014 tentang Pengelolaan Air Hujan Pada Bangunan Gedung Dan Persilnya (Permen PU 11/2014). Meskipun telah ada regulasi pemanfaatan air hujan, implementasi pemanfaatan air hujan belum optimal terkhususnya di daerah perkotaan. 

Pemanenan Air Hujan di Perkotaan

Di daerah perkotaan, air hujan bisa dikumpulkan dari berbagai sumber seperti atap rumah dan perkantoran, area beraspal maupun tidak beraspal seperti taman, lapangan bermain, dan tempat parkir. Dalam menghitung potensi pemanenan air hujan, terdapat aturan praktis yang memperhitungkan volume air yang dapat dihasilkan dari curah hujan tertentu per luas area tertentu. Namun, perlu memperhitungkan beberapa kehilangan akibat penguapan atau penyerapan oleh permukaan penampungan. Contoh perhitungan dilakukan pada atap rumah dengan mempertimbangkan luas atap, koefisien aliran, dan curah hujan tahunan. Hasil perhitungan menunjukkan potensi pengumpulan air hujan dalam liter.

Pada dasarnya, terdapat empat komponen dasar pada semua sistem pemanenan air hujan:

  1. Daerah Tangkapan Air

Daerah tangkapan air adalah suatu bangunan atau lahan yang digunakan untuk menampung air hujan dan mengalirkan limpasan. Daerah tangkapan air yang bersih diperlukan untuk memaksimalkan hasil panen. Tanah tersebut bisa beraspal (atap, halaman, jalan, dll) atau tidak beraspal (halaman rumput, taman bermain, ruang terbuka, dll).

Tipe Permukaan

Material

Karakteristik Tangkapan

Permukaan beraspal

Atap datar

Beton, lembaran semen, serpihan porselen, batu bata dengan lapisan semen

Daerah tangkapan air yang aman dan bersih paling tidak rentan terhadap kontaminan. Mereka juga menghasilkan limpasan maksimum yang tersedia untuk dipanen

Atap miring

Lembaran GI (besi galvanis), ubin mangalore, batu tulis, lembaran serat

Daerah tangkapan air yang aman dan bersih paling tidak rentan terhadap kontaminan. Mereka juga menghasilkan limpasan maksimum yang tersedia untuk dipanen

permukaan atap yang dirawat

 

 

Atap jerami ditutupi dengan lembaran plastik

Meningkatkan pemanenan air

halaman, trotoar, jalan internal

 

Semen, beton, ubin

Mengumpulkan air hujan dalam jumlah banyak dengan kualitas yang wajar, tergantung pada pemeliharaan lokasi

jalan tol, jalan raya, tempat parkir

Aspal, beton, batu bata, batu

Dapat digunakan setelah memasang perangkap minyak dan lemak serta perangkat filtrasi lainnya

Permukaan tidak beraspal

Halaman rumput, taman, kebun dari ruang terbuka yang luas

Tanah, rumput, atau tumbuh-tumbuhan

Sejumlah besar air dapat diperoleh kembali

Taman bermain, halaman

Tanah yang keras dan padat

Efisiensi pengumpulan air akan lebih besar dibandingkan pada permukaan yang tertutup vegetasi

2. Sistem pengangkutan atau saluran

Sistem pengangkutan, atau sistem saluran, mengarahkan aliran air dari daerah tangkapan air ke daerah penyimpanan. Sistem pengangkutan yang dirancang dan dibangun dengan cermat dapat mengalihkan lebih dari 90 persen air yang jatuh ke atap.

3. Sistem Filtrasi

Pada dasarnya, terdapat empat jenis proses filtrasi dapat digunakan dalam sistem PAH:

  • Pemisahan atau penyaringan: Ini adalah tingkat pertama yang menyaring polutan kotor seperti daun, kotoran, dan bahan lainnya
  • Penyiraman pertama: Pada tingkat kedua, hujan pertama yang mengandung kotoran terlarut — siram pertama — dibiarkan mengalir
  • Filtrasi: Filter menghilangkan partikel organik dan anorganik terlarut dalam air hujan
  • Tangki pengendapan: Tangki pengendapan menghilangkan lumpur dan bahan kasar lainnya

4. Penyimpanan air

Tangki penyimpanan untuk menampung air hujan dapat dibangun di bawah tanah dan di atas tanah. Di beberapa kota, air hujan dari atap dikumpulkan dalam tangki bawah tanah di halaman atau di dalam gedung. Tangki penyimpanan bergantung pada kondisi volume hujan yang ditampung, permintaan air, ruang yang tersedia, tata letak bangunan, ukuran tangki penyimpanan, dan anggaran. 

Implementasi Pemanenan Air Hujan

Penggunaan PAH sebagai sumber air bersih telah dilakukan baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Singapura merupakan salah satu negara yang masyarakat dan pemerintah kotanya sudah melakukan Pemanenan Air Hujan dengan menerapkan empat komponen utama PAH. Singapura dengan cerdik mengumpulkan air hujan melalui beberapa daerah tangkapan air seperti atap bangunan tinggi, area lahan lembaga pendidikan, peternakan, bahkan bandara. Di salah satu lembaga pengajaran di Singapura dengan luas lahan 30 Ha dan luas atap 1,5 Ha, sistem pemanenan air hujan telah berhasil diterapkan. Limpasan yang dikumpulkan dari air tanah dan air atap diarahkan ke ruang pengumpulan di mana air tersebut mengalami pengolahan kimia yang diikuti dengan sedimentasi dan klorinasi. Air yang telah diolah kemudian digunakan untuk menyiram lapangan olah raga dan air yang tidak diolah digunakan untuk irigasi. Penghematan air tahunan dengan biaya saat ini berjumlah US$46,250. Selain daerah tangkapan ini, daerah tangkapan air di bandara jauh lebih besar hasilnya. Di Bandara Changi Singapura, limpasan air dikumpulkan dari landasan pacu, area rumput yang terkait, dan atap bangunan. Air yang dikumpulkan dari daerah tangkapan air ini dilakukan filtrasi dan disebarkan sesuai dengan kebutuhannya. Penghematan tahunan dalam penggunaan air berjumlah sekitar US$243,750.

Beberapa kota di Indonesia juga sudah melakukan konsep PAH. Namun, konsep ini terbatas di satu kelurahan saja dan tidak menyeluruh pada kota tersebut. Desa Tandang, Kota Semarang merupakan salah satu kota yang melakukan Pemanenan Air Hujan. Penggunaan air hujan yang disimpan ditujukan untuk kegiatan sekolah dan masyarakat yang tinggal di sekitar sekolah. Komponen sistem pengumpulan air hujan di Desa Tandang terdiri dari tiga wadah. Wadah A memiliki volume 47.250 liter yang digunakan untuk mengumpulkan air hujan dari atap dan nantinya akan dialirkan ke wadah B dengan volume 31.500 liter. Air dari dua wadah ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar sekolah. Yang terakhir adalah wadah C dengan volume 24.000 liter yang khusus digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih sekolah. Air dari wadah C langsung dialirkan ke kamar mandi dan kran di belakang sekolah.

Dari hasil pemanenan air hujan ini, baru 75 orang atau 15 rumah tangga dari 50 rumah tangga. Kendala yang terjadi ialah jumlah air yang terkumpul tidak maksimal karena curah hujan yang rendah di area tersebut. Meskipun penggunaan air hujan lebih rendah dari yang diharapkan, masyarakat telah mampu memanfaatkan sistem ini. Awalnya, sumur-sumur tangan merupakan sumber utama air bersih bagi masyarakat yang menggunakan air hujan. Setelah berpartisipasi dalam menggunakan air hujan sebagai sumber air bersih alternatif, masyarakat mendapatkan manfaat dari penghematan biaya ketika mereka menggunakan air hujan dibandingkan dengan sumber air bersih alternatif berbayar lainnya. 

Tantangan dan Way Forward

Tantangan utama yang dihadapi dalam implementasi pemanenan air hujan (PAH) adalah adopsi dan kesadaran masyarakat terkhususnya di perkotaan. Meskipun manfaatnya jelas, sebagian besar masyarakat masih memiliki persepsi bahwa air hujan tidak cocok untuk dikonsumsi. Edukasi yang lebih luas dan efektif tentang keamanan dan kegunaan air hujan perlu dilakukan untuk mengubah pandangan ini. Selain itu, biaya instalasi sistem PAH juga bisa menjadi hambatan, terutama untuk model individu. Solusi untuk mengatasi hal ini bisa melalui insentif atau bantuan pemerintah untuk mendorong pemasangan sistem PAH. Diperlukan juga peraturan yang lebih jelas dan mendukung, serta peran aktif dari pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan kebutuhan dan manfaat PAH.

Untuk mengatasi tantangan ini dan mendorong pemanfaatan PAH, langkah ke depan harus mencakup pendekatan komprehensif. Pertama, pendidikan dan kampanye sosial perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan manfaat dan keamanan air hujan. Ini dapat melibatkan program-program pendidikan di sekolah, seminar, dan kampanye publik melalui media massa. Kedua, perlu ada insentif finansial untuk mendorong masyarakat untuk memasang sistem PAH. Ini dapat berupa potongan pajak, subsidi, atau pinjaman dengan bunga rendah untuk instalasi sistem PAH. Ketiga, perlu disusun regulasi yang jelas dan mendukung pemanfaatan air hujan. Hal ini mencakup standar keamanan air hujan untuk konsumsi manusia dan panduan teknis untuk instalasi dan pemeliharaan sistem PAH. Terakhir, kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan sektor swasta sangat penting untuk mempromosikan dan mengawasi implementasi PAH secara luas. Dengan langkah-langkah ini, PAH dapat menjadi solusi yang lebih umum dan efektif untuk mengatasi tantangan kelangkaan air di masa depan.

Sebagai penutup, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengajak masyarakat melakukan panen air hujan sebagai langkah menghadapi musim kemarau dan dampak yang ditimbulkannya. BMKG memprediksi musim kemarau di tahun 2023 akan lebih kering jika dibandingkan dengan periode tiga tahun terakhir (2020-2022). Himbauan ini disampaikan usai Kick-off 10th World Water Forum (WWF) di Jakarta Convention Center (JCC). Air hujan yang ditampung tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari guna mengantisipasi dampak kekeringan akibat musim kemarau. Adapun daerah-daerah yang rawan kekeringan seperti Provinsi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Kesimpulan

Air merupakan kebutuhan utama bagi semua makhluk hidup dan ketersediaan air untuk kebutuhan sehari-hari manusia sangat penting. Perubahan iklim mempengaruhi ketersediaan air dengan mempengaruhi pola musim hujan dan kemarau, sementara pertumbuhan populasi dan urbanisasi meningkatkan permintaan akan air bersih. Pemanenan Air Hujan (PAH) muncul sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan air dengan manfaat potensial seperti penghematan air dan konservasi sumber daya air. Meskipun sudah ada implementasi PAH di beberapa negara, masih diperlukan kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah lebih lanjut untuk memaksimalkan manfaatnya. Tantangan utama dalam mengimplementasikan PAH meliputi adopsi masyarakat, biaya instalasi, dan peraturan yang masih perlu diperbaiki. Untuk mendorong pemanfaatan PAH, diperlukan edukasi, insentif finansial, regulasi yang jelas, dan kerja sama antara pemerintah, LSM, dan sektor swasta. Di masa mendatang yang diperkirakan lebih kering akibat musim kemarau yang intens, masyarakat diingatkan untuk melakukan panen air hujan sebagai langkah antisipatif menghadapi kekeringan.

Daftar Pustaka

IPCC Working Group II 2007 Fourth Assessment Report Climate Change 2007: Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability online] available at https://www.ipcc.ch/assessment-report/ar4/ accessed 05-10-2023

Muller, M. (2007). Adapting to climate change: water management for urban resilience. Environment and urbanization, 19(1), 99-113.

Takalar, H. K. Arsyad, Sitanala. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Edisi kedua. Bogor: IPB Press. Aziz S, 2008. Evaluasi Kemampuan Lahan dan Pendugaan Erosi untuk Arahan Pemanfaatan Lahan Di Sub DAS Juwet dan Dondong, Gunung Kidul yogyakarta. Thesis. Program Studi Geografi Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Takalar. 2018. Statistik Pertanian Tanaman Pangan Dan. Policy, 48, 38-50.

Lempang, M. (2014). Pembuatan dan kegunaan arang aktif. Buletin Eboni, 11(2), 65-80.

Mugiyantoro, A., Rekinagara, I. H., Primaristi, C. D., & Soesilo, J. (2017, September). Penggunaan bahan alam zeolit, pasir silika, dan arang aktif dengan kombinasi teknik shower dalam filterisasi fe, mn, dan mg pada air tanah di upn “veteran” yogyakarta. In Seminar Nasional Kebumian ke-10,(492) (pp. 1127-1137).

Untari, T., & Kusnadi, J. (2015). Pemanfaatan Air Hujan sebagai Air Layak Konsumsi di Kota Malang dengan Metode Filtrasi Sederhana [In Press September 2015] Jurnal pangan dan Agroindustri, 3(4).

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

Litany Meliala

Comments are closed.