2521811

Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Sektor Kesehatan dan Urgensi untuk Meningkatkan Kualitas Kajian Ketahanan Iklim

Perubahan Iklim dan Prioritas Nasional Bidang Kesehatan 

Perubahan iklim saat ini terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya di atmosfer yang menyebabkan terjadinya efek gas rumah kaca. Fenomena ini berdampak pada peningkatan penyebaran atau kejadian penyakit seperti tular vektor (DBD dan Malaria), tular udara (Pneumonia), tular air (Diare), serta penyakit sensitif iklim lainnya pada penduduk. Penyakit-penyakit tersebut masuk dalam prioritas penyakit akibat perubahan iklim oleh pemerintah baik pada Kementerian PPN/Bappenas pada kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) maupun pada Kementerian Kesehatan melalui kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan (APIK).

 

Penyakit DBD dan Malaria merupakan penyakit menular yang ditularkan melalui perantara atau gigitan vektor nyamuk Aedes Aegypti dan Anopheles. Perkembangan vektor penyakit ini dapat dipengaruhi oleh iklim yang berubah karena unsur cuaca mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan, dan populasi nyamuk tersebut. Sebagai contoh, curah hujan dengan penyinaran matahari yang relatif panjang turut mempengaruhi perindukan nyamuk sehingga nyamuk berkembangbiak lebih cepat dan lebih masif.

 

Adapun kejadian penyakit Pneumonia bersumber dari droplet nuklei yang melayang di udara yang dihasilkan dari batuk, bersin, dan berbicara oleh orang terinfeksi. Penyakit ini juga memiliki kaitan dengan parameter iklim seperti suhu udara, kelembaban relatif, dan intensitas pencahayaan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba penyebab. Suhu udara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroba karena dapat mempengaruhi lamanya fase lag (adaptasi), kecepatan pertumbuhan, kegiatan enzimatis, dan penyerapan nutrisi oleh mikroba. Di sisi lain, kelembaban relatif yang tinggi dapat menurunkan daya tahan tubuh seseorang sehingga meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama infeksi. Selain itu, kelembaban yang tinggi juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri sehingga meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit. Pada aspek iklim lain, pencahayaan yang berasal dari cahaya matahari memegang peranan penting karena dapat membunuh mikroba.

 

Adapun penyakit diare disebabkan oleh bakteri (umumnya Campylobacter, Salmonella, Shigella, dan E. Coli) yang menular melalui media air karena kurangnya sarana air bersih dan fasilitas sanitasi. Perubahan kondisi iklim seperti meningkatnya curah hujan dan meningkatnya lama musim panas dapat mempengaruhi akses dan ketersediaan air bersih sehingga meningkatkan risiko kontaminasi bakteri pada makanan dan minuman dan meningkatkan prevalensi kasus diare di populasi.

Perubahan Iklim dan Dampak Kesehatan Lainnya

Gambaran distribusi dan frekuensi penyakit akibat perubahan iklim pada saat ini belum sepenuhnya dapat mencerminkan beban sebenarnya. Di dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009, definisi sehat yaitu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hal ini menunjukkan bahwa secara lebih mendalam, dampak perubahan iklim perlu dikaji tidak hanya memperhatikan keadaan fisik saja tetapi juga terhadap keadaan mental dan kesejahteraan sosial.

 

Dari sisi dampak perubahan iklim terhadap kondisi kesehatan fisik, masih diperlukan kajian yang berfokus pada dampak kesehatan lainnya yang sensitif dengan variasi iklim, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu contoh peningkatan suhu bumi dan perubahan pola musim yang memiliki pengaruh terhadap ketersediaan bahan makanan dan berakibat pada masalah gizi atau malnutrisi terhadap kelompok rentan. Selain itu, peningkatan suhu panas juga berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh peningkatan penularan penyakit menular. Kelembaban yang tidak normal dapat mengganggu sistem pernapasan dan dalam jangka panjang dapat merusak paru-paru. Selain itu, terdapat beberapa kasus yang masih jarang dikaji mengenai hubungan antara peristiwa cuaca ekstrim dengan kesehatan mental, misalnya kejadian bunuh diri atau penyalahgunaan zat terlarang akibat gagal panen. Peningkatan prevalensi penyakit juga akan semakin meng-highlight ketimpangan dalam kuantitas dan kualitas layanan kesehatan di berbagai wilayah.

 

Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental dalam jangka panjang secara langsung dan tidak langsung lainnya adalah kecemasan dan depresi terhadap kondisi lingkungan dan keadaan iklim. Keadaan mental yang terganggu dapat terjadi karena memikirkan kerusakan lingkungan atau mengkhawatirkan masa depan yang tidak pasti, ditambah dengan kurangnya tindakan yang diambil oleh pihak terkait. Untuk menumbuhkan ketahanan emosional dalam menghadapi perubahan iklim, dampak kesehatan mental dari perubahan iklim ini perlu dieksplorasi lebih lanjut. Hal ini dikarenakan kemampuan manusia untuk menghadapi perubahan iklim pada akhirnya bergantung pada kapasitas emosionalnya untuk menghadapi ancaman.

Meningkatkan Kualitas Kajian PBI

Sektor kesehatan telah menjadi salah satu sektor prioritas di dalam penanganan perubahan iklim, khususnya di dalam kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI). Menurut perhitungan Bappenas di tahun 2020, kerugian yang ditimbulkan akibat dampak perubahan iklim pada sektor kesehatan mencapai Rp 31,3 Triliun dalam kurun waktu 2020 hingga 2024. Diproyeksikan di beberapa wilayah, kejadian penyakit DBD akan meningkat di beberapa kota besar seperti di Pekanbaru, Palembang, Banjarbaru, Banjarmasin, Samarinda, Tarakan, Kolaka, Ambon, Semarang, dan Kupang. Untuk itu, PBI telah diintegrasikan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagai bagian dari Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim. 

 

Kajian ilmiah yang dijadikan landasan dalam penyusunan kebijakan PBI dan RPJMN 2020-2024 sektor kesehatan saat ini hanya mengkaji dampak terhadap penyakit menular saja (tular vektor dan udara). Perlu dilakukannya pengembangan lebih lanjut untuk penyakit sensitif iklim lainnya, seperti penyakit tidak menular. WHO pada 2021 telah mempublikasikan berbagai penyakit terkait pernapasan, panas, malnutrisi, kesehatan mental, zoonosis, dan penyakit tidak menular lainnya yang diproyeksikan akan meningkat kejadiannya akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, ruang lingkup kajian dapat diperluas sesuai dengan perkembangan ilmu dan kondisi saat ini.

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti