2521811

Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Sektor Kesehatan dan Urgensi untuk Meningkatkan Kualitas Kajian Ketahanan Iklim

Perubahan Iklim dan Prioritas Nasional Bidang Kesehatan 

Perubahan iklim saat ini terjadi karena meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya di atmosfer yang menyebabkan terjadinya efek gas rumah kaca. Fenomena ini berdampak pada peningkatan penyebaran atau kejadian penyakit seperti tular vektor (DBD dan Malaria), tular udara (Pneumonia), tular air (Diare), serta penyakit sensitif iklim lainnya pada penduduk. Penyakit-penyakit tersebut masuk dalam prioritas penyakit akibat perubahan iklim oleh pemerintah baik pada Kementerian PPN/Bappenas pada kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) maupun pada Kementerian Kesehatan melalui kebijakan Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan (APIK).

 

Penyakit DBD dan Malaria merupakan penyakit menular yang ditularkan melalui perantara atau gigitan vektor nyamuk Aedes Aegypti dan Anopheles. Perkembangan vektor penyakit ini dapat dipengaruhi oleh iklim yang berubah karena unsur cuaca mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan, dan populasi nyamuk tersebut. Sebagai contoh, curah hujan dengan penyinaran matahari yang relatif panjang turut mempengaruhi perindukan nyamuk sehingga nyamuk berkembangbiak lebih cepat dan lebih masif.

 

Adapun kejadian penyakit Pneumonia bersumber dari droplet nuklei yang melayang di udara yang dihasilkan dari batuk, bersin, dan berbicara oleh orang terinfeksi. Penyakit ini juga memiliki kaitan dengan parameter iklim seperti suhu udara, kelembaban relatif, dan intensitas pencahayaan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroba penyebab. Suhu udara merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroba karena dapat mempengaruhi lamanya fase lag (adaptasi), kecepatan pertumbuhan, kegiatan enzimatis, dan penyerapan nutrisi oleh mikroba. Di sisi lain, kelembaban relatif yang tinggi dapat menurunkan daya tahan tubuh seseorang sehingga meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama infeksi. Selain itu, kelembaban yang tinggi juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri sehingga meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit. Pada aspek iklim lain, pencahayaan yang berasal dari cahaya matahari memegang peranan penting karena dapat membunuh mikroba.

 

Adapun penyakit diare disebabkan oleh bakteri (umumnya Campylobacter, Salmonella, Shigella, dan E. Coli) yang menular melalui media air karena kurangnya sarana air bersih dan fasilitas sanitasi. Perubahan kondisi iklim seperti meningkatnya curah hujan dan meningkatnya lama musim panas dapat mempengaruhi akses dan ketersediaan air bersih sehingga meningkatkan risiko kontaminasi bakteri pada makanan dan minuman dan meningkatkan prevalensi kasus diare di populasi.

Perubahan Iklim dan Dampak Kesehatan Lainnya

Gambaran distribusi dan frekuensi penyakit akibat perubahan iklim pada saat ini belum sepenuhnya dapat mencerminkan beban sebenarnya. Di dalam Undang-undang No. 36 Tahun 2009, definisi sehat yaitu keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hal ini menunjukkan bahwa secara lebih mendalam, dampak perubahan iklim perlu dikaji tidak hanya memperhatikan keadaan fisik saja tetapi juga terhadap keadaan mental dan kesejahteraan sosial.

 

Dari sisi dampak perubahan iklim terhadap kondisi kesehatan fisik, masih diperlukan kajian yang berfokus pada dampak kesehatan lainnya yang sensitif dengan variasi iklim, baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu contoh peningkatan suhu bumi dan perubahan pola musim yang memiliki pengaruh terhadap ketersediaan bahan makanan dan berakibat pada masalah gizi atau malnutrisi terhadap kelompok rentan. Selain itu, peningkatan suhu panas juga berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh peningkatan penularan penyakit menular. Kelembaban yang tidak normal dapat mengganggu sistem pernapasan dan dalam jangka panjang dapat merusak paru-paru. Selain itu, terdapat beberapa kasus yang masih jarang dikaji mengenai hubungan antara peristiwa cuaca ekstrim dengan kesehatan mental, misalnya kejadian bunuh diri atau penyalahgunaan zat terlarang akibat gagal panen. Peningkatan prevalensi penyakit juga akan semakin meng-highlight ketimpangan dalam kuantitas dan kualitas layanan kesehatan di berbagai wilayah.

 

Dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental dalam jangka panjang secara langsung dan tidak langsung lainnya adalah kecemasan dan depresi terhadap kondisi lingkungan dan keadaan iklim. Keadaan mental yang terganggu dapat terjadi karena memikirkan kerusakan lingkungan atau mengkhawatirkan masa depan yang tidak pasti, ditambah dengan kurangnya tindakan yang diambil oleh pihak terkait. Untuk menumbuhkan ketahanan emosional dalam menghadapi perubahan iklim, dampak kesehatan mental dari perubahan iklim ini perlu dieksplorasi lebih lanjut. Hal ini dikarenakan kemampuan manusia untuk menghadapi perubahan iklim pada akhirnya bergantung pada kapasitas emosionalnya untuk menghadapi ancaman.

Meningkatkan Kualitas Kajian PBI

Sektor kesehatan telah menjadi salah satu sektor prioritas di dalam penanganan perubahan iklim, khususnya di dalam kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI). Menurut perhitungan Bappenas di tahun 2020, kerugian yang ditimbulkan akibat dampak perubahan iklim pada sektor kesehatan mencapai Rp 31,3 Triliun dalam kurun waktu 2020 hingga 2024. Diproyeksikan di beberapa wilayah, kejadian penyakit DBD akan meningkat di beberapa kota besar seperti di Pekanbaru, Palembang, Banjarbaru, Banjarmasin, Samarinda, Tarakan, Kolaka, Ambon, Semarang, dan Kupang. Untuk itu, PBI telah diintegrasikan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebagai bagian dari Prioritas Nasional 6: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim. 

 

Kajian ilmiah yang dijadikan landasan dalam penyusunan kebijakan PBI dan RPJMN 2020-2024 sektor kesehatan saat ini hanya mengkaji dampak terhadap penyakit menular saja (tular vektor dan udara). Perlu dilakukannya pengembangan lebih lanjut untuk penyakit sensitif iklim lainnya, seperti penyakit tidak menular. WHO pada 2021 telah mempublikasikan berbagai penyakit terkait pernapasan, panas, malnutrisi, kesehatan mental, zoonosis, dan penyakit tidak menular lainnya yang diproyeksikan akan meningkat kejadiannya akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, ruang lingkup kajian dapat diperluas sesuai dengan perkembangan ilmu dan kondisi saat ini.

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti

fishing-boat-sunset-village-traditional-boat

Loss and Damage Akibat Dampak Perubahan Iklim di Sektor Pesisir

Konteks dan Isu

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Merujuk data (BPS, 2020) sekitar 42 juta orang tinggal pada daerah kurang dari 10 meter diatas permukaan laut. Padahal kajian proyeksi (USAID, 2016) menyebutkan kenaikan air laut akan menenggelamkan 2.000 pulau kecil pada tahun 2050 yang berarti terdapat 42 juta penduduk berisiko kehilangan tempat tinggalnya. Dahuri (2006) juga menyatakan sebanyak 75% kota besar Indonesia terletak di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Bagi nelayan, dampak langsung perubahan iklim di daerah pesisir, yaitu semakin tingginya risiko melaut di tengah ketidakpastian cuaca sehingga dapat menyebabkan nelayan tidak lagi dapat melaut dan kehilangan mata pencaharian. Ditambah lagi dengan adanya banjir dan erosi pantai yang berpotensi merusak mangrove, tambak ikan, udang serta ladang garam di pantai sehingga menurunkan produktivitas masyarakat pesisir. Kondisi ini membuat kehidupan ekonomi masyarakat pesisir semakin terpuruk. Berdasarkan kajian Bappenas (2021), nilai potensial ekonomi rentang tahun 2020 – 2024 yang hilang akibat perubahan iklim dari sektor pesisir dan laut rerata mencapai Rp.81,53 Triliun yang menjadikan sektor ini paling terdampak akibat perubahan iklim dengan pesisir Pulau Jawa dan Sulawesi yang paling berpotensi tinggi.

Situasi dan Kondisi

Indonesia memiliki kerentanan yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim khususnya di wilayah pesisir. Hasil kajian Bappenas (2021) terkait dengan Coastal Vulnerability Index (CVI) yang mengklasifikasikan tingkat kerentanan berdasarkan parameter fisik dan oseanografi menunjukan bahwa panjang garis pantai terdampak dengan kategori CVI tertinggi (indeks 5) sepanjang 1819 km . Adapun Pulau Sulawesi memiliki indeks kerentanan tertinggi dengan 904.51 km. Sedangkan untuk Pulau Kalimantan dan Papua tidak memiliki indeks kerentanan pesisir dengan kategori kelas indeks 5.

Tabel 1. Tingkat Kerentanan Bahaya Pesisir di Indonesia
Sumber : Bappenas, 2021

Kondisi tersebut berdampak akan ancaman berupa berkurangnya luas daratan akibat tenggelam oleh air laut, rusaknya kawasan ekosistem pesisir akibat gelombang pasang, berubahnya mata pencaharian masyarakat, berkurangnya areal persawahan dataran rendah di dekat pantai, gangguan transportasi antar pulau, hilangnya objek wisata pulau, hingga menurunnya biodiversitas yang merupakan aset yang tidak ternilai.

Loss and Damage

Kerugian dan kerusakan atau loss and damage dapat disebabkan oleh efek buruk dari perubahan iklim baik peristiwa cuaca ekstrim atau peristiwa onset lambat (Cutter, 2019) Dalam perhitungan kerugian dampak perubahan iklim pada sektor laut dan pesisir, loss and damage tertinggi terjadi akibat adanya dampak perubahan iklim terhadap properti dan kegiatan perekonomian di kawasan pesisir dan laut (USAID, 2016).

Dampak perubahan iklim yang lebih besar terjadi di lokasi pusat pertumbuhan ekonomi yang memiliki atribut pembangunan wilayah yang lebih kompleks. Hal ini ditunjukan oleh studi yang dilakukan oleh USAID (2016) yang mendapati perbedaan yang signifikan dampak loss and damage di wilayah pusat perekonomian yang divisualisasikan oleh Gambar 1.

Gambar 1. Proyeksi nilai ekonomi hilang dampak kenaikan air laut

Berdasarkan klasifikasi pusat perekonomian yang berada di kawasan pesisir, yang ditampilkan pada grafik di atas, Provinsi DKI Jakarta diproyeksikan akan mengalami kerugian ekonomi yang paling tinggi sebesar Rp. 13 miliar per tahun akibat dampak perubahan iklim pada sektor properti di kawasan pesisir. . Besaran nilai loss and damage yang tinggi di Jakarta ini disebabkan tingginya nilai properti dan investasi yang berada di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim di wilayah pesisir seperti abrasi, kenaikan permukaan air laut dan banjir. Kebalikan dengan tingginya kerugian ekonomi di Jakarta pada sektor properti, Provinsi Aceh dengan pusat pertumbuhan yang lebih sedikit dibandingkan dengan DKI Jakarta diproyeksikan mengalami kerugian sebesar 4,7 miliar per tahun sebagai dampak perubahan iklim. Proyeksi loss and damage yang diperhitungkan menitikberatkan pada besaran investasi properti di kedua lokasi berbeda yang akan berdampak langsung pada dampak perubahan iklim di wilayah pesisir.

Aksi Pengurangan Loss and Damage

Untuk mengurangi dampak negatif berupa degradasi biofisik, ekonomi dan sosial akibat loss and damage pada wilayah pesisir diperlukan upaya mitigasi dan adaptasi. Mitigasi, yang merupakan proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak bencana yang diantisipasi akan terjadi dimasa yang akan datang (Diposaptono, 2003) Sedangkan adaptasi yang merupakan langkah penyesuaian yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang lebih buruk dari kejadian bencana (KLHK, 2018). 

Dalam konteks perubahan iklim, aksi pengurangan loss and damage berarti memodifikasi sistem sosial ekologi (SES) untuk mengakomodir dampak aktual, presisi serta prediksi (Barnet, 2001). Aksi ini perlu dilakukan dalam jangka waktu yang cepat dan terus dikembangkan terutama dalam menghadapi bahaya perubahan iklim pada tingkat unavoidable nature seperti yang digambarkan pada Gambar 2. (Cutter, 2019)

Gambar 2. Skenario kejadian pengurangan kerugian dan kerusakan bencana (Cutter,2019)

Konsep Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang merupakan konsep kegiatan terencana untuk meningkatkan kapasitas dan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi dampak terhadap perubahan iklim juga perlu dilakukan sebagai upaya yang lebih dari adaptasi (beyond adaptation). Di dalam menangani dampak perubahan iklim di pesisir dan laut, konsep ini dapat dilakukan dengan pelaksanaan penataan tata ruang yang mempertimbangkan aspek perubahan iklim, penguatan instrumen pengendali iklim, penguatan kapasitas stakeholder, community-based development, koordinasi, dan pelaksanaan perlindungan sosial terhadap masyarakat yang terdampak. Aksi pengurangan dampak loss and damage yang telah dilakukan di wilayah pesisir Probolinggo dapat menjadi percontohan bagi wilayah rawan lainnya, yaitu melalui kegiatan seperti :

  • Berpindah Tempat Tinggal

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kalibuntu dalam menghadapi bencana banjir pasang air laut (rob) secara permanen dilakukan dengan cara berpindah tempat tinggal ke wilayah lain yang lebih tinggi dan aman 

  • Peninggian Pondasi Rumah

Masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Probolinggo meninggikan pondasi rumah (0,5 – 1,0 meter) menyesuaikan dengan kondisi rob yang terjadi dan meningkat setiap tahunnya 

  • Membangun Tanggul Pantai (sea-wall)

Dalam penanggulangan kerusakan dan hilangnya lahan produktif (tambak, sawah dan perumahan) telah dilakukan dengan pembangunan dinding/tanggul pantai dan penanaman mangrove.

Gambar 3. Pembuatan Tanggul di wilayah pesisir (LIPI, 2019)
  • Inovasi Produksi Garam

Kabupaten Probolinggo terkenal dengan lahan tambak udang, bandeng, kepiting dan garam. Namun, dengan fenomena perubahan iklim yang sulit diprediksi, terdapat perpindahan kegiatan usaha masyarakat dari semula tambak udang, bandeng, kepiting yang lebih berisiko tinggi terhadap perubahan iklim beralih ke kegiatan tambak garam dengan inovasi yang mengantisipasi perubahan iklim.

Gambar 4. Pengembangan inovasi produksi garam (LIPI, 2019)

Inovasi tersebut dilakukan dengan sistem kerja buka tutup dilakukan mengikuti cuaca. Pada saat turun hujan dilakukan penutupan media penjemuran sedangkan pada saat cuaca panas tambak garam kembali dibuka. Dengan adanya inovasi ini, produksi garam yang telah dihasilkan sejak 2014-2018 berkisar antara 1,5-3,0 ton/10 hari dan menaikan  pendapatan petani garam  senilai sekitar 9 – 10 juta rupiah per bulan (LIPI, 2019)

Arah Kebijakan dan Strategi

Akselerasi pelaksanaan pengurangan loss and damage akibat dampak perubahan iklim sejatinya memerlukan kebijakan dan strategi yang kuat. Untuk mencapai hal tersebut terdapat beberapa strategi yang dilakukan seperti :

  1. Implementasi aksi ketahanan iklim yang berfokus pada peningkatan permukiman pesisir dan kawasan budidaya;
  2. Penguatan kestabilan masyarakat wilayah pesisir dengan pendampingan yang komprehensif dan holistik dalam bentuk peningkatan kapasitas dan kapabilitas pengurangan dampak bencana iklim ;
  3. Penguatan regulasi penanggulangan bencana yang efektif dan efisien;
  4. Peningkatan integrasi kebijakan tingkat regional dan nasional berdasarkan kebutuhan komunitas pesisir;
  5. Penguatan investasi pengelolaan risiko bencana sesuai proyeksi dan prioritas lokasi;
  6. Penguatan tata kelola adaptasi dan mitigasi bencana perubahan iklim yang adaptif;
  7. Membangun ketahanan ekologi, ekonomi dan sosial khususnya daerah dengan tingkat risiko tinggi.


Semua strategi tersebut tentunya dijalankan dengan keterlibatan dan kolaborasi multi pihak yang mencakup lintas sektor sehingga dampak dari loss and damage akibat bencana iklim dapat diminimalkan untuk mencapai Indonesia yang lebih tangguh.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2020. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir. Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir. BPS Republik Indonesia Press. 

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2021. Climate Resilience Development Policy 2020-2045. Jakarta.

Barnett, J. 2001. Adapting to Climate Change in Pacific Island Countries: The Problem of Uncertainty. World Development 29(6): 977–93.

Cutter, Susan L. (2009). Measuring and Mapping Social Vulnerability dalam Cities at Risk. Bangkok.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka. Utama. Jakarta

Diposaptono, S. 2003. Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Dalam Kerangka Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia. Alam Terpadu. Vol. 8 Nomor 2 Tahun 2003

Kementerian Kehutanan dan Lingkungan. 2018. Arah Kebijakan dan Sasaran Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Dirjen Pengendalian Perubah Iklim. Jakarta 

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2019. Masyarakat Pesisir: Adaptasi Terhadap Dampak Perubahan Iklim. Puslit Oseanografi – LIPI. Jakarta.

United States Agency for International Development (USAID), 2016. Indonesia: Coasts of Climate Change 2050. Brief Policy

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti

Close-up of agriculturist hands holding fresh arabica coffee berries in a coffee plantation. Farmer picking coffee bean in coffee process agriculture.

Tantangan dan Strategi Budidaya Kopi dalam Menghadapi Perubahan Iklim

Budidaya Kopi di Indonesia

Kopi adalah salah satu komoditas perkebunan andalan di Indonesia yang berperan mendukung perekonomian negara dengan menghasilkan devisa negara, memberikan sumber pendapatan petani, dan menciptakan lapangan kerja. Semua provinsi di Indonesia memiliki lahan perkebunan kopi dengan mayoritas perkebunan tersebut dimiliki dan dikelola oleh rakyat. Luas perkebunan kopi di Indonesia mencapai lebih dari satu juta hektar dengan wilayah perkebunan kopi terluas terletak di di Provinsi Sumatera Selatan (Gambar 1) (BPS, 2020). Hal ini yang menjadikan Indonesia sebagai produsen kopi tertinggi keempat di dunia setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam (ICO, 2020). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, baik luas lahan perkebunan maupun produksi kopi di Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 2). International Coffee Organization (2020) juga memperkirakan dalam beberapa tahun ke depan peningkatan produksi kopi di Indonesia meningkat sebesar 3-5,8%. Disisi lain, perkebunan kopi sendiri memiliki tantangan yang cukup serius dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. Banyak penelitian yang telah menunjukkan indikasi perubahan iklim seperti perubahan intensitas hujan dan pola curah hujan, kenaikan suhu udara, pergeseran awal musim, serta kejadian dan intensitas iklim ekstrim yang semakin meningkat berpotensi memberikan dampak dan tantangan dalam menanam dan membudidayakan komoditas kopi (Pham Y et al 2019, Bunn et al 2015).

Gambar 1 Sebaran Luas Perkebunan Kopi di Indonesia (Sumber: BPS 2020)
Gambar 2 Luas dan Produksi Kopi di Indonesia Tahun 2011 hingga Tahun 2020 (Sumber: BPS 2020)

Tantangan Budidaya Kopi dalam Perubahan Iklim

Tanaman kopi memiliki umur hidup yang panjang (dapat mencapai 50 tahun) dengan siklus yang berulang setiap tahunnya dipengaruhi oleh iklim kondisi setempat, sehingga penanaman kopi saat ini berpotensi untuk terkena dampak perubahan iklim. Selama satu dekade terakhir, peningkatan suhu permukaan global lebih tinggi 1,090C dibandingkan dengan pasca revolusi industri (1850-1900) (IPCC, 2021). Peningkatan suhu tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi. Umumnya, masing-masing jenis kopi memiliki rentang suhu optimal berkisar 18-230C tergantung fase pertumbuhan yang sedang terjadi. Namun, penelitian menunjukan bahwa setiap kenaikan suhu 10C dapat menyebabkan penurunan produksi kopi mencapai 30,04%. Di sisi lain suhu udara yang sangat rendah (-30C hingga -5 0C) juga dapat mematikan daun kopi (Supriadi, 2014).

Tidak hanya kuantitas produksi kopi yang menurun, kualitas kopi juga dapat menurun akibat bulan kering berkepanjangan di atas 3 bulan (Willson, 1985). Peningkatan intensitas variabilitas iklim (seperti El Nino dan La Nina) akibat perubahan iklim dapat menyebabkan bulan kering berkepanjangan terjadi lebih sering dan intensitas curah hujan tidak tersebar merata di sepanjang tahun. Intensitas curah hujan yang dibutuhkan oleh tanaman kopi sebenarnya berbeda-beda tergantung dari kondisi tanah, kelembaban atmosfer, dan teknik budidaya kopi. Umumnya, curah hujan tahunan optimum untuk tanaman kopi adalah berkisar 1200 – 1800 mm dengan deret hari terjadi hujan tersebar merata (Willson, 1985).  Sayangnya, perubahan iklim cenderung membuat pola curah hujan bergeser. Penurunan total curah hujan bulanan atau musiman tidak selalu menggambarkan terjadinya penurunan intensitas curah hujan harian. Hal ini dapat disebabkan karena jumlah hari hujan yang menurun dan kumulatif hujan dalam satu bulan atau satu musim hanya berasal dari kejadian hujan dengan intensitas yang tinggi. Intensitas hujan yang terlalu tinggi tentu akan meningkatkan risiko banjir dan gagal panen.

Selain menyangkut kualitas dan kuantitas produksi kopi, perubahan iklim juga menyebabkan semakin minimnya wilayah iklim yang cocok di Indonesia untuk melakukan budidaya kopi. Suhu udara yang cocok untuk budidaya kopi umumnya berada di altitude yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah. Petani yang menyadari adanya ketidakcocokan iklim di wilayah budidaya mereka, maka akan memilih bercocok tanam ke wilayah dengan altitude yang lebih tinggi dengan suhu yang lebih rendah. Disisi lain, wilayah yang altitude lebih tinggi tersebut seringkali merupakan Kawasan Hutan Lindung. Akibatnya, Kawasan hutan lindung akan beralih fungsi secara ilegal menjadi lahan perkebunan yang diputuskan sepihak oleh petani kopi. Oleh sebab itu, dalam menghadapi perubahan iklim diperlukan inovasi konkrit untuk mempertahankan budidaya kopi serta kuantitas dan kualitas produksinya.

Strategi yang dapat dilakukan

Secara umum, Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian telah mengusungkan 3 (tiga) pendekatan untuk menghadapi permasalahan perubahan iklim dalam budidaya kopi yaitu, pendekatan strategis (identifikasi wilayah), taktis (pengembangan metode dan teknik prediksi atau pemodelan musim) dan operasional (teknologi penanggulangan apabila prediksi meleset). Skema ketiga pendekatan ini dirincikan sebagai berikut:

  1. Pendekatan strategis dapat berupa inventarisasi data dan informasi terkait wilayah-wilayah yang membudidayakan kopi. Strategi ini meliputi penyusunan peta sebaran wilayah perkebunan kopi, identifikasi sistem budidaya perkebunan kopi di setiap wilayah yang ada, penyusunan peta lokasi kerawanan terhadap bencana banjir ataupun kekeringan, serta melanjutkan kegiatan penelitian dan program aksi untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
  2. Pendekatan taktis yang dapat dilakukan adalah memperkuat perkiraan atau prediksi serta analisis iklim dalam satu musim ke musim berikutnya dengan menggunakan data historis yang tersedia (menganalisis melalui grafik hujan bulanan/dekade/mingguan versus real time). Bila diperlukan, dapat juga menambahkan alat ukur cuaca khusus di lokasi-lokasi budidaya kopi prioritas. Pendekatan ini dapat menghasilkan kalender budidaya tanaman kopi yang siap dalam menghadapi perubahan iklim. Pada tanaman pangan semusim (seperti padi) prakiraan iklim telah banyak dimanfaatkan untuk menyusun kalender tanam. Oleh karena itu, kalender budidaya tanaman kopi selama satu tahun juga dapat disusun untuk membantu petani dalam melaksanakan perawatan (pemupukan, penyiraman, dan sebagainya) sesuai dengan fase-fase pertumbuhan tanaman kopi dan spesifik di wilayah tertentu.
  3. Pendekatan operasional dilakukan dengan membangun inventarisasi teknologi khususnya dalam mengendalikan intensitas curah hujan. Peta sebaran bangunan sumberdaya air (embung, sumur bor, waduk) dapat digunakan untuk merencanakan sarana irigasi atau saluran air yang dapat mengatur ketersediaan air. Sehingga, ketika intensitas curah hujan tinggi, air dapat dialirkan menuju tempat penyimpanan, dan ketika kering berkepanjangan air dapat dialirkan melalui lokasi-lokasi penyimpanan atau sumber air. Alternatif lain yang dapat diadopsi adalah penerapan asuransi indeks iklim yang memerlukan perencanaan lebih lanjut dengan prediksi iklim yang kuat.

Ketiga pendekatan ini tetap memerlukan tenaga terlatih yang dapat menggunakan sistem informasi sehingga dapat mendampingi petani dalam melakukan budidaya kopi. Selain intervensi langsung dari tenaga ahli saat budidaya kopi, aksi nyata ketahanan iklim dapat juga dilakukan dengan mentransfer pengetahuan tersebut langsung pada petani. Hal ini dapat meningkatkan kapasitas masyarakat terkait climate smart agriculture melalui program seperti sekolah lapang Iklim, program kampung iklim, serta pendampingan penggunaan alat mesin pertanian.

Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) merupakan perwujudan komitmen pemerintah Indonesia dalam menangani berbagai tantangan isu perubahan iklim. Peningkatan ketahanan iklim ini difokuskan pada 4 (empat) sektor terdampak perubahan iklim, salah satunya adalah sektor pertanian. Saat ini sektor pertanian berfokus pada tanaman padi sebagai indikator dalam penilaian bahaya iklim. Adanya potensi penurunan produksi padi akibat perubahan iklim tentu berdampak pada kerugian ekonomi nasional. Proyeksi kerugian ekonomi nasional pada sektor pertanian diperkirakan mencapai 77,9 Triliun Rupiah pada tahun 2020-2045. Kerugian ini tentu akan semakin tinggi apabila komoditas kopi juga diikutsertakan dalam analisis bahaya iklim mengingat pengaruhnya yang cukup signifikan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, kedepannya pengembangan kajian ketahanan iklim akan diperkuat dengan penambahan komoditas lain yang juga berdampak signifikan terhadap perubahan iklim. Hal ini tentu akan memberikan dampak pada peningkatan ketahanan iklim di Indonesia.

Kesimpulan

Faktor iklim merupakan faktor penting dalam budidaya tanaman kopi, sehingga terjadi perubahan iklim memberikan dampak penurunan terhadap kuantitas dan kualitas produksi kopi. Iklim yang tidak sesuai akan mendukung pertumbuhan tanaman menurun, daun menguning, bunga gugur, percepatan fase pertumbuhan sehingga menurunkan kualitas, tanaman mati, serta memicu hama dan penyakit tanaman yang dapat merusak tanaman kopi. Dampak perubahan iklim tidak hanya berpengaruh pada produksi kopi saja, namun juga berpengaruh terhadap rangkaian aktivitas lain pada rantai nilai kopi. Produksi kopi yang buruk akan menghasilkan kualitas yang buruk, sehingga terjadi penurunan harga jual. Saat ini, tuntutan permintaan produksi kopi dengan kualitas yang baik akan terus meningkat bukan hanya di tingkat lokal tetapi juga global, sedangkan risiko perubahan iklim terus meningkat. Oleh karena itu aksi ketahanan iklim yang terintegrasi dalam jangka panjang dan bersifat menyeluruh sangat dibutuhkan, seluruh aktor dalam rantai nilai kopi, para stakeholder, dan pemerintah juga harus berperan serta dalam melakukan upaya adaptasi perubahan iklim terhadap budidaya kopi.

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). 2020. Statistik Kopi Indonesia. [www.bps.go.id]
  2. International Coffee Organization (ICO). 2020. Coffee Market Repor. [https://www.ico.org/trade_statistics.asp].
  3. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2021. Climate Change 2021 The Physical Science Basis Summary for Policymakers. [www.ipcc.ch].
  4. Supriadi, H. 2014. Budidaya tanaman kopi untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Perspektif 13 (1): 35-52.
  5. Clifford M.N and Willson K.C. 1985. Coffee: Botany, Biochemistry, and Production of Beans and Beverage. United States: Springer.
  6. Pham, Y., Reardon-Smith, K., Mushtaq, S. et al. 2019 The impact of climate change and variability on coffee production: a systematic review. Climatic Change 156, 609–630. https://doi.org/10.1007/s10584-019-02538-y

Bunn, C., Läderach, P., Ovalle Rivera, O. et al. 2015. A bitter cup: climate change profile of global production of Arabica and Robusta coffee. Climatic Change 129, 89–101. https://doi.org/10.1007/s10584-014-1306-x

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti

pexels-pok-rie-6471926

Studi Loss and Damage serta Kaitannya Dengan Sistem Peringatan Dini

Gambar 1. Jembatan yang rusak akibat banjir bandang di Lubuk Tarok, Sijunjung, Sumatera Barat, Selasa (28/3) Tirto, 2017 (https://tirto.id/cnJS)

Perubahan iklim pada satu dekade terakhir ini telah menunjukkan dampak yang signifikan pada angka kejadian bencana yang terjadi di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kejadian bencana pada 10 tahun terakhir (2011 – 2021) dan angka ini didominasi oleh bahaya hidrometeorologi. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 98,1% kejadian bencana di Indonesia disebabkan oleh kejadian meteorologi dan iklim ekstrem. Jumlah kejadian bencana ini juga diprediksikan akan terus bertambah sehingga diperlukan tindakan untuk meningkatkan kapasitas resiliensi nasional terhadap variabilitas dan perubahan iklim.

Gambar 2. Jumlah Kejadian Bencana tahun 2011 – 2021 di Indonesia (BNPB, 2021)

Bencana hidrometeorologi tak hanya menimbulkan korban jiwa tapi juga berdampak pada lingkungan dan kerugian ekonomi. Isu kerugian ini kemudian yang bergerak menjadi fokus dari peningkatan ketahanan terhadap perubahan iklim. Untuk itu, studi tentang kerugian yang dialami akibat bencana atau dikenal sebagai Loss and Damage, menjadi salah satu faktor penting dalam upaya peningkatan kapasitas dalam menghadapi perubahan iklim untuk menghindari kerugian besar saat terjadi bencana.

Mengenal Istilah Loss and Damage

Loss and Damage” adalah istilah umum yang merujuk pada konsekuensi perubahan iklim yang melampaui kapasitas adaptif sebuah negara, masyarakat, dan ekosistem atau gagalnya upaya mitigasi dan adaptasi sehingga menimbulkan kerugian fisik dan materi (Mechler, et.al, 2018). Loss and Damage akibat perubahan iklim menjadi perhatian utama, khususnya negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan jumlah komunitas rentan terhadap bencana yang tinggi. Loss and Damage timbul sebagai spektrum dampak negatif perubahan iklim, mulai dari peristiwa cuaca ekstrim, seperti badai tropis dan banjir, hingga peristiwa slow-onset, seperti kenaikan muka air laut dan kenaikan suhu udara. Dalam upaya mengatasi permasalahan Loss and Damage, diperlukan pemahaman tentang jenis kejadian dan proses kejadian yang terkait dengan perubahan iklim. Sebagai contoh, untuk menganalisa Loss and Damage akibat bencana banjir yang terjadi di suatu wilayah, diperlukan analisis pada curah hujan yang terjadi, historis kejadian banjir, hingga tingkat kerentanan dari daerah yang diamati. Oleh karena itu, diperlukan studi holistik untuk memahami berbagai pendekatan untuk mengatasi Loss and Damage serta sumber daya utama yang diperlukan untuk menerapkannya secara efektif.

Peran WMO dalam Mendukung Studi Loss and Damage Nasional

Gambar 3. Ada berbagai pendekatan untuk studi Loss and Damage, salah satu pendekatan yang telah dilakukan oleh BMKG dan WMO yang disebut katalog kejadian ekstrim (http://puslitbang.bmkg.go.id/extreme-catalogue.html).

Dalam rangka mendukung upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim, World Meteorological Organization (WMO) melalui Resolusi No 9 Tahun 2015 telah menetapkan perlunya karakterisasi dan penyusunan katalog kejadian ekstrem secara sistematis untuk cuaca dan iklim berikut kejadian bencana hidrometeorologi yang diakibatkannya. WMO, sebagai badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di bidang cuaca dan iklim (meteorologi), berkomitmen untuk memfasilitasi studi yang berkaitan dengan observasi di bidang meteorologi sebagai dukungan bagi negara yang membutuhkan. Untuk wilayah Asia Tenggara, WMO memberikan dukungan kepada Indonesia, melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dengan memberikan informasi berupa data atmosfer bumi, cuaca, iklim, air, dan cuaca luar angkasa yang direkam secara sistematis. Dengan memonitor kondisi meteorologi, fenomena alam akan terekam sebagai katalog kejadian bencana yang digunakan sebagai proyeksi terhadap kejadian bencana yang mengancam. Data historis bencana yang dihasilkan dapat digunakan sebagai referensi dalam proses proyeksi kejadian bencana di masa depan. Selain itu, data tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan studi kebencanaan dengan menghubungkan suatu fenomena kecil dengan fenomena kejadian lain yang berskala lebih besar, misalnya: menghubungkan hujan lebat, angin kencang, banjir gelombang badai dan tanah longsor dengan siklon tropis. Selain itu, melalui metodologi penautan antar kejadian ini, besaran resiko dari kejadian bencana yang terjadi dapat menghasilkan data yang presisi sehingga dapat digunakan sebagai Analisa untuk menghindari kerugian yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Menggunakan data dari WMO, data historis bencana dapat digunakan sebagai data utama dalam kajian Loss and Damage dengan menggunakan data tersebut sebagai salah satu pendekatan untuk membangun sistem penyaluran bantuan yang efektif dan mendukung sistem perhitungan risiko yang tepat. Kajian perhitungan Loss and Damage dapat dilakukan dengan mengidentifikasi lokasi dengan potensi bahaya, kerentanan dan jumlah risiko yang tinggi, serta memiliki kapasitas yang cukup rendah untuk menghadapi kejadian ekstrem. Berbagai karakteristik lokasi di Indonesia mengakibatkan tingkat dampak yang berbeda akibat kejadian berbahaya tersebut. Penentuan lokasi prioritas, dengan menentukan wilayah dengan tingkat kerugian dan kerusakan yang paling tinggi sebagai lokasi dengan prioritas tinggi, dapat digunakan sebagai pendekatan dalam kajian Loss and Damage dan diintegrasikan ke dalam strategi nasional untuk diterapkan dalam praktik lokal.

 

Kaitan Loss and Damage dengan Early Warning System

Sistem peringatan dini atau Early Warning System (EWS) adalah elemen utama dari pengurangan risiko bencana. Dalam praktiknya, implementasi sistem peringatan dini bertujuan untuk mencegah hilangnya nyawa dan mengurangi dampak ekonomi dan material dari bencana. Agar efektif, sistem peringatan dini perlu: melibatkan secara aktif masyarakat yang berisiko, memfasilitasi pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang risiko, menyebarkan pesan peringatan secara efektif dan kesiapan dalam menghadapi bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Kajian Loss and Damage dalam hal ini menjadi salah satu kajian pendukung dalam pengembangan sistem peringatan dini dan sebagai bagian dari tindakan awal menuju masyarakat yang berkelanjutan, tangguh dan inklusif.

PBB melalui laporan International Strategy for Disaster Reduction (2006) telah menyebutkan beberapa elemen menjadi kunci dalam keberhasilan implementasi sistem peringatan dini, yaitu pengetahuan mengenai risiko; monitoring dan sistem peringatan; diseminasi informasi dan alur komunikasi; dan kapasitas dalam merespon bencana.

1. Informasi Mengenai Risiko

Risiko timbul dari kombinasi bahaya dan kerentanan di lokasi tertentu. Penilaian risiko membutuhkan sistematika pengumpulan dan analisis data dan harus mempertimbangkan sifat dinamis dari bahaya dan kerentanan yang muncul dari proses seperti: urbanisasi, perubahan penggunaan lahan pedesaan, degradasi lingkungan dan perubahan iklim. Penilaian risiko dan peta membantu memotivasi masyarakat, prioritaskan kebutuhan sistem peringatan dini dan memandu persiapan pencegahan dan tanggap bencana.

2. Monitoring dan Sistem Peringatan

Sistem peringatan merupakan inti utama dari sistem peringatan dini, dan di dalam proses pembentukkan sistem diperlukan suatu dasar ilmiah yang kuat untuk memprediksi bahaya serta sistem otomatis yang dapat memberikan peringatan dengan waktu operasional 24 jam nonstop. Pemantauan secara terus menerus terhadap parameter bahaya, termasuk tanda bahaya dini, menjadi komponen penting untuk menghasilkan sistem peringatan yang akurat dan tepat waktu. Layanan sistem peringatan dini juga dapat dimanfaatkan untuk peringatan jenis bahaya yang berbeda disaat bersamaan (Multi Hazard Early Warning System/MHEWS). Dalam pengembangan sistem MHEWS diperlukan suatu koordinasi antar badan/Lembaga pemerintah yang berwenang sebagai acuan institusional, procedural dan komunikasi yang efektif.

 
Gambar 4. Pemasangan EWS longsor di Bukit Gunung Empyak, Dlingo, Bantul (Harian Jogja, 2019)

3. Diseminasi Informasi dan Alur Komunikasi

Informasi mengenai sistem peringatan dini dan pelaksanaannya harus tersampaikan dengan baik ke seluruh komponen masyarakat, termasuk pemerintah dan semua pihak yang terlibat dalam kesiagaan bencana, terutama masyarakat di wilayah dengan tingkat risiko tinggi. Ketersampaian informasi dan edukasi mengenai cara kerja dan pelaksanaan sistem peringatan dini sangat penting agar masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat pada saat terjadi bencana sehingga memungkinkan pengurangan tingkat kerugian dan kehilangan akibat bencana yang terjadi. Diperlukan identifikasi suatu sistem komunikasi tingkat regional, nasional dan komunitas juga secara rinci serta menetapkan kondisi dimana tindakan otoritatif yang sesuai dapat diterapkan. Selain itu, metode penggunaan saluran komunikasi yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang efektif juga diperlukan untuk memastikan setiap lapisan masyarakat mendapatkan peringatan dini.

 

4. Kapasitas dalam Merespons Bencana

Penting bagi masyarakat untuk memahami risiko yang dihadapi; memahami pentingnya sistem peringatan dini dan tahu bagaimana harus bereaksi pada saat bencana terjadi. Program pendidikan dan kesiapsiagaan memegang peran kunci dalam mendukung kapasitas masyarakat. Simulasi dan uji efektivitas terhadap rencana penanggulangan bencana juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan sistem peringatan dini. Masyarakat harus diinformasikan dengan baik tentang tindakan yang harus dilakukan, rute evakuasi yang tersedia, dan cara efektif untuk menghindari kerusakan dan kerugian harta benda

Gambar 5. Simulasi penanganan kejadian bencana sebagai upaya peningkatan kapasitas masyarakat (Republika, 2017)

Upaya penguatan sistem peringatan dini bencana untuk meminimalisir Loss and Damage akibat perubahan iklim tercantum sebagai Major Project (MP) 39 di dalam Prioritas Nasional 6 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024: Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim. Upaya ini bertujuan untuk membangun sistem peringatan dini terpadu yang meliputi berbagai jenis ancaman bencana di Indonesia (termasuk bencana yang bersifat seketika/sudden onset dan perlahan/slow onset). Pengkategorian jenis bencana juga diperlukan untuk memperkuat lingkup pengembangan termasuk komponen struktur, seperti operasional alat dan pemeliharaan yang diprakarsai oleh BMKG, dan komponen kultur, seperti pemahaman risiko dan rencana tindak lanjut oleh BNPB.

Temuan hasil kajian sistem peringatan dini oleh Bappenas terhadap capaian kegiatan BMKG tahun 2021 menunjukkan bahwa sistem peringatan dini cuaca ekstrem masih di kisaran 30 menit sebelum kejadian dimana prosedur standar operasional berada dalam kisaran 1-3 jam. Selain itu, untuk mendukung  sistem peringatan dini yang komprehensif, perlu ditambahkan detail berupa intensitas, durasi, lokasi, dan waktu kejadian pada perkiraan cuaca 6 jam ke depan. Oleh karena itu, upaya pengembangan sistem peringatan dini, perlu ditingkatkan agar dapat mencapai target penurunan kerugian ekonimi akibat perubahan iklim seperti yang telah ditetapkan pada RPJMN 2020-2024.

Pelaksanaan sistem peringatan dini merupakan salah satu poin penting dalam mengurangi risiko kerugian Loss and Damage akibat bencana agar masyarakat yang terpapar memiliki kapasitas untuk bertindak secara tepat pada saat terjadinya bencana. Adapun kajian Loss and Damage dapat menghasilkan suatu pemetaan wilayah dengan risiko tinggi dimana nantinya wilayah ini menjadi prioritas dalam implementasi sistem peringatan dini. Harapannya, dengan berjalannya sistem peringatan dini dan kajian Loss and Damage yang tepat, maka masyarakat dapat memiliki ketahanan yang baik dan siap menghadapi kemungkinan bencana yang terjadi di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

 

BMKG. 2021. Data dan informasi disunting dari halaman http:// puslitbang.bmkg.go.id/extreme-catalogue.html

BNPB. 2021. Data dan informasi disunting dari halaman https://inarisk.bnpb.go.id/

ISDR. 2006. Developing Early Warning System: A Checklist. EWC III: Third International Conference on Early Warning

Mechler, R., L.M. Bouwer, T. Schinko, S. Surminski, and J. Linnerooth-Bayer. 2018. Loss and Damage from Climate Change: Concepts, Methods and Policy Options. Springer International Publishing, 561 pp.

Editor:

Asri Hadiyanti Giastuti