Fog in the mountains. Autumn landscape with woods on the hills. Zemo Svaneti, Georgia

Pemanenan Kabut: Solusi Inovatif untuk Kekeringan

Pemanenan Kabut: Solusi Inovatif untuk Kekeringan

Air adalah sumber daya alam yang sangat penting untuk kelangsungan kehidupan makhluk hidup. Dari total volume air di dunia sebesar 1,4 miliar km3, sekitar 97,5% berupa air laut, sementara hanya 2,5% yang merupakan air tawar. Berdasarkan jumlah air tawar yang ada di bumi, 2,41% diantaranya berupa es di kutub, dan 0,61% berupa air tanah, dan sisanya dibagi menjadi air permukaan, air pelembab tanah, dan air yang terdapat di dalam atmosfer (Sevimli, 2021). Fakta ini menegaskan bahwa jumlah air tawar yang tersedia di permukaan bumi sangatlah terbatas. Selain itu, ketersediaan air, baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya, di beberapa wilayah juga mengalami penurunan karena berbagai faktor seperti pertumbuhan populasi yang cepat, perkembangan teknologi, urbanisasi, dan dampak perubahan iklim (Sły´s dkk., 2020).

Perubahan iklim dapat mengakibatkan perubahan pola musiman, pergeseran musim, serta perubahan dalam intensitas dan frekuensi hujan (Bappenas, 2019). Dampak dari intensitas dan frekuensi hujan berpengaruh terhadap ketersediaan air di suatu wilayah. Pada musim hujan, beberapa daerah akan mengalami kelimpahan air yang berlebihan, menyebabkan banjir dan kerusakan lainnya. Akan tetapi, ketika musim kemarau tiba, kekurangan air mengakibatkan kekeringan yang dapat menjadi potensi bencana.

Suatu wilayah dianggap mengalami kekeringan ketika permintaan air melebihi volume yang tersedia atau ketika keterbatasan kualitas air membatasi penggunaannya untuk berbagai keperluan. Menurut laporan World Research Indonesia (WRI), secara global, sekitar 50 persen dari populasi dunia, yang setara dengan sekitar empat miliar orang, mengalami kekurangan air setidaknya selama satu bulan dalam setahun. Dengan meningkatnya konsumsi air sehari-hari, diproyeksikan bahwa sekitar 5,7 miliar orang akan menghadapi kekurangan air setidaknya selama satu bulan pada tahun 2050.

 

Terdapat upaya-upaya untuk mengatasi masalah kekurangan air melalui proyek-proyek seperti desalinasi air laut dan pembangunan lebih banyak bendungan dan sumur, namun upaya-upaya ini mungkin tidak cukup, terutama di wilayah kering dan panas serta wilayah yang jauh dari sumber air (Curto dkk., 2021). Teknologi pemanen kabut (fog harvesting) dapat dijadikan salah satu alternatif dalam mengatasi masalah kekurangan air (Qadir dkk., 2018). Pemanenan kabut merupakan proses pengumpulan air yang dilakukan dengan menangkap tetesan air dari kabut atau embun yang terdapat dalam udara. Teknologi ini biasanya digunakan di daerah-daerah dengan kelembaban udara yang tinggi, terutama di wilayah pesisir atau pegunungan yang sering dilanda kabut tebal. Proses pemanenan kabut melibatkan penggunaan alat khusus yang disebut penangkap kabut, yang dirancang untuk menangkap tetesan air dari kabut ketika udara melewati alat tersebut.

Pemanenan Kabut

Kabut merupakan formasi awan yang memiliki kontak langsung dengan permukaan bumi. Ukuran tetesan air dalam kabut biasanya bervariasi, dengan diameter berkisar antara sekitar 1 mikrometer hingga beberapa puluh mikrometer. Awan stratus rendah dapat terbentuk di perairan yang memiliki suhu relatif rendah, contohnya di Samudera Pasifik Tenggara subtropis. Dalam kondisi ini, awan stratus tersebut dapat muncul di atas permukaan air dan memiliki ketebalan beberapa puluh hingga ratusan meter. Jika angin regional mendorong awan ini ke arah pegunungan pesisir, maka fenomena yang dikenal sebagai kabut adveksi dapat terjadi di wilayah pegunungan. Selain itu, kabut juga dapat terjadi melalui pendinginan adiabatik massa udara yang lembab saat naik ke ketinggian. Lautan sering menjadi sumber utama kelembaban, sehingga wilayah yang berdekatan dengan laut dan memiliki pegunungan di sekitarnya menjadi tempat yang ideal untuk terbentuknya kabut orografis.

Pemanenan kabut merupakan metode alternatif yang digunakan untuk mendapatkan sumber air tawar dengan menangkap air dari kabut yang terbentuk akibat angin. Teknologi ini biasanya diimplementasikan di daerah-daerah dengan tingkat kabut alami yang tinggi, seperti wilayah pesisir dan pegunungan. Sistem pemanenan kabut ini biasanya terdiri dari jaring yang dipasang di antara dua tiang yang ditempatkan secara vertikal terhadap arah angin yang membawa kabut. Ketika angin melewati jaring ini, air tawar mengkondensasi dan kemudian mengalir ke dalam saluran air di bawahnya, lalu dialirkan melalui pipa ke tangki penyimpanan.

Teknologi untuk pengumpulan air kabut dilakukan menggunakan Standar Fog Collector (SFC), seperti yang dirancang oleh Schemenauer dan Cereceda (1994a). SFC terdiri dari bingkai berukuran 1 m x 1 m yang dilapisi jaring, yang terhubung ke dasar penyangga setinggi 2 m. . Bingkai harus memiliki jarak 10 cm dari dasar penyangga untuk mencegah kontak antara jaring dan struktur penyangga. Langsung di bawah bingkai terdapat bak berukuran 1,04 m panjang, 15 cm lebar, dan 10 cm dalam, yang digunakan untuk mengumpulkan air kabut yang menetes dari jaring. Bak ini harus ditempatkan 2 cm di depan bingkai di sisi yang terkena angin, dan tepi bak harus sejajar dengan bagian bawah bingkai. Penempatan bak ini mencegah pengumpulan hujan dari depan SFC, sambil menangkap air kabut yang jatuh dari jaring dengan sudut karena angin kencang. Bingkai dan dasar harus terbuat dari logam, idealnya aluminium untuk tahan korosi. Seluruh SFC sebaiknya diarahkan tegak lurus dengan arah angin dominan untuk kinerja yang optimal (Schemenauer dkk., 1994a).

Jaring SFC biasanya terbuat dari jaring Raschel polietilena atau polipropilena (Klemm dkk. 2012). Eksperimen pengumpulan kabut awal dengan berbagai jenis jaring dan desain menghasilkan pemilihan jaring Raschel berbasis polimer sebagai bahan yang terbaik tersedia, dan jaring Raschel telah menjadi standar sejak itu (Gioda dkk. 1993). Jaring Raschel polietilena dan polipropilena biasanya digunakan karena efisien dalam menangkap kabut, murah, tersedia sebagai bahan yang aman untuk makanan, dan cukup tahan untuk menghadapi angin, matahari, radiasi UV, dan hujan, serta dapat dengan cepat mengalirkan air (Schemenauer dan Cereceda 1994a; Klemm dkk. 2012). Namun, mungkin saja menggunakan bahan lain yang juga memiliki sifat yang sesuai. Jaring Raschel biasa digunakan dalam pengumpul kabut memiliki serat datar dengan lebar 0,5–1,5 mm (biasanya 1 mm), ukuran pori 1,0–1,3 cm, dan rajutan segitiga yang menghubungkan serat-serat bersama untuk mencegah pembukaan karena robekan atau angin (Schemenauer dan Joe 1989; Gioda dkk. 1993)

 

SFC memiliki banyak keunggulan salah satunya adalah bahan-bahannya tahan lama dan dapat bertahan dalam angin kencang. Studi lokasi potensial untuk pengumpulan air kabut dapat dilakukan dengan anggaran sekitar $78 hingga $233 USD. Masa pakai jaring diperkirakan sekitar 3–10 tahun, tetapi akan bervariasi berdasarkan kondisi lingkungan. Selain itu, meskipun ada perbedaan hingga 15% antara SFC dan pengumpul kabut skala penuh dalam satu jam tertentu, tingkat pengumpulan rata-rata jangka panjang (waktu pengumpulan kurang lebih 6,5 jam) sangat cocok, memberikan perkiraan yang akurat untuk operasi skala penuh (Schemenauer dan Cereceda 1994a).

Seiring dengan berkembangnya teknologi, SFC dimodifikasi sedemikian rupa sehingga pemanenan kabut lebih efektif yang kemudian disebut LFC. Pengumpul kabut skala penuh saat ini biasanya memiliki area jaring yang berkisar antara 40 hingga 48 m2, dengan rasio aspek (rasio lebar terhadap tinggi) sekitar 2,5 (Schemenauer dan Cereceda 1994b, Klemm dkk. 2012). Jaring tidak didukung oleh bingkai, melainkan ditarik 2 m dari tanah di antara dua tiang penyangga, membentuk bentuk cekung alami di bawah angin. Tiang-tiang penyangga ini ditanamkan ke dalam tanah dan diikat menggunakan kawat penyangga. Biasanya digunakan beberapa pengumpul berdasarkan kebutuhan pasokan air. Dalam kebanyakan kasus, tingkat pengumpulan berkisar antara 1 hingga 10 L m-2 hari-1, tetapi diketahui bisa mencapai 40 L m-2 hari-1 di beberapa wilayah (Schemenauer dan Cereceda 1994a). Untuk menyediakan air minum kepada desa pedesaan tipikal dengan 200 penduduk dan target 25 L per kapita-1 – hari-1, diperlukan sekitar 25 pengumpul kabut skala penuh, atau sekitar 1.000 m2 jaring, dengan biaya awal total sekitar $75.000 USD (Klemm dkk. 2012).

Karena desain pengumpul kabut skala penuh relatif sederhana, operasi dan pemeliharaannya cukup mudah. Biasanya tidak diperlukan operator karena sifat pasif sistem ini. Namun, pemeliharaan berkala meliputi pemeriksaan dan pengencangan kawat penyangga, memeriksa dan menambal jika ada sobekan pada jaring, memastikan jaring dan sistem pengumpulan bebas dari sampah atau pertumbuhan ganggang, serta memeriksa wadah penyimpanan dan sistem distribusi dibutuhkan. Biaya tenaga kerja lokal, jumlah pengumpul kabut, dan perbaikan yang diperlukan, biaya operasi tahunan dapat berkisar antara $500 hingga $2.500 USD (Klemm dkk. 2012).

Tingkat pengumpulan pemanen kabut ditentukan oleh kandungan air cairan kabut, distribusi ukuran tetesan kabut, ukuran dan susunan materi jaring, dan kecepatan angin. Ketika tetesan kabut yang terbawa oleh angin mengenai jaring pengumpul, terjadi tumbukan fisik antara tetesan dan jaring. Jika tetesan cukup besar dan memiliki energi kinetik yang cukup, mereka akan menempel pada jaring. Setelah menempel pada jaring, tetesan kabut akan bergerak ke bawah karena gravitasi. Mereka kemudian mengalir ke dalam saluran atau pengumpulan yang mengarah ke tempat penyimpanan.

 

Sama seperti teknologi lainnya, teknologi pemanenan kabut memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Teknologi pemanen kabut berpotensi menjadi sumber air berkelanjutan karena mengandalkan siklus alamiah penguapan dan kondensasi. Teknologi ini tidak memerlukan konsumsi energi tambahan seperti deliniasi air laut. Selain itu, teknologi ini memiliki biaya operasional yang relatif rendah karena tidak ada biaya bahan bakar atau listrik yang signifikan. Namun demikian, kekurangan dari teknologi ini adalah sangat bergantung pada kondisi iklim. Pemanenan kabut hanya efektif di daerah dengan kondisi iklim tertentu yang mendukung pembentukan kabut. Selain itu, teknologi ini juga sangat bergantung pada faktor cuaca di wilayah tersebut. 

Aspek Spesifik

  1. Kuantitas Air dari Pemanenan Kabut

Produksi harian dari pemanen kabut tergantung dari beberapa faktor yang salah satunya adalah tinggi pemasangan pemanen kabut di atas tanah. Semakin tinggi pemasangan, semakin besar hasilnya karena kecepatan angin yang lebih tinggi dan seringkali karena LFC yang lebih tinggi dalam kabut. Jumlah total air yang diproduksi oleh LFC tergantung pada jumlah pemanen kabut yang diinstal dan tingkat pengumpulan di lokasi tersebut. Di daerah pesisir El Tofo, Chili, sejumlah 75 pengumpul kabut, masing-masing dengan luas 48 m2, dibangun untuk menyediakan air bersih kepada 330 penduduk desa (Schemenauer dan Cereceda 1994b). Sistem ini menghasilkan sekitar 3 L m-2 hari-1, dengan rata-rata 11.000 L per hari, atau sekitar 33 L per hari per orang di desa tersebut. Sebelum pengumpul kabut dibangun, penduduk desa bergantung pada pengiriman air dari jarak 40 km dan menggunakan sekitar 14 L per hari per kapita. Sistem pengumpulan kabut ini menjadi satu-satunya sumber air bagi desa tersebut, sambil meningkatkan kualitas air, mengurangi biaya, dan menghasilkan kemandirian dalam hal pasokan air (Schemenauer dan Cereceda 1994b).

Di tahun 2015, penduduk Villa Lourdes, sebuah kota kecil di Peru, menerapkan teknologi pemanen kabut untuk mendapatkan air bersih. Hal ini dilakukan karena wilayah ini sulit mendapatkan akses air bersih yang membuat kegiatan pertanian menjadi sulit. Para petani membangun 30 panel jaring nilon besar di lereng bukit. Dari setiap panel jaring nilon dapat diperoleh sekitar 200 sampai 300 liter air per hari. Air hasil kondensasi ini disimpan di tangki dan digunakan untuk mengairi tanaman serta keperluan lainnya.

 

  1. Kualitas Air dari Pemanenan Kabut

Terdapat beberapa aspek kimia yang penting dalam proyek pemanenan kabut. Pertama, perlu diperhatikan komposisi kimia kabut di udara sebelum kabut tersebut mengenai permukaan pengumpulan. Di berbagai lokasi di seluruh dunia di mana kabut dan hujan dikumpulkan pada tempat yang sama, air kabut cenderung memiliki konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi dibandingkan dengan air hujan yang setara. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam proses pembentukan tetesan air hujan dan kabut, serta paparan kabut yang lebih intens terhadap emisi dari permukaan dekat.

 

Aspek kedua adalah mengenai kimia air yang berasal dari Pemanen Kabut Besar. Komposisi kimia air ini juga dipengaruhi oleh gas dan partikel aerosol yang telah mengendap pada permukaan pengumpulan dan kemudian terbawa oleh air kabut. Terutama selama awal terjadinya kabut, hal ini bisa menyebabkan peningkatan konsentrasi senyawa dalam air kabut yang dihasilkan, yang sering disebut sebagai “awal pertama.” Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi air kabut cenderung memenuhi standar air minum dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk ion dan logam berat, namun beberapa lokasi mungkin mengalami peningkatan konsentrasi senyawa tertentu, terutama di daerah pantai yang dapat dipengaruhi oleh emisi dari pembangkit listrik dan pabrik industri. Meskipun begitu, dalam banyak kasus, air kabut dianggap aman untuk dikonsumsi, tetapi ketika ada potensi kontaminasi, perlu dilakukan pemeriksaan kualitas air sebelum digunakan untuk konsumsi manusia, seperti halnya dengan pasokan air lainnya.

Implementasi di Indonesia

Teknologi pemanenan kabut telah dilakukan di Dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. Kegiatan ini bertujuan untuk mengatasi masalah kekeringan yang sering terjadi selama musim kemarau. Kemitir terletak di ketinggian sekitar 1.600 meter di atas permukaan laut, dan daerah ini memiliki potensi tinggi untuk mendapatkan kabut yang cukup melimpah. Oleh karena itu, penduduk Desa Kemitir menggunakan jala plastik (paranet) untuk “menangkap” kabut agar dapat mengumpulkan air dari kabut tersebut.

Dalam upaya ini, mereka bekerja sama dengan Tim Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mengimplementasikan teknologi pemanenan kabut. Di tahun 2013, penelitian pertama dilakukan dengan pemasangan alat pemanen kabut ukuran 1 x 1 meter paranet yang dapat memanen kabut dan menghasilkan air 2,74 liter per hari. Namun, jumlah air yang berhasil dikumpulkan masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Untuk meningkatkan jumlah air yang dikumpulkan, paranet “penangkap kabut” perlu diperbesar ukurannya agar dapat mengumpulkan lebih banyak air dari kabut. Di tahun 2014, pengembangan teknologi ini dilakukan dengan menggabungkan teknologi pemanenan kabut dengan alat fertigasi tetes agar penggunaan air lebih efisien. Teknologi ini terbukti sangat efisien, murah, dan mudah digunakan oleh petani di Desa Kemitir, yang umumnya menanam padi dan sayuran. Dengan pemanenan kabut dan penggunaan teknologi fertigasi tetes menjadi salah satu alternatif bagi penduduk desa dalam mengatasi masalah kekeringan yang selama ini menjadi kendala besar selama musim kemarau.

 

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, teknologi pemanen kabut dapat digunakan secara efektif baik di wilayah pesisir maupun pegunungan dengan tingkat kecepatan angin yang tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bappenas, Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat adalah dua dari beberapa lokasi yang menjadi top prioritas dalam sektor air. Secara topografi, Kabupaten Karo memiliki ciri-ciri iklim yang lebih sejuk dan kondisi yang sesuai untuk pertanian di dataran tinggi, sedangkan Kabupaten Langkat memiliki dataran yang lebih rendah dengan iklim yang lebih hangat dan lembap, yang mendukung jenis tanaman yang berbeda. Kedua kabupaten ini berpotensi terpengaruh oleh kekeringan yang dapat berdampak negatif pada produksi padi. Oleh karena itu, berdasarkan kondisi topografi ini, teknologi pemanen kabut diharapkan dapat menjadi alternatif yang efektif untuk mengatasi masalah kekeringan tersebut. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, termasuk menentukan luas bidang tangkap dan elevasi yang sesuai untuk penempatan alat pemanen kabut di masing-masing wilayah, sehingga produksi air yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan yang lebih besar.

Kesimpulan

Pemanenan kabut merupakan solusi inovatif yang muncul sebagai alternatif untuk mengatasi masalah kekurangan air yang semakin mendesak di berbagai wilayah di seluruh dunia. Faktanya, air tawar yang tersedia di Bumi sangat terbatas, dengan sebagian besar hanya 2,5% dari total air dunia yang merupakan air tawar. Kekurangan air semakin memburuk akibat pertumbuhan populasi yang cepat, urbanisasi, dan perubahan iklim yang menyebabkan perubahan dalam pola musiman dan intensitas hujan. Dalam beberapa wilayah, hingga 50% populasi dunia mengalami kekurangan air setidaknya selama satu bulan dalam setahun. Teknologi pemanenan kabut menawarkan alternatif yang menarik dengan cara menangkap tetesan air dari kabut dan embun, terutama di wilayah dengan tingkat kelembaban udara yang tinggi seperti pesisir dan pegunungan. Meskipun teknologi ini memiliki kelebihan berupa biaya operasional yang rendah dan keandalan pasokan air, ia juga sangat tergantung pada kondisi iklim dan cuaca di wilayah tersebut.

 

Implementasi teknologi pemanen kabut tercatat sukses di beberapa daerah, seperti di Chili, Peru, dan Indonesia, di mana penduduk setempat berhasil mengumpulkan air bersih dari kabut untuk keperluan mereka. Dengan adanya keberhasilan ini diharapkan dapat menjadi alternatif bagi lokasi-lokasi prioritas lainnya di Indonesia seperti Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat. Perlu diperhatikan bahwa efektivitas pemanenan kabut bergantung pada faktor-faktor seperti tinggi pemasangan, kecepatan angin, dan kondisi kimia air kabut, yang harus diperhatikan dalam implementasinya. Oleh karena itu, meskipun pemanenan kabut merupakan solusi menarik untuk mengatasi kekurangan air, perlu adanya penelitian lebih lanjut dan penyesuaian sesuai dengan kondisi setempat untuk memaksimalkan manfaatnya.

Daftar Pustaka

Sevimli, A. (2021). Sustainable Rainwater Management Applications: The case of Bursa Uluda˘g University Görükle Campus. (Doctoral dissertation, Bursa Uludag University (Turkey).

Słyś, D., & Stec, A. (2020). Centralized or decentralized rainwater harvesting systems: A case study. Resources, 9(1), 5.

Kementerian PPN/Bappenas. Book 1: List of Priority Locations & Climate Resilience Actions. 2019.

Curto, D., Franzitta, V., & Guercio, A. (2021). A review of the water desalination technologies. Applied Sciences, 11(2), 670.

Qadir, M., Jiménez, G. C., Farnum, R. L., Dodson, L. L., & Smakhtin, V. (2018). Fog water collection: challenges beyond technology. Water, 10(4), 372.

Schemenauer, R. S., & Cereceda, P. (1994, May). Fog collection’s role in water planning for developing countries. In Natural resources forum (Vol. 18, No. 2, pp. 91-100). Oxford, UK: Blackwell Publishing Ltd.

Klemm, O., Schemenauer, R. S., Lummerich, A., Cereceda, P., Marzol, V., Corell, D., … & Fessehaye, G. M. (2012). Fog as a fresh-water resource: overview and perspectives. Ambio, 41, 221-234.

 

Gioda, A., Espejo Guasp, R., Acosta Baladon, A. (1993): Fog Collection in Tropical Areas. In: BECKER, A.; SEVRUK, B.; LAPIN, M. (EDS.): Evaporation, Water Balance and Deposition. Proceedings of the Symposium on Precipitation and Evaporation, Vol. 3. Bratislava (Slovakia), 273-278

Editor:

Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim

Litany Meliala

Comments are closed.