Analisis Tiga Penyakit Sensitif Iklim dan Area Penanganan Prioritas
PENDAHULUAN
Perubahan iklim telah menjadi isu global dan mendapatkan perhatian yang luas. Perhatian tersebut tidak hanya dikarenakan dampaknya terhadap lingkungan, tetapi juga karena pengaruhnya terhadap kesehatan manusia. Salah satu dampak signifikan dari perubahan iklim adalah peningkatan risiko berbagai penyakit yang sensitif terhadap iklim. Penyakit-penyakit ini, meliputi demam berdarah dengue (DBD), malaria, dan pneumonia. Hal ini menunjukkan peningkatan insiden dan prevalensi seiring dengan perubahan dalam pola cuaca dan iklim.
Artikel ini berfokus pada pembahasan tiga penyakit sensitif iklim, yaitu DBD, malaria, dan pneumonia, serta dinamika penyebaran dan prevalensinya. Pentingnya mengetahui wilayah dengan beban penyakit tertinggi untuk merespons tantangan kesehatan secara efektif. Artikel ini juga bertujuan untuk memberikan rekomendasi lokasi prioritas (lokpri) dalam penanganan penyakit sensitif iklim berdasarkan data penyakit terbaru. Data yang digunakan dalam artikel ini bersumber dari literatur dengan metode desk review.
PEMBAHASAN
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti betina. Penularan penyakit DBD tidak secara langsung dari manusia ke manusia. Penularannya terjadi melalui perantara gigitan nyamuk aedes aegypti betina yang terinfeksi virus dengue ke manusia.
Nyamuk yang baru saja menggigit penderita DBD, virus dengue, akan berkembang di usus nyamuk lalu menyebar ke bagian tubuh lainnya, termasuk kelenjar ludah. Kemudian, apabila nyamuk tersebut menggigit orang lain, maka orang tersebut secara otomatis akan tertular virus dengue. Setelah masuk ke tubuh penderita, virus akan berkembang ke sejumlah organ. Virus pun akan menginfeksi sel darah putih dan jaringan limfatik. Virus lantas terlepas dan beredar dalam sirkulasi darah.
Nyamuk aedes aegypti memiliki kebiasaan menggigit di waktu pagi dan petang hari. Puncak aktivitasnya berkisar di antara pukul 08.00-10.00 dan 15.00-17.00. Nyamuk tersebut memiliki kebiasaan menghisap darah berulang kali dalam satu siklus gonotropik, yaitu siklus reproduksi dari menghisap darah, mencerna darah, pematangan telur, dan perilaku bertelur. Perlu diingat bahwa perilaku menghisap darah secara berulang ini meningkatkan risiko penularan penyakit karena setiap kali nyamuk menggigit, mereka dapat menularkan patogen dari satu inang (manusia) ke inang lainnya.
Penyebaran vektor nyamuk aedes aegypti tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun, wilayah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan air laut masuk dalam kategori pengecualian (Hadi, 2010). Kondisi fisika lingkungan juga memengaruhi ekologi nyamuk aedes aegypti di suatu wilayah. Suhu udara dan kelembaban nisbi/relatif juga dapat memengaruhi usia nyamuk sampai 50% (Susanti & Suharyo, 2017). Biasanya, pada suhu udara 20oC dengan kelembaban nisbi 60%, usia nyamuk betina sampai 101 hari dan untuk usia nyamuk jantan sampai 35 hari. Kemudian, dengan kelembaban nisbi 55%, usia nyamuk betina berubah menjadi 88 hari dan 50 hari untuk nyamuk jantan.
Dalam upaya pengendalian penyakit DBD, terdapat beberapa indikator yang digunakan sebagai alat pemantauan. Dua indikator penting yang sering digunakan adalah Tingkat Insiden atau Incidence Rate (IR) per 100.000 penduduk dan Tingkat Kematian Kasus atau Case Fatality Rate (CFR) per . Penggunaan kedua indikator ini sangat penting dalam memantau dan mengevaluasi efektivitas program pengendalian DBD, serta membantu dalam merencanakan strategi dan intervensi yang lebih tepat dan efektif untuk penanggulangan penyakit ini di masa mendatang.
Sebaran Penyakit DBD
Pada tahun 2022, nilai IR tertinggi didominasi oleh provinsi yang berada di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah (gambar 1). Nilai IR di atas angka nasional ditempati oleh 16 provinsi yang berada di regional Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Sulawesi. Kalimantan Utara merupakan provinsi dengan nilai IR tertinggi di Indonesia. Selanjutnya diikuti oleh Kalimantan Timur, Bali, dan Bangka Belitung. Keempat provinsi tersebut memiliki nilai IR lebih dari 100. Hal ini menunjukan bahwa terdapat 125-181 penderita DBD dalam 100.000 penduduk di provinsi tersebut.
Secara terperinci, pada 10
kabupaten/kota dengan IR tertinggi pada tahun 2021 hampir merata di seluruh bagian
wilayah Indonesia (Gambar 2). Kota Kupang (320,7) dan Kota Bontang (320,1)
merupakan dua daerah yang paling tinggi nilai IR DBD di tingkat kabupaten/kota.
Tahun berikutnya, 10 kabupaten/kota dengan IR tertinggi terkonsentrasi di
bagian barat dan tengah wilayah Indonesia dengan IR tertinggi berada di
Kabupaten Mahakam Ulu (521,9) dan diikuti setelahnya oleh Kota Gunungsitoli
(355,6). Selama dua tahun (2021-2022), Kota Bontang dan Kabupaten Karimun
selalu masuk dalam daftar 10 kabupaten/kota dengan IR tertinggi.
Kemudian, tingkat kematian kasus DBD pada 10 kabupaten/kota dengan CFR tertinggi pada tahun 2021 hampir merata di seluruh bagian wilayah Indonesia terkecuali di regional Maluku dan Papua (Gambar 3). Kabupaten Rote Ndao (100) merupakan daerah yang paling tinggi nilai CFR DBD di tingkat kabupaten/kota. Angka tersebut mengindikasikan bahwa pada jumlah penderita DBD terdapat 100 kematian. Selanjutnya, pada tahun 2022 Kabupaten Sorong (50) merupakan daerah dengan tingkat kematian kasus DBD tertinggi.
Melihat fakta-fakta di atas, penyakit DBD masih menjadi permasalahan kesehatan yang memerlukan penanganan dengan baik. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan, angka kasus dan kematian akibat DBD masih cukup tinggi di beberapa daerah. Hal tersebut terlihat pada nilai IR (gambar 2) dan CFR (gambar 3) penyakit DBD.
Kabupaten Karimun dan Kota Bontang merupakan daerah yang selalu masuk dalam top 10 dalam periode tahun 2021-2022 berdasarkan nilai IR tertinggi (gambar 2). Keduanya tidak termasuk sebagai lokasi prioritas (lokpri) pada Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) sektor kesehatan. Secara keseluruhan, terdapat dua (20%) kabupaten/kota yang termasuk sebagai lokpri PBI, yaitu Kabupaten Klungkung (top prioritas) dan Kota Tasikmalaya (prioritas). Selain itu, delapan (80%) kabupaten/kota lainnya dari 10 besar IR tertinggi di tahun 2022 belum termasuk sebagai lokpri PBI, yaitu:
- Kabupaten Mahakam Ulu
- Kota Gunungsitoli
- Kabupaten Bangka Barat
- Kabupaten Karimun
- Kota Bontang
- Kota Padang Panjang
- Kota Sukabumi
- Kota Sawahlunto
Semua kabupaten/kota dengan tingkat CFR 10 tertinggi tidak masuk dalam lokpri PBI sektor kesehatan. CFR merupakan indikator penting dalam epidemiologi untuk mengukur jumlah kematian akibat penyakit DBD dibandingkan dengan jumlah total kasus penyakit tersebut. Tingginya nilai CFR juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti akses ke perawatan medis yang tepat waktu dan adekuat, serta kondisi kesehatan penderita sebelumnya. Indikator ini sangat penting dalam menilai keparahan dan dampak kesehatan terhadap masyarakat dari suatu penyakit.
Selain itu, variasi iklim dapat mempengaruhi siklus hidup dan perilaku nyamuk aedes aegypti, vektor penyakit DBD, sehingga berpotensi mempengaruhi kejadian penyakit ini. Studi lebih lanjut sangat diperlukan untuk melihat hubungan antara variasi iklim dengan kejadian penyakit DBD pada kabupaten/kota dengan nilai IR dan CFR DBD tertinggi yang belum masuk dalam daftar lokpri PBI sektor kesehatan. Hasil dari studi ini dapat memberikan wawasan baru untuk meningkatkan strategi pencegahan dan penanganan DBD akibat perubahan iklim di masa mendatang.
Malaria
Malaria merupakan penyakit menular yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Nyamuk tersebut berperan sebagai vektor pembawa parasit plasmodium yang memerlukan perantara inang (manusia) dalam siklus kehidupan mereka. Parasit ini hidup dan berkembang biak di dalam sel darah merah atau eritrosit manusia. Uniknya, parasit ini memiliki kemampuan untuk bersembunyi dalam tubuh inangnya, memungkinkannya untuk menimbulkan gejala klinis sewaktu-waktu, terutama ketika sistem kekebalan tubuh inang melemah. Dengan keadaan tersebut, malaria dapat menjadi penyakit kronis yang terjadi secara berulang (kambuhan).
Parasit plasmodium yang dapat menginfeksi manusia diantaranya, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Diantara keempat jenis tersebut, infeksi yang disebabkan oleh plasmodium falciparum adalah yang paling berbahaya dan dapat berakibat fatal jika tidak segera ditangani. Di Indonesia, jenis Plasmodium yang paling sering ditemukan adalah falciparum dan vivax. Namun, di beberapa provinsi seperti Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, plasmodium malariae juga telah ditemukan. Sementara itu, Plasmodium ovale juga teridentifikasi di Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Nyamuk anopheles lebih sering muncul di musim pancaroba, yaitu di periode transisi antara musim hujan dan kemarau. Namun, dengan kondisi udara yang panas dan lembab sepanjang tahun, ditambah dengan sanitasi yang buruk menyediakan genangan air untuk nyamuk bertelur. Kondisi ini memungkinkan nyamuk untuk menggigit hampir sepanjang tahun. Dengan demikian, serangan nyamuk anopheles tidak lagi terbatas pada musim tertentu, tetapi dapat terjadi sewaktu-waktu secara ganas. Tren peningkatan kasus malaria, meskipun secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor suhu dan kelembaban, memiliki pengaruh langsung terhadap parasit malaria dan nyamuk yang bertindak sebagai vektor (Mardiana & Musadad, 2012).
Saat ini, endemisitas malaria ditentukan oleh nilai Annual Parasite Incidence (API). Nilai tersebut mengukur morbiditas (jumlah penyakit) malaria untuk tahun tertentu di suatu tempat per 1.000 penduduk. Wilayah dengan nilai API kurang dari 1 dikategorikan sebagai endemis rendah, sedangkan wilayah dengan nilai API antara 1-5 sebagai endemis sedang. Wilayah dengan nilai API lebih dari 5 diklasifikasikan sebagai endemis tinggi.
Sebaran Penyakit Malaria
Pada tahun 2021, sebagian besar wilayah di Indonesia bagian barat telah mencapai status eliminasi malaria. Status yang dijadikan indikator sebagai upaya pemutusan rantai penularan malaria di suatu wilayah secara berkesinambungan. Hal ini dilakukan untuk menekan angka penyakit serendah mungkin agar tidak menjadi masalah kesehatan. Pencapaian program pemberantasan penyakit malaria secara nasional telah berhasil mencapai 67,5% (347) kabupaten/kota dengan status eliminasi malaria (gambar 4). Namun, masih terdapat 24,2% (124) kabupaten/kota yang berstatus endemis rendah, 3,3% (17) berstatus endemis sedang, dan 5% (26) berstatus endemis tinggi.
Pencapaian status eliminasi malaria di kabupaten/kota menunjukan tren positif. Terdapat kenaikan jumlah dari 318 di tahun 2020 menjadi 347 di tahun 2021. Hal ini menunjukkan terdapat kemajuan yang dilakukan dalam upaya pemberantasan malaria di Indonesia. Hal tersebut terefleksi dengan 91,2% (31) provinsi di Indonesia yang telah mampu menekan API malaria hingga kurang dari 1 per 1.000 penduduk. Kemudian, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Timur juga masih terdapat kabupaten dengan status endemis tinggi (gambar 4).
Secara terperinci di tingkat provinsi, wilayah dengan endemisitas tinggi malaria masih ditemukan di Indonesia di tahun 2021. Provinsi Papua merupakan daerah dengan nilai API mencapai 80,05 per 1.000 penduduk di tahun 2021. Angka ini melampaui nilai setiap provinsi lainnya di Indonesia dan jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai seluruh provinsi lainnya (gambar 5). Selanjutnya, secara berurutan nilai API tertinggi disusul oleh Provinsi Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur. Ketiga provinsi tersebut masuk sebagai lokpri PBI sektor kesehatan. Sebab itulah, untuk mencapai eliminasi malaria masih mendapat tantangan khususnya di bagian timur Indonesia.
Merujuk informasi malaria Kementerian Kesehatan, untuk jumlah kasus dan kematian didominasi oleh kabupaten/kota dari wilayah timur dan tengah Indonesia (Kemenkes, 2022). Top 5 kabupaten/kota dengan kasus positif terbanyak pada tahun 2021 ditempati oleh seluruh kabupaten/kota yang sebelumnya berada di Provinsi Papua. Kemudian, untuk top 5 kabupaten/kota dengan angka kematian terbanyak terdiri dari Provinsi Papua, Maluku, dan Kalimantan Timur. Adapun kabupaten/kota tersebut sebagai berikut:
Tabel 1. Jumlah Kasus Positif dan Kematian Terbanyak Akibat Penyakit Malaria Tahun 2022
Kasus Positif Terbanyak | Kematian Terbanyak | ||||
Kab/Kota | Prov. | Jml | Kab/Kota | Prov. | Jml |
Kab. Mimika | Papua | 123.031 | Kab. Boven Digoel | Papua | 6 |
Kab. Jayapura | Papua | 40.700 | Kab. Nabire | Papua | 5 |
Kota Jayapura | Papua | 35.068 | Kab. Pulau Aru | Maluku | 4 |
Kab. Keerom | Papua | 24.662 | Kab. Paser | Kalimantan Timur | 4 |
Kab. Yahukimo | Papua | 15.492 | Kab. Penajam Paser Utara | Kalimantan Timur | 3 |
Sumber: Kemenkes, 2022
Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Pulau Aru, Kabupaten Paser, dan Kabupaten Penajam Paser Utara merupakan lokasi dengan jumlah kasus positif dan kematian terbanyak akibat malaria. Empat kabupaten tersebut belum masuk sebagai lokasi prioritas dalam PBI sektor kesehatan untuk penyakit malaria. Selain empat kabupaten tersebut, semuanya telah masuk sebagai lokpri PBI sektor kesehatan.
Secara khusus, Kabupaten Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur, yang menjadi bagian dari lokasi Ibu Kota Nusantara, tercatat sebagai daerah tertinggi ke-5 untuk kematian terbanyak akibat malaria di tahun 2022. Keadaan ini menuntut pada penanganan masalah malaria harus menjadi bagian integral dari perencanaan dan pembangunan ibu kota baru. Selain itu, permasalahan ini memiliki beberapa implikasi nantinya, diantaranya:
- Kesehatan masyarakat: malaria adalah penyakit yang dapat berdampak serius pada kesehatan masyarakat dan menjadi tantangan dalam menjaga kesehatan masyarakat di IKN.
- Perencanaan dan infrastruktur kesehatan: banyaknya angka kematian akibat malaria menunjukkan bahwa perlu ada peningkatan dalam infrastruktur kesehatan, termasuk program pencegahan penyakit dan fasilitas perawatan kesehatan.
- Pembangunan berkelanjutan: pentingnya mempertimbangkan dampak lingkungan dari pembangunan ibu kota baru karena terjadinya perubahan lingkungan akibat pembangunan dapat mempengaruhi populasi nyamuk vektor malaria.
Selain itu, malaria juga masih menjadi permasalahan kesehatan yang serius di Papua. Variasi iklim merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian malaria di Papua berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hutasoit (2023). Selain itu, terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap prevalensi tinggi malaria di provinsi tersebut meliputi:
- Kondisi iklim dan lingkungan: faktor-faktor seperti kondisi cuaca lokal, kepadatan vektor nyamuk, dan prevalensi infeksi dapat mempengaruhi pola transmisi malaria. Papua dan wilayah Indonesia lainnya secara umum memiliki iklim tropis yang mendukung perkembangan nyamuk anopheles, vektor penyakit malaria.
- Akses ke layanan kesehatan: terbatasnya akses ke layanan kesehatan di beberapa daerah dapat mempengaruhi deteksi dini dan penanganan kasus malaria.
- Faktor sosial ekonomi: faktor-faktor sosial ekonomi seperti pendapatan, pendidikan, dan perilaku masyarakat juga dapat mempengaruhi prevalensi malaria.
Oleh karena itu,
penanggulangan malaria khususnya di Papua, Maluku, dan Kalimantan Timur
memerlukan pendekatan yang komprehensif berdasarkan jumlah kasus positif dan
kematian terbanyak akibat penyakit malaria di tahun 2022. Pendekatan tersebut
melibatkan peningkatan infrastruktur kesehatan, edukasi masyarakat, serta
penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara iklim dan prevalensi malaria.
Hal ini juga dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan kajian lanjut untuk
melihat hubungan kondisi iklim dengan penyakit malaria di lokasi yang belum
termasuk lokpri PBI sektor kesehatan guna menentukan apakah wilayah tersebut
masuk sebagai kategori lokpri atau tidak.
Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi akut yang menyerang jaringan paru-paru (alveoli). Infeksi ini disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, jamur, dan bakteri seperti Pneumococcus, Staphylococcus, dan Streptococcus. Lingkungan memainkan peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme patogen ini, dengan suhu dan kelembaban menjadi faktor kunci.
Dalam penelitian-penelitian dengan desain observasi, hubungan iklim dan polutan polusi udara dapat dijelaskan dengan hubungan yang signifikan. Selain itu, penelitian lain menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara paparan jangka pendek terhadap polutan udara seperti PM2.5, PM10, NO2, SO2, dengan kunjungan rumah sakit terhadap kasus pneumonia di Qingdao, Tiongkok (Zhang dkk, 2021). Namun, hubungan antara pneumonia dan perubahan iklim sangat kompleks dan masih terdapat celah dalam pengetahuan tentang mekanisme keterkaitannya.
Meski udara bukanlah medium yang ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme, banyak mikroba yang ditemukan di udara berasal dari berbagai sumber seperti tanah, air, tumbuhan, hewan, dan lainnya. Di udara terbuka, kebanyakan mikroba berasal dari tanah. Namun, di dalam ruangan, jumlah mikroba biasanya lebih banyak dibandingkan dengan udara di luar, dan kebanyakan ditemukan dalam saluran pernapasan manusia.
Tanah merupakan sumber utama bakteri di udara. Angin berdebu dapat membawa populasi mikroba yang dapat menyebar secara luas. Di dalam ruangan, mikroba tersebut dapat bertahan di udara dan menular secara efektif kepada manusia lain dalam waktu singkat. Beberapa patogen manusia tertentu seperti Staphylococcus dan Streptococcus dapat bertahan dalam keadaan kering dan tetap hidup pada debu untuk jangka waktu yang lama.
Selama bersin, batuk bahkan berbicara, sejumlah besar droplet/tetesan lembab dikeluarkan. Setiap droplet berukuran sekitar 10 µm dan berisi satu atau dua bakteri. Kecepatan pergerakan droplet saat bersin sekitar 100 m/detik serta 16 – 48 m/detik saat batuk dan berbicara keras. Jumlah bakteri dalam sekali bersin bervariasi mulai 10.000 – 100.000. Droplet berukuran kecil sehingga evaporasi terjadi secara cepat di udara yang lembab, meninggalkan nukleus (inti sel) bahan organik dan mucus (lendir) sebagai tempat menempelnya bakteri.
Penularan patogen melalui droplet atau partikel di udara adalah salah satu metode yang umum, namun beberapa patogen juga dapat menyebar melalui cara lain, seperti kontak dengan permukaan yang telah terkontaminasi oleh mikroorganisme penyebab. Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk suhu, kelembaban, cahaya, lokasi gedung, sistem gedung, teknik konstruksi, dan sumber kontaminan (baik dari material dan peralatan gedung maupun dari luar), serta perilaku pekerja. Faktor-faktor ini berinteraksi dan dapat menyebabkan penularan pneumonia.
Tingkat keparahan pneumonia dapat terjadi jika paru-paru menjadi kaku dan bagian bawah paru-paru tertarik ke dalam. Hal ini dapat menyebabkan hipoksia dan sepsis, dua penyebab utama kematian akibat pneumonia. Kondisi ini terjadi karena sel-sel tidak bekerja dengan baik, sehingga paru-paru tidak efektif dalam menyerap oksigen. Penyebab utama kematian terbanyak pada kelompok umur balita (12-59 bulan) adalah pneumonia setelah diare (Kemenkes, 2022). Kondisi ini mengharuskan bahwa penanganan pneumonia harus dilakukan secara cepat dan tepat untuk mencegah penularannya secara lebih luas.
Di Indonesia, penanggulangan pneumonia difokuskan pada kelompok usia anak, mengingat mereka adalah kelompok yang paling rentan terhadap penyakit ini. Penyakit ini kompleks dan heterogen dalam hal penyebabnya. Salah satunya adalah kualitas udara yang rendah, baik di dalam maupun di luar rumah, baik secara biologis, fisik, maupun kimia.
Kementerian Kesehatan menggunakan indikator cakupan penemuan pneumonia dalam program penanggulangan pneumonia. Indikator ini digunakan untuk mengukur sejauh mana program telah berhasil dalam menemukan kasus pneumonia, khususnya pada balita. Pneumonia adalah penyakit yang dapat berdampak serius pada kesehatan balita dan menjadi penyebab utama kematian pada kelompok usia ini. Oleh karena itu, cakupan penemuan pneumonia menjadi salah satu kunci dalam program penanggulangan pneumonia.
Sebaran Penyakit Pneumonia
Cakupan penemuan pneumonia pada balita di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 31,4%. Angka ini masih jauh dari target 65% yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Faktanya, tidak ada satupun provinsi di Indonesia yang telah mencapai target ini. Provinsi Jawa Timur, Banten, dan Lampung adalah daerah dengan cakupan penemuan tertinggi, masing-masing dengan angka 50,0%, 46,2%, dan 40,6%. Di sisi lain, Provinsi Sulawesi Utara, Aceh, dan Sulawesi Barat memiliki cakupan penemuan terendah, masing-masing dengan angka 44%, 5,6%, dan 5,8%. Ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan deteksi dan penanganan pneumonia pada balita.
Menariknya, Provinsi Aceh, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat memiliki cakupan penemuan terendah, namun tidak satupun dari provinsi tersebut masuk dalam daftar lokpri PBI sektor kesehatan penyakit pneumonia. Ketetapan lokpri sebelumnya menggunakan data tahun 2020. Kondisi ini menunjukkan bahwa perlunya kajian lebih lanjut untuk memperbaharui lokpri yang telah ditetapkan dengan menghubungkan kondisi iklim dengan kejadian penyakit.
Dengan mempertimbangkan fakta-fakta tersebut di atas, jelas bahwa penanggulangan pneumonia di Indonesia masih memerlukan perhatian dan upaya yang lebih besar. Meskipun telah ada kemajuan dalam beberapa daerah, masih banyak provinsi yang belum mencapai target penemuan kasus yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terlibat, mulai dari pemerintah hingga masyarakat, untuk bekerja sama dalam meningkatkan deteksi dan penanganan pneumonia. Melalui upaya bersama, kita dapat berharap untuk melihat penurunan signifikan dalam angka kasus pneumonia pada balita di masa mendatang.
SIMPULAN
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), malaria, dan pneumonia di Indonesia merupakan permasalahan kesehatan yang memerlukan penanganan serius. Meskipun berbagai upaya penanganan dan pengendalian telah dilakukan, angka kasus untuk ketiga penyakit tersebut masih cukup tinggi di beberapa daerah. Diperlukan strategi yang lebih efektif dan komprehensif dalam menangani penyakit-penyakit ini. Selain itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai keterkaitan variasi iklim dengan dinamika beban penyakit pada daerah yang belum masuk sebagai kabupaten/kota prioritas dalam kebijakan PBI sektor kesehatan.
Daftar Pustaka
Hadi,
Upik Kesumawati. (2010). Penyakit tular vektor: demam berdarah dengue. Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB
Hutasoit,
Ora Iring. (2023). Ecological Study of Climate Effects on Malaria Incidence in
Jayapura Indonesia 2010-2022. Bioscientia Medicina, 7 (5), 3332-3340.
Kemenkes.
(2023). Data DBD Indonesia Monev PBI. Direktorat P2PM Kementerian Kesehatan.
Kemenkes.
(2022). Data DBD Indonesia. Direktorat P2P Kementerian Kesehatan. Diambil dari
https://p2pm.kemkes.go.id/publikasi/infografis/informasi-malaria-tahun-2022
Mardiana,
M., & Musadad, D. A. (2012). Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Insiden
Malaria Di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Dan Kabupaten Banggai Sulawesi
Tengah. Indonesian Journal of Health Ecology. Diakses dari https://www.neliti.com/publications/79797/pengaruh-perubahan-iklim-terhadap-insiden-malaria-di-kabupaten-bintan-kepulauan
Susanti,
& Suharyo. (2017). Hubungan Lingkungan Fisik dengan Keberadaan Jentik Aedes
pada Area Bervegetasi Pohon Pisang. Unnes Journal of Public Health, 6(4).
Zhang,
J., Ren, D., Cao, X., Wang, T., Geng, X., Li, X., Tang, J., Leng, S., Wang, H.,
& Zheng, Y. (2021). Ambient air pollutants and hospital visits for
pneumonia: a case-crossover study in Qingdao, China. BMC Public Health, 21(66).
Editor:
Irfan Darliazi Yananto – Koordinator Pembangunan Berketahanan Iklim