Poster Day 4 (Final)

A Journey of AKSARA (Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon)

JAKARTA   Kementerian PPN/Bappenas melalui inisiatif Pembangunan Rendah Karbon (PRK) menjawab tantangan penanganan persoalan perubahan iklim agar penurunan emisi gas rumah kaca sejalan dengan agenda-agenda pembangunan berkelanjutan lain seperti pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan. Di bawah kebijakan PRK, pemerintah memobilisasi sumber daya dan menggerakkan elemen pusat, daerah dan lintas sektor untuk membuat rencana aksi serta mengimplementasikan aksi-aksi nyata pembangunan rendah karbon.

Mengacu pada mandat Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, Kementerian PPN/Bappenas bersama dengan kementerian teknis lainnya telah menyusun mekanisme pemantauan kegiatan penanganan perubahan iklim. Dimulai pada tahun 2012, proses yang dilakukan secara kontinyu, transparan dan partisipatif ini melahirkan sebuah portal Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan (PEP) yang bernama Aplikasi Perencanaan dan Pemantauan Rencana Aksi Nasional Rendah Karbon (AKSARA). AKSARA diresmikan pada tahun 2019 sebagai portal terintegrasi yang membantu Pemerintah Indonesia dalam memenuhi komitmen penurunan emisi GRK sebesar 29% di tahun 2030.

AKSARA merupakan platform untuk mencatat pelaksanaan rendah karbon (PRK) dan ketahanan iklim (PBI) secara transparan, akurat, komprehensif, konsisten, dan terintegrasi. AKSARA bertujuan untuk: (1) Menyediakan data dan informasi yang akurat, transparan, dan partisipatif tentang aksi LCDI di Indonesia, (2) Menyediakan sistem untuk mengumpulkan dan melaporkan pencapaian aksi LCDI kerja sama pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pembangunan rendah karbon di Indonesia, (3) Mendukung kredibilitas dan transparansi pelaporan pencapaian penurunan emisi rumah kaca dan pembangunan rendah karbon di Indonesia kepada masyarakat internasional; dan (4) Menyediakan data terkini untuk proses evaluasi dan perencanaan aksi pembangunan rendah karbon yang lebih baik di masa depan.

Proses PEP yang dilakukan melalui sistem AKSARA ini dilakukan pada tataran nasional (kementerian/lembaga) dan daerah di 34 provinsi. AKSARA digunakan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan dari program/kegiatan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam Rencana Strategis (Renstra) kementerian/lembaga (K/L) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) khususnya Prioritas Nasional 6 (PN6) Membangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim khususnya (1) Program Prioritas 2 : Peningkatan Ketahanan Bencana dan Perubahan Iklim dan (2) Program Prioritas 3 : Pembangunan Rendah Karbon.

“Menurunnya kualitas daya dukung dan daya tampung lingkungan akan berdampak pada produktivitas dan keberlangsungan hidup, ini merupakan salah satu dampak perubahan iklim yang paling dirasakan,” jelas Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas. Lebih lanjut, Medrilzam memaparkan AKSARA hadir sebagai alat bantu dan wadah/platform perekaman aksi pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim yang transparan, akurat, lengkap, konsisten dan terintegrasi.

Dari hasil pelaporan yang dilakukan kementerian/lembaga dan 34 provinsi mulai tahun 2010 – 2020, tercatat 20.209 aksi PRK yang sudah dilaporkan melalui AKSARA. Dari pelaporan tahun 2020, nilai capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 24,13% terhadap baseline tahun 2020. Sedangkan untuk nilai capaian penurunan intensitas emisi GRK tercatat sebesar 25,37% terhadap baseline tahun 2020.

AKSARA membantu proses perekaman aksi dan perhitungan nilai pengurangan kerugian ekonomi sebagai hasil implementasi aksi PBI, secara otomatis berdasarkan metodologi yang telah disepakati nasional. Dari hasil pelaporan Tahun 2020 pada aplikasi AKSARA, aksi PBI di Indonesia mampu mengurangi kerugian ekonomi sebesar 33,96 triliun rupiah dari target 52,91 triliun rupiah atau sebesar 64,18%. Capaian pengurangan potensi kerugian tersebut merupakan total pencapaian dari empat (4) sektor PBI yaitu Kelautan dan Pesisir sebesar Rp 18,31T, Sektor Air sebesar Rp 0,75T, Sektor Pertanian sebesar Rp 8,38T, dan Sektor Kesehatan sebesar Rp 0,39T.

Sebagai bentuk apresiasi kepada 34 provinsi, Kementerian PPN/Bappenas memberikan penghargaan provinsi terbaik dalam pelaporan aksi  Pembangunan Rendah Karbon (PRK) kepada tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan. Bappenas menetapkan empat kriteria penilaian yaitu : 1) Konsistensi pelaporan aksi Pembangunan Rendah Karbon Daerah pada setiap sektor mulai tahun 2010 – 2020; 2) Pelibatan kabupaten/kota dalam pelaporan aksi; 3) Pengarusutamaan Pembangunan Rendah Karbon dalam RPJMD; dan 4) Jumlah penurunan emisi.

Penghargaan tersebut diberikan dalam rangkaian LCDI Week 2021 di hari keempat, 14 Oktober 2021, webinar bertema “A Journey of AKSARA” yang menceritakan proses transformasi pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) hingga menjadi AKSARA aksi Pembangunan Rendah Karbon yang dirintis Bappenas sejak tahun 2013 hingga saat ini. Webinar dihadiri perwakilan dari berbagai kementerian dan lembaga negara, pemerintah daerah, dan masyarakat umum. Tujuan webinar ini untuk memberikan informasi kepada peserta tentang pengembangan aplikasi pemantauan pembangunan rendah karbon dan aksi ketahanan iklim, terkait dengan upaya untuk mendukung dalam membangun masa depan berkelanjutan yang lebih baik menuju ekonomi hijau.

Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, menyatakan sejak 14 Februari 2019 Provinsi Jawa Tengah berkomitmen melakukan integrasi perencanaan daerah menuju perencanaan Pembangunan Rendah Karbon. Pada tahun 2020 Jawa Tengah, melaporkan 2205 aksi PRK yang berpotensi menurunkan emisi sebesar 10,47 juta ton CO2 ekuivalen. Ganjar mengakui, monitoring aksi PRK sangat terbantu dengan adanya aplikasi AKSARA serta partisipasi aktif kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah.

“Untuk keberlanjutannya, kami meyakini ini adalah kerja panjang pemerintah Provinsi Jawa Tengah, maka kami siap mengintegrasikan RPJMD dengan PRK. Selain itu karena ini menyangkut hajat orang banyak, dunia industri juga kami ajak rembugan agar sama-sama memiliki satu tujuan, bahwa saat ini pembangunan yang kita lakukan harus berorientasi rendah karbon. Semoga kita diberi kekuatan untuk istiqomah dalam gerakan merawat bumi dan menjaga alam ini,” papar Ganjar Pranowo. Sejalan dengan itu, Medrilzam menambahkan “Ke depan, sebagai upaya untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan perlu pelibatan multi-pihak mulai dari pemerintah, swasta, NGO, filantropi, hingga masyarakat yang bersinergis dalam penanganan perubahan iklim di Indonesia”.

Temuan Riset Baru: Mencapai Net-Zero Emissions Akan Membawa Manfaat Lebih Besar bagi Indonesia

Hasil exercise pemodelan terbaru yang dilakukan Bappenas menunjukkan bagaimana berbagai skenario menuju Net-Zero Emissions mampu memberikan berbagai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang krusial bagi Indonesia

# Menerapkan kebijakan untuk mencapai Net-Zero Emissions pada pertengahan abad diprediksi mampu meningkatkan total PDB hingga 43-56% lebih tinggi pada tahun 2050, penciptaan lapangan kerja hijau yang lebih besar, menurunkan emisi GRK, serta berbagai manfaat lainnya.

#Indonesia dapat menghindari emisi 87-96 miliar ton CO2e secara kumulatif

#Mencapai Net-Zero Emissions pada 2060 atau lebih cepat membutuhkan kebijakan pembangunan rendah karbon yang lebih ambisius, mencakup intervensi hijau pada berbagai sektor ekonomi utama—diantaranya energi, pengelolaan lahan, limbah dan industri.

Jakarta — Hasil studi terbaru dari Pembangunan Rendah Karbon Indonesia (LCDI) yang dipelopori oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menunjukkan bahwa menempuh jalur Net-Zero Emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat dapat mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045,  mengangkat kembali pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, menurunkan emisi Gas Rumah Kaca dan meningkatkan kualitas udara, serta mampu membuat perekonomian Indonesia lebih kompetitif, kuat, dan tangguh.

“Pandemi COVID-19 dan ancaman nyata perubahan iklim menjadikan Indonesia tidak lagi sama dengan kondisi sebelumnya. Dari sisi ekonomi, perlu suatu strategi besar untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke trayektori sebelum terjadinya krisis.”, kata Dr. (H.C.) Ir. Suharso Monoarfa, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS. “Dalam hal ini, Bappenas telah menetapkan strategi transformasi ekonomi untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke trayektori sebelum pandemi, dan menempatkan ekonomi hijau sebagai salah satu game-changer dalam transformasi ekonomi tersebut.”

Laporan Ekonomi Hijau untuk menuju Net-Zero Emissions di masa mendatang: Bagaimana Indonesia dapat membangun lebih baik pasca COVID-19 melalui Pembangunan Rendah Karbon, disusun menggunakan pendekatan ilmiah berbasis bukti (evidence-based) dengan mengedepankan prinsip holistik dan integratif, mampu  menunjukkan bahwa upaya dan komitmen yang lebih tinggi menuju Ekonomi Hijau dengan skenario Emisi Nol-Bersih dapat menghasilkan lebih banyak manfaat, termasuk pertumbuhan PDB riil rata-rata 6,1-6,5% per tahun pada 2021 – 2050, pendapatan per kapita pada rentang Rp USD 13.980 – 14.495, serta memungkinkan rasio pertumbuhan PDB yang lebih besar hingga 43,1- 56,1% pada tahun 2050 jika dibandingkan dengan baseline. Hal ini dapat terwujud sebagai manfaat dari upaya pemulihan dan perlindungan lingkungan, untuk meningkatkan daya dukung dan investasi ekonomi yang lebih besar. Berbagai skenario yang disampaikan dinilai dapat memberikan implikasi yang beragam.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan Net-Zero Emissions, dapat diterapkan sebagai upaya yang tidak terpisahkan dari langkah-langkah pemulihan COVID-19, juga akan segera menciptakan jutaan lapangan kerja baru, mengurangi polusi udara, dan secara signifikan meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.

Manfaat yang dihasilkan dari skenario Net-Zero Emissions

  • Potensi penurunan emisi kumulatif sebesar 87-96 miliar ton CO2 dari tahun 2021 hingga 2060
  • 6,1%-6,5% pertumbuhan PDB tahunan rata-rata pada 2021-2050 
  • Pendapatan Nasional Bruto (PNB) yang lebih tinggi 25-34% pada 2025 
  • 1,8 juta penambahan green jobs pada 2030 di sektor energi, EV, restorasi lahan, dan limbah 
  • 40.000 jiwa terselamatkan pada 2045  dengan berkurangnya pencemaran udara 
  • Memulihkan ekosistem yang memiliki jasa senilai US$4,75 triliun/tahun pada 2060 
  • 3,2 juta ha hutan primer terlindungi dan 4,1 juta ha tutupan hutan bertambah pada 2060 

“Studi ini telah menghasilkan berbagai temuan penting yang harus ditindaklanjuti sebagai pertimbangan untuk menyusun kebijakan kedepan,” kata Dr. Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). “Dengan memperkuat komitmen dan mengambil tindakan iklim yang ambisius, Indonesia dapat menciptakan lapangan kerja dalam jangka pendek, dan menumbuhkan perekonomian dalam jangka panjang, sekaligus menciptakan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim dan mencapai tujuannya untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045.”

Dalam skenario Net-Zero Emissions, Indonesia harus mengambil berbagai langkah besar pada bidang-bidang strategis. Di sektor energi misalnya, Pemerintah perlu mendorong 3 kebijakan utama: pengembangan energi baru terbarukan, melakukan dekarbonisasi pasokan energi melalui kombinasi EBT dan elektrifikasi energi bersih, serta penyesuaian insentif fiskal seperti penghentian subsidi bahan bakar fosil dan penetapan carbon pricing secara bertahap. Hasil studi menunjukkan bahwa permintaan terhadap energi diperkirakan akan meningkat lebih dari 3 kali lipat pada tahun 2060. “Apabila kebutuhan ini dipenuhi melalui bahan bakar fosil, tentu dampaknya akan menjadi sangat berat terhadap emisi GRK dan pencemaran udara” ungkap Deputi Kemaritiman dan SDA Bappenas.

Di sektor kehutanan dan lahan, untuk mencapai Net-Zero Emissions, Indonesia juga harus secara signifikan meningkatkan target untuk restorasi hutan dan mangrove, melindungi tutupan hutan dan mencegah deforestasi. Temuan menarik lainnya bahwa berbagai kebijakan tersebut akan saling memberikan umpan balik antar sektor. Sebagai contoh, penerapan kebijakan kendaraan listrik, mampu menurunkan konsumsi bioenergy yang kemudian berimplikasi pada menurunnya kebutuhan lahan untuk produksi tanaman bioenergy. Hal ini tentu mampu mencegah pembukaan hutan baru untuk dikonversi ke lahan pertanian. Dengan demikian, keberhasilan implementasi skenario Net-Zero Emissions akan sangat bergantung pada penyusunan rencana, strategi dan kebijakan lintas sektor yang baik.

“Perubahan dan Transformasi Menuju Ekonomi Hijau melalui Pembangunan Rendah Karbon dengan semangat Net-Zero Emission sudah menjadi keharusan dan menjadi bagian terintegrasi dari proses perencanaan dan pembangunan secara keseluruhan.” Dr. Medrilzam, Direktur Lingkungan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) “Dan,Transition Risk selama proses transformasi juga harus dikelola secara hati-hati.”

“Saya memahami laporan ini penting sebagai tonggak dalam perjalanan mengembangkan skenario Net-Zero Emissions serta dalam upaya membangun kembali dengan lebih baik pasca Covid-19. Pendanaan iklim adalah tema penting dalam laporan ini, dan kami memahami hal tersebut sangat penting bagi Indonesia, termasuk dalam konteks Kepresidenan G20 Indonesia 2022,” tambah Owen Jenkins, Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor-Leste.Unduh laporannya dalam Bahasa Inggris, A Green Economy for a Net-Zero Future: How Indonesia can build back better after COVID-19 with the Low Carbon Development Initiative (LCDI): https://lcdi-indonesia.id/publikasi-dokumen/

BAPPENAS KAMPANYEKAN PEMBANGUNAN BERKETAHANAN IKLIM (PBI)

JAKARTA Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas kembali meluncurkan dokumen kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) berbahasa Inggris sebagai pedoman penanganan perubahan iklim di Indonesia dan sebagai referensi untuk negara-negara lain di dunia.  Diharapkan publik internasional dapat memahami proses penerapan PBI di Indonesia maupun global.

Implementasi Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan PBI berkontribusi dari tingkat desa ke tingkat global. Dampak perubahan iklim sangat spesifik lokal, sehingga upaya penanganan perubahan iklim harus mampu mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas adaptif masyarakat. PBI secara paralel juga berkontribusi pada pencapaian target-target yang telah ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya Tujuan (Goal) 13, yaitu Penanganan Perubahan Iklim (Climate Action). Di sisi lain, upaya penanganan perubahan iklim berkontribusi pada pencapaian target global yaitu Paris Agreement dan Sendai Framework.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Arifin Rudiyanto dalam paparannya menyampaikan: “Ketahanan iklim nasional adalah salah satu hal terpenting yang terus diupayakan oleh Pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim global yang dampaknya sangat mempengaruhi kehidupan, khususnya pada empat sektor prioritas: kelautan dan pesisir, air, pertanian, dan kesehatan – karena kontribusinya yang sangat besar terhadap pendapatan sektor PDB.”

Sementara itu, Kepala Badan Meterologi, Geofisika dan Klimatologi (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan bahwa 99% bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi terutama akibat curah hujan yang ekstrem dan lebat. Akibatnya banyak terjadi banjir, puting beliung, dan tanah longsor.

Menteri Bappenas periode 2016 – 2019, Bambang Brodjonegoro menggarisbawahi mengenai  sisa makanan (food waste) yang dapat menimbulkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang sangat serius.

“Sisa makanan kira-kira membentuk 50% timbulan sampah. Jika terurai di landfill bisa menghasilkan gas metana dan menimbulkan emisi GRK,” tegas Bambang dalam paparannya.

Ketahanan iklim menjadi sangat penting karena Indonesia terletak pada garis ekuator dan diapit dua samudera sehingga  tercipta pola iklim dinamis, baik  yang berlangsung cepat (rapid onset) maupun dalam waktu yang relatif panjang (slow onset). Selain kerugian fisik dan material, masyarakat juga berpeluang kehilangan mata pencaharian sebagai dampak negatif dari pola iklim tersebut.

Berdasarkan kajian Bappenas 2019, kerugian ekonomi total untuk empat sektor prioritas ketahanan iklim dalam RPJMN 2020-2024 diperkirakan sebesar Rp 544 triliun, dengan peningkatan 12,8% dari 2020 ke 2024.  Nilai ini belum mempertimbangkan konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah sebagai variabel antara yang menghubungkan antara perubahan iklim dengan kondisi makro ekonomi di level nasional maupun provinsi.

Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 18 Tahun 2020, Pembangunan Berketahanan Iklim telah menjadi salah satu prioritas nasional (PN) ke 6 (enam) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.

Serial buku PBI ditujukan sebagai rujukan bagi para pihak dalam melaksanakan Prioritas Nasional (PN) ke-6  RPJMN 2020-2024 dan kerangka perencanaan pembangunan nasional berikutnya, yaitu dalam (i) Menyusun perencanaan program dan kegiatan ketahanan iklim; (ii) Panduan pembagian kewenangan bagi Kementerian dan Lembaga (K/L) untuk menghindari duplikasi terkait upaya ketahanan iklim pada sektor prioritas; (iii) Referensi bagi pelaksanaan fungsi monitoring dan evaluasi K/L dalam menilai kontribusi capaian ketahanan iklim terhadap target yang telah ditetapkan dalam RPJMN dan (iv) Panduan penandaan kegiatan ketahanan iklim pada sistem perencanaan, penganggaran dan informasi kinerja (KRISNA).

Dokumen PBI berbahasa Inggris yang diluncurkan oleh Bappenas terdiri dari 6 (enam) serial buku: (i) List of Priority Locations & Climate Resilience Actions; (ii) Institutional Arrangement for Climate Resilience; (iii) The Roles of Non-state Actors in Climate Resilience; (iv) Climate Resilience Funding; (v) Monitoring, Evaluation,& Reporting of Climate Resilience Actions in The Framework of National Development Planning; dan (vi) Summary Executive of Climate Resilience Development Policy.

Untuk proses pemantauan aksi PBI secara nasional, Bappenas mengembangkan sebuah platform/aplikasi berbasis online yaitu AKSARA Pembangunan Berketahanan Iklim. Aplikasi berbasis web ini merupakan sebuah alat bantu bagi pelaku aksi PBI, khususnya untuk Kementerian/Lembaga. AKSARA akan membantu proses perekaman aksi dan perhitungan nilai pengurangan kerugian ekonomi secara otomatis berdasarkan metodologi yang telah disepakati. Dari hasil pelaporan Tahun 2020 pada aplikasi AKSARA, aksi PBI di Indonesia mampu mengurangi kerugian ekonomi sebesar 33,96 triliun rupiah dari target 52,91 triliun rupiah atau sebesar 64,18%. Capaian pengurangan potensi kerugian tersebut merupakan total pencapaian dari empat (4) sektor PBI yaitu Kelautan dan Pesisir sebesar Rp 18,31T, Sektor Air sebesar Rp 0,75T, Sektor Pertanian sebesar Rp 8,38T, dan Sektor Kesehatan sebesar Rp 0,39T. Ke depan, aplikasi ini akan terus dikembangkan dengan sistem dynamic tagging dan diharapkan dapat akan bisa menjadi trend setter dan merekam seluruh aksi PBI hingga level Provinsi, Kabupaten, dan Kota di seluruh Indonesia.

#Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) yang diluncurkan Kementerian PPN/ Bappenas diharapkan mampu menjadi pedoman pembangunan ketahanan iklim nasional.

#Aksi Ketahanan Iklim adalah tindakan antisipasi  terencana maupun spontan untuk mengurangi nilai potensi kerugian akibat ancaman bahaya, kerentanan, dampak, dan risiko perubahan iklim pada kehidupan masyarakat di wilayah terdampak perubahan iklim.